LOGINHujan deras mengguyur Firenze malam itu. Langit seperti sedang berduka, petir menyambar dengan suara menggelegar, dan setiap kilat yang menyinari kaca jendela memantulkan bayangan suram di dinding rumah keluarga Morreti.
Elara berdiri di dapur sendirian, hanya ditemani cahaya temaram dari lampu kecil di sudut ruangan. Tangannya menggenggam gelas air yang dingin, menatap kosong ke luar jendela. Ia sudah terbiasa dengan malam-malam seperti ini. Malam di mana Damian belum pulang, Giovanni sibuk di ruang kerjanya, dan rumah itu terasa lebih seperti penjara daripada rumah. Namun malam itu berbeda. Ada sesuatu di udara, berat, lembab, dan menyesakkan. Suara pintu besar terbuka dengan keras dan kasar membuat Elara tersentak. Langkah kaki berat bergema di sepanjang lorong. Ia tahu langkah itu milik Damian tapi ia tak tahu, kenapa malam ini membuatnya merasa gemetar ketakutan. Biasanya, suara langkah itu membuatnya tenang tapi malam ini, ada nada aneh di sana, langkah yang terseret, berat, dan tak teratur. Elara tahu Damian baru pulang dari perjalanan bisnis bersama ayahnya tapi aroma alkohol yang tercium dari kejauhan membuat jantungnya berdebar tak karuan. "Tuan." Beberapa orang pelayan dan pengawal menghampiri Damian. "Pergi dan kosongkan seluruh ruangan pribadiku dan Elara!" ucapnya tegas dan keras. Semua tak ada yang berani bertanya apalagi membantah. Semua pergi sesuai perintah. Mengosongkan rumah timur, khusus daerah kekuasaan Damian dan Elara sebagai putra putri Morreti. “Elara.” Suara itu pelan, tapi dalam dan serak. Elara menoleh dan di sana, di ambang pintu dapur, Damian berdiri dengan kemeja putih yang setengah terbuka, rambut basah karena hujan, dan mata kelam yang tampak lelah sekaligus, kosong. “Kamu belum tidur,” katanya. Suaranya seperti hembusan badai yang menahan amarah. Elara menelan ludah. “Aku hanya ingin minum air. Kamu sebaiknya istirahat, Damian. Kamu tampak lelah.” Ia takut dan ia masih terbayang saat Damian membunuh tapi ia tidak bisa pergi menghindari Damian begitu saja. Damian melangkah mendekat, perlahan. Setiap langkahnya membuat Elara mundur selangkah. “Aku memang lelah, Elara. Semuanya terasa kacau. Ayah menuntut terlalu banyak. Dunia ini menuntut terlalu banyak tapi hanya kamu,” ia berhenti, menatapnya dengan mata yang hampir putus asa “hanya kamu yang bisa membuatku tenang.” “Damian,” suara Elara bergetar. “Kamu mabuk. Besok kita bicara lagi, sekarang lebih baik istirahat.” “Tidak,” bisik Damian. “Sekarang.” Tangan Damian terulur, mencengkeram pergelangan tangan Elara. Dingin, kuat, tak memberi ruang untuk kabur. Elara mencoba menarik diri, tapi genggamannya semakin erat. “Damian, tolong,” bisiknya, hampir tak bersuara. Ia takut, sangat takut saat Damian terlalu dekat. Damian tidak mendengar atau mungkin ia mendengar, tapi memilih untuk tidak memahami dan pura-pura tuli. Ia menarik Elara ke sofa dan merebahkan tubuhnya. Elara berusaha sekuat tenaga untuk bangun dan kabur tapi usahanya sia-sia. Tenaga Damian cukup kuat. Ia hanya bisa menjerit saat Damian melucuti pakaian miliknya. "Kamu milikku, Elara." Damian memandangi tubuh polos Elara dengan senyum yang menurut Elara sangat mengerikan. Hujan yang sempat mereda kini kembali lebih deras seperti badai. Elara berteriak cukup keras dan mencengkram punggung Damian kuat saat Damian menembus pertahanan terakhirnya. Air mata Elara mengalir bersama dengan darah kesuciannya yang direnggut paksa. Ia bersumpah akan membenci Damian untuk selamanya. *** Keesokan paginya, matahari tetap terbit seperti biasa tapi bagi Elara, dunia tidak lagi sama. Ia duduk di lantai kamarnya, punggungnya bersandar pada dinding, selimut membungkus tubuhnya yang menggigil. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan tangannya gemetar setiap kali mencoba bernapas. Ia tak tahu banyak kejadian semalam, ia hanya merasakan sakit dan tiba-tiba semua menjadi gelap. Saat ia bangun, ia sudah berada di kamar. “Elara?” Merry, ibunda Elara. Mengetuk pintu pelan. "Ayo kita sarapan, Sayang." Tak ada jawab, Merry merasa cemas. Ia membuka pintu kamar Elara perlahan. Begitu pintu terbuka ia melihat kondisi putrinya yang kacau tengah terisak. “Elara." Ia berlutut, memeluk anaknya yang hancur tanpa tahu harus berbuat apa. Dunia mereka runtuh dalam diam. Meski Elara tidak bercerita, ia sudah tahu apa yang baru saja dialami oleh putrinya. "Tunggu, Ibu." Merry keluar kamar dan berniat untuk mencari keadilan. "Dimana Elara, kamu datang sendirian?" Giovanni menatap Merry sekilas, lalu melanjutkan sarapannya. Giovanni tahu. Ia tahu dari cara Damian tidak berani menatap mata siapa pun saat pagi tiba. Ia yakin Damian telah berbuat sesuatu yang fatal tapi ia tidak berniat melakukan apa pun. Hanya diam. Seolah menutup mata lebih mudah daripada menghadapi kenyataan dan kebenaran. “Elara akan pergi bersamaku,” kata Merry. “Kami akan pindah dari neraka ini. Aku sungguh menyesal menerima lamaranmu. Kalian semua iblis!" Giovanni tidak mencegah dan tidak berkomentar. Damian sendiri hanya menunduk, wajahnya kelabu. Rasa bersalah begitu kuat. Ia mengingat persis detail kejadian semalam. Tidak ada respon apa pun, Merry merasa sangat sakit hati. Ia pergi menuju kamar Elara kembali dan membantunya berkemas meninggalkan neraka dan para iblis. Saat Elara berjalan melewati ruang tamu untuk terakhir kalinya, Damian menatapnya dari ujung tangga, mata yang dulu penuh perlindungan kini hanya menyisakan bayangan bersalah. “Elara,” panggilnya pelan tapi gadis itu tidak menoleh. Ia hanya berjalan terus, keluar dari rumah itu, membiarkan hujan menutupi air matanya. Bertahun-tahun kejadian kelan itu telah berlalu dan pria itu datang lagi. Mengingatkan neraka yang pernah membakar hidup dan hatinya menjadi abu. "Pergi dari tokoku! Aku tidak ingin melihatmu lagi." Elara berusaha mengusir Damian dari toko bunga miliknya. "Kamu memang neraka untukku. Jadi menjauhlah dari hidupku." "Baiklah tapi aku akan kembali lagi." Damian tersenyum tipis, melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan toko tapi bukan pergi dari kehidupan Elara.Pagi di Firenze selalu punya caranya sendiri untuk menipu perasaan. Langit cerah, udara segar, burung-burung beterbangan di atas atap, tapi di dada Elara, selalu ada sisa mendung yang tak juga pergi.Ia bangun lebih awal dari biasanya. Menyalakan lampu toko, merapikan rambutnya yang sedikit kusut, dan mengecek serta menyiapkan pesanan besar untuk Hotel La Firenze supaya pemesan merasa puas mendapatkan bunga terbaik. Hari itu, bunga yang dipesan adalah mawar putih, bunga yang melambangkan kesucian dan kedamaian. Ironis, pikir Elara, karena dalam hidupnya, kedamaian sudah lama tak singgah.“Signorina, mobil pengantar sudah siap,” ujar Sofia sambil menenteng clipboard. “Terima kasih, Sofia. Kamu jaga toko, ya. Aku yang antar pesanan ini sendiri,” balas Elara sambil tersenyum kecil.Sofia sempat memprotes, “Tapi ini banyak sekali, kamu yakin sanggup sendiri?”Elara mengangguk, “Aku butuh udara pagi. Tak apa, anggap saja jalan-jalan singkat.”"Baiklah." Sofia tidak mau berdebat, ia takut d
Seperginya Damian dari toko, Elara berusaha menata napasnya. Udara malam di Firenze terasa lembap, aroma tanah basah masih tertinggal setelah hujan panjang yang mengguyur sejak pagi. Ia berdiri di balik meja kasir, menatap sekeliling toko bunganya yang kini dipenuhi mawar mawar, lili putih, lavender ungu, dan daisy kuning. Hari ini adalah hari kasih sayang. Hari di mana orang-orang datang membawa senyum, dan pulang dengan bunga di tangan. Namun bagi Elara, hari ini adalah hari sial, pengingat bahwa cinta tidak selalu indah, kadang cinta bisa melukai sedalam duri mawar yang tampak lembut dari jauh. Ia menyesal pernah menaruh hati pada Damian. Bel pintu berbunyi membuyarkan lamunan Elara. “Selamat sore!” seru sepasang kekasih muda yang masuk dengan tawa. Elara tersenyum ramah, seperti biasanya, seolah tidak ada badai yang pernah melewati hidupnya. “Mawar merah tiga tangkai, tolong dibungkus cantik ya, signorina,” kata pria itu sambil menatap pacarnya dengan tatapan penuh kasih. “Te
Hujan deras mengguyur Firenze malam itu. Langit seperti sedang berduka, petir menyambar dengan suara menggelegar, dan setiap kilat yang menyinari kaca jendela memantulkan bayangan suram di dinding rumah keluarga Morreti.Elara berdiri di dapur sendirian, hanya ditemani cahaya temaram dari lampu kecil di sudut ruangan. Tangannya menggenggam gelas air yang dingin, menatap kosong ke luar jendela. Ia sudah terbiasa dengan malam-malam seperti ini. Malam di mana Damian belum pulang, Giovanni sibuk di ruang kerjanya, dan rumah itu terasa lebih seperti penjara daripada rumah.Namun malam itu berbeda.Ada sesuatu di udara, berat, lembab, dan menyesakkan.Suara pintu besar terbuka dengan keras dan kasar membuat Elara tersentak.Langkah kaki berat bergema di sepanjang lorong. Ia tahu langkah itu milik Damian tapi ia tak tahu, kenapa malam ini membuatnya merasa gemetar ketakutan. Biasanya, suara langkah itu membuatnya tenang tapi malam ini, ada nada aneh di sana, langkah yang terseret, berat, da
Elara tidak bisa tidur meski hujan di luar sudah berhenti dan petir sudah tidak ada lagi, hanya ada kilatan cahaya di langit sesekali. Ia duduk di pojok kamar, menggenggam lutut, sementara pikirannya berputar tanpa henti, bayangan darah, suara tembakan, dan tatapan dingin Damian berulang dalam kepalanya.Ia tidak pernah menyangka, semua adegan dalam televisi, ia kini melihatnya secara langsung. Sangat mengerikan dan bau darah itu, membuatnya terus menerus-merasa mual. Ia menatap jendela, berharap pagi cepat datang tapi justru ketukan pintu yang terdengar. Jantungnya langsung berdegup keras. “Siapa?” suaranya serak, penuh waspada.“Elara.” Hanya satu kata, tapi cukup untuk membuat napas Elara tertahan. Ia berdiri perlahan, tangannya ragu memutar kenop pintu tapi ia tetap membukanya. Damian berdiri, tanpa jas, kemejanya masih sama seperti sebelumnya, hanya kini sedikit basah karena hujan yang baru berhenti. Wajahnya tenang, tapi matanya, mata itu menyimpan sesuatu yang gelap, sesuatu
Malam itu, hujan turun deras.Langit bergemuruh, memantulkan cahaya petir di jendela besar rumah keluarga Morreti. Semua lampu di ruang bawah menyala terang, tapi rumah itu terasa lebih menyeramkan daripada gelap.Elara turun pelan dari kamarnya, menggenggam sweater di tubuhnya. Ia takut petir dan ia butuh Damian. Suara keras, seperti benda pecah terdengar dari ruang kerja ayah tirinya. Ia berhenti di tangga, jantung berdegup cepat.Biasanya, suara seperti itu artinya satu hal, Damian sedang marah dan setiap kali Damian marah, semua orang di rumah itu memilih diam. Semua takut dengan kemarahan Damian. Malam ini berbeda..Ada teriakan suara pria lain. Suara yang bukan berasal dari keluarga Morreti.Elara menelan ludah.Naluri menyuruhnya kembali ke kamar, tapi rasa penasaran dan entah kenapa, juga kekhawatiran mendorong langkahnya maju. Ia berjalan mendekati ruang kerja di ujung koridor. Pintu kayu besar itu sedikit terbuka. Ruang kerja ayah tirinya yang hampir tak pernah ia datangi se
Suara lonceng kecil di atas pintu kembali berbunyi, disusul langkah seseorang yang terbiasa datang setiap sore. Elara menoleh dan tersenyum tipis.“Ah, kamu datang lagi, Arvid,” sapanya lembut sambil mengelap tangan di celemek. Ia meninggalkan Damian begitu saja. Pemuda itu, dengan rambut cokelat muda dan wajah yang selalu tampak gugup di hadapan Elara, tersenyum kikuk sambil memegang setangkai bunga matahari. “Aku ingin bunga ini, cantik dan cerah sepertimu," ucapnya bercanda sembari membetulkan letak kacamatanya. Elara terkekeh kecil. “Kamu pelanggan paling rajin yang pernah aku punya. Bahkan bunga-bunga di etalase hafal sama wajahmu dan candaanmu.”Arvid tertawa pelan, matanya menatap Elara sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Ada kekaguman yang jelas, tapi tidak berani diungkapkan.Namun sebelum Arvid sempat menjawab, suara berat memotong udara. Suara yang dalam, tenang, tapi membuat jantungnya langsung menegang.“Menarik,” ujar Damian datar dari sudut ruangan. “Jadi sekaran







