Tiga hari berlalu.
Setelah kejadian di rumah sakit. Mas Samuel tak pernah pulang ke rumah. Dia meninggalkanku tanpa kata. Membiarkan aku menanggung rasa sakit ini sendirian. Selama tiga hari ini, aku hanya berdiam diri di rumah. Pikiranku penuh. Aku selalu menatap pintu luar, berharap Mas Samuel pulang. Namun, siang sudah berganti malam, batang hidungnya sampai saat ini belum kelihatan.Aku yang terluka.Ya, aku terluka karena harapan itu tak kunjung jadi kenyataan. Aku khawatir. Tak ada telepon ataupun pesan darinya. Ah, di mana Mas Samuel berada? Apakah hari ini sudah makan? Di luar sedang hujan, siapa yang buatkan dia kopi? Pertanyaan itu selalu berputar di kepala. Aku kesal, juga khawatir.Ting!Bella :Barusan gue liat laki lo keluar dari apartemenAku yang menerima pesan itu sedikit lega. Namun, apakah selama tiga hari ini Mas Samuel menginap di sana? Ah, memikirkannya saja membuat kepalaku hampir meledak.Me :Apartemen mana, Bel?Bella :Satu unit sama apart gue. Gue baru liat tadi si, dua hari kemarin kan lo tau gue lembur terus. Btw, lo gak ada chat dia gitu? Nanyain kabar atau kapan pulang? Udah tiga hari bukan?Aku terdiam membaca pesan dari Bella. Tiga hari ini aku memang mendiamkannya, tetapi bukan berarti pikiranku tenang. Justru karena pria itu, aku hampir gila. Kupikir dia akan memberi waktu satu hari untuk merenungkan masalah di rumah sakit. Nyatanya sampai tiga hari tak ada tanda-tanda dia akan pulang ke rumah.Me :Bel, kamu gak tanya dia mau ke mana?Bella :Gak sempet gue, laki lo jalan ke orang lari, cepet banget. Kayanya lagi buru-buru juga si.Buru-buru? Sumpah, memang boleh ya se-negatif thinking gini? Kenapa pikiranku langsung tertuju pada Mbak Kinan, padahal bisa saja Mas Samuel hendak pulang ke rumah. Ya, bisa aja 'kan? Akan tetapi, aku tahu betul bagaimana Mas Samuel, suamiku itu paling benci bepergian saat hujan, katanya dingin lebih baik ngopi di rumah. Lalu ... apa yang terjadi sampai pria itu nekat keluar di saat hujan deras sedang mengguyur kota Jakarta?"Sebenarnya ke mana Mas Samuel pergi?" kataku menggenggam erat ponsel di tangan.Menimang-nimang apakah harus aku duluan yang menghubungi, sebab mau sampai kapan menunggu?Mas SamuelMe :Mas kapan pulang? Hari ini aku datang bulan, perutku sakit.Setelah pesan itu terkirim, aku langsung bergegas pergi ke kamar. Soal datang bulan, itu bukan kebohongan. Aku tak kuat menunggu Mas Samuel di ruang tamu. Ini hari pertama dan sakitnya pun luar biasa.Satu pesan masuk.Bella :Gue gak yakin, tapi kayanya laki lo hari ini gak akan pulang Ser.Ternyata terlalu excited itu tidak baik, kupikir itu balasan pesan dari Mas Samuel, ternyata bukan. Namun, saat kubaca isi pesan tersebut sontak keningku mengerut.Me :Maksudnya?Bella :Mas Hendra, dia sama laki lo lagi di rumah sakit tempat Mbak Kinan dirawat. Katanya tuh cewek ngelanturin nama anaknya.Perutku sakit, membaca pesan dari Bella malah tambah tak karuan. Akhirnya kujatuhkan tubuh ke atas kasur.Bella :Dan gilanya, laki lo nunda meeting 1 jam cuma buat tuh cewek. Gak tau apa ya laki lo kalo gue mau kencan sama Mas Hendra, duh auto batal, nih, Ser.Bella sialan. Bisa-bisanya dia masih berpikir kencan dengan Mas Hendra. Dengan kesal 'ku lempar ponsel boba berwarna pink tersebut ke samping. Lagian, hujan-hujan gini mau kencan ke mana? Keluar rumah beli mi rebus saja aku malas."Sakit perut pas lagi datang bulan bener-bener nyiksa," ucapku meremas perut sendiri.Waktu terus berjalan dan kini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kantuk mulai datang, tetapi Mas Samuel tak kunjung pulang. Perlahan kupejamkan mata dengan menahan sakit di bagian perut paling bawah. Rasanya begitu melilit.Pukul satu dini hari.Aku terbangun dan meraba seisi kasur, tidak ada Mas Samuel. Mataku pun langsung terbuka lebar, benar kata Bella hari ini Mas Samuel tidak pulang. Sesak di dada mulai berdatangan, air mataku turun kala hal itu terlalu sakit untuk kuterima sendirian.Sakit itu makin menjadi ketika notifikasi yang sedari tadi kutunggu pun tak ada respons. Centang dua abu. Ya, pesanku berakhir sia-sia. Menangis bukan solusi, tetapi ini terlalu sakit. Apalagi aku tak tahu sedang apa Mas Samuel bersama Mbak Kinan di sana. Membayangkannya saja aku tak sanggup."Ibu ternyata aku tak sepeting itu," lirihku menatap langit kamar.Mas Samuel calling you...Tentu saja aku terkejut. Panggilan itu terlalu tiba-tiba, aku bahkan tak menyangka Mas Samuel akan menelepon di pagi buta seperti ini. Aku mendiami panggilan darinya, lalu saat dering ponselku berhenti satu pesan masuk.Mas Samuel :Kenapa masih online?Mas Samuel calling you...Panggilan kedua masuk. Dengan ragu, aku menekan tombol hijau pertanda panggilan diterima. Dibarengi dengan ponsel yang menempel di telinga, tangan kiriku sibuk mengusap air mata. Aku tak ingin terlihat lemah di hadapan Mas Samuel."Perutnya masih sakit?" tanya Mas Samuel dari seberang sana.Jawabannya tidak. Mungkin karena dibawa tidur, jadi sakit perut haid sudah hilang. Sayangnya, itu hanya terucap dalam hati saja."Saya di apartemen."Ada rasa lega saat mendengar kalimat tersebut. Namun, bagaimana jika pria itu berbohong? Entahlah. Ingin percaya, tetapi kenapa sesulit ini? Dia bisa saja mengelabuiku agar istrinya ini tak khawatir dan curiga. Ya, bisa saja 'kan?"Tidur, Serena. Besok saya pulang."Beberapa menit hening pun terjadi."Kenapa gak hari ini?" kata itu terucap dari mulutku.Mas Samuel tak langsung menjawab. Entah apa yang dia dipikirkan sampai hening kembali terjadi. Ah, ya, jelas tak bisa, sebab Mbak Kinan lebih peting. Aku sudah tahu jauh sebelum bualan itu keluar dari mulutnya."Soal kerjaan atau Mbak Kinan?" tudingku karena tak kunjung mendapat jawaban."Apartemen lebih dekat dari kantor, Serena."Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah gorden. Aku menyibak gorden tersebut, menatap sendu ke arah langit gelap. Tidak ada bintang, hanya ada bulan yang malang di atas sana. Namun, dibanding bulan, aku lah yang paling miris. Sejauh mana jarak rumah sampai Mas Samuel lebih memilih pulang ke apartemen?"Sejauh apa rumah sampai untuk pulang aja harus besok, Mas?""Kita butuh waktu, Serena. Saya pikir kamu ngerti kenapa saya gak pulang selama tiga hari ini."Aku membuka pintu yang menghubungkan dengan jendela. Dingin. Itu yang kurasakan ketika berjalan keluar."Aku butuh tambahan waktu.""Maksud kamu?"Aku menatap ke atas. Bulan, kenapa kemalanganmu harus terjadi padaku juga?"Aku mau pulang ke rumah Ibu, Mas."Itu adalah keputusanku.Pagi pun tiba. Aku sudah lebih dulu bangun, setelah panggilan telepon di jam satu dini hari selesai, aku memutuskan tidur kembali. Kini jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Niatku hari ini pergi ke rumah ibu dan menginap di sana untuk beberapa hari ke depan. Tidak ada persiapan, bahkan tak ada satu pun pakaian yang kubawa. Kulihat seisi kamar, rasanya berat. Di sini, banyak kenanganku dengan Mas Samuel. Pria dengan segala ambisinya selalu saja duduk di pojok kanan ruangan di mana itu adalah tempatnya bekerja. Aku termenung di tempat. Tuhan, apakah keputusanku kali ini benar? Napasku terasa sesak. Ini menjadi keputusan terbesar yang pernah aku ambil. Aku belum pernah memutuskan pulang ke rumah ibu setelah menikah, apalagi pulang sendiri tanpa suami. Ya, paling ketika ke rumah ibu aku dan Mas Samuel hanya berkunjung saja, sebab pekerjaan Mas Suami tak bisa ditinggalkan begitu saja. Sayangnya, itu semua tak berlaku. Pulangku bukan hanya berkunjung, tetapi untuk menenangkan diri. Se
"Seberapa besar luka itu sampai kamu memutuskan ingin pulang ke rumah ibu, Serena?" tanyanya begitu pelan dan terdengar menyakitkan. Aku menggeleng kuat. Menghindar dari hadapannya. Tak dapat dipungkiri bahwa pertanyaan tersebut terdengar begitu memilukan. Menyadari satu hal bahwa selama ini, Mas Samuel tak pernah mengerti sedalam apa luka yang istrinya miliki. "Maaf, Mas."Setelah mengatakan itu, aku memutuskan pergi dari rumah. Mas Samuel tampak tak bergeming dari tempatnya. Mungkin bagi Mas Samuel, perhatian serta kepedulian yang dia berikan kepada Mbak Kinan tak membuat hatiku terluka. Itu kenapa pertanyaan ketidaktahuannya justru malah menyakitiku. Saat membuka pintu, aku dikejutkan dengan kedatangan Anin dan Neneknya yang merupakan orang tua Mbak Kinan. Aku sempat memandang keduanya dalam hitungan detik, lalu melanjutkan perjalanan keluar rumah. "Mama Serena mau ke mana?" tanya Anin. Tak peduli bagaimana reaksi Anin dan Neneknya melihat aku pergi begitu saja tanpa mengucap
—POV SerenaAku menatap rumah yang hampir dua tahun ini ku tinggali bersama Mas Samuel. Tadi, saat hendak pergi ke rumah ibu, Anin justru datang bersama neneknya. Membuatku merasa bersalah meninggalkannya begitu saja tanpa menyapa terlebih dahulu. Sekarang, di tanganku sudah ada hadiah untuk Anin. Besok ulang tahunnya. Entah apa yang kupikirkan, sampai seniat ini membeli hadiah dan kembali ke rumah demi seorang Anin. "Mang Ujang," panggilku. "Loh, Bu Serena?" Buru-buru Mang Ujang membuka gerbang rumah. Aku menatap sebentar hadiah yang hendak kuberi kepada Anin. Aku tak berharap banyak, tetapi semoga anak itu suka. "Ini, saya titip hadiah buat Anin. Dia ada di dalam. Mang Ujang kasih aja ini ke Bi Siti," ucapku seraya menyodorkan hadiah itu. "Loh, Bu Serena mau pergi lagi?" "Tolong kasih dulu, Pak."Mang Ujang mengangguk lirih dan membawa hadiah itu ke dalam rumah. Aku tak langsung pergi. Entah apa yang kutunggu, tetapi kaki ini masih setia di tempat. Tak berselang lama Mang Uja
Usai percakapanku dengan Bella di apartemen tadi. Aku memutuskan pulang ke rumah ibu. Perasaanku campur aduk. Aku memang pernah berpikir sama seperti yang Bella ucapkan, tetapi sebisa mungkin pikiran itu kubuang jauh-jauh. Selingkuh. Satu kata, tetapi beribu luka di dalamnya. Hal itu membuatku teringat kembali bagaimana hubungan mereka tanpa sepengetahuanku. Dari pelukan, menyuapi makan, jalan-jalan, hingga kecupan ringan di pipi. Aku ingat semuanya. Apakah itu bisa dikatakan perselingkuhan? "Udah sampai, Mbak. Sesusai alamat tujuan," kata sopir Taxi membuyarkan lamunanku. "Ah, iya. Terima kasih, Pak." Aku langsung turun usai membayar ongkos Taxi. Aku menghirup udara di sekitar rumah ibu. Menyejukkan. Mendung membuat suasana terasa sendu sekaligus damai. Rumah ibu memang tak seluas rumah kami. Namun, ini cukup menenangkan. Aku bahkan dapat merasakan kehangatan dari sana, padahal belum sama sekali masuk ke dalam. "Neng Serena? Ya ampun, Ibu kira siapa. Sudah menikah jadi jarang
Malam pun tiba. Setelah percakapanku dengan Mas Rifki di taman belakang, aku tak menanggapinya, pergi begitu saja. Sepanjang hari aku menghabiskan waktu di kamar, tidur sampai lupa waktu. Kini, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Aku membuka pintu kamar, lalu berjalan ke dapur hendak memasak sesuatu di sana, ya, syukur-syukur ada sisa makanan yang bisa mengisi perutku yang sudah keroncongan ini. "Mbak Yuni?" ucapku terheran-heran."Mbak kenapa ada di sini? Gak salah lagi pasti nginep, ya?""Iya, tadi sore mau pulang, tapi Kenzo merengek pengen nginep di rumah neneknya. Ya udah nginep aja, toh besok hari libur kan." "Baru Mbak mau ke kamar kamu sehabis minum susu. Kamu pasti lapar ya?"Aku menatap susu yang Mbak Yuni buat, itu pasti susu ibu hamil. Setelahnya, aku pun berjalan mengambil air minum dan meletakan ponsel di sana. "Kenzo ke mana, Mbak? Udah tidur?""Belum, tadi si Mbak liat lagi main sama ayahnya di kamar."Aku mengangguk-anggukan kepala. Menatap sebentar ke arah Mb
"Happy birthday Anin!" teriak semua orang. MC acara ulang tahun langsung memberi arahan supaya Anin segera meniup lilinnya dengan diiringi musik. Lilin yang semula nyala kini kian meredup kala tiupan itu menyeluruh sampai lilin berangka lima ikut padam. Semua orang serempak tepuk tangan kala lilin tersebut sudah mati semua. Aku yang semula tak ingin datang, dipaksa ikut oleh Mbak Yuni. Bukannya hanya aku dan Mbak Yuni saja, melainkan Ibu dan Mas Rifki juga ikut sebagai perwakilan pihak dari keluarga kami. FYI, acara ini diselenggarakan di rumah orang tua Mbak Kinan. Kini, sesi potong kue dimulai. Di sana sudah ada Mas Samuel, Anin, Mbak Kinan dan keluarga dekat mereka. Aku menatap dari kejauhan. Menyaksikan kebahagiaan itu sendiri. Senyumku terasa sakit. Mereka tampak seperti keluarga yang harmonis. Mereka tak menyadari keberadaanku, sebab aku memang tak ikut absen muka di hadapan Anin maupun keluarganya. Mas Samuel juga tampak tak peduli, pria itu tak mengabari atau sekadar basa-
Acara pun selesai. Kini, aku sedang menatap kolam renang dengan tatapan kosong. Ya, aku memang pengecut, selalu lari dan menghindar. Semua orang ada di ruang tamu, tetapi aku malah di sini. Berdiam diri seperti orang bodoh. Aku melihat ketenangan di bawah sana. Airnya tampak jernih. Entah sedalam apa kolam renang tersebut. Yang jelas, itu tampak menakutkan karena bayang-bayang tenggelam saat usiaku tujuh tahun terus saja menghantui. Dan sampai saat ini, keberanian itu seakan hilang, padahal berenang merupakan hal yang paling ku gemari sejak kecil. Aku mendekat ke tepi kolam. Memberanikan diri menyapa air yang ternyata dingin saat menyentuh telapak tangan. "Serena?" ucap seseorang. Aku menoleh masih dengan posisi sama, yaitu berjongkok. Mbak Kinan menghampiriku dengan kursi rodanya. Aku mengerutkan kening heran. Bukannya tadi ia bergabung di dalam? "Mbak ngapain ke sini?" tanyaku langsung berdiri. Sejujurnya, aku takut perempuan itu jatuh ke dalam sana. Apalagi posisi kami sanga
Byur! Seseorang rupanya menyelamatkan kami. Namun, samar-samar kulihat seseorang itu langsung menyelamatkan Mbak Kinan. Seakan tak melihat keberadaanku. "M-mas," ucapku terbata-bata hendak meminta tolong. Meski samar-samar, aku meyakini bahwa si penolong itu adalah Mas Samuel, suamiku sendiri. Sayangnya, sampai pandanganku mengabur hingga semuanya menggelap, tak ada satu tangan pun yang menarik aku ke atas sana. Mas Samuel justru malah menyelamatkan Mbak Kinan. Perlahan, kesadaranku mulai pulih. Aku memegang kepalaku, rasanya pusing. Namun, pegerakan itu terhenti saat menyadari di tanganku sudah terdapat selang infus. Mirisnya, di sini tak ada siapa pun. Aku seorang diri tanpa ada yang menemani. Ke mana semua orang pergi? Saat kulihat jam dinding, sekarang sudah pukul tujuh malam. Berapa lama aku tertidur di berangkar rumah sakit? Ingatanku kembali pada saat kejadian di kolam renang. Rasanya benar-benar memilukan. Tiba-tiba pintu terbuka, ternyata Mas Samuel yang datang. "Saya