Adelia tersadar dari pingsannya ia merasakan nyeri di daerah sekitar pelipis matanya. Setelah ia raba, rupanya sudah ada kain kasa yang menutupi lukanya. Rasa nyeri luka itu tak sesakit nyeri hatinya. Adrian, suaminya benar-benar telah berhasil menorehkan luka yang teramat dalam.
Matanya nanar menatap langit-langit rumah sakit. Tak ada yang menemaninya, ia masih ingat bagaimana Adrian mendorongnya hingga kepalanya terbentur ujung meja nakas sampai berdarah. Adelia kembali menangis dalam diamnya. Tidak dapat di pungkiri jika perlakuan Adrian membuatnya terluka begitu dalam. Tidak hanya secara fisik, batinnya juga. Terdengar pintu seakan di buka dari luar. Ya, siapa lagi dia adalah suami Adelia. Pria yang telah membuatnya berbaring di rumah sakit sekarang ini. "Bagaimana keadaanmu, ini aku bawakan makanan kesukaanmu," sapa Adrian sambil menaruh kresek yang berisi box makanan di atas nakas. Adelia menatap Adrian penuh permusuhan. Ingatannya masih segar, dimana Adrian telah mendorongnya dengan kejam. Dan Adelia membencinya. "Tidak usah sok baik. Kau hanya takut jika tindakanmu aku laporkan pada polisi, kan?" sindir Adelia. "Oh, polisi ... aku takut sekali." "Sayangnya tidak. Aku sama sekali tidak takut pada polisi. Lebih baik kau cemaskan saja orang tuamu. Mereka pasti akan terkejut jika pernikahan anaknya berantakan. Terutama ibumu, penyakit jantungnya bisa kumat. Dan ... setelah itu, kau sendiri yang lebih tahu jawabannya," kata Adrian seakan memperingatkan Adelia. "Kau ... benar-benar iblis!" tunjuk Adelia. Belum sembuh lukanya masih saja Adrian menambahkannya dengan perkataan yang menyakitkan. Padahal selama ini orang tuanya begitu percaya pada Adrian. "Sayang, sebaiknya kau makan dulu. Ingat, kau harus memulihkan tenagamu untuk melawanku. Atau ... untuk melayaniku. Hah, untung saja aku masih punya wanita cadangan lainnya." "Jadi, kalau yang satu sakit, aku bisa bercinta dengan satunya lagi, hahaha," tawa Adrian tanpa merasa bersalah. "Kau! Benar-benar bajingan!" Adelia hampir saja memukul Adrian, namun sayangnya tangannya terganggu dengan selang infus. "Aakh!" pekik Adelia. Tangannya berdarah karena jarum infusnya lepas. Kebetulan ada seorang suster lewat di depan pintu Adelia dan melihat kejadiannya. "Nyonya, kondisi Anda belum pulih. Tolong istirahatlah dulu," kata suster kembali membenarkan letak posisi selang infusnya. "Iya, suster. Padahal sudah ku bilang padanya untuk beristirahat. Tapi, ia bersikeras untuk pulang," kata Adrian pura-pura perhatian. "Tolong nasehati istrinya untuk bersabar, mungkin besok sudah bisa pulang karena tidak ada yang serius luka di bagian kepalanya," terang susternya. "Sayang, kamu bersabar dulu yah. Aku tahu, kamu selalu ingin mendampingiku," kata Adrian. Adelia rasanya ingin muntah hari itu juga mendengar perkataan Adrian yang terdengar memuakkan baginya. Ia hanya bisa merebahkan tubuhnya dan memilih untuk memejamkan matanya. Daripada harus bertarung olah kata dengan Adrian. Setelah suster itu pergi, Adelia membuka matanya. Rupanya Adrian masih berdiri memelototinya sambil bersedekap. "Aku tahu kamu tidak tidur. Tapi, aku yang baik hati ini akan memberimu kesempatan tidur hari ini. Karena besok kau sudah harus angkat kaki dari rumah sakit. Dan ... kurasa, untuk beberapa hari ini aku tidak pulang. Aku akan membiarkanmu beristirahat dengan baik," kata Adrian sembari keluar dari ruang rawat inap Adelia. Ingin sekali Adelia bangun dan mencekik Adrian sampai mati. Sayangnya, itu hanya terjadi dalam angan-angannya saja. Ia tahu kemana laki-laki itu akan pergi. Tentu saja menemui gundiknya. Adelia hanya bisa pasrah menerima perlakuan suaminya. Jika waktu boleh berputar, ingin sekali ia menolak lamaran Adrian waktu itu. Ya, andai saja. Tapi, semua angan-angan itu hanya sia-sia. Toh sekarang nasi sudah menjadi bubur. Waktu tidak bisa berulang kembali. Adelia hanya bisa menerima nasibnya. Esok harinya Adelia sedang mengemasi barangnya di rumah sakit. Tetap saja ia sendirian tanpa siapa pun yang menjemputnya. Ia tahu sekarang Adrian dimana dan kemana. Pasti di apartemen perempuan selingkuhannya. "Anda tidak menunggu suami dulu datang menjemput?" tanya suster. "Tidak sust, hari ini dia sedang ada rapat penting yang tidak bisa di tinggalkan," kata Adelia beralasan. "Oh, kalau begitu saya antarkan sampai pintu keluar," tawar suster. "Iya, terima kasih." Dalam hati Adelia memaki dirinya sendiri. Kenapa harus menutupi keberadaan suami brengseknya itu. Ia tahu dengan jelas dimana suaminya berada. Taksi yang membawa Adelia meluncur ke rumah kediamannya. Ia melihat rumahnya itu dengan tatapan nanar. Dulu rumah itu yang membawa kebahagiaan untuknya. Sekarang rumah itu pembawa kehancuran rumah tangganya. Bukan, yang salah suaminya. Hanya saja, Adelia merasa takut kembali ke rumah itu. "Tuan, sudah pulang, Mbok?" tanya Adelia. "Belum, Non. Tuan sedari kemarin belum pulang," kata Mbok Darsih. Wajah tuanya menatap Adelia dengan tatapan trenyuh. "Yang, sabar ya, Non," ucap Mbok Darsih pelan tapi Adelia masih bisa mendengarnya. "Terima kasih, Mbok atas perhatiannya." Adelia merangkul tubuh pelayannya itu. "Sudah, Non. Mari saya antar ke kamar untuk istirahat," tawar Mbok Darsih. "Iya, Mbok." Mbok Darsih memapah Adelia hingga sampai di kamarnya. "Saya tinggal dulu, Non. Saya akan siapkan makanan yang enak untuk Non," pamit Mbok Darsih. Adelia mengangguk pelan. Meskipun sebenarnya ia tidak ingin makan. Tapi, ia tak mau menolak kebaikan Mbok Darsih yang sudah susah-susah mau memasakkannya makanan. Pandangan Adelia menyeruak ke seluruh isi kamar. Tatapannya tertuju pada meja nakas. Waktu itu Adrian mendorongnya hingga terbentur meja nakas. Sungguh ironi sekali. Adelia menghela nafas beratnya. Kejadian akhir-akhir ini yang menimpanya sungguh di luar dugaannya. Adelia tidak sanggup jika harus memikulnya. Tetes-tetes air mata kembali berjatuhan. Luka harinya kembali menganga melihat foto pernikahan yang terpajang di kamarnya. Adelia tidak menyangka jika Adrian adalah sosok pria yang sangat kejam. Ia merasa tertipu. Ia bisa saja mengadukan kasus KDRTnya itu ke kantor polisi. Tapi, tentunya keluarganya akan malu. Rasa sakit yang di deritanya sekarang belum apa-apa di bandingkan dengan rasa sakit yang akan di rasakan kedua orang tuanya. Jika mereka tahu kondisi pernikahan putrinya. "Apa kabar sayangku, kau sudah pulang rupanya." Adrian tiba-tiba muncul dari balik pintu seperti hantu. Adelia menoleh ke belakang ke arah sumber suara. "Hei, kenapa tatapanmu seperti itu? Apakah kau merindukanku?" goda Adrian. Lelaki itu terus saja melangkah mendekat ke arah Adelia. "Berhenti kataku!" perintah Adelia. "Berhenti? Aku sangat merindukanmu sayang, bagaimana aku bisa berhenti. Salsa sedang datang bulan. Jadi, aku kemari menemuimu," terang Adrian. "Ooh, jadi karena perempuan jalang itu sedang datang bulan makanya kau kemari!" "Menjijikkan!" ledek Adelia. "Hei! Jangan hina Salsa!" "Kamu juga jalangku, kamu hanya bertugas melayaniku!" Adrian menindih tubuh Adelia. "Tap ... tapi, aku tidak mau, Mas. Aku tidak mau. Kau menjijikkan!" Percuma Adelia melawan Adrian sudah membungkam bibirnya dengan ciuman kasarnya. ---Bersambung---Ariska merasa Bian memang sengaja memilih tempat yang jauh dari perkotaan agar dirinya tidak kemana-mana."Sialan, ia mengurungku di sini. Mana aku tidak tahu jalan keluarnya," gumam Ariska.Ariska baru sadar, sekarang saja babak pertama dia sudah kalah dari Bian. Pria itu diam-diam mengambil langkah yang tak dapat di prediksinya. Bian tidak dapat di remehkan. Pria itu bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang di inginkannya.'Kamu pikir bisa menembus benteng pertahananku, jangan harap,' batin Ariska."Aku harap kau betah tinggal di sini selama sembilan bulan ke depan," kata Bian yang sudah muncul di ambang pintu."Kerasan atau tidak, bukan urusanmu. Yang penting kau tidak menjebakku di sini," sindir Arista."Menjebak? Yang benar saja. Mana mungkin, aku bisa menjebak Nina Ariska yang cerdas ini," kata Bian."Aah, tidak usah basa-basi. Pergilah, aku mau istirahat," usir Ariska."Aku tidak akan pergi sebelum kamu makan dulu, aku tidak ingin bayiku kurus nantinya," kata Bian.Baru
"Apa! Tidak, ini tidak mungkin!" pekik Arista melempar uji tes kehamilannya ke lantai. Ia tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. Memang akhir-akhir ini ia sering merasa kepalanya pusing, juga tidak enak badan. Kecurigaannya muncul karena ia sering muntah-muntah."Aku tidak mau hamil anak, Bian," tangis Arista. Ia benci pada suaminya itu. Tujuannya berhasil menggagalkan perceraian mereka. Kalau Arista hamil, pengadilan tidak akan mengijinkan adanya perceraian.Arista terduduk lesu, ia memukuli perutnya seolah janin yang di kandungnya itu anak haram. Padahal statusnya dengan Bian masih suami istri."Kau benar-benar brengsek Bian!""Arrgh!" Arista mengobrak-abrik kosmetiknya hingga tercecer di lantai. Ia tidak terima kalau dirinya sekarang hamil anak Bian."Kamu pikir aku akan tinggal diam, akan kugugurkan anak ini. Aku tidak mau hamil dari orang yang tidak pernah aku cintai," gerutunya.Arista sudah gila, ia tidak tahu kalau menggugurkan kandungan juga membahayakan nyawanya sendiri.
"Sayang, mama kan sudah pulang jadi aku dapet jatah dong," goda Arga."Dapetlah, jatahnya mijitin kakiku. Perutku makin besar, jadi aku gampang kecapekan, sayang," jawab Adelia mengalihkan."Bukan itu maksudku, jatah yang bikin suara huhah," canda Arga."Ooh, mau makan rujak?" kata Adelia mengalihkan perhatian Arga."Duh, gimana lagi mau menjelaskan pada istriku yang sangat cerdas ini. Punya perusahaan kosmetik terkenal, tapi kenapa istilah begitu saja gagal paham," kata Arga geleng-geleng kepala."Maksudmu kamu mau bilang kalau aku ini bodoh?" ucap Adelia pura-pura cemberut."Bukan begitu sayang, sudah... lupakan saja. Aku mau mandi dulu," kata Arga.Adelia ingin sekali tertawa melihat suaminya sudah menyerah kalah karena beradu argumen dengannya. Ia tahu Arga tidak mungkin bertengkar dengannya, lelaki itu memilih untuk mengalah.Usai Arga mandi, ia mencium bau harum parfum baru Adelia. Harumnya seperti vanila, di tambah lagi ia kaget dengan penampilan istrinya yang aduhai."Sayang,
Adrian pulang dengan rasa letih yang mendera tubuhnya. Pekerjaannya sebagai cleaning servis membuatnya kelelahan. Badan terasa pegal-pegal semua. Ruangan yang begitu luas ia bersihkan bersama teman-teman cleaning servisnya. Untung saja, dia tidak membersihkan bagian kaca gedung. Hal itu lebih sulit lagi.Rasa letihnya hilang manakala bertemu dengan putri kecilnya yang sudah genap tujuh bulan. Alangkah terkejutnya ia mendapati putrinya sudah bisa duduk dan tersenyum padanya."Eh, anak papa sudah bisa duduk," sambut Adrian."Pak Adrian sudah pulang? Alhamdulillah, putrinya tidak banyak menangis. Makannya juga banyak," kata yang nengasuh Alisa."Oh, bagus dong Alisa. Kamu memang anak papa yang hebat." Adrian mengendong Alisa."Terima kasih, Bu sudah menjaga Alisa hari ini. Ini bayaran hariannya," kata Adrian menyerahkan selembar uang."Saya juga terima kasih, dengan momong Alisa saya juga dapat pekerjaan," kata Bu Jum.Adrian membawa Alisa pulang ke rumah kontrakannya. Mereka tinggal ber
Hari ini adalah hari pertama Adrian bekerja sebagai cleaning servis. Ijasah S2-nya seolah tiada guna. Untuk saat ini ia hanya bisa pasrah menerima pekerjaan barunya. Daripada tidak memiliki uang sama sekali.Perusahaan yang dulu pernah membesarkan namanya, dan juga sebagai tempat perselingkuhannya dengan Salsa. Sampai dia di depak keluar dari perusahaan karena tidak mau menerima hukumannya sebagai cleaning servis.Sekarang ia tidak bisa menolak pekerjaan itu, karena tidak ada pilihan lain baginya, cari pekerjaan sangat sulit. Apalagi namanya yang sudah terlanjur tercoreng karena masa lalunya, membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan yang bagus.Adrian menatap gedung pencakar langit di depannya. Ia memang harus tiba lebih awal ketimbang yang lainnya. Karena, pekerjaannya membersihkan seluruh ruangan di gedung bersama cleaning servis lainnya."Kamu karyawan baru?" tanya salah seorang cleaning servis."Iya, perkenalkan namaku Adrian."Adrian mengulurkan tangannya, namun pria di depannya it
Arga baru saja pulang dari kantor, ia pulang agak terlambat tidak seperti biasanya. Karena pekerjaan di kantor yang menumpuk serta pertemuan dengan para klien. Ada rasa bersalah memenuhi batin Arga karena tidak datang tepat pada waktunya.Suasana rumah tampak sepi karena memang sudah malam, para pelayan beristirahat di kamarnya masing-masing. Hanya satpam penjaga yang masih berjaga di pos penjagaan.Perlahan Arga membuka pintu kamarnya, tapi kenapa lampu kamar di matikan sehingga tidak terang benderang seperti biasanya. Arga sedikit tidak enak pada Adelia karena keterlambatannya. Ia takut Adelia berpikir macam-macam sehingga mempengaruhi kondisi janinnya.Arga menyalakan lampu kamarnya, kaget tidak ada siapapun di ranjangnya. Padahal Arga sudah membayangkan Adelia bergumul srlimut dan tertidur lelap di sana.Lalu dimana Adelia? Mengapa kamar tampak sepi. Padahal sudah larut malam.Rasa gelisah menghantui Arga, ia khawatir terjadi apa-apa pada Adelia. Segera ia keluar dari kamarnya dan