Accueil / Rumah Tangga / Mandul: Cinta Yang Dikhianati / Bab 1 - “Rumah yang Tak Lagi Memanggil Namaku”

Share

Mandul: Cinta Yang Dikhianati
Mandul: Cinta Yang Dikhianati
Auteur: Bluebell Everose

Bab 1 - “Rumah yang Tak Lagi Memanggil Namaku”

last update Dernière mise à jour: 2025-08-02 22:17:12

Jakarta, 2025

“Jangan khawatir, aku akan memberikan semua hakmu.”

Ucapan itu menusuk Kinan lebih tajam dari sembilu manapun. Bukan karena kata-katanya kasar. Justru karena Isaac mengucapkannya dengan begitu tenang, begitu dingin, seolah-olah Kinan ini hanya... sebuah kontrak yang akan segera berakhir.

Ia berdiri di depan cermin kamar mereka—kamar yang dulu terasa hangat, seperti rumah. Kini, pantulan di kaca hanya menunjukkan seorang perempuan yang kehilangan segalanya, dan suami yang berdiri di belakangnya seperti bayangan masa lalu yang tak ingin pergi tapi juga tak bisa lagi disentuh.

“Jadi... ini akhirnya?” suara Kinan pecah, nyaris tak terdengar.

Isaac tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menarik napas dalam-dalam seolah menahan beban yang entah kenapa terlihat lebih berat untuknya. Kinan ingin tertawa—bukan karena lucu, tapi karena ironis. Ia yang kehilangan masa depannya, tapi pria itu yang tampak kelelahan.

Lima tahun. Mereka menikah lima tahun. Lima tahun di mana Kinan memujanya, menyayanginya, memeluknya setiap malam dengan hati penuh syukur. Ia ingat betapa seringnya ia mencium jas kerja Isaac yang tertinggal di sofa, membayangkan pria itu kembali pulang dengan senyum dan kecupan di kening.

Ia juga ingat bagaimana ia selalu berkata pada teman-temannya bahwa dirinya adalah wanita paling beruntung di dunia. Isaac mencintainya. Isaac memilihnya dari ratusan perempuan yang mengincar pria itu. Isaac tak hanya tampan dan mapan, tapi juga lembut, bertanggung jawab, dan menghujani Kinan dengan kasih sayang. Atau... setidaknya dulu begitu.

Sampai hari-hari mereka mulai sunyi. Sampai keluarga besar Isaac mulai bertanya, lalu menuduh dalam diam. Sampai malam-malam mereka tak lagi diisi tawa dan rencana tentang nama anak, tapi penuh dengan diam yang menyiksa. Sampai hasil itu keluar.

Infertil. 

Mandul. 

Selesai.

Tangannya gemetar saat menurunkan koper dari atas lemari. Koper merah tua itu... Isaac membelikannya saat ulang tahun pertamanya setelah mereka menikah. Katanya, “Agar kamu bisa mengisi hidupmu dengan petualangan—dengan aku.” Kinan mengisi koper itu dengan gaun-gaun yang dulu ia pakai saat makan malam bersama, sepatu hak tinggi yang dulu mereka kenakan saat berdansa di balkon hotel, bahkan syal yang Isaac belikan di Paris—semuanya kini menjadi saksi bisu dari sebuah dongeng yang ternyata terlalu singkat.

Di luar kamar, ia mendengar langkah Isaac menjauh. Ia tidak mencoba menghentikannya. Tidak ada, “Tunggu.” Tidak ada, “Jangan pergi.” Hanya langkah-langkah mantap yang semakin menjauh. Ia benar-benar sudah memilih.

Air mata itu akhirnya jatuh juga.

Kinan duduk di tepi ranjang, mengusap perutnya yang kosong. Perut yang tak bisa memberi keturunan. Perut yang telah menjadi alasan ia ditinggalkan. Ia tahu ini bukan salahnya. Ia tahu. Tapi tetap saja, ia merasa hancur, merasa rusak, merasa... tak layak.

Ia ingat wajah ibu mertuanya, penuh senyum palsu dan rencana-rencana yang dipoles dengan nama ‘tradisi’. “Kamu perempuan baik,” kata wanita itu suatu hari, “tapi keluarga kami butuh penerus. Kami punya tanggung jawab darah, garis keturunan.”

Kinan diam waktu itu. Karena ia tidak ingin Isaac berada di tengah. Karena ia percaya pria itu akan membelanya.

Dan dia memang membela. Sampai hari ketika hasil dokter keluar.

Setelah itu, perlahan Isaac berubah. Kebaikan tetap ada, tapi tak ada lagi kehangatan. Ia masih pulang, masih bicara, tapi tidak lagi menyentuh Kinan dengan kasih. Matanya tetap menatap, tapi tidak lagi melihat.

Dan kini dia berkata akan menikahi perempuan lain. Untuk melanjutkan darahnya. Untuk memberi cucu pada ibunya. Untuk... menyelesaikan tugasnya sebagai laki-laki dalam keluarga itu.

“Dia bilang kamu akan tetap diberi hak-hakmu.” Kalimat ibunya masih menggema di kepala Kinan.

Hak? 

Apa itu artinya? Uang? Rumah? Kartu kredit? Apa itu cukup untuk mengganti rasa dikhianati?

Ia berjalan ke meja rias. Menatap wajahnya yang kini penuh sembab. Bibir pucat, mata bengkak. Tapi di balik semua itu, ia masih dirinya. Ia masih perempuan yang mencintai suaminya. Yang setia padanya. Yang tak pernah berpaling walau banyak yang menggodanya.

Dan Kinan harus pergi.

Karena ia lebih dari sekadar rahim yang gagal. Ia lebih dari sekadar status istri. Ia adalah manusia. Perempuan. Yang tahu kapan harus bertahan, dan kapan harus melepaskan—bahkan jika hatinya masih berdegup karena cinta pada pria itu.

Kinan membuka laci meja rias satu per satu. Tangannya menyentuh satu kotak kecil beludru biru—kotak cincin lamaran. Cincin itu masih di dalam. Masih bersih. Masih berkilau. Tapi hari ini... cahayanya menyakitkan matanya.

Ia melepas cincin itu dari jarinya perlahan-lahan, seperti melepaskan bagian terakhir dari dirinya yang masih percaya bahwa cinta bisa melawan segalanya. Kotak itu ia peluk sekali, sebelum ia tutup dan tinggalkan di atas meja. Ia tidak membawanya. Ia tidak bisa membawanya.

Kamar ini... rumah ini... semua terasa seperti museum kenangan. Dan Kinan... hanya salah satu artefaknya.

Sebelum keluar, ia memutar tubuhnya, memandangi ruangan itu sekali lagi. Tirai putih yang pernah mereka pasang bersama. Kursi malas tempat Isaac suka membaca sambil menyandarkan kepalanya di pangkuan Kinan. Karpet tempat ia tertidur saat mereka bertengkar dan Isaac menariknya masuk kembali ke pelukannya.

Kini tak ada pelukan. Tak ada pangkuan. Tak ada Isaac.

Kinan melangkah ke ruang tamu. Di sana, di pojok rak, masih ada satu foto pernikahan mereka. Ia dalam gaun putih, Isaac mencium keningnya dengan senyum damai. Ia menyentuh bingkai itu, lalu menarik napas panjang. Sekilas, ia ingin membawanya. Tapi untuk apa? Kenangan seindah itu kini hanya akan menyakiti.

Ia memalingkan wajah. Menarik napas sekali lagi. Memaksa kakinya melangkah menuju pintu depan.

Tangannya sudah menyentuh gagang pintu ketika suara itu terdengar dari belakangnya.

“Maaf…”

Suara Isaac. Lirih. Tertahan. Tapi Kinan tak menoleh. Ia terlalu lelah. Terlalu hancur untuk berharap lagi. Karena maaf bukanlah jawaban. Maaf tidak akan mengubah kenyataan bahwa ia kalah. Ia dibuang. Ia ditukar demi garis darah.

“Kalau kamu masih mencintaiku,” ucap Kinan tanpa menoleh, “kamu tidak akan membuatku berdiri di ambang pintu dengan koper di tangan dan luka di dada.”

Ia membuka pintu, dan angin dingin menyambutnya. Langit di luar sudah mulai gelap. Tapi setidaknya... Kinan tahu malam ini ia bebas. Bukan dari pernikahan—tapi dari penantian panjang atas cinta yang tak lagi diberikan.

Langkahnya ringan, meski dadanya berat. Air matanya jatuh, tapi bukan karena ia lemah.

Ia menangis, karena ia berani memilih dirinya sendiri.

Di luar, malam begitu sunyi. Langit tampak menggantung rendah, seolah ikut merunduk menatap perempuan yang berdiri dengan mata basah dan koper di tangan.

Angin menggesek dedaunan, membawa aroma tanah basah yang samar—dan dingin. Dingin sekali. Tapi bukan jenis dingin yang menusuk kulit. Ini dingin yang menyentuh hati. Lampu jalan di ujung gerbang berkedip lemah. Cahaya kuningnya jatuh ke wajah Kinan, memantulkan bayangan rapuh di atas paving basah.

Taksi sudah menunggu di depan pagar, mesin menyala pelan, dengan sopir tua yang menatap ke arahnya lewat kaca spion. Ia tidak turun. Tidak memanggil. Hanya menunggu—seperti waktu yang tahu tak bisa memaksa.

Langkah Kinan terasa berat. Setiap tarikan koper di trotoar seperti mengguratkan suara perpisahan di udara. Rumah di belakangnya masih menyala di beberapa sudut. Tapi tak ada jendela yang terbuka. Tak ada pintu yang bergerak. Isaac tidak berdiri di sana. Ia tidak keluar. Tidak berteriak. Tidak lari mengejarnya seperti di film-film.

Ia membiarkan Kinan pergi.

Kinan membuka pintu taksi dengan tangan gemetar. Koper ia angkat masuk, lalu ia menyusul duduk di kursi belakang. Bau interior plastik tua dan pengharum mobil bercampur dalam udara yang sesak.

"Ke mana, Bu?" tanya sopir itu, suaranya pelan, mungkin karena melihat wajah Kinan yang kusut.

Ia tidak menjawab. Bibirnya terbuka, tapi yang keluar hanya napas panjang dan gemetar.

Ke mana, ya?

Ia tak tahu. Ia hanya tahu ia harus pergi. Keluar dari rumah itu. Keluar dari perasaan itu. Keluar dari dirinya yang terus-terusan menunggu dipilih padahal sudah ditinggal sejak lama.

“Arah stasiun saja dulu, Pak,” ucapnya akhirnya, pelan. Suaranya pecah. Ia memalingkan wajah ke jendela sebelum sopir itu bisa melihat air matanya jatuh lagi.

Mobil mulai melaju perlahan. Dan Kinan tidak menoleh ke belakang. Tidak ingin tahu apakah pintu rumah itu akhirnya terbuka. Karena jika ia menoleh... ia tahu, ia akan hancur lagi.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
HannaaaChan
Suami dakjal
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Mandul: Cinta Yang Dikhianati   Bab 16: Lamaran Monika

    Ruang aula hotel sore itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilau, memantulkan warna keemasan ke segala arah. Tamu undangan yang terdiri dari kerabat dekat keluarga besar Isaac sudah memenuhi kursi-kursi yang disusun rapi. Di meja depan, tersaji aneka hidangan mewah, lengkap dengan rangkaian bunga mawar putih dan lilin tinggi yang menyala tenang.Dari luar, semuanya tampak sempurna. Senyum, tawa, bisikan kagum—sebuah acara lamaran yang sederhana namun elegan.Namun, di tengah gegap gempita itu, Isaac duduk dengan wajah datar. Jas hitamnya jatuh sempurna, dasinya terikat rapi, tubuhnya tegap. Tetapi matanya kosong, bibirnya tertutup rapat, seolah ia hadir di sana hanya sebagai patung hidup yang sedang dipamerkan.Monika, calon pengantinnya, duduk di sampingnya. Wajahnya sedikit merona karena gugup, jemarinya bergetar saat memegang lipatan gaunnya. Dalam hati ia masih memikirkan satu hal: Isaac belum benar-benar bercerai dari Kinan. Bayangan itu menghantui, menimbulkan resah. Namun,

  • Mandul: Cinta Yang Dikhianati   Bab 15: Malam Sebelum Lamaran

    Kamar Isaac malam itu sunyi, hanya ditemani cahaya lampu meja yang temaram. Di atas nakas, segelas air sudah setengah basi karena tidak pernah disentuh. Isaac duduk di tepi ranjangnya, bahunya luruh, wajahnya menunduk menatap lantai seolah di sana ada jawaban yang ia cari. Besok adalah hari lamaran yang diatur ibunya. Besok ia akan duduk berdampingan dengan Monika, perempuan yang bahkan tidak pernah ia cintai.Namun, malam itu, sebelum segala sesuatu yang dipaksakan benar-benar terjadi, pintu kamarnya terbuka. Dira berdiri di ambang pintu dengan wajah merah karena emosi. Ia tidak peduli lagi bahwa semua orang di rumah bisa mendengarnya.“Mas...” suara Dira serak, tertahan amarah. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya besok? Apa kamu benar-benar akan mengkhianati Kinan dengan cara sekeji ini?”Isaac mengangkat kepalanya, matanya kosong. Tidak ada amarah, tidak ada senyum, hanya kehampaan yang membuat Dira semakin panas.“Kamu tahu, Mas, Kinan masuk rumah sakit minggu lalu!” suara Dir

  • Mandul: Cinta Yang Dikhianati   Bab 14 – Saat Tubuh Itu Menyerah

    Apartemen itu gelap dan pengap ketika Dira mendorong pintu masuk dengan kunci cadangan yang ia simpan. Bau lembap dan debu menyambutnya, bercampur dengan aroma basi dari makanan yang tidak disentuh di meja makan. Tirai jendela tetap tertutup rapat, menahan cahaya matahari yang seharusnya menyingkirkan kelam. Dira melangkah dengan hati berdebar, panggilan teleponnya pada Kinan sudah berhari-hari tidak dijawab, dan instingnya berteriak bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.“Kinan?” panggilnya pelan, suaranya menggema di ruang tamu yang kosong. Tidak ada jawaban.Dira menyingkirkan beberapa pakaian yang berserakan di lantai, melangkah cepat ke arah kamar. Pintu itu terbuka sedikit, menampakkan bayangan di dalam. Saat ia mendorongnya lebih lebar, jantungnya seakan berhenti.Kinan terbaring meringkuk di ranjang, tubuhnya tampak kecil, wajahnya pucat, bibirnya kering. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis, dan selimut kusut menutupi sebagian tubuhnya. Mata Kinan tertutup,

  • Mandul: Cinta Yang Dikhianati   Bab 13 – Diam yang Membunuh

    Dua bulan telah berlalu sejak malam itu—malam di mana koper merah tua menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Dua bulan sejak Kinan melangkah keluar dari rumah yang pernah ia sebut rumahnya, meninggalkan semua kenangan, doa, dan cinta yang ia tabung selama lima tahun. Dua bulan sejak ia menutup pintu dengan air mata, berharap itu bukan penutup melainkan jeda.Kini ia duduk di tepi ranjang apartemen lamanya, tubuhnya kurus, bahunya ringkih, wajahnya pucat. Tirai jendela tetap tertutup rapat, cahaya matahari hanya menembus samar-samar, menciptakan bayangan kelabu yang menempel pada dinding kamar. Waktu baginya kehilangan makna. Pagi dan malam hanyalah pergantian warna di langit yang tak lagi ia hiraukan.Ia masih menunggu.Setiap bunyi notifikasi di telepon genggamnya membuat jantungnya berdegup. Ia berharap nama Isaac muncul di layar—sekadar sebuah pesan singkat, “Kinan, pulanglah.” Atau sebuah panggilan, suara yang dulu menjadi penenang malam-malamnya. Namun setiap kali layar menyala, y

  • Mandul: Cinta Yang Dikhianati   Bab 12 - Tuntutan Kedua

    Ruang tamu rumah ibu Isaac malam itu dipenuhi aroma teh melati yang baru saja diseduh. Cangkir-cangkir porselen berderet rapi di meja rendah, dan piring kecil berisi kue-kue basah sudah setengah kosong. Pertemuan dengan keluarga Monika baru saja usai. Wanita muda itu pulang bersama orang tuanya dengan wajah manis penuh harapan, meninggalkan kesan yang bagi banyak orang pasti menyenangkan. Namun bagi Isaac, pertemuan itu terasa seperti jerat yang semakin menutup lehernya.Ia duduk bersandar di sofa, tubuhnya kaku, wajahnya letih. Jarinya mengetuk pelan pada sandaran kursi, menahan gejolak yang sejak tadi mendesak dari dalam. Pandangannya kosong, seolah tidak benar-benar hadir di ruangan itu.Ibunya duduk di seberang, tegap dengan kebaya sederhana, wajahnya penuh wibawa. Senyum tipis masih bertahan di bibirnya, senyum yang bagi orang lain tampak lembut, tetapi bagi Isaac terasa seperti belati. Suaranya terdengar pelan, penuh kesabaran, namun setiap katanya menusuk.“Isaac,” ucap ibunya,

  • Mandul: Cinta Yang Dikhianati   Bab 11 – Antara Ibu dan Kinan

    Sejak Kinan meninggalkan rumah, keheningan menjadi penghuni utama setiap ruangan. Isaac berjalan di lorong yang sama setiap hari, membuka pintu kamar yang kini terasa terlalu luas, menyalakan lampu yang seolah hanya menyoroti kesepian. Tidak ada lagi aroma masakan yang menyambutnya, tidak ada suara langkah ringan, tidak ada tawa lembut yang dulu sering memecah keheningan. Yang tersisa hanyalah kenangan yang terus berputar di kepalanya, semakin menjerat setiap kali ia berusaha melupakan.Ia duduk di kursi ruang makan malam itu, menatap gelas kosong di depannya. Tangannya bergetar, rahangnya mengeras. Ia masih mencintai Kinan. Itu kebenaran yang tidak bisa ia sangkal, meski seribu alasan mencoba menentangnya. Ia mencintai perempuan itu dengan segala yang ia punya, dan justru karena itulah luka ini semakin dalam.Namun bersamaan dengan cinta, ada suara lain yang terus berbisik: suara ibunya, suara keluarga besar, suara tuntutan yang menekannya tanpa henti. Seorang laki-laki harus meningg

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status