Share

Playing fictim!

"Berhenti di sini aja, Pak." Selena menginterupsi tukang ojek online yang mengantarnya pulang ke rumah almarhum papanya.

Rumah peninggalan yang kini ditempati oleh ibu tirinya. Selena bergegas turun, dan melepas helm milik tukang ojek. Dia mengembalikannya, lalu menyodorkan selembar uang warna merah. "Helm-nya, Pak. Terus ini ongkosnya. Kembaliannya buat Bapak aja."

Diberi uang tip yang lumayan besar, senyum sang tukang ojek seketika mengembang lebar. "Makasih, Neng."

"Sama-sama, Pak."

Tukang ojek berlalu, Selena lekas memasuki halaman rumah tersebut. Baru tiga langkah, seketika gadis itu menyendu. Ingatannya kembali pada kepulangannya tahun lalu. Waktu itu, dia mendapat kabar jika papanya meninggal karena kecelakaan.

Kepulangannya pada hari itu di sambut oleh jenazah papanya yang sudah terbujur kaku. Yang lebih mengejutkan lagi ialah—mamanya tiba-tiba memberikan surat wasiat terakhir sang papa. Surat wasiat yang berisi perihal permintaan terakhir Satria kepada Selena untuk berhenti kuliah, dan menikahi pria yang sudah dipilihkan untuknya.

Siap tidak siap. Mau tidak mau Selena pun memenuhi wasiat itu. Akan tetapi, baktinya kepada sang papa justru malah mendapat penghianatan dari suami dan kakak tirinya.

"Selama ini aku udah mengalah. Menikah di usia muda, dan berhenti kuliah demi mewujudkan baktiku pada Papa. Tetapi, yang kudapat bukan kebahagiaan melainkan sebuah penghianatan."

Selena menarik napas dalam-dalam. Bayangan Darwin dan Rania saat bergumul di atas tempat tidurnya kembali terlintas. Rasa panas kembali menjalari hatinya.

"Aku akan aduin kelakuanmu ke Mama, Kak." Telapak tangan Selena mengepal kuat, tekatnya sudah bulat. Mama tirinya harus tahu bagaimana kelakuan anak perempuan tersayangnya. "Mama pasti di rumah."

Dengan keyakinan penuh, jika sang mama akan mau membelanya kali ini, Selena kembali melangkah sampai ke depan pintu. Sejenak, dia menghela napas pendek, lalu mengangkat tangan dan mengetuk pintunya.

"Maaa ..." Suara Selena terdengar sedikit lantang.

Pintu baru terbuka di ketukan ketiga. Herlin muncul dari balik pintu, keningnya mengernyit, lalu menyorot tak suka pada Selena. "Kamu ... ngapain ke sini?" tanyanya datar.

"Emang gak boleh, ya, pulang ke rumah sendiri?" Jawaban Selena sangat ketus dan sinis. Dia sudah menebak akan sambutan dari Herlin—mama tirinya ini.

Sudut bibir Herlin seketika berkedut. "Boleh, kok." Rautnya sama sekali tak sinkron dengan ucapannya barusan. Tatapan Herlin lantas berlarian ke luar rumah. "Kamu sama siapa ke sini? Sendirian?"

"Hmm." Tanpa menunggu dipersilahkan masuk, Selena lebih dulu menerobos pintu, dan melewati Herlin dengan santai.

Sementara Herlin seketika berdecak keras dengan sikap anak tirinya. "Suamimu gak nganterin?" Herlin bertanya, setelah ikut mendaratkan bokongnya pada sofa di ruang tamu.

"Enggak." Selena menatap Herlin serius. "Ada yang mau kukasih tau sama Mama. Ini soal Kak Rania dan Mas Darwin," ucapnya berusaha untuk tetap tenang, meski sisa-sisa gemuruh di dada masih mendominasi.

"Kenapa sama mereka?" Sepasang alis Herlin terangkat bersamaan, tangannya terlipat di dada

"Kak Rania sama Mas Darwin selingkuh. Mereka selingkuh, Ma," ujar Selena, berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, meski nada bicaranya sedikit bergetar. Setegar-tegarnya dia, tetap saja hatinya terasa sangat sakit.

"Selingkuh?" Herlin terkejut, tetapi dia tidak percaya begitu saja. "Kalo ngomong jangan asal. Mana mungkin Rania dan suamimu selingkuh?"

Sudah Selena duga, jika Herlin tidak akan percaya padanya. "Aku gak ngasal, Ma. Aku mergokin sendiri. Kak Rania sama Mas Darwin lagi ..."

"Lagi apa?" Herlin mencondongkan tubuhnya.

Manik Selena memicing. "Mama pasti tau, kalo laki-laki normal berduaan sama cewek di dalem kamar, pasti ngelakuin apa?" Raut pura-pura tidak mengerti Herlin, membuat Selena mendengkus.

Herlin lantas berdecak. Dia tentu paham apa yang terjadi jika itu benar adanya. Akan tetapi, egonya sebagai ibu yang tidak mau anaknya disalahkan justru membuat Herlin bersikap egois. "Jangan nuduh kakakmu yang bukan-bukan! Nanti, kalo sampe orang-orang denger, akan jadi Boomerang. Ngerti!"

"Aku gak nuduh, Maa ..." Selena membela diri. Kesabarannya selalu diuji oleh sikap pilih kasih Herlin selama ini. "Buat apa aku nuduh, kalo kenyataannya memang begitu? Asal Mama tau, pernikahanku sama Mas Darwin selama ini gak harmonis, Ma. Aku gak bahagia. Enggak."

"Kamu itu bisa-bisanya ngomong begitu. Kamu harusnya bersyukur, dinikahin laki-laki kaya. Hidupmu terjamin. Rumah ada, mobil tinggal pake. Ini, baru ada masalah dikit aja udah ngeluh. Ngadu terus nuduh. Ck!" Herlin melengos tak acuh.

"Ma, percuma juga aku cerita sama Mama. Kalo ujung-ujungnya aku juga yang disalahin. Jelas-jelas anak Mama yang udah berulah. Anak kesayangan Mama yang udah ngerusak rumah tanggaku." Selena mengeluarkan semua isi kepalanya. Tak peduli akan reaksi Herlin yang langsung melotot tajam.

Faktanya, selama menjadi ibu sambung, Herlin tak sekali pun menyayangi Selena. Perempuan itu hanya mencintai Satria—papa Selena.

Herlin bangkit dari duduknya, matanya menyalak tajam. Telunjuknya mengacung di depan muka putri tirinya. "Hei! Harusnya kamu itu yang introspeksi diri. Benahi diri kamu. Mikir! Kenapa bisa suamimu itu selingkuh sama kakakmu? Kalo kamu bener-bener istri yang bisa nyenengin suami, gak mungkin suamimu cari kesenangan sama perempuan lain. Paham?"

Bukannya dibela dan didukung, yang ada Herlin malah menyudutkan Selena. Namun, meskipun begitu, dia tidak mau ambil pusing. Karena dia sudah terbiasa dengan ketidakadilan semacam ini.

Daripada kepalanya tambah pusing, lebih baik Selena akhiri saja perdebatan tak berguna ini. Dia bangkit, lalu berkata, "Makasih, karena Mama udah bikin aku semakin sadar. Kalo laki-laki brengsek macam Mas Darwin memang cocok sama perempuan gatal kayak Kak Rania."

"Selena!" Herlin murka. Tak terima Selena menghina putrinya.

"Apa, Ma? Apa! Mama gak terima, aku sebut Kak Rania begitu? Hah?" Tak ada rasa takut sama sekali di diri Selena.

"Kurang ajar!" Tangan Herlin sudah terangkat tinggi. Namun, berhenti di udara karena Selena langsung menahannya.

"Aku bukan anak kecil lagi yang bisa Mama pukul kayak dulu." Selena menghempas tangan Herlin dengan kasar.

Diperlakukan demikian, Herlin tentu tak terima. "Pergi kamu! Mama udah gak mau liat mukamu! Anak kurang ajar!" Pergi!" Dia menarik paksa lengan Selena, lalu menyeretnya ke pintu.

"Lepasin!" Lagi-lagi Selena menghempas tangan Herlin dari lengannya. Dia menyesal karena sudah mengadu pada orang yang salah. Selena berkata, "Aku akan pergi dari rumah ini, tapi, inget! Suatu saat aku akan kembali untuk mengambil rumah Papa."

Herlin tertawa masam. "Rumah? Kamu udah gak ada hak di rumah ini. Ngerti! Karena papamu udah ngasih rumah ini buat mama dan kakakmu." Herlin melayangkan tatapan remeh.

Inilah yang Selena tidak suka dari papanya, sebab papanya itu terlalu dibutakan cinta. Seharusnya, dulu dia tidak pernah setuju dengan pernikahan kedua papanya.

"Baik. Kalo gitu, aku akan rebut kembali rumah Papa. Dan Mama siap-siap jadi gelandangan!" Setelah puas membuat muka mamanya pucat, Selena bergegas pergi meninggalkan rumah itu.

Herlin mematung di depan pintu, memandang punggung Selena yang lenyap di pandangan.

***

"Dari mana kamu?"

Suara Darwin dari arah ruang tamu menginterupsi langkah Selena yang baru saja masuk. Dia melangkah menghampiri sang istri dengan raut datar.

Bola mata Selena berputar malas. "Bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Lalu, Selena pun melewati Darwin begitu saja. Dia muak berlama-lama dengan lelaki ini.

Tetapi, Darwin tak membiarkannya pergi. Ditariknya paksa lengan Selena, kemudian mendorongnya sampai punggungnya membentur tembok.

Selena mendesis saat punggungnya terasa sakit. "Lepasin aku! Minggir!" Tangannya berusaha lepas dari cengkeraman Darwin, tetapi sia-sia.

Darwin tak peduli, malah tersenyum sinis. "Selama ini aku udah sabar. Aku capek pura-pura baik sama kamu. Dan sekarang, kayaknya aku udah gak perlu lagi pura-pura." Cengkeramannya menguat. Dia makin mendesak tubuh Selena di tembok.

"Aku juga udah muak sama kamu, Mas! Aku muak! Aku muak sama sikapmu! Aku jijik! Cuih! Playing fictim!" Tak segan Selena berdecih di depan muka sang suami.

"Sialan!" Darwin meradang. Tingkah Selena sungguh di luar dugaannya selama ini. Dia mengira jika istrinya ini tipe perempuan yang lemah dan cengeng. Namun, ternyata dia sudah salah menilai. "Kamu itu emang gak tau diri, Selena!" Bentak Darwin, meninju tembok tepat di sisi wajah Selena. Napasnya tersengal-sengal, emosinya ingin meledak.

"Aku tau diri, Mas! Yang gak tau diri itu kamu! Kamu! Kamu yang brengsek! Kamu yang udah selingkuh!" Balas Selena tak kalah meninggi.

Keberanian Selena membuat amarah Darwin tak bisa terkontrol lagi. Tangannya melayang tinggi, dan akan mendarat di pipi mulus itu lagi seperti tadi siang. Reflek, Selena memejamkan mata erat-erat, bersiap menerima pukulan yang kedua kali dari suaminya yang playing fictim ini.

Namun suara tegas tiba-tiba menginterupsi. "Darwin!"

Darwin seketika memucat melihat keberadaan Dev di depan pintu. "Daddy?"

_

bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status