LOGINMarvella pun akhirnya tak tahan.
Begitu pertunjukan kembang api itu akhirnya selesai, ia segera melangkah keluar rumah dengan tatapan waspada, takut ada tetangga yang keburu mengintip dan mulai bergosip. Saat langkah Marvella memasuki pagar, Oreo yang antusias langsung menghampirinya sembari menggoyangkan ekor penuh semangat. Sementara Dastan yang baru saja meletakkan batang kembang api terakhir di ember berisi air, terlihat tenang saat menoleh ke arahnya. “Kamu gila, ya? Jam segini bikin pertunjukan kayak gitu?? Kalau ada yang lapor ke satpam komplek gimana?” suara Marvella terdengar ketus, matanya menatap Dastan tajam. Dastan mengangkat sebelah alis. “Tapi yang penting Kenzo senang, kan?” Marvella refleks menoleh ke samping. Dari balik jendela, ia bisa melihat Kenzo masih berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan riang. Anak itu tampak lebih hidup dari biasanya. “Bukan gitu intinya,” potong Marvella cepat, mencoba menutup perasaan yang mulai sedikit goyah. “Kamu itu sudah bikin keributan, Dastan.” Dastan tersenyum tipis. “Keributan yang indah sih, kalau menurutku.” Marvella pun akhirnya hanya bisa mendesah lelah, dan merasa tak ingin terjebak lebih jauh lagi dalam percakapan itu setelah melihat Dastan yang keras kepala. Namun ketika ia hendak memutar tubuh kembali ke rumah, Dastan pun kembali bersuara. “Kenzo benar-benar mirip sama kamu,” ucapnya pelan dengan tatapan matanya yang hangat menembus dinginnya malam. “Kalian sama-sama suka kembang api.” Langkah Marvella terhenti. Jantungnya pun kini mulai sedikit berdetak tak beraturan. “Aku masih ingat,” lanjut Dastan pelan. “Waktu itu adalah ulang tahunmu yang ke-20. Aku memberikan kejutan dengan pertunjukan kembang api di pantai. Kamu bilang, itu adalah malam paling bahagia dalam hidupmu.” Marvella menahan napas. Ingatan itu memang masih ada, terpatri jelas di dalam kepalanya. Saat itu Dastan menancapkan puluhan tangkai kembang api di atas pasir pantai membentuk tulisan, " I Love U, Marvella." Malam dengan suara debur ombak yang menenangkan, cahaya kembang api yang berpendar di langit gelap, dan dirinya yang tertawa bebas di dalam pelukan hangat Dastan. Tapi ia cepat-cepat menegakkan bahu dan menatap Dastan dengan sorot mata dingin. “Siapa sih yang nggak suka kembang api?” jawabnya datar. “Jangan terlalu percaya diri kalau aku masih mengingat hal-hal remeh seperti itu.” Dastan menatap Marvella, seakan mencoba membaca kebohongan yang terselip di balik kata-kata wanita itu. “Kalau kamu lupa, itu artinya aku harus bikin kamu mengingatnya lagi, Vel,” gumannya samar tapi cukup terdengar. Marvella pun mendengus, lalu berbalik menuju rumah tanpa merasa perlu untuk menjawab apa pun. Namun sebelum masuk, ia tak bisa menahan diri untuk kembali menoleh... dan mendapati Dastan yang ternyata masih tetap memandangnya dengan tatapan misterius dan sulit diartikan. Marvella kembali mengabaikan dan segera masuk ke dalam rumahnya, lalu bersandar pada pintu yang baru ia tutup rapat untuk meredam napasnya yang mendadak terasa sesak. Kenzo bergegas menyambutnya dengan wajah berbinar. “Mamaaa, Om Dastan keren banget, kan? Boleh nggak kalau besok Om Dastan bikin pertunjukan kembang api lagi?” Marvella pun meringis dalam hati seraya memaksakan sebuah senyum tipis, lalu menepuk pelan kepala putranya penuh kasih sayang. “Sudah malam, Ken. Tidur dulu. Kita lihat besok saja ya.” *** Pagi itu udara terasa segar, meskipun sedikit berisik dengan suara klakson motor dan ibu-ibu komplek yang sibuk mengantarkan anak sekolah. Marvella menggandeng tangan Kenzo sambil membawakan bekal kecil di tas. Anak itu melompat-lompat riang, sepertinya dia masih teringat pada pertunjukan kembang api semalam. Tak jauh di sisi lain jalan, Dastan baru saja menutup pagar rumahnya. Kemeja putih rapi dan celana kerja abu-abu membuatnya terlihat matang, kontras dengan Oreo yang berlari-lari kecil di sampingnya dengan semangat khas anjing husky. “Selamat pagi, Mas Dastan!” sapa Bu Ratna, tetangga yang rumahnya tepat di seberang. Ia membawa kantong sayuran segar. “Wah, ganteng sekali yang mau ke kantor. Siapa pun yang nanti jadi istrinya pasti bangga sekali ya…” Dastan hanya tersenyum tipis, tak berniat menjawab. Ia sudah hafal karena komentar semacam itu yang bukan sekali dua kali terdengar. “Oh iya, Bu Marvella! Selamat pagi!” Bu Ratna kemudian menoleh ke arah Marvella dan Kenzo yang baru keluar pagar. “Wah, putranya Bu Marvella tinggi ya! Kalau nggak pakai seragam SD, bisa-bisa dikira anak SMP!” Marvella mengangguk singkat, kemudian balas tersenyum sopan. “Pagi, Bu Ratna. Baru pulang belanja?" Sekilas, pandangan Marvella dan Dastan pun bersirobok. Ada sepersekian detik hening yang terasa panjang, seolah waktu yang berjalan pun ikut menahan napasnya. Namun suasana itu cepat pecah oleh gonggongan ceria Oreo yang mendadak menyeret tubuhnya mendekati Kenzo. “OREO!” seru Kenzo senang, langsung jongkok untuk memeluk anjing berbulu lebat itu. Tawa kecilnya pun pecah, membangkitkan perhatian beberapa tetangga yang lewat. “Om Dastan, Oreo ikut kerja juga ya?” tanya Kenzo polos dengan mata berbinar. Dastan terkekeh, lalu ia mengusap kepala Oreo yang setia di sisinya. “Kalau Oreo ikut kerja, nanti semua orang di kantorku malah sibuk main sama dia, bukannya kerja. Jadi biasanya Oreo aku titipkan di pet hotel setiap kali aku pergi. Di sana dia punya banyak teman, dan ada yang jagain juga.” “Waaah, enak banget,” guman Kenzo iri. “Aku juga pengin ikut pet hotel.” Marvella mendengus pelan menahan tawa. “Kenzo, sudah ya. Masuk mobil sekarang, nanti kamu terlambat sekolah.” Anak itu meringis enggan melepaskan Oreo. Tapi tatapan tegas sang mama membuatnya menurut. Ia pun berjalan menuju mobil, sambil menoleh berkali-kali ke arah anjing husky yang masih menggoyangkan ekornya. Saat Marvella hendak menyusul, Dastan menoleh sambil menundukkan kepala sedikit. “Selamat pagi, Marvella.” Marvella berhenti sepersekian detik, tapi kemudian menutup wajahnya dengan ekspresi datar. Tanpa sepatah kata pun ia membuka pintu mobil, masuk, dan menyalakan mesin. Dastan hanya berdiri di tempat, melihat mobil itu melaju pelan keluar komplek. Di sisinya, Oreo mengeluarkan suara “woof!” pendek, seolah ikut merasakan canggungnya suasana. Dastan tersenyum kecil seraya menepuk kepala anjingnya. “Iya, Oreo. Kamu benar. Mamanya Kenzo memang susah ditebak.” ***Marvella pun akhirnya tak tahan. Begitu pertunjukan kembang api itu akhirnya selesai, ia segera melangkah keluar rumah dengan tatapan waspada, takut ada tetangga yang keburu mengintip dan mulai bergosip. Saat langkah Marvella memasuki pagar, Oreo yang antusias langsung menghampirinya sembari menggoyangkan ekor penuh semangat. Sementara Dastan yang baru saja meletakkan batang kembang api terakhir di ember berisi air, terlihat tenang saat menoleh ke arahnya. “Kamu gila, ya? Jam segini bikin pertunjukan kayak gitu?? Kalau ada yang lapor ke satpam komplek gimana?” suara Marvella terdengar ketus, matanya menatap Dastan tajam. Dastan mengangkat sebelah alis. “Tapi yang penting Kenzo senang, kan?” Marvella refleks menoleh ke samping. Dari balik jendela, ia bisa melihat Kenzo masih berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan riang. Anak itu tampak lebih hidup dari biasanya. “Bukan gitu intinya,” potong Marvella cepat, mencoba menutup perasaan yang mulai sedikit goyah. “Kamu itu
Kenzo duduk di meja makan sambil menatap Marvella dengan wajah kecewa. “Ma, kok Mama usir Om Dastan? Padahal seru banget tadi. Aku suka kalau Om Dastan dan Oreo ada di sini.” Marvella menghela napas panjang, lalu mengelus kepala anaknya. “Ken, dia itu tetangga, bukan bagian dari keluarga kita. Jangan terlalu dekat, ya.” “Tapi Oreo suka sama aku, dan aku juga suka sama Oreo. Lagian… Om Dastan nggak jahat, kok.” Marvella terdiam. Meski hatinya menolak, tapi dengan mata kepalanya sendiri tadi ia melihat dengan jelas bagaimana Oreo bisa membuat anaknya tertawa sepuas itu. Jarang sekali tawa Kenzo begitu lepas sejak perceraiannya. Wanita itu lalu tersenyum kepada putranya. “Sudah, yuk kita makan dulu. Masih ada sisa spageti di panci.” Beberapa saat kemudian, rumah Marvella akhirnya tenang. Kenzo sedang duduk menonton TV sambil mengunyah sisa spageti. Sementara itu, Marvella menatap piring penuh spageti yang tadi sudah ia susun rapi. Porsinya masih terlalu banyak untuk diri
Ketika malam hari tiba, Marvella mendengar ketukan di pintu depan rumahnya. Dengan ragu ia pun membuka pintu, dan terkejut kala mendapati Dastan berdiri di sana bersama dengan Oreo yang duduk manis di sampingnya. Ya Tuhan. Lagi-lagi dia...?! "Malam, Vel. Ini, mainan bola punya Kenzo ketinggalan di rumahku tadi,” ujar pria itu datar, sambil menyerahkan sebuah bola plastik biru kecil ke tangan Marvella. Baru saja wanita itu hendak menjawab dengan kalimat ketus, tapi tiba-tiba saja Kenzo sudah keburu datang melesat setara kecepatan cahaya dari dalam. “Om Dastan, Oreo!” Bocah itu tersenyum lebar dan langsung mengelus anjing kesayangannya. "Om, masuk yuk! Mama masak spageti yang enak banget, pasti Om Dastan suka, deh." Dengan penuh semangat, Kenzo menarik tangan Dastan agar masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Oreo yang menyalak riang sambil melompat-lompat kecil. Kejadiannya begitu cepat, dan Marvella pun hanya bisa bengong lalu memijit pelipisnya yang mendadak nyeri. 'Astag
Udara pagi di Green Valley Residence terasa lebih segar dibandingkan siang terik kemarin.Aroma rumput basah masih menempel di udara, bercampur dengan suara burung gereja yang hinggap di kabel listrik.Marvella berdiri di dapur mungil rumah barunya, masih mengenakan piyama pink bergambar bunga. Rambut cokelat gelapnya tergerai acak, sementara ia sibuk menyiapkan roti panggang untuk sarapan.“Kenzo, ayo sarapan dulu sebelum Mama telat antar kamu ke sekolah.”Tidak ada jawaban.“Kenzo?” Ia menoleh ke arah ruang tamu yang sepi.Dengan alis mengernyit, Marvella meletakkan pisau selai lalu berjalan keluar ke halaman.Dan benar saja dugaannya.Putra semata wayangnya itu sudah jongkok di rumput bersama Oreo, si anjing husky berbulu putih abu-abu yang terlihat menempel manja di sampingnya.Bocah itu mengelus leher Oreo sambil tertawa cekikikan ketika anjing itu menjilat tangannya.“Kenzo!” Marvella setengah berteriak. “Berapa kali Mama bilang jangan main sama anjing tetangga?”Kenzo menoleh d
Udara siang itu cukup terik, ketika sebuah mobil pickup bak terbuka berhenti di depan rumah nomor 11 di komplek Green Valley Residence. Sopir menurunkan tumpukan kardus, lemari kecil, dan satu kasur lipat yang diikat seadanya. Di balik mobil, seorang wanita berambut cokelat gelap yang digelung asal-asalan sibuk memberi arahan. Dengan kaus putih longgar dan celana jeans yang sudah belel, Marvella Riani terlihat berkeringat. Meski wajahnya masih menyimpan pesona, garis-garis lelah terlihat jelas di bawah matanya. “Kenzo, jangan lari-larian! Itu masih banyak barang pecah belah!” teriaknya pada bocah laki-laki berusia delapan tahun yang melesat ke halaman rumah baru mereka. Kenzo Rafi, anak semata wayangnya itu tampak sumringah. Ia mengenakan kaos bergambar robot penuh noda es krim dari perjalanan tadi, celana pendek gombrang, serta rambut acak-acakan yang membuatnya tampak seperti jelmaan energi tak terbatas. “Yeay, akhirnya punya rumah baru!” serunya sambil menendang bo







