Share

Bab 2. Cinta Pertama

Masa-masa putih abu-abu sepertinya akan sangat membekas buat Aurelia. Terutama sejak memutuskan untuk menerima pernyataan cinta dari seorang lelaki bernama Rafa, yang tahun ini satu kelas dengannya. Bukan lelaki biasa, tapi seorang siswa paling ganteng yang sudah diperhatikannya sejak baru masuk dulu, juga seorang siswa yang selalu juara umum, atau paling teranyar adalah seorang siswa yang memenangkan juara debat bahasa inggris tingkat SMA se-DKI Jakarta.

“Abis SMA, kamu mau lanjut ke mana, Yang?” tanyanya suatu hari sambil menyantap chicken katsu.

Rafa menyenderkan punggung sambil melipat kedua tangan di dada. “Rencananya aku mau kuliah di ITB.”

Sontak saja Aurelia berhenti memegang garpu. Punggung dia hempas ke kursi, lantas membuang muka ke arah lain. “Itu artinya kita bakal pisah.”

Wajah Rafa berkerut bingung. “Hanya jarak, bukan berarti kita harus putus. Kenapa? Kamu ngga yakin dengan kekuatan cinta kita sampai ngga bisa mengalahkan rintangan jarak itu?”

Tatapan Aurelia terhenti pada sosok lelaki berkulit agak gelap, namun sangat manis itu. Sungguh, dia takut jika lelaki itu berpaling hati darinya. Masih ada dirinya di samping Rafa aja, banyak mata para wanita yang melirik ke arah mereka.

“Simpel saja, Lia. Jika dia memang ditakdirkan berjodoh denganmu, kalian akan bersama. Jika tidak, ya sudah. Kamu pasti punya jodohmu sendiri. Itu sudah digariskan sama Allah.” Aurelia jadi teringat akan nasihat dari ibunya kala dia menceritakan keinginan Rafa menuntut ilmu di kota lain.

Melihat Rafa di sore hari yang hampir gelap ini, berdiri seorang diri tanpa tertarik ikut corat-coret apalagi mendekat pada wanita lain, membuat Aurelia sangat yakin kalau lelaki itu bisa menjaga hatinya.

Karena itulah, Aurelia memutuskan untuk mengizinkannya meraih cita-cita yang diharapkan lelaki itu.

Seandainya mereka putus, Aurelia berharap hatinya sanggup menerima resiko itu.

Mulanya, Aurelia kira LDR-an itu bakal begitu sulit buat dijalani. Tapi, ternyata dia senyaman itu.

Dia bebas mau pergi dengan teman-temannya ke manapun. Aurelia sangat menikmati me time yang dijalaninya. Kalau kangen sama Rafa, ya tinggal telpon aja, sih. Untungnya Rafa juga orangnya tidak overprotektif. Jadi, Aurelia tidak ada beban apapun menjalani hari-harinya.

Karena fokus pada kuliahnya, Aurelia selesai kuliah tepat tiga tahun. Dia bekerja sebentar di sebuah bank swasta, sebelum akhirnya Rafa benar-benar melamarnya.

“Kamu yakin mau langsung menikah?” tanya Ibu kala itu, saat Aurelia mengutarakan niat Rafa hendak melamarnya.

Aurelia mengangguk mantap.

“Kalian sama-sama baru memulai kerja. Yakin kalau ngga mau menikmati hasilnya dulu? Menabung terlebih dahulu?”

“Bu, Lia mau menikmatinya bersama Rafa. Daripada kami pacaran terus, nanti kalau ujung-ujungnya ngga jadi, kan malu, Bu.”

“Terus, pekerjaan kamu gimana? Katanya Rafa penempatannya di Bogor,” tanya Lis seraya melirik suaminya, yang hanya diam. Diam-diam mendengarkan.

“Lia berhenti kerja, terus ikut Rafa ke Bogor.”

Wanita yang masih tampak segar meskipun tidak bisa menyembunyikan keriput di sekitar matanya itu hanya bisa menghembuskan napas. Kalau dilihat dari raut wajah anak perempuan satu-satunya itu, sepertinya keputusan ini sudah bulat.

Sukamto melirik keduanya, lantas mengangguk samar. Senyuman pun terkembang di wajah Aurelia.

Pernikahan antara Rafa dan Aurelia dilangsungkan satu tahun kemudian setelah lamaran. Dikarenakan Sukamto yang sedang sakit-sakitan, dan mencari waktu yang pas untuk diadakan pesta pernikahan.

Aurelia merasa menjadi wanita paling bahagia hari itu. Senyumnya tak pernah sirna dari wajah manisnya. Apalagi banyak teman-teman masa SMA-nya yang datang. Kebanyakan dari mereka salut ternyata hubungan Aurel dan Rafa bisa sampai ke pelaminan.

Sayangnya, senyuman itu ternyata hanya bertahan sebentar. Sejak dua tahun pernikahan dan juga belum dihadiahi momongan, kepercayaan diri Aurelia memudar.

Setiap kali mertua dan saudara iparnya datang ke Bogor, selalu yang ditanyakan adalah tentang anak. Sudah ada atau belum. Kalau belum, sudah berobat atau ikut program dokter tidak.

Hingga Aurelia tidak lagi menikmati nafkah batin yang diberikan oleh Rafa. Padahal, dulu dia selalu menanti dengan tak sabaran. Tapi kini, malah terasa seperti beban. Apakah akan berhasil atau tidak? Selalu itu yang terpikirkan.

Entahlah bagaimana perasaan Rafa kini padanya. Akankah dia menyadari perubahan sikap Aurelia? Entahlah. Aurelia tidak berani menanyakannya.

Hingga hari itu, sang suami mengungkapkan keinginannya untuk berpisah.

Bukan marah gejolak yang ada di dada Aurelia. Namun, lebih ke sebuah euforia dari sebuah kelegaan. Akhirnya, bisa lepas dari cengkraman kejenuhan ini.

Mereka memang berpisah baik-baik. Meskipun, sesekali Aurelia penasaran kabar terbaru Rafa. Sudah memiliki kekasihkah dia, atau justru menikmati kesendiriannya?

Akan tetapi, perlahan Aurelia juga hampir melupakan seperti apa sosok Rafa. Dia terlalu sibuk dengan toko roti yang dikelolanya. Cukup banyak peminat dan pengikutnya di media sosial juga lumayan.

Bahkan, Aurelia acap kali membuka kursus membuat cake yang selalu full kuota pesertanya.

Sampailah dia bertemu dengan Fathan, seorang dosen yang tak pernah absen datang setiap sore hanya untuk membeli roti.

Fathan yang pantang menyerah akhirnya berhasil membuka pintu hati Aurelia.

Hampir setengah tahun mereka menjalin hubungan yang serius. Yah, walaupun Fathan lebih muda dua tahun, tapi dia serius hendak membawa hubungan ini ke mana.

Aurelia tertawa pelan begitu mengetahui kalau Fathan masih tinggal di rumah orang tuanya. Padahal, lelaki 30 tahun itu sudah sangat mapan untuk memiliki rumah sendiri.

Hal ini baru diketahui Aurelia ketika hendak membawakan roti untuk sang kekasih yang katanya sakit beberapa hari ini.

Dan, yang lebih mengagetkannya lagi ternyata Fathan tinggal di salah satu perumahan elite di Menteng.

Aurelia dibuat terbengong berdiri di depan sebuah rumah berpagar panjang yang tiada habisnya dan tidak kelihatan ujungnya ini. Kepalanya menengadah melihat puncak rumah itu yang ada di lantai dua.

“Pantes aja Fathan masih betah tinggal di sini. Kamarnya aja mungkin segede rumahku,” komentar Aurelia sambil memperbaiki letak sunglasses-nya.

Dia menggelengkan kepala, menepuk pipinya pelan, lalu menekan bel yang ada di atas nomor rumah.

Ada suara seperti ‘klek’, bersamaan dengan pintu pagar yang terbuka. Aurelia pun mendorong pelan pintu pagar itu.

Dilihatnya kiri dan kanan, tidak ada siapa-siapa. Pos juga terlihat tidak ada orang.

Aurelia terus berjalan menuju pintu di antara pilar besar itu. Dia ingin mengetuk, tapi langsung menekan tombol bel lagi begitu melihatnya di samping pintu.

Mungkin sudah lebih dari satu menit, belum juga ada tanda-tanda kehadiran seseorang. Dia pun menekan bel lagi, siapa tahu yang tadi tidak kedengaran.

Aurelia menunggu dengan maklum. Dia memilih untuk menikmati pemandangan sambil berdiri di dekat pilar. Sesekali dilihatnya kantong kresek putih berlogokan roti-roti kecil bewarna merah, warna utama dari merk rotinya. ‘Fathan pasti suka banget sama bawaanku ini.’

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.

Aurelia pun bergegas menoleh. Senyumnya tiba-tiba memudar. Jemari yang memegang plastik mendadak terasa lemas.

Wajah panjang, masih kecoklatan seperti dulu, tapi brewok tipis memenuhi bagian telinga hingga dagunya. Ah, walau berubah seperti apapun, Aurelia akan tetap mengenalinya. Cinta pertama sekaligus suaminya terdahulu, “Rafa?!” seru benaknya sambil membuka kacamata hitamnya itu.

Bersambung ...

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Megarita
lho...masak aurelia gk tau pacaran sama mantan adik ipar, thor???
goodnovel comment avatar
Zetha Salvatore
wah wah wah, selamat reunian ya Rafa dan Aurelia haha
goodnovel comment avatar
Its Me
Cinta pertama emang nganu sih......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status