Share

Part 7 -- Park Jimy

"Ibu, kau tahu? Ternyata Dante itu sebenarnya bodoh dan penakut," cerita Hera pada Leera.

Iya, Hera tengah berada di rumah orang tuanya sejak sore tadi, malam ini ia akan menginap di rumah orangtua nya juga, karena lagi-lagi Dante belum pulang, mungkin saja ke esokan harinya baru kembali. Hera tidak mau tidur di rumah berhantu Dante, ia trauma. Sangat.

"Bayangkan saja, ia sampai pipis di celana karena ketakutan. Hahah, aku juga takut, tapi tidak sampai seperti itu juga. Padahal kan aku perempuan, sedangkan dia laki-laki," lanjutnya mengghibahi suaminya sendiri.

Leera cuma menanggapi dengan tertawa kecil, ia senang melihat senyum dan tawa Hera saat bercerita kepadanya, ia senang jika Hera sekarang tampak seperti tidak keberatan dengan pernikahannya, walaupun untuk sesaat. 

"Benar, 'kah? Wow, Ibu sampai tidak bisa berkata-kata," responnya setelah mendengarkan semua cerita Hera.

"Iya, Bu. Aku juga bingung, rumah sebagus itu ternyata ada penunggunya juga. Serem." 

"Mungkin, Dante jarang pulang. Dan rumah itu jadi kosong, makanya ada hantu."

"Mungkin saja, Bu. Oh ya, Ibu, aku mau bertanya ... tentang Dante."

"Apa?"

"Aku sedikit heran saja, Ibu tahu, tentang keberadaan orang tuanya, atau tidak? Jangan salah paham, aku cuma penasaran, karena semenjak menikah dengan Dante, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan mereka, saat ku tanya juga Dante tidak mau bicara," tuturnya.

"Ibu kurang tahu, Ibu cuma dapat informasi sedikit, jika orang tua Dante sudah bercerai saat Dante masih duduk di Sekolah Menengah Atas, sempat dengar juga jika  Dante tinggal bersama ayah nya, dan beberapa tahun kemudian, ayahnya meninggal. Kalau tentang ibu Dante, Ibu juga tidak tahu sama sekali. Yang Ibu tahu cuma, setelah mereka berpisah, ibunya sempat menikah lagi," jelasnya.

"Wow, dari mana Ibu tahu semua itu? Tunggu, biar ku tebak. Pasti dari bibi Jane?" 

"Seperti yang kau tebak."

Hera menjentikkan jarinya, "sepertinya, kau harus mempertemukan aku dengan bibi Jane lagi, Bu."

"Untuk apa?"

"Cuma ingin bertanya, sebenarnya pekerjaan Kim Dante itu apa."

"Owh, Ibu mengerti. Sekarang kau sudah ingin mengetahui lebih lanjut tentang suami mu, ya? Sudah tumbuh benih-benih cinta, setelah tinggal di atap yang sama?" Leera mulai menggoda anaknya.

"Ah, Ibu. Malas aku kalau sudah begitu. Mana mungkin aku jatuh cinta sama pria brengsek, seperti Kim Dante? Aku cuma penasaran saja, soalnya Dante itu sangat kaya, tapi aku tidak tahu pekerjaannya, siapa tahu saja, aku bisa berguru padanya untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin," jelasnya.

"Ahh, begitu, ya? Ibu kira sudah mulai cinta. Hahah."

"Ibu~"

Leera tertawa.

"Harmonis sekali Anak pertama dan Istriku ini, jadi cemburu," ucap Taesik yang baru pulang dari kerja. Dan berjalan mendekati ke dua wanita kesayangannya.

"Ayah!" Hera menerjang Ayahnya dengan sebuah pelukan hangat. "Aku benar-benar rindu sekali dengan Ayah, rindu serindu-rindu nya." 

"Aduh, anakku yang manis. Ayah juga rindu, ngomong-ngomong kenapa kau ke sini?"

"Kenapa apanya? Ayah sudah tidak boleh aku mengunjungi kalian?" sindir Hera, dengan melepaskan pelukan mereka.

"Tidak begitu, Ayah kira kau ada masalah dengan Dante."

"Setiap hari juga aku bermasalah dengan Dante itu," koreksinya.

"Jangan begitu, walaupun Dante brengsek, tetapi dia tetap suami mu, setidaknya hormati dia dengan status itu." Taesik menegur.

"Iya, ya. Makanya cepat lunasi hutang kalian agar kita tidak berurusan lagi dengan Dante."

"Ayah berusaha sekuat yang Ayah bisa, dan syukurlah uangnya hampir terkumpul, mungkin bulan depan, kau bisa minta cerai pada Dante."

"Benar, 'kah? Ayah~~ aku sayang, Ayah." Lagi-lagi, Hera memeluk erat Taesik.

Leera yang melihat itu, tersenyum melihat interaksi anak perempuan dan Ayahnya.

"Ibu, sini. Ayo kita berpelukan~" 

Leera semakin tersenyum lebar, dan ikut dalam pelukan hangat tersebut, "pelukan~"

Sedang enak-enak nya berpelukan dengan orang-orang tersayang, tiba-tiba ada yang memencet bel.

"Biar aku yang buka," aju Hera.

Hera membuka pintu, dan tebak siapa tamu tak diundang yang datang? Yup, Kim Dante.

"Sudah ku duga kau pasti di sini," ucapnya setelah melihat Hera yang membukakan pintu.

"Kau? Kenapa ke sini?" ucap Hera, dengan nada tidak ramah.

"Menjemputmu."

"Siapa, Nak?" teriak Taesik.

"Tamu tak diundang, Yah," sindirnya.

Tiba-tiba Dante masuk dan melewati Hera begitu saja, "halo Ibu dan Ayah mertua, apa kabar? Sudah lama tidak bertemu," ucapnya ramah.

"Kami baik, Tuan sendiri?" jawab Leera.

"Astaga, Ibu. Aku ini menantumu, jangan panggil aku seperti itu lagi, canggung rasanya. Anggap saja aku anak kalian."

Leera menghela napas, "Baiklah jika mau kau begitu, Kim Dante," ucapnya.

"Nah, begitu lebih baik."

"Ada apa kau ke sini?" tanya Taesik.

"Aku cuma ingin mengunjungi Ayah dan Ibu mertua, sekaligus menjemput Istri cantikku," jawabnya lalu mengedipkan sebelah matanya ke arah Hera.

"Owh, kalau begitu. Silahkan. Bawa lah istri mu pulang," ucap Taesik lagi.

"Ayah!" 

"Baiklah, kalau begitu, kami pulang dulu. Selamat malam, dan selamat tinggal mertua," pamit Dante.

"Ayo, Sayang, kita pulang ke rumah kita," ajak Dante, ia pun menyeret Hera untuk pulang bersamanya. Namun kali ini, Hera tidak memberontak. Hanya diam dan menurut saja.

"Kenapa? Kau takut tidur sendirian?" 

Setelah berada di mobil, Hera baru lah membuka mulutnya, menyindir Dante.

"Takut? Untuk apa?"

"Jangan mengelak, apa aku harus menceritakan kembali apa yang terjadi pagi tadi?"

"Tidak usah, dan jangan menyombongkan diri."

Hera hanya terkekeh geli.

"Dasar penakut."

"Dasar sok berani."

"Aku memang berani."

"Iya, saking beraninya, kau sampai mengungsi tidur di rumah orang tuamu."

Hera skakmat.

"Sialan."

***

Sampainya di rumah, Dante melihat ada sebuah mobil BMW yang terparkir di depan rumahnya.

Ia sangat mengenali mobil tersebut.

'Park Jimy?'

Hera juga bingung melihat mobil itu, ingin bertanya kepada Dante. Namun, malas bicara. Jadi, dia lebih memilih diam, dan akan tahu sendiri setelah siapa itu setelah melihatnya langsung.

Mereka masuk ke rumah, dan benar saja dugaan Dante, bahwa Jimy lah yang datang, bersama Devan.

Bagaimana mereka bisa masuk, padahal rumah sudah dikunci, dengan sandi pula? Jawabannya adalah; Devan mengetahui kata sandi rumah Dante, itu karena Devan adalah kaki kanannya, yang berarti Dante benar-benar mempercayai Devan dalam mengurus berbagai hal.

Memang sebelum menikah dengan Hera, Dante sangat jarang pulang ke rumah, dan dia menyuruh Devan untuk mengurus rumahnya--mencari pembantu untuk membersihkan rumah. Tapi setelah menikah, Dante mulai berhenti menyuruh Devan melakukan itu, dan memecat pembantunya.  Karena ia dan Hera akan tinggal di sana.

"Yo, Kim Dante. Lihat siapa yang berkunjung?" sapa Jimy menyambut Dante.

"Selamat malam, Tuan," ucap Devin.

"Yo, Park Jimy. Sudah lama tidak bertemu, kau terlihat lebih bahagia saja dari sebelumnya," basa-basi Dante. "Selamat malam juga."

"Wow, siapa wanita cantik, ini?" tanyanya, setelah melihat Hera.

"Lee Hera," ucapnya memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya, yang di balas oleh Jimy.

"Seperti yang kau tahu, aku Park Jimy, pengusaha muda kaya raya yang memiliki beberapa perusahaan elektronik besar di Korea Selatan," ucapnya, dengan penuh kesombongan.

Hera tidak percaya, ternyata masih ada yang lebih angkuh dari Kim Dante, pikirnya.

"Salam kenal," balas Hera.

"Salam kenal juga, cantik." 

Hera tersenyum, sedikit risih saat Jimy sedari tadi tidak melepaskan pegangan tangannya. Lalu ia berdehem, untuk mengingatkan.

"Tanganmu halus sekali, aku suka. Kau tipe idealku," ucapnya, namun masih belum melepaskan tangan Hera, ucapannya juga sama sekali tidak di mengerti oleh Hera.

"Hmm ... Jimy, sepertinya ada hal yang sangat penting, untuk kau bicarakan?" ucap Dante, mengalihkan fokus Jimy agar segera melepaskan Hera.

"Ah, benar. Ada yang ku ingin ku bicarakan." Jimy melepas tangan Hera, lalu Hera pun segera pergi secepatnya ke kamar, persetan dengan hantu, sekarang ia lebih takut dengan pria bernama Park Jimy dari pada yang lain.

Setelah Hera pergi berlalu, baru lah mereka memulai pembicaraan.

"Jadi?"

"Seperti yang kau tahu, pelayanan para pekerja mu itu benar-benar bagus dan sangat sexy. Aku benar-benar puas sebelumnya, dan yeah, aku datang lagi untuk itu~" jelas Jimy.

"Terima kasih. Nanti akan ku pilihkan satu di antara mereka yang cocok dengan dirimu," kata Dante.

"Tidak perlu. Aku sudah menemukan pilihanku sendiri, yang benar-benar tipe idealku," kata Jimy, bangga.

"Siapa?" tanya Dante.

"Wanita tadi, siapa namanya? Lee Hera? Iya, benar. Wanita itu, akan ku bayar dua kali lipat, dan jika pelayanannya memuaskan ku, maka akan ku naikkan bayaran menjadi tiga kali lipat, dengan syarat ... hanya aku yang boleh menikmatinya, bagaimana, Dante? Setuju?" jelas Jimy panjang lebar.

"A-apa?"

"Kenapa? Dia wanita yang bekerja denganmu juga, 'kan?"

"Buk--" ucapan Devan terpotong.

"Benar. Nanti aku akan membujuk nya untuk melayani mu, kau tenang saja, Jimy. Ku pastikan kau puas, dan ketagihan jika bermain bersamanya."

"Baik. Deal. Aku akan mengabari mu jika waktu ku sedikit senggang," jawab Jimy. Tetap dengan gaya yang angkuh.

"Siap!"

Jimy pun pamit pergi.

"Tapi, Tuan--"

"Aku tidak butuh pendapatmu," tegas Dante yang seketika membuat Devan terdiam.

Walaupun Devan sudah lama bekerja dengan Dante, ia mengakui jika dirinya juga brengsek, tapi Devan tidak lah se-brengsek Dante, ia masih menghormati wanita sekalipun pekerjaannya adalah tentang hal tersebut. Devan masih punya hati, untuk tidak mencari wanita yang telah bersuami sebagai pekerja barunya, tapi Dante? Dia itu sudah seperti iblis. Bagaimana bisa istrinya sendiri, di jual kepada pria lain? Gila memang pria satu ini!

"Bagaimana? Sudah menemukan informasi tentang Park Airin?" tanya Dante.

"Masih belum, Tuan."

"Bagaimana dengan keluarganya?" 

"Sudah menemukan beberapa informasi, dan sekarang, aku menyuruh beberapa orang untuk mengintai kediaman mereka. Namun, katanya, tidak ada tanda-tanda jika Airin ada di sana."

Dante menghela napas, "sebaiknya kau tekan lagi mereka agar lebih giat bekerja, jika tidak mau ku bunuh, jika dalam dua hari ini kalian tidak mendapatkan informasi apapun tentang Airin, maka bawa keluarganya kepada ku, sandra mereka agar memancing Airin keluar dari persembunyiannya."

"Baik, Tuan."

.

.

Hera yang merasa kerongkongannya kering, karena tidak dibasahi dengan air, itu pun keluar dari kamar dan menuju dapur, ingin minum sesuatu.

Setelah meminum beberapa teguk air dan menghilangkan dahaganya, berniat kembali ke kamar, namun terhenti ketika ia tidak sengaja mendengar percakapan Dante dan Devan.

Ia menguping semua pembicaraan mereka, lalu mengerutkan keningnya setelah mendengar kata 'bunuh'

"Astaga, kejam sekali," refleknya.

"Park Airin? Siapa dia? Kenapa Dante terlihat sangat marah saat Airin tidak kunjung di temukan? Ada masalah apa?"

Rentetan pertanyaan yang muncul di otak Hera, membuatnya pusing sendiri. 

"Ah, sudahlah. Untuk apa aku peduli?" katanya, lalu pergi dari sana.

.

.

.

Bersambung~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status