Intan memulai pencariannya, dengan mulai menghubungi seorang teman kuliahnya dulu bernama Ardan. Khabarnya Ardan menjadi seorang pegawai negri di sebuah Kantor Pemerintahan Daerah di Surabaya.
Ardan juga seorang yang aktif di media sosial. Pertemuan mereka memang juga dari sebuah media sosial. Intan pernah mencari jejak Baskoro di media sosial, tapi tak satupun jejak yang berhasil dia temukan.
"Setelah sekian tahun kenapa hanya Baskoro yang kamu cari Ntan ?" Ardan meledek Intan."Sepertinya urusan yang sangat penting ya? Apa Baskoro memiliki utang sama kamu?"
Intan hanya tertawa "Mana mungkin Baskoro punya utang, justru aku yang punya utang. Dan itulah sebabnya aku mencarinya." segelas jus dan secangkir kopi telah dibawa kehadapan mereka berdua oleh seorang pramusaji bertubuh tinggi.
"Sepertinya kamu memang sudah sukses sekarang. Syukurlah kalau begitu, memang utang haruslah dibayar kalau ga mau dibawa mati."
Ucapan Ardan membuat nyesek dada Intan. Dia memang sangat berhutang dengan Baskoro dan dia gak mau mempunyai beban seberat itu untuk dibawa mati.
"Sebaiknya kamu melakukan pencarian dikampung asalnya. Bukankah kamu juga tahu dia berasal dari Paciran?" Ardan memberikan saran.
Intan mengambil gelas jus itu dan mulai meminumnya. Sangat menyegarkan segelas jus jeruk ini pada saat cuaca sangat panas.
"Itulah sebabnya aku bertanya padamu barangkali kamu memiliki informasi yang aku butuhkan."
"Sebenarnya, aku mendengar kejadian lima tahun yang lalu tentang kalian,"
Ardan menatap wanita berambut pirang didepannya. Segelas kopi ditangannya urung diminumnya. Ardan memundurkan punggungnya untuk bersandar,"Aku mendengar kalian telah hidup bersama, tapi aku gak tau kenapa kemudian kalian bercerai," Ardan melanjutkan. "Tapi..."
"Tapi apa ?" Intan sangat penasaran, ia menatap Ardan penuh semangat.
"Belum lama ini aku mendengar kabar Baskoro akan menikah. Tapi bukankah kalian sudah bercerai? Aku tidak tahu apa yang membuatmu ingin menemuinya. Hanya saja tidakkah itu akan membuat kekacauan?" Ardan melihat raut wajah Intan yang berubah warna. Warna bahagia itu menjadi warna kesedihan.
"Aku harus mengatakan ini supaya kamu punya kesiapan mental untuk bertemu dengannya. Dan juga..." Ardan terbata.
"Dan apa? Katakan Ardan!" Telapak tangan Intan mulai terasa dingin.
"Dan pernikahan itu mungkin akan dilangsungkan besok!"
Seperti ada sesuatu yang menghantam kepalanya, Intan sangat terkejut.
"Benarkah?" lirih Intan. Sebutir bening kaca meluncurkan menetes di pipinya. Seakan pencarian ini akan menjadi sia-sia.
Intan, kamu tak boleh menyerah. Bastian selalu menagih janji kepadamu bukan? Sejauh ini kamu berjalan, jangan sampai kamu berhenti. Ini sungguh baru permulaan!! Terbayang wajah bocah kecil yang kini tengah menantinya. Terbayang begitu sulit dirinya melalui ini semua. Dan sekarang Baskoro menikah?
"Tidak! Tidak mungkin !"
Kecamuk didalam pikiran Intan menjadi tumpang tindih. Intan menangis. Ia tak bisa menunda lebih lama lagi. Sebelum semuanya benar-benar terlambat.
####
Intan memutar haluan. Berkali-kali dia salah jalan, ditambah lagi kendaraan yang disewanya ini serasa tak nyaman digunakannya. Aplikasi Maps sudah stand by tak pernah dimatikan.
Perkiraan desa itu masih sekitar 10 km lagi. Tapi malam sudah semakin larut masih juga Intan belum menemukannya. Dia berhenti dan membeli air mineral. Menghilangkan sedikit kepenatan. Sialnya jalanan rusak itu lebih buruk dari perkiraannya. Jarak 10 km itu serasa menempuh ratusan kilometer.
Tut! Tut!
"Sial!" Intan memukul roda stir dan mengumpat demi melihat Handphone menunjukkan pengisian yang lemah.
"Mobil ini sungguh seperti gerobak!" omelnya.
Deru mobil Intan memecah kesunyian malam, menembus kegelapan seorang diri. Rembulan yang ditutupi mendung hitam seakan sengaja tidak memberikan cahaya untuknya. Bersembunyi disela onggokan awan gelap dilangit kelam.
Jalan yang dilalui Intan seakan membelah sebuah hutan, karena dikanan kirinya hanyalah pepohonan yang besar dan penuh akar bergelantungan. Suasana itu sangat mencekam baginya.
Intan sempat gemetaran karena seakan jalanan itu tidak berujung. Terlebih apabila dia harus memperlambat laju mobil itu, dia sangat takut bila tiba-tiba ada sesuatu yang muncul. Hah!! Intan bahkan memikirkan kalau tiba tiba ada makhluk halus seperti kuntilanak yang menyetopnya dijalan itu.
Tak lama setelah ketakutan itu mulai memuncak Intan merasa lega karena setitik cahaya mulai nampak dikejauhan sana. Seakan andrenalin luruh seketika, dan nafasnya mulai teratur. Intan mempercepat menuju titik cahaya itu meski kondisi jalan tidak memungkinkan untuk dirinya menambahkan kecepatan.
"Ya Tuhan, aku mungkinkah aku telah salah jalan?"
Intan mengedarkan pandangannya kearah rumah rumah kayu yang sepi. Hanya lampu bohlam yang mungkin sekitar sepuluh Watt an didepannya. Jumlahnya tak lebih dari lima rumah. Di depan sebuah rumah yang lebih mirip dengan bengkel tambal ban terdapat sebuah truk yang sedang memperbaiki mobilnya. Intan sangat lega dan mencari lokasi parkir yang nampak aman untuknya.
Intan sangat letih dan mulai merendahkan sandaran kursi kemudi. Kelopak matanya terasa lengket dan letih. Tadinya ia akan turun dan bertanya kepada pemilik mobil itu. Tapi tak lama dari itu suara dengkuran halus mulai terdengar.
###
Intan terkejut ketika seseorang mengetuk kaca mobilnya. Cahaya matahari juga menyilaukan matanya. Kepalanya sempat menoleh kesana kemari karena bingung sedang berada dimana. Karena tiba-tiba tempat itu sangat ramai seperti pasar. Pria itu mengetuk kembali.
"Maaf Bu, ini tempat saya berjualan. Tolong pindah Bu!" Intan hanya mengangguk dan masih kebingungan. "Ya Tuhan, tempat ini benar benar pasar." Gumamnya. Pada saat bersamaan iIntan mengambil arah lebih kedepan Intan melihat sebuah tugu desa dikanan jalan. Terdapat tulisan desa Paciran di tugu mini itu.
"Baskoro?" pemuda itu menggaruk kepalanya. "Sepertinya saya mengingat nama ini,"
"Baiklah, kalau begitu dimana rumahnya ?"
Pemuda itu menunjuk kesuatu arah.
" Kesana terus belok kanan, setelah itu belok kiri setelah itu lewat danau kecil setelah itu ada jembatan. Setelah jembatan belok kanan lagi dan belok kiri. Tanya saja disitu nama Baskoro."
Ya Tuhan...
Apakah ini benar-benar lubang semut ? Intan hampir saja lupa dengan arahan yang disebutkan pemuda tadi. Tapi dengan berpatokan danau kecil dan jembatan, Intan mulai lega karena bisa melihat danau kecil itu. Kemungkinan besar tempat itu sudah dekat. Hanya saja benarkah itu Baskoro yang dimaksud?
Intan turun dengan kakinya yang gontai karena terlalu lama menyetir mobil.
"Maaf Bu, bisakah saya bertanya ?" Ibu itu seperti kebingungan karena tak mengerti dengan apa yang diucapkan Intan. Intan juga tahu harus berkata apa sampai seseorang wanita yang lebih muda mendekati mereka.
"Maaf Bu, Ibu saya kurang pendengarannya. Adakah yang bisa saya bantu?" Intan tersenyum.
"Saya mencari rumah Baskoro Bu..."
"Apakah Baskoro yang baru menikah yang ibu maksud? Baskoro yang dari Jakarta?" Intan tak tahu Baskoro siapa. Selama dia bernama Baskoro maka dia akan menemuinya. Lalu Iapun mengangguk. Wanita tadi menunjukkan sebuah rumah tidak jauh dari situ.
Rumah itu memiliki pekarangan yang luas. Hanya saja tampak bekas-bekas terselenggaranya sebuah acara.
"Nduuk, ada tamu!" seorang wanita berteriak karena melihat kedatangannya.
"Monggo, monggo silahkan masuk!" Ibu yang mungkin berusia setengah abad itu mempersilahkan Intan masuk.
"Siapa mbok ?" Seorang wanita dengan rambut yang sepertinya bekas memakai sanggul keluar dari tirai pembatas. Matanya menelisik melihat Intan kebingungan."Maaf, cari siapa ya Mbak?" kata Wulan menyambut kedatangan Intan.
"Maaf, apakah ini rumah Baskoro?" tanya Intan.
Wulan mengangguk, sorot matanya masih menunjukkan kebingungan. Ia sedikit tertarik ingin tahu karena penampilan Intan. Sangat jarang wanita berpenampilan mencolok seperti itu di desanya. Berambut pirang dan aura yang tak bisa dijelaskan.
Tak lama kemudian, seorang pria keluar dan membuat intan sangat terkejut.
Sama terkejutnya, Baskoro hanya mematung tak tahu harus berbuat apa. Melihat Baskoro seperti orang ketakutan Intan mengambil inisiatif pergi. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan Baskoro. Sudah terlambat baginya!
" Oh maaf, saya salah orang. Bukan ini Baskoro yang saya maksud. Maaf..." Intan permisi meninggalkan rumah itu.
Perasaannya benar seperti dicabik-cabik seekor harimau. Intan berlari sambil mengusap air matanya. Ia ingin segera meluapkan kesedihan yang tak pernah dibayangkan. Tidak ! Bahkan hal ini sering terlintas didalam pikirannya. Tapi Intan sungguh tak pernah berharap bahwa itu nyata terjadi.
Intan menangisi dirinya, kehampaan serasa merenggut seluruh jiwanya. Ditepi danau kecil berair jernih itu Intan meraung menyesali apa yang dilihatnya."Andaikan aku datang kemarin mungkinkah akupaku kesempatan untuk berbicara? Aku ingin membicarakan Bastian. Seorang anak yang telah menunggu sekian lama!"Intan tak sanggup memikirkannya."Baskoro, aku bahkan tidak pernah lupa sedetik pun." Intan menangis sejadinya.Sementara itu Baskoro masih dalam kebingungan. Wanita yang selama ini dicarinya bahkan hadir disaat yang tidak tepat. Karena bingung dia hanya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Hingga Wulan masuk dan melihat ketegangan Baskoro di wajahnya. Tetapi Baskoro justru berlari keluar dan menyambar motor trail milik Waluyo. Berusaha mengejar Intan yang sudah melaju.Intan mengerem mendadak ketika sebuah motor mendahuluinya dan berhenti tepat didepannya. Dia mengenali pria bermotor itu, tapi Intan tak menyangka Baskoro akan menyusulny
Kesibukan Jakarta membuatnya lebih memberikan kekuatan. Karena ia harus berpacu dengan semua pekerjaan yang tiada henti. Hal itu membuatnya sedikit melupakan kekecewaan yang ia alami .Ia kecewa karena Baskoro telah melupakannya, Ia kecewa karena dahulu Baskoro menuruti saja selembar kertas yang menyatakan mereka bercerai.Seharusnya Baskoro tidak harus benar-benar menceraikannya karena itu hanya palsu belaka. Ini sungguh membuatnya kecewa karena ternyata sekarang dia hanya mantan baginya.Sayangnya Intan belum sempat menunjukkan kartu yang tersembunyi itu. Bastian adalah kartu yang belum ia buka di hadapan Baskoro. Tapi karena pernikahannya itu, Intan tidak siap membuat kekacauan.Intan mengecek berkas-berkas pembangunan jalan yang ada di ruas jalan Merah putih. Karena proyek tahap pertama telah selesai dilakukan. Sejauh ini pekerjaan itu ditangani Multi Projects Maintenance, sebuah sub kontraktor yang dipercaya Wijaya Group. Intan merasa harus men
Baskoro membaca semua artikel yang memuat tentang keluarga Abraham Wijaya. Menelusuri barangkali ada jejak pemberitaan yang menjelaskan dimana Intan selama ini. Baskoro mendapatkan bahwa selama ini Intan pindah sekolah di salah satu universitas Australia. Tidak disebutkan masalah pribadinya kecuali Intan pernah dikabarkan menikah dengan seorang pria anonim dan menjadi janda tanpa anak. Semua berita berkutat tentang itu itu saja.Baskoro belum merasa puas dengan hasil penggalian informasi itu. Lalu dia menelfon Zaki yang kebetulan salah satu staff di gedung Intan bekerja, dia adalah salah seorang teman yang kebetulan sering bertemu di rumah kontrakan di Jakarta dan ternyata mereka bertetangga."Tumben menelfon?" heran karena tiba-tiba Baskoro menghubungi di tempat kerja."Iya, bisakah kita ketemuan waktu makan siang?""Tentu saja bisa, ada apa sebenarnya?""Hmmm, saya butuh sedikit informasi,"Zaki menyanggupi mereka b
Seorang pria berjalan tegap memasuki koridor perkantoran Wijaya Group. Dia adalah lelaki dengan usia enam puluhan. Dengan kilau Arloji ditangannya, menunjukkan betapa elegan penampilannya meskipun sebagian rambutnya telah memutih. Sorot mata tegas yang ia pancarkan membuat orang lain menunduk saat melihatnya. Tentu saja setiap orang yang dilaluinya digedung itu tahu siapa Pria dengan wibawa yang demikian memanas. Ketegangan akan tiba-tiba menghampiri disetiap meja kerja yang berada disana. Mereka, bila terlihat sedikit saja kesalahan, teguran dengan aroma mempermalukan akan menjadi kenangan seumur hidup mereka. Sementara orang-orang disekelilingnya adalah para ajudan yang menjaga tuannya. Mereka menjaga Tuan Abraham pemilik Wijaya Group. Abraham memutar handle pintu ditempat putri semata wayangnya berada. Menyembulkan kepalanya tanpa suara. Intan yang sejak bergeraknya handle pintu sudah mengawasi, tertawa melihat ayahnya menyembulkan kepala dari balik pintu.
"Sangat keterlaluan orang yang lari dari undangannya sendiri." Intan terlompat karena sangking terkejutnya. Toilet itu sangat sepi karena jarang sekali karyawan yang bekerja sampai malam. "Ya Tuhan! " Ia memegang jantungnya yang serasa melompat dari tempatnya. "Andre? Apa yang kau lakukan disini? Apaa..." mata Intan melirik pintu toilet. "Ha ha ha. Kamu memang pandai membuat orang tersudut. Seharusnya aku masuk saja tadi, toh pintu toilet wanita itu terbuka." "Dasar mesum!" Intan membalikkan badan hendak pergi, tapi Andre mengikutinya. "Aku heran dengan orang sepertimu, kita bahkan belum berbicara apapun tetapi kau sangat tidak bersahabat. Apakah selalu begitu caramu bersikap terhadap orang yang baru saja ingin mengenalmu?" "Bagaimana denganmu? Apa yang kau kerjakan disini? Aku tidak pernah tahu kau bekerja disini." Ucapnya. "Aku memang tidak bekerja disini, aku sedang menjemput calon istriku." "Andre
Baskoro masih memikirkan sebuah sebutan yang diteriakkan bocah empat tahun itu. "Mommy? Hah sejak kapan dia dipanggil mommy?" Rasa penasaran membuatnya susah tidur semalaman. "Bocah itu pastilah bocah yang ada di foto itu." Baskoro mengingat sebuah foto dengan latar belakang Pinus bersalju yang sempat mengganggu pikirannya. Tak satu berita yang menjelaskan Intan sudah bersuami apalagi memiliki anak. Itu membuat Baskoro merasakan sesuatu yang sangat berkaitan dengan dirinya. Egonya merasa tersakiti karena dia adalah suami yang dibuang oleh wanita konglomerat itu, tapi ia tidak mungkin berasumi bahwa anak itu adalah darah dagingnya. "Tapi mungkinkah?" Batinnya bergolak. "Tidak mungkin!" Lagi-lagi hatinya mengingkarinya. Seandainya mungkin, itu membuatnya semakin pusing. Baskoro berjalan ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Perjalanannya tidak terencana semalam membuatnya sangat letih. Memang tidak ter
Gedung gedung pencakar langit adalah pemandangan yang bagi Baskoro sebuah fenomena tentang bagaimana ia menciptakan sebuah seni keindahan dalam artian keindahan dalam kemajuan sebuah tempat. Ketika sebuah kota yang terbelakang, kemudian dalam suatu waktu berubah menjadi deretan gedung-gedung tinggi, maka label kemajuan akan tertempel dikota itu . Tentu saja semua itu akan tercipta dari sebab dolar dan rupiah yang mengalir disitu. Tempat-tempat seperti itu adalah ladang uang bagi orang-orang yang berprofesi semisal Baskoro. Disisi lain, Baskoro juga mencintai alam pedesaan yang sangat damai. Dengan pola hidup sederhana, masyarakat yang ramah dan tidak masa bodoh. Membuat hatinya terpaut dengan kampung halamannya. Tetapi ada hal yang membuat ia takut. Dia telah memiliki istri palsu sekarang. Dia tidaklah pulang karena ingin. Mengingat tatapan menyedihkan Wulan dia sungguh tak sanggup. Dia jua manusia biasa, memiliki hati yang lemah. Dia ju
"Cepatlah Nita! Nanti kita kesiangan!?" Intan berteriak memanggil Nita. "Sebentar Ibu, ini lagi nyari topi buat Bastian!" Nita balas berteriak. "Nah ini dapat!" Nita mengambil topi koboi milik Bastian dan tergopoh-gopoh keluar rumah. Di halaman Intan sedang mengisi bagasi dengan berbagai macam perbekalan. Tikar, tenda , ban renang, seluncur dan perbekalan makan sudah hampir semua masuk ke dalam bagasi. Intan menutup bagasi."Selesai!" Gumamnya. Bastian yang hanya melompat-lompat kegirangan tertawa melihat kesibukan Mommy nya dan Nita. Dia sangat bahagia karena mereka akan rekreasi ke pantai. "Ayo Bastian, let's go!" Intan mencium pipi Bastian dan menggandengnya masuk ke dalam mobilnya. Tak lama setelah mereka sudah berada didalam mobil, Andre menelfon. "Aku sudah menunggu di area yang kamu sebutin kemarin." Andre telah berada di gerbang pantai yang dijanjikannya kemarin. "Oke. Kami sudah berangkat. Tapi maaf mungkin satu j