ログインPagi itu, sinar matahari menembus lembut dari balik tirai kamar hotel. Sebastian sudah lebih dulu terbangun. Ia menoleh ke samping, menatap wajah polos istrinya yang masih terlelap.
Pelan-pelan, ia menepiskan lembut anak rambut yang menutupi wajah Sera, Sebastian menatap Sera lekat, entah apa yang ia pikirkan saat itu. Sera menggeliat pelan dan membuka matanya. Ia sedikit terkejut melihat wajah Sebastian begitu dekat dengannya. "Maaf membuatmu terkejut," ucap Sebastian cepat, sambil mundur sedikit. "Aku akan mandi lebih dulu. Setelah itu kita akan sarapan dibawah." Sera hanya mengangguk kecil sambil tersenyum tipis. Setelah Sebastian masuk ke kamar mandi, Sera membongkar koper yang berisi pakaiannya, mengambil satu setelan santai untuk ia kenakan. Sambil menunggu Sebastian. Sera duduk di ranjang dan meraih ponselnya. Ia mencoba menyalakannya, lalu mengerutkan dahi. "Astaga... aku lupa, kartunya sudah aku buang," gumamnya sambil menepuk jidat sendiri. "Ada apa?" suara Sebastian tiba-tiba terdengar dari arah pintu kamar mandi. Ia sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian santainya. "Tidak apa-apa. Aku cuma lupa jika sudah membuang kartu lamaku," jawab Sera agak canggung. "Baiklah, nanti kita akan beli kartu baru." Sera tersenyum mengangguk, lalu masuk ke kamar mandi. Dan sekarang mereka duduk berhadapan di restoran hotel. Meja bundar dengan taplak putih bersih menjadi saksi sarapan pertama mereka sebagai suami istri. Hidangan tertata rapi, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Suasana hening. Hanya terdengar suara alat makan yang beradu dengan piring. Saat Sera sedang menikmati suapannya, Sebastian tiba-tiba mengulurkan tangan ke arahnya. Sera menatapnya heran, mengangkat kedua alisnya tanpa berkata apa-apa. Sebastian mengangguk menatap Sera lalu melihat ke arah tangannya, memberi kode agar Sera menyambut uluran itu. Dengan sedikit ragu, Sera akhirnya menyambut tangannya. "Perkenalkan, namaku Sebastian. Dan mulai hari ini aku adalah suamimu," ucap Sebastian sambil menatapnya serius namun penuh kehangatan. Sera tertawa lepas. "Kamu lucu sekali," katanya, tangan mereka masih bertaut Sebastian tersenyum, matanya tak lepas dari wajah Sera. "Kamu cantik saat tertawa begitu." Tawa Sera langsung mereda, wajahnya memerah dan ia reflek melepaskan tangannya dari genggaman Sebastian. Ia tak terbiasa dipuji begitu langsung. Ada getar aneh yang menyusup ke hatinya. Sebastian sangat pandai mengambil hatinya. "Aku ingin kita mulai mengenal satu sama lain," Sebastian berucap pelan. "Aku akan menceritakan tentang diriku, lalu kamu juga boleh cerita apa pun tentangmu." "Baiklah," Sera mengangguk, menatap Sebastian serius. "Kamu duluan." Sebastian menghela napas pendek, lalu mulai bercerita. Ia berbicara tentang dirinya yang hebat dalam berbisnis sehingga perusahaannya bisa terkenal, ia juga menceritakan bagaimana ia sudah terbiasa dikelilingi banyak wanita, hingga ia menyebutkan satu nama yaitu Naomy. Teman wanitanya dulu. Mereka saling mencintai, namun takdir menuntun jalan hidupnya ke arah yang berbeda, yaitu pernikahannya dengan Sera Aurora. Sera mendengarkan dengan seksama, nama Naomy membuatnya sedikit terganggu, Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, meski ia berusaha menyembunyikannya. "Apa kamu menyesal dengan pernikahan ini?" Sera bertanya pelan Sebastian terdiam sesaat, menatap Sera lurus. Suasana menjadi hening kembali. Sebastian meraih tangan Sera yang berada diatas meja, ia mengusapnya lembut. Sebastian tersenyum tipis, dan berkata "Aku sama sekali tidak menyesal." "Aku hanya ingin kamu tahu masa laluku. Supaya kita tidak memulai semuanya dengan kebohongan. Sekarang… giliranmu." Sera tersenyum mendengar penjelasan Sebastian, pria ini sungguh pandai bermain kata. Sekarang giliran Sera yang menceritakan kehidupannya, ia menarik napas, lalu mulai bercerita dengan suara pelan namun pasti. "Aku masih kuliah. Semester akhir. Dua bulan lagi… aku akan wisuda." Wajah Sera terlihat tenang saat bercerita, tapi Sebastian bisa menangkap sedikit kegugupan dalam matanya. Sebastian menggenggam tangan Sera mencoba menguatkan. "Aku juga punya seseorang dari masa lalu. Namanya Aiden." Sera melanjutkan dengan hati-hati, "Kami sudah lama tidak bertemu. Dan... hubungan itu sudah berakhir sejak aku tahu jika aku akan dijodohkan denganmu." "Kita sama-sama mempunyai masa lalu, aku harap masa lalu kita yang sudah selesai tidak mempengaruhi hubungan pernikahan kita, seperti katamu tadi malam, kita akan membangunnya perlahan." Sebastian menatapnya, kali ini lebih lembut. Ia bisa merasakan kejujuran dalam suara Sera. Tidak ada drama, tidak ada niat menyakiti. Hanya seorang perempuan muda yang sedang belajar berdamai dengan hidup barunya. "Terima kasih sudah bercerita," ujar Sebastian akhirnya. "Aku tahu semua ini tidak mudah untuk kita berdua. Tapi aku menghargai keberanianmu untuk jujur." Sera mengangguk. Ia sendiri terkejut bisa mengatakan itu dengan terbuka. Tapi entah mengapa, mendengar nada tenang Sebastian, ia merasa nyaman dan sedikit lebih ringan. Sebastian mengeratkan genggaman tangannya. "Kita memang tak memulainya dari cinta. Tapi aku yakin, dengan waktu… kita bisa membangun sesuatu yang jauh lebih kokoh." Sebastian berucap meyakinkan Sera menatap mata Sebastian, ia tersenyum mengangguk. Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu, ia merasa bahwa mungkin... mungkin ini adalah awal yang baik. Bersambung . . . Jangan lupa tinggalkan jejak kawan TerimakasihKeriuhan langsung pecah begitu pintu ruangan terbuka dan sang pemilik baru perusahaan melangkah masuk. Tatapan penuh pesona sempat menyambut Aiden hingga dalam hitungan detik tatapan itu memudar. Semua mata sontak tertuju pada wanita cantik yang digandengnya dengan begitu bangga. Tanpa ragu, Aiden memperkenalkan Sera sebagai istrinya… sekaligus CEO baru perusahaan ini. Sera membelalakkan mata. Ia bahkan sempat menahan napas. "Sayang… kamu jangan main-main," bisiknya pelan di telinga Aiden. Sementara itu, Sebastian dan Olivia tampak seperti tersambar petir tidak percaya, marah, sekaligus terhina. "Aku tidak main-main, sayang. Perusahaan ini sekarang milikmu. Kau yang akan mengurusnya… tentu saja dengan bimbinganku," Aiden mengedipkan satu matanya, membuat seluruh karyawan terperangah melihat kemesraan itu. Bisik-bisik mengalir dari berbagai sudut ruangan. Banyak yang memuji, banyak yang iri tapi semua sepakat bahwa pasangan itu terlihat sangat serasi. Berbeda dengan Sera yang mula
Seminggu berlalu setelah bulan madu mereka berakhir. Kini Sera dan Aiden harus kembali pada realita menjalani hari-hari dengan bekerja seperti biasa. Mereka sudah tinggal bersama di apartemen baru yang Aiden beli khusus untuk istrinya. Sementara apartemen lama milik Aiden, kini ia sewakan. Pagi itu, Sera sibuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. “Kenapa tidak apartemen lama mu saja yang kita tempati, sayang?” tanya Sera sambil menata piring. Aiden mendekat, mengambil tangan Sera, lalu menciumnya lembut. “Itu rumah bujangku. Ini rumahku bersama istriku. Aku hanya ingin suasana baru.” Sera tersenyum kecil. “Oh iya… apa aku akan jadi ibu rumah tangga?” “Siapa bilang?” Aiden menjawab santai sambil menikmati sarapannya. Sera hanya mengangkat bahu, pasrah. “Kau tetap jadi sekretarisku,” ujar Aiden sambil mengedipkan sebelah mata. “Kau harus selalu ada di sampingku. Jadi kita bisa berbulan madu di mana saja.” Senyumnya berubah penuh makna. “Maksudmu?” Sera mengernyit, bingung denga
Pagi hari, Aiden sudah bersiap, begitu pula dengan Sera. Dengan gaun sederhana yang melekat di tubuhnya, Sera tampak cantik tanpa perlu usaha berlebihan. Aiden menatapnya lama, tersenyum, lalu mendekat dan memeluk pinggang istrinya dari belakang. “Terima kasih,” bisik Aiden sambil mengecup ceruk leher Sera. Sera menatap pantulan mereka di cermin, memegang tangan Aiden yang di perutnya. “Terima kasih untuk apa?” “Untuk semua yang kau berikan.” Sera berbalik menghadap suaminya. Dengan lembut ia memegang kedua pipi Aiden. “Dengar… aku tidak memberikan apa pun selain cintaku. Dan aku rasa itu pun belum cukup. Aku ingin memberimu seorang anak.” Ia lalu mengecup bibir Aiden penuh kelembutan. Aiden terdiam sejenak, menatap Sera dengan penuh cinta. “Seharusnya aku yang berterima kasih padamu. Terima kasih atas perjuanganmu selama ini. Kalau kau tidak berjuang, aku tidak akan bersamamu sekarang… dan tidak akan sebahagia ini.” Air mata Sera mulai mengalir. “Terima kasih,
Pagi-pagi sekali mereka sudah berkumpul di restoran hotel. Aiden tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan istrinya, seolah takut Sera menghilang barang sedetik. Mereka menyapa keluarga satu per satu sebelum akhirnya duduk dan ikut menikmati sarapan hangat bersama. “Aku akan membawa Sera berlibur, Dad,” ucap Aiden sambil tersenyum pada Daddy dan Mommy. “Itu bagus. Sudah seharusnya kalian berbulan madu,” jawab Daddy ringan. “Papa akan mensponsori tiket keberangkatan dan kepulangan kalian. Ke mana pun.” Papa berkata dengan bangga. Hari itu, ia baru benar-benar melihat anaknya tersenyum tanpa tekanan, sepanjang hari bersama Aiden. “Dan Daddy akan mensponsori penginapan kalian,” Daddy menimpali tak mau kalah. Mommy ikut menggoda, “Enak ya punya orang tua dan mertua kaya.” Tawa pun pecah di meja itu. “Terima kasih Pa… thank you, Dad,” Aiden bertos ria, seperti kebiasaannya sejak dulu bersama Daddy. Sera dan keluarganya bisa merasakan kehangatan keluarga Aiden, sesuatu y
Sebastian dan keluarganya naik ke panggung untuk memberi selamat kepada pengantin baru. Aiden menatap mereka dengan ekspresi datar, namun ia menggenggam tangan Sera erat seolah ingin melindungi pujaan hatinya dari apa pun yang mungkin datang. “Selamat, Sera… akhirnya kau menemukan pengganti kakakku,” ucap Olivia dengan cibiran yang jelas merendahkan. Aiden tidak langsung turun tangan. Ia ingin melihat sejauh apa Sera bisa melawan. “Ada apa dengan kakakmu? Siapa dia? Dan kau sendiri… siapa? Aku rasa aku tidak mengenalmu. Bagaimana bisa kau datang ke pestaku?” Sera berpura-pura masih hilang ingatan, dengan ekspresi yang begitu tenang. Olivia terkekeh meremehkan. “Dasar amnesia. Kau itu janda, jangan bermimpi terlalu tinggi. Aku rasa…” Olivia mendekat dan berbisik di telinga Sera. “Kau akan bernasib sama seperti dengan kakakku dulu. Habis manis, sepah dibuang.” Sera tetap tersenyum, senyum yang justru semakin memancing emosi Olivia. “Kita lihat saja. Jika suamiku dibandin
Hari ini adalah hari bahagia Sera dan Aiden. Berbeda dengan pernikahannya yang dulu, kali ini Sera benar-benar bahagia menikah dengan hati dan pilihannya sendiri. Sekali lagi, kebaya putih menyelimuti tubuh mungilnya. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Sera, senyum manis terukir begitu sempurna. “Ayo sayang… Aiden sudah menunggumu,” ucap Mama dan Mommy lembut. Mereka menggandeng Sera menuju tempat Aiden berada. Aiden menatap Sera dengan senyuman yang langsung melembutkan seluruh raut wajahnya. Air mata menggenang di matanya, akhirnya ia sampai pada titik ini, menikahi perempuan yang benar-benar ia cintai. “Tidak ada yang tidak mungkin untuk cinta. Akhirnya kau menikahi wanita yang kau cintai, brother,” Mike menepuk pundak Aiden. “Aku acungkan jempol untuk perjuangan cintamu,” tambah Vincent dengan bangga. Aiden tersenyum sambil mengusap sudut matanya. Ia terharu, ini hari yang sudah ia nantikan sejak lama. “Terima kasih sudah membantuku. Hari ini tidak akan ada tanpa kalian







