LOGIN
"Aku terima nikahnya Sera Aurora binti Abraham Addy dengan mas kawin tersebut dibayar tunai"
"Sah" kata para saksi Doa pun dipanjatkan dengan khidmat oleh Pak Penghulu. Suasana hening seketika, hanya lantunan doa yang mengisi udara. Setelahnya, Sera mencium tangan suaminya, Sebastian Aditya dan Sebastian membalasnya dengan kecupan lembut di kening istrinya. Senyum manis merekah di wajah Sebastian. Malam harinya, resepsi megah akan diadakan di sebuah hotel bintang lima. Para kolega bisnis Sebastian sudah pasti akan hadir, karena di kota X keluarga Sebastian dikenal dengan perusahaannya yang cemerlang Sebastian merupakan seorang manajer di perusahaannya, dan ia adalah putra sulung dari Aditya Kenzo, pemegang kendali perusahaan S. Ibunya yang dikenal elegan bernama Maya Kayla. Keluarga Sebastian juga memiliki putri bungsu bernama Olivia Aditya. . . Di sisi lain, Sera Aurora merupakan anak tunggal dari pasangan Abraham Addy dan Aisyah Zara. Keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan. Ayahnya juga pemilik perusahaan, namun perusahaannya tidak seterkenal perusahaan besannya. Ibunya memiliki toko kue yang cukup terkenal dikalangan perusahaan. Saat ini, Sera tengah melanjutkan kuliah Sarjana di bidang bisnis. Mimpinya sederhana namun penuh makna, ia ingin membuat perusahaan ayahnya agar bisa berkembang dan berdiri sejajar dengan perusahaan besar lainnya. Sera merupakan seorang gadis yang tangguh, walaupun anak satu-satunya, ia tidak manja dan cengeng, ia didik menjadi gadis pemberani namun penuh kasih sayang . . Malam itu, resepsi pernikahan Sera dan Sebastian berlangsung megah di sebuah hotel bintang lima. Gaun putih panjang berhiaskan payet halus membalut tubuh Sera dengan anggun. Wajahnya bercahaya, membuat Sebastian yang berdiri di sampingnya terpana sejenak. Sebastian menggenggam tangan Sera, sambil tersenyum ia berkata "Mari kita buat semua orang iri dengan kecantikanmu malam ini." Sera tersipu, rona merah menjalar di pipinya. Tatapan mereka saling bertemu sesaat sebelum mereka menuruni anak tangga bersama. Pasangan pengantin itu menyapa para tamu yang hadir satu per satu. Sebastian dengan bangga memperkenalkan istrinya kepada para kolega dan rekan bisnisnya. Meski awalnya canggung, namun perlahan sera mulai terbiasa, ia tersenyum anggun dan sopan. Di antara kerumunan, Mama Aisyah menatap putrinya penuh haru. "Mereka sangat serasi ya, Jeng. Tampan dan cantik," ucap Mama Aisyah. Mama Maya mengangguk setuju, senyumnya tak lepas sepanjang acara. Tak jauh dari mereka, dua sahabat lama, Papa Aditya dan Papa Abraham, saling merangkul bahu. "Kini kita benar-benar satu keluarga, seperti yang dulu kita impikan." ujar Papa Aditya dengan penuh semangat. "Aku yakin kita akan membangun kerajaan bisnis yang hebat," balas Papa Abraham mantap. Mereka tertawa bahagia Waktu terus bergulir. Musik pelan mulai mereda. Para tamu mulai meninggalkan ruangan. Malam beranjak larut, saat acara telah usai, Sebastian menggandeng tangan Sera, membawanya menuju kamar mereka di lantai atas hotel. Sesampainya di kamar, Sebastian membuka pintu, membiarkan Sera masuk lebih dulu. Suasana kamar telah dihiasi bunga dan lilin aromaterapi yang lembut. Sera berdiri di depan cermin, mulai melepas gaun pengantinnya, namun tampak sedikit kesulitan. Sebastian melihat sekilas "Ada yang bisa aku bantu?" tanya Sebastian dengan suara rendah dan penuh kelembutan. Sera menghela napas pelan, mencoba meraih kancing di punggungnya yang sulit dijangkau. "Hmm... tidak, terima kasih..." jawabnya, meski nada suaranya ragu. Sebastian memperhatikan sejenak, lalu melangkah mendekat. Sebastian melangkah pelan, lalu berdiri di belakang Sera yang tengah berusaha membuka gaunnya. Ia menatap pantulan istrinya lewat cermin, perempuan yang kini telah sah menjadi pendamping hidupnya, walaupun mereka tak saling mengenal secara pribadi. "Aku tahu, kita belum saling mengenal," ucap Sebastian pelan, suaranya terdengar tulus. Tanpa berkata, tangannya membantu membuka kancing gaun itu dengan hati-hati. Sera membeku ia belum terbisa dengan semua ini. "Dan pernikahan ini... lahir dari persahabatan orang tua kita. Tapi aku berharap kita bisa menjalani semuanya perlahan. Membangunnya dari awal, bersama-sama." Sera tak menjawab, namun hatinya berdesir. Setelah selesai membantu, Sebastian melangkah meninggalkan Sera menuju kamar mandi. Sera menatap sebastian, ada senyuman yang terukir diwajahnya. Di kamar yang sunyi, Sera duduk di tepi ranjang, ia memeriksa ponselnya dan tertera 20 panggilan tak terjawab. - Aiden Arsenio - Sera menatap layar itu lama, lalu menghela napas dalam-dalam. Dengan tangan yang gemetar sera mengirim pesan. "Maafkan aku, Aiden... Sekarang aku sudah menjadi istri orang. Tolong, jangan ganggu aku lagi." Sera melihat kearah pintu kamar mandi. Ia takut Sebastian melihatnya. Segera ia mematahkan kartu SIM dari ponselnya. Ia tahu, ini adalah keputusan yang menyakitkan untuk Aiden tapi juga yang paling benar menurutnya. Pikiran Sera melayang ke kata-kata Sebastian tadi. Tentang membangun perlahan. Tentang harapan. Dan untuk pertama kalinya, Sera merasa yakin... mungkin Sebastian adalah takdir terbaiknya. Ceklek... Pintu kamar mandi terbuka. Sebastian keluar dengan rambut yang masih basah dan mengenakan piyama abu-abu sederhana. Ia terlihat santai namun tetap rapi. "Sekarang giliranmu," ucapnya ringan. Sera hanya mengangguk dan melangkah menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar. Rambutnya dikeringkan seadanya, wajahnya polos tanpa riasan, tapi Sera terlihat lebih cantik, pesonanya justru lebih nyata dan alami. Sebastian menoleh, memperhatikannya sekilas. "Istirahatlah. Aku tidak akan mengganggumu malam ini," katanya sembari membuka laptop di meja kecil dekat jendela. Sera menatapnya, lalu tersenyum tipis. Tak ada tuntutan, tak ada paksaan hanya waktu yang akan membawa mereka pada kedekatan. Malam pertama mereka tak diisi janji manis atau gairah berlebih. Tapi justru dalam ketenangan seperti ini, Sera merasa hatinya mulai membuka ruang untuk seseorang yang baru. Bersambung. . . Jangan lupa tinggalkan jejak kawan TerimakasihSera sedang sibuk bekerja. Ia begitu fokus pada layar di depannya, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan sebelum hari pernikahannya tiba. Tanggal pernikahan semakin dekat, dan makin hari ia semakin takut tidak bisa membagi waktu dengan baik. Di satu sisi pekerjaannya menumpuk, di sisi lain ia harus memastikan segalanya berjalan sesuai keinginannya. Ia ingin hari itu sempurna. Sementara itu di lobby kantor, suasana memanas. Bella dan asistennya tampak berdebat dengan resepsionis. “Maaf, Bu. Saya tidak boleh mengizinkan siapa pun naik ke ruangan Pak Aiden,” ujar receptionist sopan. “Kau tidak tahu siapa aku? Aku tunangan Aiden!” Bella mengangkat dagunya angkuh, seolah-olah seluruh dunia harus tunduk kepadanya. “Maaf, Bu. Tapi Pak Aiden sedang tidak di tempat. Hanya sekretarisnya, Ibu Sera yang berada di kantor,” jawab receptionist tetap lembut. “Kalau begitu, aku akan bertemu sekretarisnya. Di mana ruangannya?” Bella masih saja berbica
Sore itu, Aiden tiba di rumah Sera bersama kedua orang tuanya. Ia sengaja tidak memberi kabar lebih dulu, ia tahu, sebentar lagi Sera pasti akan tiba di rumah. “Om, Tante… perkenalkan, ini orang tua saya,” ucap Aiden sopan. Papa dan Mama menyambut hangat calon besan mereka dengan senyum penuh keramahan. Mereka pun saling berkenalan, bertukar sapa, dan berbincang hangat. Daddy membuka percakapan dengan nada bersahabat. “Niat kami datang ke sini adalah untuk melamar putri Bapak. Kami bahagia mendengar kalau anak kami sudah menemukan wanita yang ia cintai.” Papa mengangguk pelan, lalu menarik napas sebelum berbicara. “Tapi mohon maaf, Pak, saya ingin bercerita sedikit tentang anak saya… dan kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya hanya ingin semuanya jelas, agar tidak ada hal yang membebani mereka di kemudian hari.” Daddy dan Mommy saling berpandangan, lalu mengangguk penuh pengertian. Mereka menghargai ketulusan Papa yang ingin terbuka. Papa pun mulai menceritakan semuanya,
Aiden akhirnya tiba di kota kelahirannya. Ia pulang dengan satu tujuan, yaitu memberi kabar kepada kedua orang tuanya bahwa ia akan menikah. Dalam hati, ia berharap kabar ini membawa kebahagiaan bagi mereka. “Morning, Dad... morning, Mom,” sapanya hangat. “Aiden…” seperti biasa, Mommy langsung menyambutnya dengan pelukan penuh rindu, mencium pipinya seperti anak kecil yang baru kembali dari perjalanan jauh. “Selalu saja pulang tanpa memberi kabar,” Mommy menepuk dada putranya lembut. Aiden terkekeh, lalu kembali memeluk Mommy lama-lama, sebelum merangkul Daddy yang sudah menatapnya dengan senyum tenang. “Apa kabar, Nak?” tanya Daddy. “Aku sangat baik, Dad. Dan... aku membawa kabar gembira,” ucap Aiden sambil tersenyum melihat dua orang yang paling ia sayangi. Mommy mulai menyiapkan sarapan untuk kedua lelaki kesayangannya. “Berita apa, sayang?” tanyanya sambil menuangkan kopi. “Aku ingin menikah, Mom. Dad.” Mommy langsung menatapnya antusias. “Benarkah? Dengan siapa?
“Aku akan bicara pada Mama dan Papa,” ucap Aiden begitu mereka tiba di rumah. Sera hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian, Aiden melangkah masuk ke ruang tamu rumah Sera. “Maaf, Om, Tante... ada yang ingin saya bicarakan,” ujarnya sopan. Papa dan Mama Sera menatap Aiden penuh tanya. “Maaf kalau Aiden lancang, Om,” lanjutnya sambil menarik napas panjang. Aiden menggenggam kedua tangannya sendiri, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tidak beraturan. “Saya... ingin menikahi Sera, Om, Tante.” Ucapan itu menggantung di udara. Papa dan Mama saling berpandangan, terdiam cukup lama. Mama akhirnya bersuara pelan, “Apa tidak sebaiknya menunggu sampai ingatannya pulih? Tante takut kalau nanti, saat Sera sudah benar-benar ingat, dia tidak bisa menerima semuanya.” Sera segera menyela, tak ingin Aiden disalahpahami. “Aiden sudah menceritakan semuanya, Ma. Aku sudah tahu kalau aku seorang janda... dan Leo adalah anakku. Meskipun aku belum mengingat semuanya, se
Sera tiba-tiba menangis, membuat Aiden panik. “Aku seperti merindukan seseorang, Aiden…” suaranya lirih, bergetar. Aiden tak tahu harus berbuat apa selain memeluknya erat, mencoba menenangkan isak tangis itu. “Apa dia menyakitiku? Kenapa hatiku sakit sekali?” Sera terisak di dada Aiden. “Tidak, sayang… dia tidak pernah menyakitimu,” ucap Aiden lembut. Sera menunduk, matanya menatap papan nama di makam di hadapannya. Sejak tadi pikirannya dipenuhi ribuan potongan kenangan yang tak bisa ia tangkap utuh. “Leonard Maximus… apa dia anak kita?” tanyanya pelan, menatap Aiden dengan mata sembab. Aiden menggeleng pelan. “Dia anakmu… tapi bukan denganku.” “Maksudmu… apa aku sudah menikah?” Sera spontan menjauh dari pelukan Aiden, menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Lebih tepatnya, kau sudah janda, sayang,” ujar Aiden lembut. Sera terdiam, menatap kosong ke arah nisan kecil itu. “Aku akan menceritakan semuanya nanti, kalau kau sudah siap,” lanjut Aiden, ia mengusap permukaa
Dua hari telah berlalu, dan hari ini adalah hari pernikahan Sebastian dan Naomy. Mereka mengucap janji suci di rumah orang tua Sebastian, disaksikan hanya oleh keluarga inti. Sebastian tampak sangat bahagia. Wajahnya bersinar penuh semangat saat memperkenalkan Naomy kepada keluarga besarnya, sangat berbeda dengan Sera dulu yang selalu terlihat tenang, bahkan sedikit cuek. Malam harinya, Papa dan Mama Sebastian meminta pasangan itu untuk bermalam di rumah. Namun Naomy menolak halus, terutama ketika Sebastian mengajaknya ke kamar lamanya. “Aku tidak mau tidur di kamarmu yang dulu... yang pernah kau tempati bersama Sera,” ucap Naomy dengan bibir yang sedikit manyun. Bayangan masa lalu suaminya dengan wanita lain membuat dadanya sesak. Sebastian tersenyum lembut, merengkuh istrinya dalam pelukan. “Ini malam bahagia kita, sayang. Jangan mengingat siapa pun selain aku. Dia sudah lama aku buang jauh-jauh.” Naomy menghela napas dan mengangguk. Pelan, ia membalas pelukan itu. “Akhirnya ki







