Setelah semua urusan kontrak dengan Rayhan selesai, Bella mulai bisa bernapas lega. Pasalnya gosip-gosip miring mengenai dirinya yang punya hubungan dengan Rayhan sudah mulai menghilang setelah pria itu menepati janjinya untuk memberikan pernyataan di depan media bahwa antara dia dan Bella tak ada hubungan apa-apa. Ya, walaupun ada beberapa media yang masih saja kekeuh mengatakan Bella dan Rayhan sengaja membuat skandal tersebut untuk mendongkrak popularitas film terbaru mereka. Bella yang sedang santai menonton berita infotainment di TV menyambar remote dan mematikan TV-nya. Masih kesal saja karena gosip mengenai dirinya dan Rayhan tak kunjung selesai. Merasa lelah dan tak bisa membungkam mulut media, Bella pun memilih menyerah saja. Membiarkan gosip beredar entah sampai kapan. Toh nanti juga akan hilang dengan sendirinya---semoga. Dia lebih menyukai opsi yang mengatakan bahwa sengaja membuat skandal demi popularitas film terbarunya. Anggap saja hal itu merupakan sebuah ajang promo
Mike sedang rebahan terlentang tepat di bawahnya dengan wajah kusut mirip orang sekarat yang tinggal menunggu ajal menjemput---menatap Rayhan dengan tampang memelas. "Kamu ngapain sih, Kak? Mau bikin jantungan orang, apa?" semprot Rayhan. "Ray, tolongin aku please," ujarnya tanpa mengubah posisi terlentangnya."Apa lagi?" "Nyokap nyita semua fasilitas yang aku punya. Kartu ATM pun diblokir semua sama dia. Please, kasihani aku, Ray." Mike tiba-tiba menangis atau sebenarnya sedang berusaha menangis sambil memeluk kaki Rayhan. Rayhan hanya bisa menghela napas melihat kelakuan kakak sepupunya yang tiap hari ada saja hal yang terjadi. "Apa lagi yang Kak Mike lakuin kali ini?"Mike menatap ke atas ke arah Rayhan dengan memperlihatkan tampang memelas terbaiknya. "Deva Market kehilangan satu pemegang saham gara-gara ternyata aku pernah macarin dan nyelingkuhin anaknya orang itu. Kiara mergokin aku selingkuh dan mutusin aku Dia ngadu sama bokapnya dan bokapnya marah." "Kiara siapa?" "Anak
Di garasi, Rayhan bertemu dengan Sofia yang baru selesai menerima telepon dari seseorang. Wanita itu berdiri di sebelah mobilnya---mau berangkat kerja. "Ray, selamat pagi." Sofia menyapa. "Pagi, Tante. Tante nggak sarapan dulu dan udah mau berangkat?" tanya Rayhan. "Sama kayak kamu juga, kan?" Sofia balik bertanya. "Iya, nih." "Tante sibuk banget, Ray. Harus ngurusin Deva Market juga. Kakak kamu bikin ulah lagi. Dan Tante yakin dia pasti sudah ngadu kan sama kamu." Rayhan mengangguk. Bukan hanya Sofia saja, tapi seluruh penghuni rumah pun dia yakin sudah sangat hafal dengan tabiat Mike. "Iya, Tante. Tapi emang bener Tante mecat Kak Mike dan bakal ngirim dia ke pedalaman?" Sofia menghela napas kesal. "Sekali-sekali kakak kamu itu memang harus diberi pelajaran biar kapok, Ray. Tante bisa darah tinggi kalau mikirin kelakuan kakak kamu yang nggak pernah berubah itu. Anggap saja ini hukuman buat dia. Sudahlah, biarkan saja dia kayak gini selama seminggu dulu sementara Tante mengurus
Bella mengibaskan lengannya agar terbebas dari Rayhan. Dia tidak suka pria tersebut selalu seenaknya memegang tangannya tanpa izin. "Aku pikir nggak ada urusan pekerjaan yang perlu dibicarakan di sini." Memang seperti itulah perjanjian mereka. Tidak akan mengobrolkan hal lain selain tentang pekerjaan. Walaupun menjengkelkan bagi Rayhan, tapi dia juga sudah menyetujuinya. "Baiklah, silahkan pergi." Bella pun melenggang pergi bersama Melissa yang sempat tersenyum dan mengangguk ramah pada Rayhan. Rayhan tertinggal sendirian, memandangi Bella yang berjalan meninggalkannya, lalu menghela napas berat---kesal dengan dirinya sendiri. Dia sedikit melonggarkan dasinya sambil menengadah ke arah matahari pagi yang semakin meninggi. Udara pun semakin panas. Masa bodoh dengan cuaca panas, dia hanya merasa kesal saja."Baiklah, silahkan pergi." Rayhan mengulangi kalimat yang tadi dia ucapkan sendiri dengan nada yang sinis. "Bukan itu yang mau aku bilang tadi. Rayhan, kamu payah," ujarnya merutuki
Vicko tampak berada di sebuah kafe outdoor di tepi pantai. Pria yang hampir berusia 60 tahun itu tampak duduk tegap di kursinya sambil menatap lurus ke depan. Menatap sesuatu yang sejak tadi berada di hadapannya. Evellyn duduk di seberang meja sambil menatap tak suka pada Vicko. Mereka membuat janji temu dan memesan makanan dan minuman seadanya, lalu akan menikmatinya sambil mengobrol tentunya. Walaupun topik obrolan belum ditentukan, tapi yang jelas tidak mungkin Vicko sengaja mengajak bertemu kalau bukan untuk membicarakan hal yang penting, mengingat ini adalah pertama kali mereka bertemu setelah sekian tahun. "Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu," sapa Vicko membuka percakapan. Evellyn tertawa kecil mendengarnya. "Benar-benar mirip." "Maaf?" "Itu juga kalimat pertama yang diucapkan anak kamu saat kami bertemu beberapa waktu lalu." Evellyn menjelaskan. "Kabarku sangat baik. Bahkan bisa dibilang tidak pernah sebaik ini." Vicko hanya menganggukkan kepalanya saja, lal
Naura berdiri di dekat jendela di sebuah ruangan. Di belakangnya menggantung jas putih. Naura sedang ada di ruang kerjanya di rumah sakit. Wanita itu tampak serius mengamati sesuatu lewat jendela yang tirainya terbuka sambil tangan kanannya memegang sebuah cangkir minuman. Tidak jelas apa yang sedang diamatinya di balik jendela, tapi yang pasti tatapannya tampak kosong, pertanda pikirannya sedang melayang ke mana-mana.Ingatan Naura kembali ke saat makan malam bersama Rayhan dan papanya ...."Naura ... saya menyukainya." Ucapan tersebut sontak membuat hati Naura berbunga-bunga dalam sekejap. Bibirnya perlahan menampakkan sebuah senyuman di tengah-tengah keterkejutannya yang tidak pernah menyangka Rayhan akan mengatakan hal itu dari mulutnya langsung. Apalagi sekarang mereka sedang saling bertatapan. Bram tampak terkekeh senang. "Om sudah menduganya. Kamu pasti tidak akan menolak, kan? Om sangat senang mendengarnya." Lalu Rayhan beralih menatap Bram---tetap dengan ekspresi serius dan
"Kenapa melihatku seperti itu?" Bella tanpa sadar mengucapkan dialognya yang entah itu memang benar yang harus dikatakannya atau tidak. Bella memandang ke atas pundak Vino yang sebenarnya pandangannya lurus ke belakang ke tempat Rayhan berdiri memandangnya. "Aku suka melihat kamu," kata Vino dalam dialognya. Lagi-lagi sebuah kata-kata keluar begitu saja dari mulut Bella ketika dia melihat Rayhan. "Aku nggak suka kamu perhatikan terus. Jangan melihat aku seperti itu." "Kenapa?" "Aku nggak suka ada orang yang terlalu lama melihat wajah aku." "Tapi kamu cantik." Bella masih tidak melepaskan pandangannya dari Rayhan. "Karena kalau kamu terus-terusan melihat wajah aku, aku takut kalau kamu akan bosan melihatnya." "Aku nggak akan pernah bosan. Aku mencintai kamu." "Aku ..." Bella sedikit ragu menjawabnya karena dia memandang Rayhan yang juga masih belum mengalihkan pandangannya dari Bella. "Aku juga cinta sama kamu, karena itu aku takut. Aku takut kamu bosan dan ninggalin aku. Kamu n
Bella kali ini menoleh memandang Rayhan penuh pertanyaan. Rayhan memandangnya dan diam beberapa saat, lalu berkata "Kalau kontrak selesai." Rayhan melanjutkan kalimatnya. 'Meskipun aku berharap, kontrak kita nggak akan pernah selesai,' batinnya. "Itu kan yang kamu mau?" Bella kembali meluruskan pandangannya, tidak mau terlalu lama melihat Rayhan. Dia kesal karena selalu lemah jika menatap mata pria itu dari dulu. "Iya." "Jadi kamu nggak senang sama syutingnya?" tanya Rayhan lagi. "Dari awal kamu udah tahu aku nggak suka, kenapa sekarang masih tanya?" Bella balik bertanya dengan judesnya. Rayhan mengangguk. "Oke. Itu jawaban kamu." Bella mendengkus. Pria ini memang menyebalkan. Rayhan mendongak memandang langit cerah. "Bukannya kita punya pikiran yang sama?" "Apa lagi?""Malam ini cerah, kan?" Rayhan sengaja membicarakan tentang cuaca demi menghindari pembahasan mengenai masalah pribadi. Bella tertawa sinis. "Aku nggak pernah punya pikiran kayak gitu." Rayhan menoleh seolah ti