Share

Bab 3. Gejolak Yang Kembali

Jemari mungil Aurelia saling terpaut di antara jemari Rafa, yang lebih besar dan terasa lumayan kasar.

Kaki mereka seirama melangkah menyusuri keramik Botani Square.

Sudah dua bulan Rafa mulai bekerja di pemerintahan Kota Bogor. Aurelia pun menyusulnya ke sana karena tanggal merah sudah tiba sejak hari jumat kemarin. Ini adalah kesempatannya melepas rindu dengan sang kekasih. Saat itu mereka belum menikah.

Tiba-tiba kaki Rafa mengajak masuk ke sebuah toko perhiasan yang cabangnya sudah tersebar hampir di seluruh kota besar Indonesia itu.

Namun kaki Aurel malah berhenti melangkah di pintu masuk. Wanita berbibir mungil itu menatapi ruangan yang sangat terang itu dengan kening mengernyit.

Rafa, yang sudah masuk beberapa langkah, kembali ke arah kedatangan, menjemput pemilik hatinya yang malah berdiri dalam diam.

“Ayo,” ajaknya seraya meraih jemari yang tadi terlepas dari genggamannya itu.

Dalam satu hentakan kecil, tubuh Aurel pun sepenuhnya mengikuti langkah Rafa. Tidak ada penolakan lagi walaupun wajah Aurel masih terlihat bingung.

“Kamu boleh pilih yang mana aja.”

Aurel tercengang menatap Rafa. “Maksudnya?!”

“Pilih yang kamu suka, cincin tunangan kita,” jawab Rafa. Lalu, demi menyembunyikan pipinya yang memerah, dia berjalan duluan mengitari etalase.

“Tunangan?!” tanya Aurel hampir berteriak. Untungnya sempat dia tahan. Itu saja dua orang pegawai yang berada di dekat mereka langsung menoleh ke arahnya.

Aurel berusaha mengejar Rafa, tetapi lelaki itu sudah berada di ujung lain etalase.

Rafa mengangkat alisnya dua kali sambil tersenyum jahil. “Janji aku untuk menikahi kamu waktu kelulusan dulu, perlahan, mulai hari ini akan aku tepati.”

Kedua sudut bibir Aurel tertarik. Kini, jemarinya mendekat ke etalase. “Jadi, aku bisa milih sendiri cincin seperti apa yang aku mau?”

Rafa pun berdiri di sisi kekasihnya. “Iya, terserah kamu.”

“Cincin yang harus kamu pertahankan di jari manis ini.” Rafa menunjuk bagian kiri jari manis kekasihnya itu.

Sekarang, di masa ini, Aurelia menggenggam jemarinya erat tatkala Rafa melihat ke arah sana.

Ya, yang di depannya ini benar Rafa, kan? Sorot mata teduh itu sudah dipastikan milik Rafa. Lalu, tubuh tinggi, serta betisnya yang dipenuhi rambut halus itu memang benar milik lelaki yang pernah hidup serumah dengannya. Mereka sudah lama berpisah, tapi Aurel masih ingat setiap jengkal tubuh mantan suaminya itu.

‘Sedang apa dia di sini?’ benak Aurel benar-benar bingung kenapa harus bertemu Rafa di rumah ini.

Sebenarnya, Rafa juga tengah memikirkan hal yang sama. ‘Apa yang tengah dilakukan mantan istriku itu di depan rumah ini? Bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di sini? Setelah bertahun-tahun, lantas kenapa baru muncul sekarang?’

Rafa ingin sekali menghapus pikirannya yang mulai bercabang-cabang. Karena dia sangat mengenal Aurel. Tidak mungkin kedatangannya kemari hanya untuk menghancurkan rumah tangganya. Atau, itu bisa saja terjadi?

Rafa menggeleng pelan. ‘Ngga mungkin Lia sepicik itu. Aku tahu betul kalau dia ngga suka segala sesuatu yang rumit dan melelahkan seperti itu.’

“Ada siapa, Mas?” Terdengar suara seorang wanita dari arah dalam. Sepertinya Aurel juga bisa mendengarnya, karena manik matanya tertuju ke arah belakang Rafa.

Rafa terlihat terkejut. Dia baru menoleh, tapi sosok itu sudah muncul di sisinya.

Seorang wanita berhijab biru gelap berdiri mendahului Rafa. “Siapa?” bisiknya pada sang suami.

Rafa hendak menjawab, tapi malah disikut oleh istrinya.

“Maaf, mau cari siapa, ya Mbaknya ini?” tanya wanita itu dengan nada lembut juga senyum yang ramah.

Rafa menatap tajam ke arah Aurel. Jantungnya berdegup kencang, takut akan setiap kata yang bakal keluar dari mulut mantan istrinya itu. Dalam hati dia berdoa, semoga Aurel tidak mengungkit tentang masa lalu mereka.

Aurel tertawa canggung. Jemarinya melipat kacamata hitamnya. Dia menatap Rafa, tersenyum penuh arti.

Rafa menggeleng pelan. Lewat matanya yang melotot garang, Rafa melarang Aurel menjawab pertanyaan sang istri.

Wanita berhijab biru itu mengernyitkan keningnya. Dia merasa kalau Aurel tengah berbincang dengan suaminya. Dia pun menoleh, tapi Rafa terlihat menengok ke arah lain.

“Saya mau cari Fathan,” jawab Aurel. “Kalau bener ini rumahnya, sih.” Dia sudah siap untuk pergi dari sini.

“Oh, Fathan,” ujar wanita itu.

Rafa mengernyitkan keningnya, bingung. ‘Fathan?!’

Mata Aurel mendelik. ‘Jadi, bener ini rumah Fathan? Padahal, aku berharap sebaliknya.’ Tatapannya kemudian berhenti pada Rafa, yang terlihat bingung.

Wanita berhijab biru tadi melihat ke arah dalam. “Fathan lagi sakit,” jawabnya kemudian.

“Iya. Makanya, Saya bawain roti kesu....”

“Bawa masuk aja,” ajak wanita itu sambil membentangkan tangan kanannya ke arah rumah, mempersilakan Aurel masuk.

“Hah? Apa?!” Aurel jadi terkaget-kaget sendiri dengan ajakan yang tak disangka itu. Niatnya hanya mau membawakan roti ini. Maksudnya, biar disambut saja sementara dirinya langsung pergi.

“Mas!” Wanita itu menepuk lengan Rafa, yang tersentak karena masih kaget akan kedatangan Aurel, terlebih lagi malah nyariin Fathan.

“Apa, Ma?” rengeknya.

“Melamun aja. Ambilin atuh rotinya. Kasihan keberatan.”

Rafa menatap plastik putih yang tidak terlihat terlalu berat itu, lalu pada Aurel, yang juga sedang menatapnya. Lantas, keduanya tertawa canggung.

“Sini, biar Saya bawakan,” tawar Rafa bersikap seolah tak mengenal Aurel.

“Oh, ngga usah. Bisa Saya bawa, kok.” Bak gayung bersambut, Aurel juga meneruskan sandiwara Rafa.

Tapi, Rafa tidak mendengarkan jawaban itu. Dia mengambil plastik itu dari tangan Aurel. Jemari mereka sempat saling bersentuhan, namun Aurel menariknya cepat.

“Silakan masuk,” ucap Rafa sambil menunjuk ke arah dalam.

Aurel ingin menoyor kepala Rafa. Dia yakin sekali kalau lelaki itu memikirkan hal yang sama dengannya. Ingin dirinya cepat pergi dari sini, bukannya malah masuk rumah.

Tapi, sepertinya Aurel tidak bisa menolak. Diliriknya wanita berhijab biru itu yang ditebak Aurel memiliki kekuasaan teratas di rumah ini.

“Saya masuk dulu,” pamit Aurel.

Wanita berhijab biru itu tersenyum lebar dengan sorot mata berbinar. Dia mengangguk pelan seraya terus menatapi ke arah kepergian Aurel.

Aurel pun melangkahkan kakinya ke arah dalam, menyusuri lorong rumah yang terbuat dari dinding kaca. Benar dugaannya kalau rumah ini luar biasa besar. Buktinya, lorong kaca ini terasa sangat panjang baginya.

Manik mata Aurel melihat Rafa dari sudut mata. Dia tahu kalau lelaki itu berada tepat di belakangnya, mengekori setiap langkahnya.

Entah kenapa, jantung Aurel seolah tengah berontak dari tempatnya. Aurel berusaha tetap berjalan santai seperti biasa. Dia tidak mau Rafa memergoki kekalutan hatinya.

Sementara itu, Rafa memperhatikan punggung Aurelia. Dia memegang dada kirinya. Entah kenapa, jantungnya terasa bergejolak hebat. Perasaan yang sama setiap kali dia menatap Aurelia, dulu, ketika mereka masih menjalin kasih.

Jadi, kini gejolak itu kembali? Ketika mereka bertemu lagi? Ketika mereka memiliki ikatan dengan orang lain?

Bersambung ...

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
brengsek beneran nih kalau sqmpai ninggalin istri dan kembali mengejar mantan
goodnovel comment avatar
lutfi08
ingat rafa kalian punya kehidupan masing-masing
goodnovel comment avatar
Megarita
waduuhhh, ingat Rafa, cinta kalian telah usai............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status