Rafa memandangi punggung mantan istrinya itu. Masih sama seperti yang dulu, paling gaya berhijabnya yang berbeda. Dulu hijab segitiga tapi sekarang lebih ke pashmina. Jemari Rafa hendak menyentuh bahu Aurel. Dia ingin menyapanya sebelum ada yang melihat mereka.
Tiba-tiba Aurel menoleh, membuat Rafa kaget, lantas menghentikan langkahnya. Tidak lupa menarik jemarinya walaupun Aurel sempat melihatnya.Akan tetapi, Aurel tidak mempermasalahkan itu meskipun keningnya mengernyit jelas.“Ada apa?”“Ngga, itu ....”“Ada apa?” Wanita berhijab tadi tiba. Jemarinya sibuk menempelkan ponsel di telinga.“Ngga enak kalau Saya masuk. Saya cuma mau nganter kue aja.”“Iya, Ma. Biar kuenya aku anterin ke Fathan,” imbuh Rafa cepat. Ini kesempatannya untuk mempersilakan Aurel pulang. Entah kenapa benaknya merasakan sesuatu yang buruk jika mantan istrinya itu berlama-lama di rumah ini.Aurel membelalakkan matanya seraya menoleh pelan ke arah Rafa. ‘Ma? Mama? Wanita ini ....’Wanita berhijab itu menghampiri Aurel, lalu menggandeng tangannya. “Udah sampai sini. Tanggung kalau mau pulang. Yuk, ah.”Aurel terhenyak akan sentakan di lengannya. Mau tidak mau dia menuruti langkah wanita itu. Tapi, disempatkannya menatap Rafa untuk meminta pertolongan.Namun, Rafa mendelikkan bahunya. Dia sendiri tidak mampu berbuat apa-apa.“Silakan duduk,” ucap wanita itu. Jemarinya masih saja sibuk menempelkan ponsel di telinga. Sepertinya, panggilannya belum juga dijawab oleh si penerima.Aurel mengangguk, lalu duduk di sofa pink sedikit maroon itu. Tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan mata Rafa, yang tengah memperhatikannya.Aurelia pun tersenyum tipis. Sementara, Rafa yang merasa kepergok, hanya bisa tersenyum canggung.“Duh, kok ngga diangkat,” gerutu Davina. Nama Fathan tertera di layar ponselnya. Ini sudah mau panggilan ketiga, tapi tidak juga diterima panggilan itu. Tanpa rencana, manik matanya menemukan kecanggungan antara Aurel dan Rafa.Davina pun menghampiri Aurel. “Perkenalkan, Saya kakaknya Fathan, Davina,” ucapnya sambil menjulurkan tangan kanannya.Dengan sopan, Aurel berdiri dan menyambut tangan itu. Lantas, menjabatnya sebentar. “Saya Aurelia.” Dia melihat hidung bangir itu yang sangat mirip dengan Fathan.Davina menatap suaminya. “Kalau ini suami Saya, Rafa.”Mulanya Rafa hanya berdiri, tapi tersadar kalau harus melakukan hal yang sama, menjulurkan tangannya ke arah Aurel.‘Ah, ternyata sekarang kamu sudah berkeluarga lagi.’ Aurel pun menjabat tangan Rafa. Dia hendak menyebutkan namanya, tapi lelaki itu sudah menarik tangannya. Aurel ingin memberitahunya kalau sikap canggung Rafa itu terlalu kentara.Aurel terus melihat Rafa. Dia cukup kaget akan sikap acuh tak acuh itu. Sejak dia tiba tadi, belum sekalipun melihat senyuman Rafa. Ternyata, kini dia pandai bersandiwara.“Mas ke kamar dulu, ya,” pamit Rafa pelan.Davina menahan lengan suaminya. “Tunggu bentar. Temenin tamunya Fathan, aku mau lihat ke kamarnya bentar,” ucapnya sepelan mungkin supaya tidak terdengar oleh Aurel.Rafa baru mau menolak. Lagipula, mereka punya banyak asisten rumah tangga, tapi kenapa menjelang siang ini entah di mana mereka berada.Rafa menatap kembali Aurel, yang memalingkan muka.Aurel sengaja tidak melihat Rafa. Dia tidak mau malah membuat Rafa kian tidak enak hati.“Sebentar, ya. Saya check dulu Fathan,” pamit Davina.“Iya, Kak. Tapi ...” Ucapan Aurel terputus karena Davina sudah berlalu. Padahal, dia cuma mau menitipkan kue ini. Jadi, tidak perlu berlama-lama di ruangan luas ini tapi terasa mencekik lehernya.Aurelia melirik Rafa, yang juga diam-diam menatapnya. Ketika sorot mata bertemu, mereka sama-sama memalingkan muka.Rafa sudah mau membuka mulutnya, tapi langsung ditutupnya kembali. Jantungan berdegup cepat. Takut kalau tiba-tiba istrinya muncul di sini.Melihat Rafa membuka mulut, Aurel juga sudah siap mau menimpali. Tapi, dia langsung berpaling ketika Rafa diam kembali.“Apa kabar Bap ....”Aurel langsung bersemangat hendak menimpali ucapan Rafa. Tetapi, lagi-lagi, lelaki itu menutup mulutnya tiba-tiba.Itu semua tak lain karena kedatangan seorang perempuan hitam manis berambut cepol. Dia menyuguhkan empat cangkir. Asap teh kelihatan mengepul dari cangkir yang diletakkannya di atas meja kaca itu.“Kamu ke mana aja?” tanya Rafa kesal.Surtiwi ini salah satu asisten rumah tangga yang biasanya mudah dia temukan di sudut rumah ini, tapi kok tadi malah tidak kelihatan di mana-mana. Bel sudah berdenting sedari tadi, tidak ada satupun asisten rumah tangga yang muncul. Pas tidak dicariin saja, malah nongol.“Lah, kan Saya disuruh ibu beresin tanaman di belakang,” jawab Surtiwi tidak mau disalahkan. Dia merasa sudah bekerja sesuai instruksi, kok.Rafa pun manyun. “Kamu tahu dari mana ada tamu?”“Ibu yang nyuruh barusan, pas mau ke kamar Pak Fathan.”Rafa tidak berujar apa-apa lagi. Tangannya mengibas, menyuruh Surtiwi kembali ke posnya.Hening kembali mencekam ruangan itu sepeninggalan Surtiwi, meninggalkan Rafa dan Aurel hanya berdua lagi.“Kamu mau ...”Aurel kembali bersemangat menunggu kata-kata yang diucapkan Rafa. Tubuhnya sampai condong ke depan.“Maaf, nunggu lama.”Rafa kembali terdiam begitu mendengar suara dari istrinya, yang muncul di ruangan itu. Kepalanya langsung berpaling dari Aurel.Sementara itu, Aurel bisa memahami kenapa Rafa tidak menyelesaikan kalimatnya. Punggungnya kembali tegak, lantas bibirnya mengulaskan senyum manis ketika ada sosok lain muncul di belakang Davina.Dia sontak berdiri.Rafa sampai heran dibuatnya. Apalagi wajah Aurel yang tampak berbinar menyambut kedatangan orang itu.“Dia masih demam. Makanya, tiduran. Ngga denger kalau hapenya bunyi.”Aurel mengangguk. Dia tahu kalau Fathan sedang tidak enak badan. Tapi, tidak tahu kalau wajah lelaki itu bisa sepucat ini.Jemari Fathan melayang di udara, terarah pada Aurel. Seolah mengerti, Aurel lantas menangkap jemari itu dan memeluk lengan Fathan dengan erat.Alis kanan Rafa sampai terangkat melihat sikap Fathan dan Aurel, yang sangat dekat itu.Davina memergoki wajah kaget suaminya, lalu tertawa kecil. “Kenapa kaget, Mas? Ngga pernah lihat Fathan sama cewek berhijab, ya?”Rafa mengangkat dagunya tinggi, apalagi ketika Aurel ikut menatapnya. “Iya. Ini pertama kali Fathan bawa perempuan ke rumah ini, kan?”“Fathan ini sebenarnya ngga bisa bangun, tapi begitu Kakak bilang ada perempuan cantik bernama Aurelia, yang datang, dia langsung bangun.”Jemari Fathan beralih ke pinggang Aurel, mendekapnya lebih erat. “Iya. Karena pacarku yang datang, mana mungkin aku ngga menemuinya, Kak.”Bola mata Rafa sontak membulat. “Hah?! Pacar?!” serunya mengagetkan semua yang hadir di sana. Bahkan, Surtiwi yang ada di bagian samping rumah juga kaget mendengar seruan itu.Davina, Fathan, dan Aurel sontak menatap ke arah Rafa, yang masih tidak bisa menutupi rasa kagetnya.Kagetlah. Mantan istrinya ternyata pacar dari adik iparnya. Kok bisa?! Bisa-bisanya Fathan—sang pemain wanita ini menaruh hati pada Aurel. Karena setahunya Fathan hanya menyukai hubungan satu malam, tidak lebih daripada itu.Bersambung ...Bunyi jemari mengetuk meja besi putih nan bundar terdengar begitu nyaring di telinga Shanum. Beberapa kali dia meringis akibat nyilu yang menyayat hatinya. Setelah berusaha menghindar, akhirnya Shanum beranikan diri melirik ke arah wanita cantik yang duduk di hadapannya. Dia tahu kalau wanita itu tidak melepaskan tatapan darinya sedari tadi, tapi Shanum tetap terkejut dan refleks mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bunyi ketukan menghilang karena Fania menarik tangannya. Kedua kakinya yang jenjang terekspos jelas ketika melipat kaki hingga rok span pendek sebatas lutut yang dikenakannya tertarik sampai paha. “Jadi, kamu anak dari wanita yang membuat Papa-ku sering bolak-balik ke Jogja,” gumamnya lebih ke sebuah tudingan. Seringainya muncul di akhir kalimat. Mata elangnya enggan melepaskan Shanum dari pandangan. Shanum meliriknya. “Aku ngga tahu tentang itu. Buktinya, aku ngga kenal Papa-nya Kakak.” “Tapi, Papa mengenalimu. Aku kira dulu dia punya anak lain selain kami kar
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid