Share

Part 9 -- Spend Times Together

Taman Bermain.

Kini mereka berdua sudah tiba, saat baru masuk mata Hera langsung terfokuskan kepada sebuah wahana bermain, Rumah Hantu. Iya Hera adalah tipe-tipe manusia yang suka mendengarkan cerita hantu namun diri sendiri adalah orang yang penakut--seperti saya, makanya saat kejadian mencekam kemarin, ia sempat trauma, hanya sebentar, karena sepertinya ia sudah melupakan itu dan berpikir untuk menguji nyali dengan bermain wahana Rumah Hantu.

"Ayo kita ke sana!" ajaknya pada Dante, gadis itu pun menarik tangan suaminya untuk mendekati wahana itu.

"Hey, jangan tarik-tarik! Tangan ku sakit tahu!" protesnya saat mereka sudah berada tepat di depan wahana Rumah Hantu. Dante belum sadar ia tengah berada di mana, dan hanya fokus ke tangannya yang sedikit sakit, karena di tarik terlalu kencang oleh Hera.

'shit'  monolognya dalam hati.

"Ayo masuk~" kata Hera dengan nada agak di buat menakutkan. Lagi-lagi Hera ingin menarik tangan Dante, namun langsung di tepis.

"Hell ... Apa-apaan ini?! Wahana Rumah Hantu? Kau gila, hah?!" bentak nya saat sadar tengah berdiri di depan apa.

Kim Dante ini lucu sekali, ya, bilangnya tidak percaya hantu, namun main wahana ini saja tidak mau, dan kelihatan seperti trauma? Ya ampun, Hera dibuat gemas ingin mencubit ginjalnya saja kalau seperti ini.

"Heh ... bilang saja kau takut, tidak usah mengelak, aku tahu itu," hardik nya.

"Siapa uang takut? Kalau begitu, ayo kita masuk. Taruhan, jika kau menangis, kau akan belikan aku berbagai macam makanan yang ada di sini, bagaimana?" ucap nya membuat taruhan sebelum bermain.

"Itu namanya tidak adil, aku akan setuju jika, apabila kau menangis atau sampai pipis di celana lagi seperti kemarin, kau akan membelanjakan ku semua barang-barang yang ada di Mall. Tidak menerima protes, bagaimana, deal?" ucap telak Hera.

"Baiklah deal! Ayo masuk sekarang!" Dante langsung menyutujui nya tanpa pikir panjang, karena memang, semua itu tidak akan terjadi. Yang benar saja, pria gentelman seperti Kim Dante akan langsung menangis karena hantu? Omong kosong apa itu? Yang kemarin itu cuma karena Dante terlalu terkejut akan serangan tiba-tiba itu. Tapi kali ini, pasti sudah tidak terkejut lagi. 

"Kalau kau benar-benar menangis nanti, jatuh sudah harga diri mu sebagai laki-laki, Kim Dante," sindir Hera lalu kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Kau hanya perlu mengingat, untuk tidak melakukannya pada dirimu sendiri. Jika tidak, runtuh semua kepercayaan diri mu yang terlalu tinggi itu, Kim Hera."

Mungkin Hera belum terbiasa dengan marga baru nya itu, yang membuat lagi-lagi jantungnya seperti terkena sengatan listrik kecil. 

"Sudah ku bilang, jangan panggil aku dengan marga itu!"

"Kenapa? Apa karena jantung mu selalu tidak normal debarannya karena aku memanggil mu dengan itu?"

"Lagi-lagi kau sok superior sekali, seakan-akan mengetahui semua apa yang dipikirkan atau pun dirasakan oleh orang lain."

"Berarti benar, kau berdebar karena ku?"

Skak mat.

"No, and never happen to me," dusta nya.

"Apabila kau masih ingat dengan kata mu itu, Istriku. Coba lah untuk tidak mengingkari nya, karena itu akan sangat menganggu mu."

"Cih, sudah lah. Ngomong-ngomong, kapan aku bisa masuk? Dari tadi aku berdiri seperti orang bodoh saja di sini, dengan dirimu lagi."

Tanpa menjawab, Dante langsung menarik Hera memasuki wahana permainan yang mencekam itu.

.

.

.

.

Peluh yang bercucuran membasahi tubuh mereka berdua, sudah cukup menjelaskan kalau pengalaman mereka selama bermain benar-benar menakutkan. 

Terlihat, dia kedua mata mereka berdua, terdapat sisa cairan bening yang tidak sempat di hapus. Itu berarti, ke duanya kalah dalam taruhan.

"Hahah ... Kim Dante, kau itu pecundang! Benar dugaan ku kau pasti akan menangis, jadi setelah kita selesai bermain di sini, kau harus membayar taruhan bodoh yang kau buat sendiri itu!" ejek Hera, setelah menghapus sisa air matanya, tidak tahu diri, padahal diri sendiri saja juga menangis, bahkan sampai tersedu-sedu.

"Kau itu sudah tua, dan cepat pikun, ya? mau menipu ku, hah? Tapi sayangnya, tidak bisa. Karena aku juga melihat mu menangis sampai tersedu-sedu, dan kau lupa ... di dalam, kau memelukku erat saat hantu itu muncul di hadapan mu, dasar, mencari kesempatan dalam kesempitan saja," balas Dante, tidak terima di olok-olok seperti tadi, "jadi, kau juga harus membelikan ku semua makanan yang ada di sini," lanjutnya lagi.

"Tidak mau! Di sini kita sama-sama kalah, jadi kenapa harus membayar taruhan lagi?" Sudah tidak ada alasan untuk mengelak dan membela diri, akhirnya Hera pun secara tidak langsung mengakui kebenarannya.

"Kau yang dulu meminta bayaran padaku! Kau ini benar-benar pikun, ya?! Dasar sudah tua!"

"Ya! Enak saja, kau! Aku ini masih muda, bahkan diri ku lebih muda beberapa tahun dari mu! Seharusnya, sadar diri kau!"

"Kau itu juga harus sadar diri! Memangnya berapa umur mu, hah?! Sok muda sekali, padahal aslinya sudah tua!"

"Kau mau mengibarkan bendera perang dengan ku, hah?! Ayo, siapa takut?! Adu jotos di sini pun aku tidak peduli!" tantang nya.

Para pengunjung yang lain hanya menggeleng kepala melihat kelakuan sepasang suami istri ini, tidak berniat melerai keduanya dari adu mulut, hanya menonton dari kejauhan, dan beberapa juga pura-pura tidak melihat dan tidak peduli.

Dante mulai terpancing emosi, namun ia segera menghela napas, untuk kembali menstabilkan emosi nya, "di sini tempat umum, Sayang, perang nya nanti saja, saat pulang, di kamar kita, 'kan empuk. Jangan di sini, nanti tubuh kita sakit-sakit," kata nya sambil memajukan bibirnya--se akan ingin mencium, cium jarak jauh maksudnya.

"Kurang ajar! Menjijikkan!"

Hera lalu pergi begitu saja meninggalkan Dante, dan di ikuti oleh pria itu.

"Kau kenapa mengikuti ku?! Pergi sana! Main sendiri saja, jangan malah mengikuti ku terus!"

"Tidak mau. Mainnya tidak seru jika tidak bersamamu," kata nya, menggoda Hera.

"Kau itu seperti papan catur, ya?" kata nya, mengalih pembicaraan.

"Kok tahu?" Dante pikir, Hera akan menggoda nya juga, jadi ia main iya-iya saja perkataan Hera tadi.

"Pantasan saja, luar dan dalamnya sangat berbeda!" 

Dante yang tak paham maksudnya itu hanya bisa blank beberapa menit, "sialan," umpat nya setelah tahu apa maksud dari Hera. "Ku pikir akan di goda juga, dasar tidak bisa romantis!" lanjutnya, memaki-maki Hera, yang tengah membeli ice cream di depan nya itu.

"Sayang, aku juga mau. Beli kan punya ku juga!" teriak nya pada Hera.

"Sinting," jawab nya, "Pak, satu lagi ice cream-nya, rasa cokelat," pinta Hera kepada si tukang jual ice cream, sebenarnya ia tidak tahu apa rasa kesukaan Dante, ia hanya asal sebut saja. Persetan jika Dante tidak suka, ia saja yang akan menghabiskan nya.

"Ini." Hera memberikan ice cream tadi kepada Dante yang tengah duduk di salah satu kursi yang sudah di sediakan di sana.

Dante mengambilnya dan langsung memakannya, "wow, perhatian sekali kau, kau tahu rasa kesukaan ku? Kau sudah mulai kepo dengan diri ku, ya?" ucap nya narsis.

"Owh, kau suka rasa itu? Jangan percaya diri, aku hanya random memilih rasa saja, dan untung lah kau suka," kata nya sambil menjilati ice cream rasa vanilla nya itu yang sudah sedikit cair, "dan ya, ini tidak gratis. Kau ganti uang ku nanti," lanjut nya.

"Pelit."

"Kau itu kaya, seharusnya kau yang membelikan aku sesuatu, lagian juga kau kan suamiku, yang wajib menafkahi istrinya."

"Benar apa kata ku, kau itu sudah tertarik dan jatuh cinta ke dalam pesona ku, buktinya sekarang kau mengakui aku sebagai suamimu." Dante mengedipkan matanya sebelah kepada Hera.

"Untuk saat ini, aku menanggap mu sebagai husband material saja, aku akan menganggapmu sebagai suamiku jika kau mau mengeluarkan uang untuk ku, tapi jika tidak, kita itu tetap musuh," jelas Hera lancar, seperti tidak ada beban.

"Mata duitan."

"Semua manusia juga begitu, lihat diri mu sendiri. Sudah pelit, mata duitan pula," sindir Hera, membalikkan ucapan Dante.

Dante hanya bisa terdiam, karena ia kalah telak dengan ucapan Hera, tidak dapat membantah karena itu memang benar adanya.

"Benar. Aku memang mata duitan, jadi, sebagai istri yang baik, kau harus melakukan sesuatu untuk suami tampan mu ini," ucap tersirat Dante, yang memiliki arti lain. Namun tidak bisa di pahami oleh otak Hera.

"Melakukan apa? Aku kan sudah menjadi istri baik, dengan tidak memoroti semua harta kekayaan mu, lalu apa lagi?"

"Setelah ku pikir, kau masih belum menjadi istri yang baik, karena ...."

"Karena apa?"

"Karena kita belum berhubungan layaknya suami istri lakukan."

Ucapan Dante yang to the poin itu seketika membuat Hera tersedak ice cream nya sendiri, what the hell?! Pria ini benar-benar! Tidak bisa 'kah, ucapannya itu lebih difilter sedikit? Mereka sedang berada di Taman Bermain, yang notabene nya adalah tempat umum, lho. Bagaimana jika ada yang dengar? Betapa malunya Hera sekarang, astaga, Dante ini benar-benar ingin di potong, ya, mulut ember nya itu?!

"Kau gila?!! Dante jaga ucapan mu!" Hera sedikit murka sekarang, "aku tahu itu kewajiban ku sebagai seorang istri, tapi tidak bisa 'kah membicarakan ini di rumah saja?!" 

Dante hanya menunjukkan box smiel nya, yang sangat manis itu, "jadi, kalau sedang di rumah, kau ingin kita langsung melakukan itu, ya?"

"T-tidak begitu juga maksud ku, tapi ahh sudah lah!"

"Bahkan kau mendesah, hanya dengan aku mengucapkan itu." Goda nya lagi, yang seketika mendapatkan pukulan di paha berotot nya.

"Brengsek, diam!"

Tidak bisa menahan lagi, akhirnya Dante tertawa sangat keras, entah kenapa ... rasanya sangat menyenangkan menjahili Hera seperti tadi.

.

.

.

.

***

Bersambung~

Aduh, baru aja mau akrab, eh udah berantem lagi. Kapan baikan nya sih, kalian berdua? Gedek saya lama-lama. 

Awas aja nanti sampe cinlok, alias cinta lokasi. Ku tonjok juga kalian berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status