Share

Part 6 -- Park Airin

Pada keesokan pagi harinya, Dante pulang dengan keadaan mabuk. Ia di antar oleh Devan. Hera yang tidak tahu apa-apa, hanya  menatap bingung melihat mereka.

"Nyonya, Tuan Dante sedang mabuk, tolong bantu saya membawanya ke kamar," ucap Devan setelah Hera membukakan pintu untuknya.

"B-baik." Hera pun membantu Devan membawa Dante.

'Shit, berat sekali manusia satu ini. Pasti dia terlalu banyak dosa, jadi berat tubuhnya bertambah dua kali lipat.'

Hera sedikit kesusahan membawa Dante, beruntung Devan mengerti, dan menyuruh Hera untuk tidak usah membantu.

Hera pun dengan senang hati menuruti.

Devan membaringkan Dante di kasur, kamarnya.

"Nyonya, saya sarankan untuk membuat bubur untuk Tuan, agar bisa meredakan mabuknya."

"Ah, i-iya, nanti akan ku buat."

"Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu."

"Iya."

Setelah Devan pergi, Hera pun bergegas ke dekat Dante. Memukul-mukul perutnya sedikit kuat. Balas dendam. Mumpung Dante lagi tidak sadar.

"Dasar sialan! Bisa-bisanya meninggalkan aku sendirian di rumah sebesar ini. Apa kau tahu, hah? Apa yang aku alami semalam? Brengsek sekali kau Dante! Rasanya aku ingin mati semalam, brengsek!"

Hera terus memukulnya, namun Dante tidak memberikan reaksi apapun. Berarti benar, Dante memang  sedang mabuk parah dan pingsan. Bukan cuma pura-pura.

Tidak puas hanya dengan memukul menggunakan tangannya, Hera lalu mengambil bantal yang ada di dekat Dante. Lalu, ingin membekap Dante dengan bantal itu.

"Dasar wanita gila, suami mu ini bisa mati jika kau membekap ku dengan itu, kau mau jadi janda di usia muda, hah?!" Dante menahan tangan Hera, seketika si empu nya tangan membelalakkan matanya. Terkejut bukan main.

"Ngomong-ngomong, pukulan mu kuat juga. Perutku rasanya sakit sampai sekarang," sindirnya.

"Sejak kapan kau bangun?" tanya Hera, sedikit cemas jika saja Dante marah dan membalas perbuatannya.

"Hmm, sejak kapan, ya? Kalau tidak salah, sejak kau mulai memukul dan memakiku?" balasanya, lalu memegang perutnya, "di sini ... sakit sekali, kau seperti kerasukan memukul ku tadi," lanjutnya.

"Kau beruntung kondisi ku masih lemah, jika tidak, sudah ku balas perbuatan mu lebih dari ini," ancamnya.

"S-salah kau sendiri! Kenapa membeli rumah yang ada hantunya, kemarin malam aku dijahili, dan kau tahu? Aku sudah seperti patung saja yang membeku di tempat, saking takutnya," celoteh Hera panjang lebar, mencari pembelaan untuk dirinya sendiri.

"Berhantu? Apa kau sedang tidur dan mengigau? Di dunia ini mana ada hantu, sinting. Mungkin ada, dan kau lah hantunya," Bukannya percaya, Dante malah berlagak dan mengatai Hera sebagai hantu?  Stres.

"Sok sekali kau, nanti diganggu sepertiku baru kau tahu rasa. Aku yakin, kau akan menangis jika di posisiku semalam, atau jangan-jangan ... sampai pipis di celana? ups," sindir Hera, sambil menutup mulutnya di kalimat terakhir.

"Siapa bilang aku takut? Mana hantunya? jika dia benar-benar ada, maka muncul--" ucapannya terpotong.

Treng ....

Lampu tidur yang ada di nakas samping kasur pun terjatuh dengan sendirinya, dan pecah. Padahal tidak ada angin, ataupun sesuatu yang bisa saja membuat lampu itu terjatuh. Mereka berdua terkejut bukan main.

Dante yang melihat langsung dengan kepala matanya, seketika membulatkan mata, seakan-akan mata itu akan keluar dari tempatnya.

"Arghhhh!!!" Teriak mereka berdua kompak, lalu berlarian menuju keluar kamar.

Setelah berada di luar rumah, mereka pun berhenti. Hera seketika menumbuk pundak Dante sekencang-kencangnya.

"Apa ku bilang?! Kau lihat sendiri, 'kan? Hantu itu memang benar ada dan nyata! Lagian sok nantang sih, jadinya kan kena ganggu. Haduh, jantungku. Ya ampun," makinya sambil mengusap pelan dadanya, menenangkan diri sendiri.

Dante tidak menjawab apa-apa, badannya masih bergetar hebat, mukanya juga sedikit pucat, seketika pusing akibat mabuknya itu hilang seketika, digantikan rasa takut yang benar-benar.

"Hey! Kau kenapa? Mukamu pucat sekali? Ketempelan? Ihh, sana kau, jangan dekat-dekat padaku!" Hera menjaga jarak dari Dante.

"Hera ...," panggilnya, "aku ... pipis di celana," akunya.

Hera yang mendengarkan itu, awalnya hanya bisa blank, namun beberapa detik setelahnya baru lah ia tertawa dengan sangat kencang, sampai-sampai  air matanya keluar sedikit.

"Astaga, Dante. Lintenir seperti kau, takut dengan hantu? Bahkan sampai pipis di celana? Kan benar apa kata ku tadi, kau itu payah! Lemah!" hina Hera. Mendengar itu, Dante hanya bisa merengut. Sakit hati saat di kata lemah.

"Penampilan saja seperti tidak takut apa-apa, baru di isengin hantu saja sudah mati ketakutan, itu baru melempar barang, belum lagi jika ditampakin. Bagaimana kira-kira reaksimu saat ia menampakkan wujudnya, ya? Apa kau akan langsung pingsan di tempat, atau ...."

"Berisik. Dasar cerewet," katanya, lalu meninggalkan Hera sendirian di luar, dan masuk ke dalam rumahnya.

"Ya, penakut! Apa kau tidak takut masuk, hah? Bisa saja dia akan menjahili kau lagi--"

Dante berbalik arah dan menarik tangan Hera, "makanya temani aku mengganti celana," ucapnya.

"Ya! Tidak mau!"

"Aku yang mau."

"Shit, ya, Kim Dante! Lepaskan!"

"Temani aku dahulu, Istri. Jika tidak ...."

"Jika tidak, apa, hah?!"

Dante mendekati Hera, dan membisikkan sesuatu.

"Jika tidak ... aku akan menuntut hak ku sebagai suamimu," ucapnya, kemudian smirk.

Hera hanya terdiam, tidak menjawab. Jujur, dalam pernikahan yang paling ia takuti adalah melakukan itu. Ia sangat bersyukur, sampai sekarang Dante tidak menyentuh tubuhnya lebih lanjut, namun mendengar ancaman dari Dante, seketika membuatnya langsung patuh dan tidak memberontak lagi.

"Baiklah, Paduka. Ayo saya temani," ucapnya sambil menunduk hormat.

"Bagus, nanti upah mu akan Paduka tambah," balasnya, masuk dalam permainan.

'damn' batin Lee Hera.

****

Sebenarnya Park Airin itu takut, sangat takut menghadapi Kim Dante. Tapi, demi terbebas darinya, ia terpaksa melakukan hal itu, agar dipecat.

Mau tanya kenapa Airin tidak mengundurkan diri saja? Sudah jelas jawabannya, Dante sialan itu tidak membiarkannya begitu saja.

Memang, berurusan dengan Dante akan lebih rumit, dan membuatnya terlibat masalah lebih dalam. Tapi, Airin sudah siap menerima konsekuensinya.

Airin tahu, beberapa dari wanita yang bekerja untuk Dante, juga sebenarnya ditipu, sama sepertinya. Banyak yang tidak mau melakukan hal itu, tetapi dipaksa. Jika menolak, maka akan mengancam nyawa keluarganya yang tidak tahu apa-apa, mereka kira anak mereka sedang bekerja dengan senang dan nyaman, bukannya menjadi pelacur seperti ini. Jadi, mereka tidak bisa berkutik. Tidak ada yang berani membantah, ataupun mengkhianati Dante.

Awalnya, Airin juga begitu. Tidak berani berhadapan ataupun mencari masalah kepada Kim Dante untuk melindungi keluarganya. Namun, setelah ia pikir-pikir, kenapa mereka tidak melaporkan saja hal ini kepada pihak kepolisian? Di sini, bukan dia saja yang menjadi korban, tapi puluhan gadis yang kehilangan gelar mereka, padahal masih sangat muda, dan masih mempunyai segudang impian yang belum tercapai, namun dipatahkan karena adanya Kim Dante.

Airin mengajak yang lain untuk bekerja sama, namun semuanya menolak, tidak mau mendapatkan konsekuensi. Airin tiap hari membujuk, untuk mengajak mereka menyuarakan keadilan, tetapi hasilnya tetap sama. Tidak ada yang berani selain dirinya sendiri.

Airin juga sempat drop dalam beberapa hari, setelah kembali sehat, dan mulai lah Airin memantapkan hatinya dan  menyusun strategi, agar Dante mau mengakui perbuatannya sendiri--yang nantinya akan dijadikan bukti untuk diberikan kepada polisi. Dan, yeah, kemarin dia berhasil mendapatkannya, walaupun harus mendapatkan jambakan dan tamparan keras. Yang rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Jujur saja, waktu itu Airin juga sangat takut, namun ia berhasil menyembunyikan ketakutannya sendiri, memakai topeng terbaiknya. Airin bangga dengan dirinya, sudah sangat cocok untuk memasuki dunia per-film-an, dan menjadi aktris terkenal.

Namun, lagi-lagi perasaan ragu dan bimbang untuk melangkah lebih maju, terlintas di benak Airin. Ia kembali khawatir dan cemas terhadap keluarganya, apa 'kah mereka baik-baik saja? Apa mereka tengah di jadikan sandra oleh Dante, supaya ia keluar dari persembunyiannya dan memberikan rekaman bukti tersebut? Entahlah. Airin tidak tahu, ia bimbang, ia juga tidak menceritakan semuanya kepada keluarganya. Ibunya juga sudah dua hari ini tidak memberi kabar, semakin membuatnya khawatir saja. Apa orangtuanya sudah mengetahui jika anaknya ini seorang wanita penghibur? Hal yang sangat Airin takuti.

.

.

Sudah tiga hari ini, Airin tidak keluar dari apartemen barunya, yang dilakukannya hanya menangis dan menangis, meratapi nasibnya yang begitu malang. Beruntung, kemarin Ibunya menelpon dan menanyakan kabar Airin, ia juga sempat bertanya apa ada orang asing yang datang ke rumah. Dan jawaban Ibunya, adalah tidak. Airin bernapas lega, ia memperingati keluarganya, untuk tidak kemana-mana dulu, sampai ia mengabarkan kembali. Ibunya sempat bertanya ada apa, Airin cuma bilang, untuk mengikuti saja apa katanya jika masih ingin ia hidup. Mendengar itu, Ibunya langsung mengiyakan saja. Telpon pun terputus, Airin yang mematikannya terlebih dahulu.

"Ibu, Ayah, doa kan yang terbaik untuk anakmu, dan maafkan aku." Airin bermonolog.

Ia kemudian beranjak dari kasur nya, dan menuju ke dapur. Beruntung ada sedikit sisa bahan makanan, dan ia pun membuat sesuatu yang bisa mengisi perutnya yang sudah berbunyi sedari tadi, minta di isi.

"Semangat, Park Airin. Kau tidak boleh menyerah! Demi menegakkan keadilan, dan demi orang tua mu, kau harus menerima semua konsekuensi yang akan datang," monolognya, menyemangati diri sendiri.

"Kim Dante, ku berdoa semoga kau cepat diberi kesadaran oleh Tuhan, dan segera bertobat, jika tidak ingin mati dan menjadi arwah penasaran," ucap Airin, memanjatkan doa.

"Tuhan, tolong selamatkan orang tua ku dari Kim Dante sialan itu, jangan biarkan Dante mengusik keluarga ku, jangan hukum mereka atas perbuatan tidak senonoh ku, hukum saja aku, karena aku memang pantas mendapatkannya," sambungnya lagi.

Lalu, setelah selesai berdoa, ia pun mulai memasak, karena benar-benar sudah tidak tahan.

Ia memasak ramen, setelah matang, lalu memakannya dengan sangat lahap. Sepertinya, Airin memang benar-benar kelaparan. Astaga.

***

Bersambung~

Dante ini bikin saya esmosi aja, main Jambak dan nampar  anak orang sembarangan.

Btw, Dante kalo lagi bareng Hera, kok gak pernah akrab, ya? Berantem mulu perasaan:v

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status