Siang itu cuaca cukup panas, untungnya halaman gedung Wijaya Group ini cukup asri. Beberapa pohon rindang memiliki tajuk melebar seperti payung raksasa yang menaungi. Membuat beberapa orang karyawan menjadikannya sebagai tempat berlindung dari matahari.
Intan keluar dari gedung berlantai 25 itu. Langkahnya teratur menapaki granit berwarna keabu-abuan. Beberapa orang membungkuk memberi hormat saat dia berlalu.
Seorang pengemudi telah siap dengan pintu mobil yang terbuka dan mempersilahkan Intan masuk kedalam mobil itu.
"Bagaimana keadaan Ayah setelah aku pergi?" Intan bertanya kepada pak Joko sang supir pribadinya ketika dia telah duduk di bangku belakang.
"Jauh lebih baik Nona, sekarang bahkan sudah bisa berjalan dan duduk di balkon mencari udara segar."
"Syukurlah, kalau saja bukan karena pentingnya masalah di perusahaan tentu Aku memilih untuk menemani Ayah tadi."
Pak Joko tersenyum. Gadis cantik yang dilihatnya lima tahun yang lalu tidaklah berubah. Hanya penampilan mungkin lebih glamor sekarang ini dari pada ketika masih kuliah di Jogjakarta dulu. Mungkin karena melanjutkan kuliah di Australia tentu membuat selera modisnya berubah.
Sesekali pak Joko mencuri pandang dari spion mobil melihat penampilan Intan.
"Kita akan kemana Nona ?" tanya supir itu sambil menyalakan mesin.
"Tolong antar ke salon Beauty Pak!" pak Joko mengangguk mengerti.
Intan menunjukkan sebuah model potongan rambut yang disukainya kepada seorang karyawati salon. Dia juga memintanya untuk mengubah warna rambutnya.
Ini adalah salon terakhir kalinya di Indonesia yang pernah ia kunjungi. Waktu itu karena rasa frustasinya dia meminta potongan rambut dengan model seperti laki-laki . Dia sangat frustasi karena tidak bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima Baskoro sebagai menantunya. Alih-alih ayah malah mengirimnya ke luar negeri. Beberapa kali Intan sempat kabur mau melarikan diri, tapi ayahnya selalu berhasil menangkapnya sampai suatu hari ayahnya membawa dirinya dengan paksa untuk dibawa ke Australia. Ayah benar-benar murka dan hampir saja menelannya hidup-hidup.
Mengingat itu, Intan seperti merasakan rasa sakit itu kembali. Sakit yang sangat menyesaki dada. Karena dia memotong rambutnya bukan untuk keindahan tapi karena kemarahan yang tak bisa ia tumpahkan kepada siapapun pada lima tahun yang lalu. Dan sekarang ia ingin mengubah warna rambutnya sebagai pengingat bahwa perjuangan itu baru saja dimulai.
Tangan terampil karyawan salon itu menyelesaikan tatanan rambut Intan dengan sangat apik. Intan memandangi dirinya dalam pantulan cermin. Diapun mengatakakan pada dirinya bahwa ia tidak akan merubah niatnya.
"Kamu masih istri Baskoro Intan, kamu telah kembali ke Indonesia!" lirihnya.
"Aku akan memulainya dari hari ini, Aku akan mendapatkan dimanapun kamu berada demi Bastian! Aku harus mendapatkan dirimu!" Intan menyentuh rambutnya yang telah berubah dengan warna pirang.
Intan melenggang dengan rambut keemasan keluar dari Salon Beauty. Pak Joko yang menunggu majikannya keluar tampak menggelengkan kepalanya melihat Intan keluar dengan rambut blondenya.
"Lihat! Soal model Intan sungguh berubah," gumamnya. Pak Joko membukakan pintu untuk majikannya, baginya itu adalah pemandangan yang asing karena Intan tak pernah melakukannya sekalipun.
Dilihat seperti itu Intan tersenyum.
Mobil Intan melaju meneruskan perjalanan. Jalanan menjadi sempit dan macet karena proyek pembangunan jalan. Jalan Merah Putih merupakan ruas jalan utama sebagai akses untuk keluar dari pusat kota. Intan berencana menuju Villa Spring Garden tempat dia menyembunyikan Bastian, putra tunggalnya.
Pak Joko adalah satu-satunya orang kepercayaan Intan untuk menyembunyikan Bastian. Ayahnya tak boleh tahu dengan keberadaan Bastian. Untuk itu dia harus bisa mengalihkan perhatian Abraham ayahnya dengan urusan perusahaan, ia menjadi orang yang sangat kompeten didalam perusahaan ayahnya itu. Intan yakin cara satu-satunya untuk bisa hidup dan terbebas dari belenggu ayahnya adalah dengan menjadi orang yang seperti diinginkan ayahnya.
Dan saat yang ia nantikan itu sepertinya akan tiba. Tidak hanya kepercayaan dalam perusahaannya, bahkan ayahnya telah lengah mengawasi hidupnya.
Hanya saja dia harus menggulung semua lembaran lama serapi mungkin, agar tidak terendus siapapun!
###
Baskoro mengusap dahi yang dibanjiri peluh. Helm proyek tak bisa melindunginya dari terik yang sangat dari arah barat yang semakin sore semakin menyengat membakar kulit para pekerja proyek.
Beberapa tong adukan Grouting injeksi sudah siap untuk dialokasikan di beberapa titik pondasi beton. Tekstur tanah dijalan ini memang membutuhkan perlakuan yang khusus karena sering terjadi retakan. Baskoro mengarahkan pengemudi alat berat untuk segera memindahkan bahan-bahan itu ketempat titik injeksi yang sudah ditentukan.
Pada saat itu mobil Intan melaju pelan di sisi badan jalan yang sudah di bongkar. Tepat dimana Baskoro mengawasi para pekerja. Intan memandang lekat ke arah pria dengan brewok lebat di pipinya saat ia membuka kaca.
"Dia sangat mirip." Batinnya. "Tapi sayangnya hanya mirip matanya saja.Terlebih lagi dia hanya seorang pekerja kasar proyek ini." Bahkan ketika pria itu berbicara Intan tidak terlalu menggubris apa yang dikatakannya. Suara mesin-mesin ditempat itu seperti besi yang memukul genderang. Memekakkan telinga.
"Siapa yang mengelola proyek ini Pak Joko?" Intan bertanya kepada sopirnya.
"Seingat saya nama perusahaan subkontraktor itu adalah Multi Projects Maintenance, perusahaan yang masih terbilang baru,"
Intan mengernyit. Proyek di jalan Merah Putih ini tidak terlalu besar. Tapi Wijaya Group tidak pernah menggunakan subkontraktor yang masih ingusan.
"Kalau begitu, saya akan meninjau proyek ini dalam beberapa hari,"
"Baiklah Nona."
Intan termenung. Mereka sudah melewati jalur lambat tadi, guncangan dimobilnya sudah benar-benar tidak ada.
Melihat pekerja proyek tadi, mengingatkan dirinya kepada Baskoro.
Ia ingat Baskoro adalah seorang pria dengan kulit putih bersih, dan juga bukan pria yang suka memelihara brewok. Tapi pria tadi memiliki iris mata coklat seperti Baskoro, tetapi mungkinkah Baskoro ada di Jakarta ?!
Sementara Baskoro sedikit terganggu dengan sebuah mobil mewah dengan kaca terbuka tadi. Bagaimana tidak ? Debu proyek ini bahkan sesuatu yang menakutkan bagi para pengendara. Semua yang berlalu pasti akan memakai masker mereka.
Mungkin saja penumpang mobil seorang anak yang tidak perduli dengan debu yang bisa mengganggu pernafasan. Atau seorang anak yang antusias melihat mobil-mobil mobil alat berat yang sedang beroperasi.
Tetapi Baskoro telah mengingatkan wanita berambut pirang tadi untuk menutup kaca mobilnya. Baskoro mendekati mobil itu mengingatkan agar menutup kaca itu demi keselamatan. Tetapi wanita itu malah memelototi dirinya.
"Tutup kacanya Nona!Tutup kacanya!" Baskoro meneriaki wanita yang sedang menatapnya.
###
" Mommy ! Mommy! Mommy !" Seorang anak lelaki kecil berlarian menghambur keluar rumah diikuti seorang wanita. Wanita pengasuh Bastian bernama Nita. Nita dan suaminya adalah penanggung jawab Villa yang dibelinya tanpa sepengetahuan Abraham ayahnya.
"Honey.." Intan turun dan mencium pipi gembul putranya lalu menggerakkan sebuah mainan kecil di wajah Bastian. Tentu saja Bastian sangat senang mendapat oleh oleh mainan baru.
"Mommy, kenapa rambut mommy ?" Bastian menyentuh rambut Intan yang sudah berubah warna. Mimik wajah itu keheranan.
"Bastian tidak suka ?" Intan mencari tahu apa pendapat bocah kecil itu.
"Its beautiful...I love it." Bastian mengomentari.
"Tidak sayang, tidak boleh berbahasa Inggris di Indonesia. Bastian akan kesulitan mendapatkan teman kalau selalu berbahasa Inggris." Sangat penting mengajarkan berbahasa Indonesia untuk Bastian mengingat usianya yang sudah saatnya masuk sekolah.
Intan mengelus rambut ikal milik Bastian. Rambut itu seperti rambut Baskoro.
"Baiklah Mommy, tapi kapan kita akan bertemu dengan ayah, mommy?" pertanyaan barusan adalah pertanyaan yang paling ditakuti Intan. Tentang seorang pria yang entah dimana rimbanya. Tentang seorang pria yang ingin dimilikinya. Bastian menginginkan ayah, menginginkan keluarga. Di usia yang masih sangat kecil itu Bastian bertanya tentang sebuah keluarga. Keluarga yang tidak pernah ia miliki seperti yang dimiliki teman temannya.
Intan memeluk Bastian, mendekap erat bocah empat tahun itu. Tak terbayangkan dia telah kembali ke Jakarta dengan seorang bocah lucu ini. Dia berjanji untuk mempertemukan Bastian dengan ayahnya, Baskoro. Tapi bahkan dia belum bisa memulainya. Intan menggendongnya , menumpahkan kerinduannya karena sudah berhari-hari tak bisa menemuinya.
Kembali ia memandangi buah hatinya. Teringat bagaimana perjalanan hidup bayi kecil yang menjadi rahasia besar pada waktu itu. Saat dia harus pura-pura gila sehingga membuatnya harus disekap disebuah Villa di Australia. Membuat sandiwara besar dengan Eleanor, wanita penjaga Villa.
"Tolong aku Eleanor! Aku tak mungkin memberitahu Ayah tentang ini. Ayah tak mungkin membiarkan anak yang aku kandung."
"Tapi Nona, anda harus mendaftar untuk Universitas. Anda tidak bisa melakukannya jika perut anda makin membesar." Eleanor menatap Intan frustasi.
"Kalau begitu, tolong katakan pada tuan Fred! Katakan bahwa aku dalam keadaan belum siap untuk bersekolah. Kalau mereka memaksa, aku akan menggantung diriku !" Tuan Fred adalah utusan Abraham untuk mengawasinya di Villa itu. "Aku lebih baik mati Eleanor!" Intan memohon dengan deraian airmata.
Eleanor menatapnya Iba.
"Kalau begitu, anda harus melakukan sesuatu!" Eleanor mendekati Intan dan berbicara sangat pelan " Potonglah rambut Anda lebih buruk dari ini lalu berpakaian seperti orang gila! Berusahalah untuk tidak mengenal siapapun!"
Intan menatap nanar wanita paruh baya itu, tak menyangka wanita yang ada dihadapannya memiliki ide yang sangat gila! Air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya seakan menjadi sebab kaburnya pandangannya. Ia mengerjap, memikirkan ucapan Eleanor.
"Mungkinkah?" Intan berguman.
"Aku akan membantumu! Percayalah!"
Sandiwara yang cukup melelahkan itu berjalan selama setahun lamanya. Eleanor membawa bayi itu ke sebuah tempat untuk diasuh seorang anak perempuannya yang telah menikah.
Semua itu sangat menyakitkan. Semua itu membuatnya menderita. Menjadi ibu tunggal yang tidak bisa leluasa menemui bayi lucunya. Dia harus mondar-mandir mengatur waktu untuk bisa bersama bayinya dengan aman. Semua itu sungguh menoreh luka yang dalam.
Kebahagiaan semakin mewarnai mansion Abraham. Baik Intan dan juga Baskoro menjalani kehidupan rutinitas mereka dengan baik dan bahagia.Begitu juga Abraham yang menikmati hari hari masa tuanya bersama Anita. Rumor tentang pelakor pada Anita sudah tidak lagi terdengar gaungnya. Itu semua berkat Intan yang selalu membungkam mulut orang jahat yang berusaha merendahkan ibu tirinya."Untuk apa membahas masa lalu? Dia sekarang dah menjadi ibuku yang berarti menggantikan posisi ibu kandungku. Jadi, dia adalah ibuku yang sebenarnya," ujarnya membantah omongan miring beberapa kerabat yang tidak menyukai keberadaan Anita di sisi Abraham.Dan Indra juga menjalani hidupnya dengan baik. Setelah menyelesaikan sekolah iapun berangkat ke Boston untuk bersekolah sekaligus berlatih dengan pelatih Basket yang berpengalaman. Ia sudah melupakan Melissa yang kini sudah menikah dengan dokter Yusac. Ia merasa bahwa itulah yang terbaik untuk mereka sehingga tak ada penyesalan sedikitpun dengan jalan yang mere
Seluruh penghuni mansion dikejutkan dengan penampilan Bastian yang sedikit aneh, lucu tapi memprihatinkan.Mereka heboh dengan ekspresi yang bermacam-macam.Ada yang tertawa, khawatir dan malah gemas. Tidak kalah hebohnya adalah kakek Abraham dan juga Neneknya yang menatapnya prihatin."Ingat kata nenek, jangan suka bermain di tempat yang banyak lebahnya. Lihatlah, dia kira ini sarang lebah sehingga salah bertengger?" cicitnya sambil menatap prihatin pada cucunya.Bastian tak bisa menyangkal karena tidak bisa menggerakkan bibirnya melainkan akan terasa sangat nyeri. Begitu juga para maid yang prihatin."Aduuh, pasti sakit sekali. Bastian, apa kamu pernah mengejek seseorang sehingga mendapatkan balasan seperti ini?" tanya salah seorang maid yang sering Bastian panggil dengan nama maid Cerewet. Ingin rasanya Bastian menjawab ucapan mereka dengan sangat marah dan kesal, sayang sekali ia hanya bisa diam tak berdaya.Meskipun sudah diobati, efek bengkak tersebut tidak hilang begitu saja.
Meskipun kepulangan Baskoro ke kampung halamannya menyisakan kesedihan. Setidaknya segala misteri wasiat orang tuanya sungguh terungkap. Baskoro merasa ayah Waluyo sangat memperhatikan hidupnya. Dia tahu bahwa Baskoro tidak pernah menyukai Wulan sehingga ia membiarkan Baskoro menjalani pilihannya."Kau tak menyesal menikah denganku setelah tahu menikahi Wulan adalah wasiat orang tuamu?" tanya Intan saat mereka menghabiskan waktu di taman belakang rumahnya."Kenapa memangnya? Apa kau yang mulai menyesal sekarang?""Tidak, aku hanya ingin tahu isi hatimu.""Kenapa? Pahami dulu isi hatimu baru ingin tahu isi hati orang lain. Atau bilang saja kau ini sedang cemburu."Intan menyebik. Selalu saja itu alasan yang Baskoro lontarkan kalau dia ingin mendengar isi hatinya."Huft, untuk apa aku harus cemburu.""Kenapa? Apa salah dengan kecemburuan?" goda Baskoro dengan lembut mengatakannya.Wajah Intan bersemu merah. Bagaimana juga ia memang sangat cemburu kalau sudah berkaitan dengan kehidupan p
Baskoro, Intan dan juga Waluyo duduk berputar mengelilingi Ayah Waluyo. Meskipun masih sangat lemah, ayah Waluyo terlihat bisa mendengar dan melihat siapa yang ada di ruangan tersebut. Seakan ingin mengatakan sesuatu, ia juga menggerakkan tangannya untuk memanggil Baskoro."Iya ayah, ayah memanggilku bukan?" katanya dan menggenggam erat tangan pria tua itu dan mendekatkan kepalanya dekat pria itu.Ayah Waluyo seperti hendak mengatakan sesuatu kepadanya."Ayah... aku mendengarnya," pelan Baskoro."Baskoro..." Tiba-tiba ayah Waluyo bisa berbicara. "Aku sungguh meminta maaf kepadamu.""Jangan bilang begitu Ayah, akulah yang seharusnya meminta maaf kepadamu, Ayah.""Ambillah surat wasiat itu..." lirihnya lagi. Baskoro mengernyit, ia tak mengerti surat wasiat apa yang sebenarnya Ayah Waluyo katakan."Di atap rumahku.." dan tiba-tiba saja ayah Waluyo seperti sesak napas sehingga membuat Baskoro ketakutan."Ayah...ah,.Waluyo... bagaimana ini?" Baskoro kebingungan bukan main dan ia hanya men
Sesampainya di rumah Waluyo, mereka berdua mendapatkan rumah dalam keadaan sangat sepi. Lalu mereka menuju peternakan sapi yang Waluyo kelola. Di sana mereka bertemu dengan seorang pegawai pembersih kandang yang sedang bekerja.Terlihat pria itu menatap kehadiran mereka berdua dan menyapanya."Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Apakah membutuhkan sapi untuk di beli?" ujarnya dengan tersenyum ramah.Baskoro mengulurkan tangannya."Tidak, Pak. Tujuan saya datang kesini adalah untuk mencari Mas Waluyo. Tapi kelihatannya rumahnya kosong ya Pak?""Oh, sedang mencari Mas Waluyo. Apa bapak tidak tahu kalau Mas Waluyo sudah lama nggak tidur di rumah Pak?"Baskoro terkejut. Tentu saja ia tidak tahu kalau Waluyo tidak memberi tahu."Tidak, Pak. Hanya saja kenapa Mas Waluyo tidak pulang ke rumah? Sebab sebenarnya saya bertemu belum lama ini, tapi Mas Waluyo tidak cerita apa apa.""Oh, jadi begini, Mas. Sebenarnya Mas Waluyo sudah dua bulanan merawat ayahnya yang sedang koma di rumah sa
Musim semi telah berakhir, mereka telah menyelesaikan suatu waktu yang indah bersama di Vila tersebut. Mereka akan segera kembali ke Jakarta dan melanjutkan pekerjaan yang sudah lama ditinggalkan. Seperti biasa, perjalanan dengan jet pribadi bukanlah apa apa buat keluarga Abraham. Dan dengan segera mereka sudah tiba di Jakarta."Masih satu hal lagi yang belum kita tunaikan," kata Baskoro saat mereka telah sampai rumah."Ehmm aku tahu, kau pasti ingin ke desa dan bertemu Ayah Waluyo.""Benar, ada firasat tidak enak di dalam hati ini. Akan tetapi aku berharap tidak ada apa apa.""Baiklah, setelah kita beristirahat kita bisa ke desa dalam beberapa hari ke depan."Baskoro menggenggam tangan Intan, menghadap kan tubuh Intan kepadanya. Lalu dengan lembut ia menyelipkan anak rambut Intan ke belakang telinga dengan perlahan."Kalau kau lelah, aku bisa pergi sendiri. Ini hanya mengunjungi ayah Waluyo, aku sungguh mendapatkan mimpi buruk dalam beberapa hari ini.""Tidak, Bas. Aku tidak mungkin