“Mama Serena,” lirih Anin.
Aku menoleh ke belakang. Di sana ada Anin sudah berdiri tegak bagai patung. Dengan kegugupan yang melanda, aku pun berjalan mendekat. Anin menatapku tanpa ekspresi. Bagaimana kalau Anin mendengar percakapanku dengan Mas Samuel?“Anin ngapain keluar?” tanyaku berusaha terlihat baik-baik saja.“Papa pergi ke mana, Ma?”Deg!Sontak pandanganku beralih ke arah gerbang yang masih terbuka lebar. Bohong kalau aku tak ingin menangis. Bahkan saat pria itu pergi tanpa memedulikanku saja rasanya seperti tertancap pisau, sakit.“P-papa, Papa ada kerjaan Sayang,” jawabku menahan sakit di dada.Aku tersenyum, meyakinkan bahwa yang kuucapkan barusan adalah fakta, bukan kebohongan.“Papa sibuk, ya, Ma?”Tanganku mengusap pelan rambut panjang milik Anin. Bernapas lega, sepertinya Anin tak mendengar ucapan kami. “Papa ‘kan kerja, pasti sibuk, Sayang. Sekarang Anin masuk lagi ya? Mama harus pergi, ada urusan di luar.”“Anin boleh ikut?”Kubalas senyum. “Mama janji, Mama pasti bakal ajak Anin, tapi enggak sekarang, okay?”Anin mengangguk pelan.“Sekarang Mama udah boleh pergi?”Anin mengambil sesuatu di dalam kantong celananya, lalu memberiku makanan favoritnya. Aku menatap kagum dan menerima makanan tersebut.“Cokelat?”Dia mengangguk cepat. “Iya, itu cokelat dari Om Bayu.”“Mama terima, ya? Sekarang Anin masuk ke dalam, gih. Jangan nakal, okay?”“Siap, Ma! Dadah!”Aku ikut melambaikan tangan ke arahnya. Perlahan kakiku meninggalkan kediaman rumah orang tua Mbak Kinan. Aku tersenyum pilu kala jarakku dengan Anin makin jauh. Ibu benar, anak adalah anugerah terindah yang ada di dalam pernikahan.Hari ini Jakarta cukup panas. Ya, aku sudah di jalan menuju tempat di mana suamiku berada. Aku turun dari motor dan membayar ongkos ojek online tersebut.“Makasih, ya, Pak.”—RSJ Harapan Kasih.Sejenak aku terdiam. Masuk ke dalam RSJ bukanlah sebuah pilihan. Orang-orang sakit di dalam sana, tidak sepenuhnya sakit. Mereka hanya bertengkar dengan dirinya sendiri, terus menyalahkan seakan semesta tak adil padanya.Dengan sekuat tenaga, ‘ku langkahkan kaki masuk ke dalam. Apakah aku kuat? Jawabannya tidak. Aku bahkan tak siap melihat bagaimana jadinya seseorang yang begitu kucintai tampak peduli dan menyayangi mantan istrinya. Meski dengan alasan belas kasihan sekalipun, itu tak mengubah apa pun. Kesakitanku tetap tanggung jawabku. Mereka tak akan mengerti. Tak akan pernah.“Serena?”Aku menoleh, terkejut mendapati Ibuku ada di rumah sakit. “Ibu? Ibu ngapain di sini?”“Ibu habis jenguk Kinan,” katanya tersenyum tipis.Kutatap matanya lekat-lekat. “Bu—““Serena, ada apa dengan pernikahan kamu?”Jelas aku tak mengerti apa yang Ibu katakan. Keningku mengerut. Memang ada apa dengan pernikahanku dengan Mas Samuel? Kenapa tiba-tiba pertanyaan itu bisa terlontar dari mulut Ibu? Hei, kenapa aku seperti orang bodoh di sini?“Maksud Ibu?”Namun, Ibu malah terdiam. Wanita itu dengan tulus memandang wajahku. Pandangan seorang Ibu terhadap putri kecilnya yang tak menyangka anaknya sudah tumbuh sebesar ini. Aku melihat semuanya. Melihat bagaimana kekhawatiran di mata Ibu.“Bu, aku sama Mas Samuel baik-baik aja, begitu pun pernikahan kami. Aku tau Ibu pasti cemas, ‘kan? Gak apa-apa, kami baik-baik aja.”Satu detik.Dua detik.Tiga detik.Ibu masih saja terdiam. Aku makin bingung dibuatnya.“Ibu sekarang pulang, ya? Serena mau ke ruangan Mbak Kinan dulu. Mau diantar keluarnya?”Ibu pun menggeleng. “Pintu rumah selalu terbuka buat kamu, Serena. Pulanglah saat kamu merasa lelah.”Setelah mengatakan itu, Ibu langsung pergi meninggalkanku dengan berbagai jenis pertanyaan di kepala. Pulang memang sebuah jawaban dari penatnya berpetualang. Akan tetapi, apakah Mas Samuel cukup menjadi tempat berpulangku ketika lelah?Dengan berat hati, aku pun melanjutkan perjalanan menuju ruangan Mbak Kinan. Pintu itu terbuka sedikit, perlahan aku mendorong pintu itu dan menatap tak percaya atas apa yang kulihat sekarang.Mereka sedang berpelukan dan Mas Samuel dengan beraninya memberi satu kecupan di pipi Mbak Kinan!Hatiku perih. Aku merasa dikhianati. Pikiran aneh mulai menghantui. Selama ini, berapa kali mereka melakukan hal semesra itu tanpa sepengetahuanku? Sebab, yang aku tahu pun Mas Samuel sering kali mengunjungi Mbak Kinan secara diam-diam. Lantas, berapa puluh kebohongan yang pria itu sembunyikan dariku?“Serena?” ucap Mas Samuel usai menoleh ke belakang.Tak peduli se-terkejut apa mereka, yang pasti lari adalah jalan yang kuambil. Aku ingin menenangkan diri. Tak ingin diganggu siapa pun. Otakku langsung mencerna perkataan Ibu. Jadi, apakah ini yang dimaksud pulang? Sejauh mana Ibu tahu masalah ini?Tuhan ... kali ini jalan mana yang harus kutuju?“Serena tunggu!” teriak Mas Samuel berhasil menarik tanganku.Kami berhasil saling tatap di lorong rumah sakit yang kebetulan sedang sepi. Saat kedua bola mata kami bertemu, tak ada satu pun kata yang keluar. Aku menatapnya dengan sorot marah dan kecewa. Ya, tentu saja aku menangis. Tak peduli Mas Samuel kasihan atau tidak.“Kenapa lari? Terus ini juga kenapa kamu nangis?” tanya Mas Samuel setelah lama terdiam.Aku menepis tangannya yang hendak menghapus air mataku. “Kenapa? Harusnya aku yang tanya itu ke kamu!”“Serena, hei, ini rumah sakit,” ucapnya berusaha menenangkan.Aku tak peduli.“Kenapa selalu Mbak Kinan?” Kutatap sendu matanya.Mas Samuel membisu.“Terus tadi di ruangan kalian ngapain? Pelukan? Ciuman? Apalagi, hah? Udah sampai mana hubungan kotor itu, Mas. Jawab aku!”“Kecilkan suara kamu, ini rumah sakit.”“Kamu ninggalin aku demi Mbak Kinan, Mas.” Aku memandangnya pilu.“Kinan sakit. Mana mungkin saya diam aja. Di mana rasa kepedulian kamu, Serena?”Aku terkekeh mendengar jawabannya. Lucu sekali. Untuk apa? Mbak Kinan bukan tanggung jawab dirinya, untuk apa sampai sepeduli itu kalau memang tak ada rasa?Aku benci melihat ketenangan Mas Samuel.“Peduli? Kamu bahkan gak peduli sama perasaan aku, Mas! Kamu selalu jadiin aku opsi terakhir.” Air mataku turun makin deras. “Kamu peluk Mbak Kinan bahkan sampai cium dia, kamu pikir hati aku gak sakit? Sakit, Mas!”“Dan kamu malah tanya di mana rasa kepedulian aku? Kalau aku gak punya hati, bahkan dari dulu aku udah larang kamu buat ketemu sama Mbak Kinan!” kataku tersulut emosi.Napasku naik turun dengan sorot mata kecewa menatap wajahnya. “Sekarang aku tanya sama kamu, apa arti pernikahan ini buat kamu, Mas?!”Dengan gerakan cepat, Mas Samuel mendorongku ke belakang sampai tubuhku beradu dengan dinginnya dinding rumah sakit. Tanpa panjang lebar pria itu langsung menghunjam bibirku habis-habisan. Kasar dan penuh amarah. Ciuman itu tak ada manis-manisnya.Mas Samuel tampak rakus. Sampai suara ciuman itu terdengar nyaring. Tentu saja aku mendesah. Napasku bahkan hampir habis. Meski sedari tadi aku berusaha menolak dan menghindar, tetapi pria yang berstatus suamiku itu malah menggigit tanpa henti supaya bibirku terbuka dan dirinya lebih leluasa.“Mmphh-ah, Mas, stop!” kataku akhirnya berhasil menghentikan ciuman panas itu.Namun, belum sampai satu menit. Mas Samuel membawaku masuk ke dalam tangga darurat. Pria itu kembali melancarkan aksinya. Kali ini bukan hanya bibirku saja yang jadi sasarannya, tetapi tangan kekarnya sudah sampai di kedua gunung kembarku. Sialan tangannya sangat nakal!“M-mas, stop!”Pria itu rupanya berniat menyiksaku.Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d