Share

Bab 7 Permintaan Pulang

Author: Nona Enci
last update Last Updated: 2023-11-24 21:02:12

Pagi pun tiba.

Aku sudah lebih dulu bangun, setelah panggilan telepon di jam satu dini hari selesai, aku memutuskan tidur kembali. Kini jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Niatku hari ini pergi ke rumah ibu dan menginap di sana untuk beberapa hari ke depan. Tidak ada persiapan, bahkan tak ada satu pun pakaian yang kubawa.

Kulihat seisi kamar, rasanya berat. Di sini, banyak kenanganku dengan Mas Samuel. Pria dengan segala ambisinya selalu saja duduk di pojok kanan ruangan di mana itu adalah tempatnya bekerja. Aku termenung di tempat. Tuhan, apakah keputusanku kali ini benar?

Napasku terasa sesak. Ini menjadi keputusan terbesar yang pernah aku ambil. Aku belum pernah memutuskan pulang ke rumah ibu setelah menikah, apalagi pulang sendiri tanpa suami. Ya, paling ketika ke rumah ibu aku dan Mas Samuel hanya berkunjung saja, sebab pekerjaan Mas Suami tak bisa ditinggalkan begitu saja.

Sayangnya, itu semua tak berlaku. Pulangku bukan hanya berkunjung, tetapi untuk menenangkan diri. Sendiri tanpa suami. Tanpa siapa pun. Untuk itu, kulangkahkan kaki keluar dari kamar dengan tas selempang dan ponsel yang kugenggam.

Sesampainya di bawah, aku mendengar suara mobil masuk ke dalam garasi.

"Selamat pagi Bu," sapa asisten rumah tanggaku yang bernama Siti.

Aku berhenti dan menatap sekeliling rumah. "Bi Siti, saya bakal pergi beberapa hari dari rumah. Saya titip Bapak, ya. Jangan sampai Bapak telat makan. Saya titip rumah sama Bi Siti dan Mang Ujang."

"Ibu memangnya gak pergi sama Bapak?"

"Saya kangen Ibu, Bi. Bapak banyak kerjaan jadi gak bisa ikut. Kalau gitu, saya pergi dulu, ya."

Aku tahu betul Bi Siti pasti cemas, terlihat dari tatapannya.

"Kalau gitu titip salam dari Bi Siti buat Ibunya Bu Serena," kata Bi Siti terdengar sangat tulus.

Namun, saat hendak membalas kalimat Bi Siti tiba-tiba saja pintu terbuka. Aku yakin itu pasti Mas Samuel.

"Saya balik dulu ke dapur, Bu. Permisi," ucap Bi Siti seolah paham situasi.

Bohong kalau hatiku tak gelisah. Tentu saja aku takut Mas Samuel marah, sebab tadi malam keputusanku ini sempat ditentang olehnya. Aku melihat pria itu berjalan ke arahku dengan sorot mata tajam dan raut wajah yang tak dapat dideskripsikan.

Gila, Mas Samuel langsung menciumku!

Dia terus melumat tak peduli akan penolakanku. Namun, ciuman itu berlangsung hanya tiga menit saja. Mas Samuel langsung menatapku dalam. Kupikir pria itu hendak marah, meluapkan emosinya karena keputusanku yang membuat dirinya murka tadi malam.

"Saya rindu kamu, Serena."

Itu kalimat pertamanya yang membuat jantungku makin berdetak kencang. Astaga, sadar Serena! Sadar! Jangan karena ini kamu malah goyah.

"Aku harus pergi, Mas."

Dia memegang kedua lenganku. "Saya tau keadaan hati kamu lagi gak baik. Kita bicarakan ini lagi, ya? Jangan asal ambil keputusan."

"Keputusanku udah bulat, Mas."

"Liat wajah saya. Ngomong kalau kamu beneran mau pergi ninggalin saya di sini."

Sedari tadi, setelah insiden Mas Samuel menciumku. Aku memang tak berani menatap wajahnya. Yang kulakukan hanya menunduk dan menunduk.

"Serena ...," lirihnya.

Ku beranikan menatap wajahnya. Lidahku seakan kelu. Beberapa kali kutegaskan bahwa aku pasti bisa. Namun, mengapa pertahan itu runtuh ketika pria yang mati-matian ingin kuhindari malah menatapku seolah takut kehilangan.

"A-aku mau pulang ke rumah I-ibu, Mas." Mataku kembali berkaca-kaca. "Kasih aku waktu, setidaknya untuk berpikir apa yang harus aku lakukan dengan pernikahan ini. Aku butuh waktu itu semua, Mas."

Aku melepaskan cekalan tangannya. Mundur satu langkah. Dengan sakit yang mendera, saat kakiku hendak berjalan meninggalkannya tiba-tiba tangan itu kembali menahanku.

"Saya gak kasih izinin kamu keluar dari rumah ini," ucapnya.

Kami pun kembali berhadapan.

"Kita bisa bicarakan ini. Tiga hari sudah cukup untuk merenungkan semuanya. Tidak ada tambahan waktu lagi. Tolong jangan kekanak-kanakan, Serena."

"Kekanak-kanakan?" kataku tak terima.

"Ayo ke kamar. Kita bicara di sana," ucapnya.

Dengan kesal kulepas cekalan itu dengan kasar saat pria itu menarik lenganku hendak ke kamar. Aku marah. Enak saja dia bilang aku kekanak-kanakan, dia pikir selama ini yang tahan dengan sikapnya siapa? Hanya aku! Ibunya saja sampai angkat tangan.

"Aku gak habis pikir sama kamu, Mas. Selama tiga hari ini kamu pergi dari rumah tanpa ngasih kabar ke aku, sekarang kamu pulang dan bilang kalau aku kekanak-kanakan?"

Kutarik napas sebentar. "Aku udah cukup sabar selama ini, Mas. Kamu selalu kabur dan pulang seenak yang kamu mau. Dan ini bukan pertama kalinya kamu pergi dari rumah."

"Kamu terlalu sibuk merawat Mbak Kinan sampai lupa kalau kamu punya istri di rumah."

Tiga bulan yang lalu, saat dokter yang menangani Mbak Kinan mengatakan bahwa kondisi pasiennya memburuk. Dua bulan itu juga Mas Samuel selalu menginap di rumah sakit. Mengabaikan diriku di rumah seorang diri dengan rasa kecewa yang mendalam.

"Tolong jangan ganggu aku selama aku berada di rumah ibu," ucapku karena tak kunjung mendapat tanggapan.

"Saya pulang untuk memperbaiki kesalahpahaman ini, bukan mengizinkan kamu pulang ke rumah ibu."

Aku terdiam sejenak.

"Gimana kata ibu kalau kamu pulang tanpa saya, Serena?" Mas Samuel menatapku penuh harapan. "Kita bisa perbaiki ini dengan kepala dingin. Saya gak mau ibu kepikiran soal masalah kita. Tolong pikirkan ini baik-baik."

Aku tak mungkin memutuskan pulang ke rumah orang tuaku sendiri, jika permasalah kami bisa diselesaikan dalam hitungan menit. Aku lelah. Pernikahan ini hanya berada pada siklus yang sama. Terlalu biasa dan tak ada kesan indah di dalamnya.

"Aku gak pernah minta apa pun dari kamu. Ini permintaan pertama aku. Soal ibu, aku bisa bilang kalau kamu pergi dinas ke luar kota."

"Tolong izinkan aku pulang ke rumah ibu, Mas," lanjutku.

"Saya pulang ke rumah, tapi bukan permohonan seperti ini yang mau saya dengar, Serena."

"Selama tiga hari, saya pikir itu waktu yang cukup untuk merenungkan semuanya. Saya kasih kamu jarak supaya perasaan kamu bisa membaik. Ternyata itu malah memperburuk keadaan." Napas Mas Samuel terdengar memberat.

"Serena ... saya mengaku salah. Kamu boleh pukul, jambak atau apa pun itu, tapi ... tolong jangan pergi. Tetap di sini bersama saya."

Aku hampir saja menangis. Aku paling tak bisa melihat kesedihan di mata Mas Samuel. Namun, bertahan lebih lama di rumah ini dengan keadaan hati yang berantakan bukanlah keputusan yang tepat.

Mas Samuel mendekat dan mengusap lembut pipiku yang sudah berlinang air mata.

"Seberapa besar luka itu sampai kamu memutuskan ingin pulang ke rumah ibu, Serena?" tanyanya begitu pelan dan terdengar menyakitkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing, jadi istri jangan terlalu menye2 kau bangsat. yakinkan diri kau klu kau cuma jadi pelacur halalnya. klu kinan waras, kau pikir kau tetap akan dijadikan istri? sadar, anjing!!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 127 Hidup Bersamamu (Tamat)

    Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 126 Perjalanan Hidup

    1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 125 Meminta Restu

    Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 124 Kelewat Mabuk

    Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 123 Di Antara Dua Pilihan

    Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 122 Kalut

    —Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status