Baskoro menutup telepon setelah berbicara sangat serius dengan seseorang. Dia lupa dua hari lagi adalah hari ditentukan pernikahannya dengan Wulan adik Waluyo, sahabatnya di kampung.Bagaimana bisa ia melupakan hal sepenting itu.
"Jika kamu menolaknya kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya pasrah dan menerima karena hanya kamu yang bisa menolong kami," suara berat Pak Din ayah Waluyo mengalir bagaikan tumpahan darah di batin Baskoro.
"Saya akan melakukannya Pakde, semua demi kebaikan keluarga kita. Pakde tidak usah khawatir, saya akan menikahi Wulan. Tetapi...," Baskoro tidak melanjutkan.
"Katakanlah, saya akan mendengar pendapatmu!"
"Saya hanya akan menjadi suaminya sampai bayi itu lahir. Saya tidak bisa menjadi suami Wulan untuk selamanya Pak!" katanya pelan.
Pak Din terdiam, dia tak bisa memaksa. Sekarang ini yang terpenting adalah menyelamatkan nama baik keluarganya sebelum perut Wulan semakin membesar tanpa status perkawinan.
Didalam bincang ditelepon barusan Waluyo menginginkan agar besok Baskoro harus sudah ada dirumah calon mertuanya.
Waluyo dan ayahnya meminta maaf dengan musibah yang menimpa keluarga mereka yang akhirnya melibatkan Baskoro dengan menjadikannya suami bohongan untuk Wulan.
Dahulu, ayah Baskoro memiliki utang yang sangat banyak. Setelah utang yang menggunung itu, ditambah lagi penyakit stroke yang menimpa ayahnya, ayah Waluyo dengan besar hati menanggung semua utang dan biaya pengobatan ayahnya tanpa syarat. Hal itu membuat keluarga Baskoro semakin erat dengan keluarga Waluyo.
Itulah sebabnya ketika keluarga Waluyo tertimpa musibah, seakan Baskoro harus membayar tunai utang budinya. Selain itu kedua orang tuanya telah tiada. Maka Baskoro merasa berkewajiban untuk menolong Waluyo.
Baskoro mulai berkemas dengan wajah yang murung.
"Sayangnya aku gak bisa hadir Bas... anakku mau sunatan di kampung." Gendon menyayangkan dirinya tak bisa menghadiri pernikahan yang Baskoro khabarkan. Gendon adalah perantau dari Jawa tengah yang mengadu nasib diJakarta sebagai pekerja proyek.
"Tidak apa-apa Ndon, lagian kami gak pesta juga. Cuman makan-makan keluarga, sederhana saja.
"Jaman susah begini buat apa pesta pestaan yang cuma ngabisin duit aja, uang disimpen aja dan ditabung buat beli keperluan setelah menikah." Gendon menasehati. "Kalo maunya perempuan ya itu...semua orang diundang. Ini nih..boyok udah mau putus cari uang eh malah dibagikan buat sosialita." Gendon memencet pinggang dengan tangannya.
Baskoro hanya bisa tersenyum. Sangat mungkin itulah yang dialami Gendon saat ini, mungkin berkaitan dengan acara sunatan anaknya.
"Mau sunatan aja harus ngundang satu kelurahan. Itu kan cuma barang kecil segede jentikan buat apa di pamerin , kalo udah dipotong ya udah ditutup rapet rapet. Ya nggak?!" Gendon mengomel sendiri, tangannya tak berhenti mengaduk kopi.
Tebakan Baskoro sungguh tak meleset.
"Itu namanya membahagiakan keluarga Ndon. Aku saja merasa iri denganmu Ndon..Aku belum pernah ngerasain direpotin anak istri kayak kamu. Jadi kurasa nggak ada salahnya kan?" Tampak sekali ekspresi Gendon yang tercenung.
Dia ingat ekspresi Gendon seperti itu adalah seperti ekspresi bapaknya ketika dia memutuskan kuliah di Jogjakarta. Biaya kuliah tidaklah sedikit, Baskoro tahu itu. Tapi dia juga tak mau jadi pemuda kampung yang cukup jadi kuli bangunan atau penjaga toko. Mungkin itu juga penyebab utang bapaknya semakin menggunung, ayahnya hanyalah seorang pegawai rendahan. Namun Baskoro sudah bertekad untuk kuliah.
Syukurlah semester ketiga hingga lulus Baskoro berhasil membiayai kuliahnya sendiri karena mendapatkan beasiswa.
Sayangnya, Baskoro tidak punya kesempatan untuk membalas kebaikan kedua orangtuanya. Ayahnya meninggal sebelum sempat Baskoro mendapatkan pekerjaan. Dan ibunya meninggal setahun yang lalu saat dia baru mulai bekerja. Seorang adik perempuannya juga telah menikah dan tinggal di luar pulau.
####
Pesawat Garuda Boeing 737 mendarat dengan selamat di Bandara Juanda Surabaya. Wanita itu menggeret koper berwarna coklat tua ditangannya. Mini sling bag menggantung cantik bersilang dipinggangnya berpaut dengan gerai rambut indahnya. Intan menelpon seseorang yang katanya akan menunggu didepan manekin pramugari Batik Air. Dan benar saja seseorang melambaikan tangan ke arah Intan.
"Hai Intan !!" Jia memanggil Intan . Intan membalas lambaian Jia dan berjalan ke arahnya. Gadis keturunan Tionghoa ini adalah temannya waktu kuliah di Jogjakarta. Intan meminta agar Jia Li menjemputnya di bandara.
"Style kamu bikin aku pangling!" Jia mengomentari dandanan Intan.
Dulu intan yang selalu berpakaian casual dan sederhana. Dulu intan yang tak perduli dengan mode. Dulu Intan yang pendiam dan pemalu, tapi itu dulu. Dulu waktu dirinya masih berperan sebagai gadis biasa saja. Sekarang Intan tampak lebih dewasa dan percaya diri.
Tentu saja, Jia Li tak mungkin tahu sedetil itu kan tentang siapa Intan.
Yang jelas Intan sekarang adalah orang nomor satu di sebuah perusahaan dan dia adalah seorang ibu dengan anak satu, semuanya itu rahasia yang akan dibukanya suatu saat nanti.
Intan memeluk Jia Li.
"Kamu yang membuatku pangling Jia. Mana Jaka ?" Intan menanyakan Jaka suami Jia.
"Dia dimobil sama Bao yu."
"Bayu ?" Jia hanya mengangguk saja.
Keluarga Jaka lebih memilih nama Bayu yang berarti udara karena mereka berasal dari suku Jawa. Sedang keluarga Jia memanggilnya Bao yu yang berarti permata karena mereka keluarga Thionghoa. Keduanya sama bagusnya.
"Apa rencanamu selanjutnya Intan?" Jaka membuka percakapan sambil menyetir mobil. Dia sudah tahu apa yang dialami Intan karena mereka saling berhubungan lewat telepon.
"Tentu saja aku akan mencari Baskoro meskipun harus ke lubang semut." Intan mengedarkan pandangannya keluar. Melihat bagaimana kota Pahlawan ini sama padatnya dengan Jakarta. Dari mana dia akan memulainya, mencari keberadaan Baskoro yang entah di belahan bumi yang mana.
####
Baskoro sudah siap mengenakan jas pernikahan ala pedesaan. Brewok sedikit dirapikan dan memakai peci songkok berwarna hitam. Begitu juga Wulan yang sudah mengenakan kebaya berwarna silver dengan make up sederhana. Mereka duduk berdampingan mengahadap penghulu. Sekitar 20 orang hadirin di ruangan itu yang sebagian besarnya adalah keluarga dari Waluyo sendiri.
Wulan saat ini berusia 22 tahun. Bagi Baskoro,. Wulan sudah seperti adik sendiri. Mereka biasa berkumpul bersama dalam sebuah acara keluarga.
Acara berlangsung hikmat dan tenang. Yang secara kasat mata berarti Baskoro dan Wulan adalah suami istri secara sah.
Seluruh keluarga Wulan bersuka cita, terlebih lagi ibu Waluyo, mereka seakan terbebas dari sebuah bencana yang menakutkan.
Sejenak Baskoro termenung.
Apa yang telah dilakukannya? Pernikahan seperti permainan baginya? Baskoro semakin tak mengerti.
Dengan kamar pengantin yang sudah di hias sedemikian rupa.Dengan nuansa sakral seperti ini, berada berduaan dengan seorang wanita yang telah ia nikahi?
Dalam keadaan yang sama-sama canggung mereka hanya saling diam membisu.
"Maafkan Wulan ya mas, membuat mas jadi begini..." Wulan memecah kebisuan. "Saya tahu ini sangat memalukan." Sangat tampak kesedihan diraut wajahnya.
"Saya tahu ini adalah hal yang sangat memberatkan mas Baskoro." Katanya lagi sambil mulai terisak.
Mendengar isakan itu, Baskoro bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
"Wulan, pelankan tangismu...masih banyak orang diluar.." Baskoro mengingatkan. "Percayalah, ini sudah menjadi kewajiban ku untuk menolongmu dari musibah ini. Dan aku cukup senang karena orang tuamu tidak menyuruhmu melakukan aborsi." Baskoro berusaha menenangkan Wulan.
Wulan mengangguk, tapi tetap tak bisa menghentikan deraian airmata yang membanjir.
"Wulan sudah menjadi istriku sekarang walaupun itu hanya sementara, berusahalah untuk tenang apapun yang terjadi !" Baskoro menepuk pundak Wulan agar Wulan tenang.
Dalam hati Baskoro sangat takut. Trauma itu belum menghilang dari dirinya. Penyesalan membuatnya seperti orang bodoh. Sebenarnya ia belum menginginkan pernikahan walaupun hanya pura-pura.
Dia takut jika suatu saat dia hanya akan menyakiti gadis ini.
Dia merasa, harapan keluarga Wulan tidaklah sekedar menjadikan dirinya suami palsu untuk Wulan. Pada dasarnya mereka menginginkan Baskoro benar-benar menerima keadaan Wulan apa adanya. Baskoro tidak bisa lari dan membiarkan mereka tercoreng oleh masyarakat di desanya. Tapi mungkinkah suatu saat nanti ia akan bisa mencintai Wulan?
Baskoro tidak yakin. Tetapi tidak ada buruknya dia menjadi bagian dari keluarga Waluyo. Andaikan kedua orangtuanya masih hidup, mereka pasti akan senang mendengar ini.
Intan memulai pencariannya, dengan mulai menghubungi seorang teman kuliahnya dulu bernama Ardan. Khabarnya Ardan menjadi seorang pegawai negri di sebuah Kantor Pemerintahan Daerah di Surabaya.Ardan juga seorang yang aktif di media sosial. Pertemuan mereka memang juga dari sebuah media sosial. Intan pernah mencari jejak Baskoro di media sosial, tapi tak satupun jejak yang berhasil dia temukan."Setelah sekian tahun kenapa hanya Baskoro yang kamu cari Ntan ?" Ardan meledek Intan."Sepertinya urusan yang sangat penting ya? Apa Baskoro memiliki utang sama kamu?"Intan hanya tertawa "Mana mungkin Baskoro punya utang, justru aku yang punya utang. Dan itulah sebabnya aku mencarinya." segelas jus dan secangkir kopi telah dibawa kehadapan mereka berdua oleh seorang pramusaji bertubuh tinggi."Sepertinya kamu memang sudah sukses sekarang. Syukurlah kalau begitu, memang utang haruslah dibayar kalau ga mau dibawa mati."Uca
Intan menangisi dirinya, kehampaan serasa merenggut seluruh jiwanya. Ditepi danau kecil berair jernih itu Intan meraung menyesali apa yang dilihatnya."Andaikan aku datang kemarin mungkinkah akupaku kesempatan untuk berbicara? Aku ingin membicarakan Bastian. Seorang anak yang telah menunggu sekian lama!"Intan tak sanggup memikirkannya."Baskoro, aku bahkan tidak pernah lupa sedetik pun." Intan menangis sejadinya.Sementara itu Baskoro masih dalam kebingungan. Wanita yang selama ini dicarinya bahkan hadir disaat yang tidak tepat. Karena bingung dia hanya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Hingga Wulan masuk dan melihat ketegangan Baskoro di wajahnya. Tetapi Baskoro justru berlari keluar dan menyambar motor trail milik Waluyo. Berusaha mengejar Intan yang sudah melaju.Intan mengerem mendadak ketika sebuah motor mendahuluinya dan berhenti tepat didepannya. Dia mengenali pria bermotor itu, tapi Intan tak menyangka Baskoro akan menyusulny
Kesibukan Jakarta membuatnya lebih memberikan kekuatan. Karena ia harus berpacu dengan semua pekerjaan yang tiada henti. Hal itu membuatnya sedikit melupakan kekecewaan yang ia alami .Ia kecewa karena Baskoro telah melupakannya, Ia kecewa karena dahulu Baskoro menuruti saja selembar kertas yang menyatakan mereka bercerai.Seharusnya Baskoro tidak harus benar-benar menceraikannya karena itu hanya palsu belaka. Ini sungguh membuatnya kecewa karena ternyata sekarang dia hanya mantan baginya.Sayangnya Intan belum sempat menunjukkan kartu yang tersembunyi itu. Bastian adalah kartu yang belum ia buka di hadapan Baskoro. Tapi karena pernikahannya itu, Intan tidak siap membuat kekacauan.Intan mengecek berkas-berkas pembangunan jalan yang ada di ruas jalan Merah putih. Karena proyek tahap pertama telah selesai dilakukan. Sejauh ini pekerjaan itu ditangani Multi Projects Maintenance, sebuah sub kontraktor yang dipercaya Wijaya Group. Intan merasa harus men
Baskoro membaca semua artikel yang memuat tentang keluarga Abraham Wijaya. Menelusuri barangkali ada jejak pemberitaan yang menjelaskan dimana Intan selama ini. Baskoro mendapatkan bahwa selama ini Intan pindah sekolah di salah satu universitas Australia. Tidak disebutkan masalah pribadinya kecuali Intan pernah dikabarkan menikah dengan seorang pria anonim dan menjadi janda tanpa anak. Semua berita berkutat tentang itu itu saja.Baskoro belum merasa puas dengan hasil penggalian informasi itu. Lalu dia menelfon Zaki yang kebetulan salah satu staff di gedung Intan bekerja, dia adalah salah seorang teman yang kebetulan sering bertemu di rumah kontrakan di Jakarta dan ternyata mereka bertetangga."Tumben menelfon?" heran karena tiba-tiba Baskoro menghubungi di tempat kerja."Iya, bisakah kita ketemuan waktu makan siang?""Tentu saja bisa, ada apa sebenarnya?""Hmmm, saya butuh sedikit informasi,"Zaki menyanggupi mereka b
Seorang pria berjalan tegap memasuki koridor perkantoran Wijaya Group. Dia adalah lelaki dengan usia enam puluhan. Dengan kilau Arloji ditangannya, menunjukkan betapa elegan penampilannya meskipun sebagian rambutnya telah memutih. Sorot mata tegas yang ia pancarkan membuat orang lain menunduk saat melihatnya. Tentu saja setiap orang yang dilaluinya digedung itu tahu siapa Pria dengan wibawa yang demikian memanas. Ketegangan akan tiba-tiba menghampiri disetiap meja kerja yang berada disana. Mereka, bila terlihat sedikit saja kesalahan, teguran dengan aroma mempermalukan akan menjadi kenangan seumur hidup mereka. Sementara orang-orang disekelilingnya adalah para ajudan yang menjaga tuannya. Mereka menjaga Tuan Abraham pemilik Wijaya Group. Abraham memutar handle pintu ditempat putri semata wayangnya berada. Menyembulkan kepalanya tanpa suara. Intan yang sejak bergeraknya handle pintu sudah mengawasi, tertawa melihat ayahnya menyembulkan kepala dari balik pintu.
"Sangat keterlaluan orang yang lari dari undangannya sendiri." Intan terlompat karena sangking terkejutnya. Toilet itu sangat sepi karena jarang sekali karyawan yang bekerja sampai malam. "Ya Tuhan! " Ia memegang jantungnya yang serasa melompat dari tempatnya. "Andre? Apa yang kau lakukan disini? Apaa..." mata Intan melirik pintu toilet. "Ha ha ha. Kamu memang pandai membuat orang tersudut. Seharusnya aku masuk saja tadi, toh pintu toilet wanita itu terbuka." "Dasar mesum!" Intan membalikkan badan hendak pergi, tapi Andre mengikutinya. "Aku heran dengan orang sepertimu, kita bahkan belum berbicara apapun tetapi kau sangat tidak bersahabat. Apakah selalu begitu caramu bersikap terhadap orang yang baru saja ingin mengenalmu?" "Bagaimana denganmu? Apa yang kau kerjakan disini? Aku tidak pernah tahu kau bekerja disini." Ucapnya. "Aku memang tidak bekerja disini, aku sedang menjemput calon istriku." "Andre
Baskoro masih memikirkan sebuah sebutan yang diteriakkan bocah empat tahun itu. "Mommy? Hah sejak kapan dia dipanggil mommy?" Rasa penasaran membuatnya susah tidur semalaman. "Bocah itu pastilah bocah yang ada di foto itu." Baskoro mengingat sebuah foto dengan latar belakang Pinus bersalju yang sempat mengganggu pikirannya. Tak satu berita yang menjelaskan Intan sudah bersuami apalagi memiliki anak. Itu membuat Baskoro merasakan sesuatu yang sangat berkaitan dengan dirinya. Egonya merasa tersakiti karena dia adalah suami yang dibuang oleh wanita konglomerat itu, tapi ia tidak mungkin berasumi bahwa anak itu adalah darah dagingnya. "Tapi mungkinkah?" Batinnya bergolak. "Tidak mungkin!" Lagi-lagi hatinya mengingkarinya. Seandainya mungkin, itu membuatnya semakin pusing. Baskoro berjalan ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Perjalanannya tidak terencana semalam membuatnya sangat letih. Memang tidak ter
Gedung gedung pencakar langit adalah pemandangan yang bagi Baskoro sebuah fenomena tentang bagaimana ia menciptakan sebuah seni keindahan dalam artian keindahan dalam kemajuan sebuah tempat. Ketika sebuah kota yang terbelakang, kemudian dalam suatu waktu berubah menjadi deretan gedung-gedung tinggi, maka label kemajuan akan tertempel dikota itu . Tentu saja semua itu akan tercipta dari sebab dolar dan rupiah yang mengalir disitu. Tempat-tempat seperti itu adalah ladang uang bagi orang-orang yang berprofesi semisal Baskoro. Disisi lain, Baskoro juga mencintai alam pedesaan yang sangat damai. Dengan pola hidup sederhana, masyarakat yang ramah dan tidak masa bodoh. Membuat hatinya terpaut dengan kampung halamannya. Tetapi ada hal yang membuat ia takut. Dia telah memiliki istri palsu sekarang. Dia tidaklah pulang karena ingin. Mengingat tatapan menyedihkan Wulan dia sungguh tak sanggup. Dia jua manusia biasa, memiliki hati yang lemah. Dia ju