Jemari mungil Aurelia saling terpaut di antara jemari Rafa, yang lebih besar dan terasa lumayan kasar.
Kaki mereka seirama melangkah menyusuri keramik Botani Square.Sudah dua bulan Rafa mulai bekerja di pemerintahan Kota Bogor. Aurelia pun menyusulnya ke sana karena tanggal merah sudah tiba sejak hari jumat kemarin. Ini adalah kesempatannya melepas rindu dengan sang kekasih. Saat itu mereka belum menikah.Tiba-tiba kaki Rafa mengajak masuk ke sebuah toko perhiasan yang cabangnya sudah tersebar hampir di seluruh kota besar Indonesia itu.Namun kaki Aurel malah berhenti melangkah di pintu masuk. Wanita berbibir mungil itu menatapi ruangan yang sangat terang itu dengan kening mengernyit.Rafa, yang sudah masuk beberapa langkah, kembali ke arah kedatangan, menjemput pemilik hatinya yang malah berdiri dalam diam.“Ayo,” ajaknya seraya meraih jemari yang tadi terlepas dari genggamannya itu.Dalam satu hentakan kecil, tubuh Aurel pun sepenuhnya mengikuti langkah Rafa. Tidak ada penolakan lagi walaupun wajah Aurel masih terlihat bingung.“Kamu boleh pilih yang mana aja.”Aurel tercengang menatap Rafa. “Maksudnya?!”“Pilih yang kamu suka, cincin tunangan kita,” jawab Rafa. Lalu, demi menyembunyikan pipinya yang memerah, dia berjalan duluan mengitari etalase.“Tunangan?!” tanya Aurel hampir berteriak. Untungnya sempat dia tahan. Itu saja dua orang pegawai yang berada di dekat mereka langsung menoleh ke arahnya.Aurel berusaha mengejar Rafa, tetapi lelaki itu sudah berada di ujung lain etalase.Rafa mengangkat alisnya dua kali sambil tersenyum jahil. “Janji aku untuk menikahi kamu waktu kelulusan dulu, perlahan, mulai hari ini akan aku tepati.”Kedua sudut bibir Aurel tertarik. Kini, jemarinya mendekat ke etalase. “Jadi, aku bisa milih sendiri cincin seperti apa yang aku mau?”Rafa pun berdiri di sisi kekasihnya. “Iya, terserah kamu.”“Cincin yang harus kamu pertahankan di jari manis ini.” Rafa menunjuk bagian kiri jari manis kekasihnya itu.Sekarang, di masa ini, Aurelia menggenggam jemarinya erat tatkala Rafa melihat ke arah sana.Ya, yang di depannya ini benar Rafa, kan? Sorot mata teduh itu sudah dipastikan milik Rafa. Lalu, tubuh tinggi, serta betisnya yang dipenuhi rambut halus itu memang benar milik lelaki yang pernah hidup serumah dengannya. Mereka sudah lama berpisah, tapi Aurel masih ingat setiap jengkal tubuh mantan suaminya itu.‘Sedang apa dia di sini?’ benak Aurel benar-benar bingung kenapa harus bertemu Rafa di rumah ini.Sebenarnya, Rafa juga tengah memikirkan hal yang sama. ‘Apa yang tengah dilakukan mantan istriku itu di depan rumah ini? Bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di sini? Setelah bertahun-tahun, lantas kenapa baru muncul sekarang?’Rafa ingin sekali menghapus pikirannya yang mulai bercabang-cabang. Karena dia sangat mengenal Aurel. Tidak mungkin kedatangannya kemari hanya untuk menghancurkan rumah tangganya. Atau, itu bisa saja terjadi?Rafa menggeleng pelan. ‘Ngga mungkin Lia sepicik itu. Aku tahu betul kalau dia ngga suka segala sesuatu yang rumit dan melelahkan seperti itu.’“Ada siapa, Mas?” Terdengar suara seorang wanita dari arah dalam. Sepertinya Aurel juga bisa mendengarnya, karena manik matanya tertuju ke arah belakang Rafa.Rafa terlihat terkejut. Dia baru menoleh, tapi sosok itu sudah muncul di sisinya.Seorang wanita berhijab biru gelap berdiri mendahului Rafa. “Siapa?” bisiknya pada sang suami.Rafa hendak menjawab, tapi malah disikut oleh istrinya.“Maaf, mau cari siapa, ya Mbaknya ini?” tanya wanita itu dengan nada lembut juga senyum yang ramah.Rafa menatap tajam ke arah Aurel. Jantungnya berdegup kencang, takut akan setiap kata yang bakal keluar dari mulut mantan istrinya itu. Dalam hati dia berdoa, semoga Aurel tidak mengungkit tentang masa lalu mereka.Aurel tertawa canggung. Jemarinya melipat kacamata hitamnya. Dia menatap Rafa, tersenyum penuh arti.Rafa menggeleng pelan. Lewat matanya yang melotot garang, Rafa melarang Aurel menjawab pertanyaan sang istri.Wanita berhijab biru itu mengernyitkan keningnya. Dia merasa kalau Aurel tengah berbincang dengan suaminya. Dia pun menoleh, tapi Rafa terlihat menengok ke arah lain.“Saya mau cari Fathan,” jawab Aurel. “Kalau bener ini rumahnya, sih.” Dia sudah siap untuk pergi dari sini.“Oh, Fathan,” ujar wanita itu.Rafa mengernyitkan keningnya, bingung. ‘Fathan?!’Mata Aurel mendelik. ‘Jadi, bener ini rumah Fathan? Padahal, aku berharap sebaliknya.’ Tatapannya kemudian berhenti pada Rafa, yang terlihat bingung.Wanita berhijab biru tadi melihat ke arah dalam. “Fathan lagi sakit,” jawabnya kemudian.“Iya. Makanya, Saya bawain roti kesu....”“Bawa masuk aja,” ajak wanita itu sambil membentangkan tangan kanannya ke arah rumah, mempersilakan Aurel masuk.“Hah? Apa?!” Aurel jadi terkaget-kaget sendiri dengan ajakan yang tak disangka itu. Niatnya hanya mau membawakan roti ini. Maksudnya, biar disambut saja sementara dirinya langsung pergi.“Mas!” Wanita itu menepuk lengan Rafa, yang tersentak karena masih kaget akan kedatangan Aurel, terlebih lagi malah nyariin Fathan.“Apa, Ma?” rengeknya.“Melamun aja. Ambilin atuh rotinya. Kasihan keberatan.”Rafa menatap plastik putih yang tidak terlihat terlalu berat itu, lalu pada Aurel, yang juga sedang menatapnya. Lantas, keduanya tertawa canggung.“Sini, biar Saya bawakan,” tawar Rafa bersikap seolah tak mengenal Aurel.“Oh, ngga usah. Bisa Saya bawa, kok.” Bak gayung bersambut, Aurel juga meneruskan sandiwara Rafa.Tapi, Rafa tidak mendengarkan jawaban itu. Dia mengambil plastik itu dari tangan Aurel. Jemari mereka sempat saling bersentuhan, namun Aurel menariknya cepat.“Silakan masuk,” ucap Rafa sambil menunjuk ke arah dalam.Aurel ingin menoyor kepala Rafa. Dia yakin sekali kalau lelaki itu memikirkan hal yang sama dengannya. Ingin dirinya cepat pergi dari sini, bukannya malah masuk rumah.Tapi, sepertinya Aurel tidak bisa menolak. Diliriknya wanita berhijab biru itu yang ditebak Aurel memiliki kekuasaan teratas di rumah ini.“Saya masuk dulu,” pamit Aurel.Wanita berhijab biru itu tersenyum lebar dengan sorot mata berbinar. Dia mengangguk pelan seraya terus menatapi ke arah kepergian Aurel.Aurel pun melangkahkan kakinya ke arah dalam, menyusuri lorong rumah yang terbuat dari dinding kaca. Benar dugaannya kalau rumah ini luar biasa besar. Buktinya, lorong kaca ini terasa sangat panjang baginya.Manik mata Aurel melihat Rafa dari sudut mata. Dia tahu kalau lelaki itu berada tepat di belakangnya, mengekori setiap langkahnya.Entah kenapa, jantung Aurel seolah tengah berontak dari tempatnya. Aurel berusaha tetap berjalan santai seperti biasa. Dia tidak mau Rafa memergoki kekalutan hatinya.Sementara itu, Rafa memperhatikan punggung Aurelia. Dia memegang dada kirinya. Entah kenapa, jantungnya terasa bergejolak hebat. Perasaan yang sama setiap kali dia menatap Aurelia, dulu, ketika mereka masih menjalin kasih.Jadi, kini gejolak itu kembali? Ketika mereka bertemu lagi? Ketika mereka memiliki ikatan dengan orang lain?Bersambung ...Bunyi jemari mengetuk meja besi putih nan bundar terdengar begitu nyaring di telinga Shanum. Beberapa kali dia meringis akibat nyilu yang menyayat hatinya. Setelah berusaha menghindar, akhirnya Shanum beranikan diri melirik ke arah wanita cantik yang duduk di hadapannya. Dia tahu kalau wanita itu tidak melepaskan tatapan darinya sedari tadi, tapi Shanum tetap terkejut dan refleks mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bunyi ketukan menghilang karena Fania menarik tangannya. Kedua kakinya yang jenjang terekspos jelas ketika melipat kaki hingga rok span pendek sebatas lutut yang dikenakannya tertarik sampai paha. “Jadi, kamu anak dari wanita yang membuat Papa-ku sering bolak-balik ke Jogja,” gumamnya lebih ke sebuah tudingan. Seringainya muncul di akhir kalimat. Mata elangnya enggan melepaskan Shanum dari pandangan. Shanum meliriknya. “Aku ngga tahu tentang itu. Buktinya, aku ngga kenal Papa-nya Kakak.” “Tapi, Papa mengenalimu. Aku kira dulu dia punya anak lain selain kami kar
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid