Share

Bab 6. Duda dan Janda

~~

“Aku seorang duda,” ucap Rafaizan malam itu.

Di antara macetnya kota Jakarta malam itu dalam perjalanan mereka pulang kembali ke Bekasi. Ya, mereka. Dia dan seorang wanita yang duduk di sisinya.

Box popcorn ukuran large dengan merk salah satu bioskop berada dalam pelukan wanita itu. Masih tersisa setengah dan tengah dalam proses dihabiskan oleh wanita itu.

Jemari yang tadi tidak berhenti memindah popcorn satu-persatu dari box ke dalam mulutnya, tiba-tiba berhenti. Manik matanya yang tadinya menatap lelaki yang sedang menyetir itu, beralih pada kendaraan yang mengantri di depan.

Seketika suara riuh di luar sana menyeruak masuk ke dalam mobil, meskipun samar. Tapi klakson juga deru kendaraan itu terdengar bising sekali.

Wanita itu dan Rafa sama-sama membungkam mulut. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Davina,” panggil Rafa memecah keheningan.

Davina menaikkan tangan kanannya. “Sebentar,” potongnya cepat. Sedangkan matanya tetap melihat ke depan. “Aku masih dalam proses mencerna pengakuan kamu barusan.”

Rafa menelan air ludah. Lantas, menuruti permintaan wanita berhijab itu. Dia tidak mengeluarkan suara lagi dan kembali fokus menyetir.

“Kita baru jadian sekitar dua minggu yang lalu dan sekarang kamu ngasih kabar yang benar-benar mengejutkan.”

“Kenapa? Mukaku ngga kelihatan kayak seorang duda, kan? Aku masih terlihat kayak anak kuliahan.” Deretan gigi Rafa yang rapi terlihat jelas saat dia tersenyum jahil seperti ini.

Davina langsung menatap sinis Rafa. Ya, sempat-sempatnya lelaki itu bercanda di tengah ketegangan ini.

“Sorry,” ucap Rafa lalu kembali melihat ke depan.

“Kamu sudah punya anak?”

Rafa menggeleng cepat. “Belum. Kami bercerai sebelum sempat dianugerahi momongan.”

“Jadi, kalian bercerai karena belum punya anak?”

“Itu ... bukan masalah utamanya. Tapi, bisa juga terma ....”

“Stop!” potong Davina lagi. Tangan kanannya kembali teracung ke atas.

Rafa langsung mengerem kalimatnya. Dia menoleh pada kekasihnya yang hanya satu tahun lebih tua darinya itu.

“Aku ngga peduli tentang itu. Alasan kamu bercerai dengan mantan istrimu. Ataupun, tentang siapa wanita itu, aku ngga mau tahu.” Davina pun menatap Rafa lekat.

Yang dilihatin malah kelihatan salting dan kurang nyaman. Bola mata Rafa berusaha menghindari tatapan Davina.

“Itu masa lalu kamu, Mas dan bukan urusanku. Yang terpenting sekarang adalah aku yang jadi masa depan kamu.” Tiba-tiba Davina merangkul lengan Rafa dan memamerkan senyuman lebarnya.

Mulanya Rafa risih akan sentuhan dari Davina itu, tapi kemudian bibirnya ikut tersenyum.

‘Aku memang ngga salah pilih. Davina bisa bersikap dewasa menghadapi ini.’

💐💐

“Sekarang aku akan jujur ke kamu kenapa selama ini selalu menghindar setiap kali kamu deketin aku.” Malam itu Aurel berbalik ketika sudah sampai di dekat mobilnya.

Dia jengah karena sosok Fathan bagai bayangan yang tidak diinginkan. Selalu saja muncul di depan toko rotinya, hampir setiap malam.Kalau tidak ada pas malam, pas siang dia datang membeli roti.

Yang membuat Aurel merasa risih adalah tatapan Fathan, yang menurutnya sangat nakal. Menatapnya dari kejauhan sambil tersenyum sendiri. Udah macam penguntit aja.

Orang mesum, sebutan yang Aurel selipkan setiap kali menemukan sosok Fathan di sekitar toko rotinya.

Dan, malam itu Aurel berniat melewati begitu saja sosok Fathan, sama seperti malam sebelumnya. Namun, entah dari mana datangnya, sebuah keberanian muncul di batin. Dia berbalik, lalu mendekati Fathan.

“Ya?” tanya Fathan masih tersenyum. Belum tahu, nih kalau Aurel itu jengah dengan tingkahnya.

“Aku seorang janda. Jadi, ngga seharusnya kamu terlihat terlalu obsesi gitu sama aku.”

Fathan mengernyitkan keningnya, menaikkan sebelah alisnya. “Memangnya kenapa kalau kamu janda? Apa itu artinya kamu ngga berhak dicintainya oleh seorang bujangan seperti aku?”

Mata Aurel mengerjap menatap lelaki di hadapannya itu. Speechless, ngga bisa berkata-kata mulutnya ini.

“Aku tahu kalau kamu seorang janda. Aku sempat mendengar kabar di sana-sini. Lalu, kenapa? Ngga ada yang salah dengan itu, 'kan? Kamu tetap seorang manusia, seorang wanita yang pantas untuk diperlakukan dengan baik.”

“Selalu hadir di sini dan membuat aku merasa terganggu, apa itu yang kamu maksud dengan perlakuan baik?” Aurel langsung berbalik setelah berujar demikian.

Sama seperti wajahnya yang rupawan, ternyata bibir Fathan juga pandai berkata manis. Dan, Aurel tidak akan semudah itu terpesona akan kata-katanya. Dia sudah terlalu sering mendengar gombalan seperti ini.

“Tunggu, Aurel,” panggil Fathan. Karena Aurel tidak berhenti, dia langsung menghadangnya.

Aurel pun menatapnya tajam. “Kenapa kamu ngga mau menyerah juga?! Masih banyak gadis perawan di luar sana yang lebih baik daripada aku. Dan, aku yakin kalau mereka ngga akan menolak pesona kamu. Mereka mungkin bakal menyembah kamu mati-matian.”

“Aku ngga peduli tentang mereka karena yang aku mau itu kamu.” Fathan masih pantang menyerah.

Aurel hanya bisa mendesah berat.

“Izinkan aku mencoba untuk menjadi masa depan kamu.”

Aurel menatap lelaki itu. Entah kenapa matanya mulai mengkristal. Sebenarnya dia sedikit banyak cukup merasa tersanjung akan sikap Fathan yang terbuka menunjukkan kasih sayangnya. Diakuinya pula kalau lelaki itu memang tampan. Gaya berpakaiannya mengenakan jas casual ini juga cukup keren di matanya.

Fathan maju selangkah. Jemarinya mengusap air mata yang jatuh di pipi Aurel.

Sama seperti hari itu, mata Aurel kembali mengkristal. Lagi-lagi, karena sikap jantan Fathan yang selalu di luar nalarnya.

“Tolong bantu aku melamar ke rumah orang tuanya. Karena aku serius mau menikahinya.” Setelah menatap lama Aurel, Fathan pun menoleh pada Rafa. “Orang tua kami sudah lama meninggal, mau kan Kak mewakilkan mereka melamar Aurel?”

Rafa menatap Davina, Fathan, lantas Aurel bergantian. Mulutnya terbuka, namun sulit untuk mengeluarkan kata. Lidahnya terasa kelu. Terlebih lagi saat menatap mata Aurel, yang terkesan sedih baginya.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status