LOGINElang Mahaputra Adikara POV
Saat aku sampai di mall, aku langsung mencari Mokara yang untungnya sudah berhasil menemukan Lean. Menurut Mokara, Lean di temukan di area dekat restoran. Ada yang mengatakan jika bocah itu tadinya memanggil-manggil Mama sambil berlarian. Mama siapa? Setahuku hanya Mama Hanna yang dia miliki sampai saat ini. Itupun Hanna tidak ada di tempat ini. Hanna berada di guest house bersama Adit dan Raga. Jika itu arwah ibu kandungnya, tentu Lean akan memanggil Mommy bukan Mama. Hmm... daripada memarahi Lean, aku justru takut anak ini sedang berhalusinasi jika ia memiliki Mommy-nya.
Saat sudah bersama dengan Lean, daripada memarahinya seperti apa yang Mokara lakukan, aku lebih memilih menggendongnya. Ya, buat apa aku harus marah? Bukankah itu hanya buang-buang energi. Lagipula yang penting Lean sudah ditemukan. Tanpa mempedulikan Mokara yang masih terus mengoceh, aku segera mengucapkan terimakasih kepada security lalu berjalan menuju ke parkiran mobil.
Sepanjang jalan aku terus mendengar Lean memanggil-manggil Mama namun aku abaikan. Karena saat ini yang terpenting aku kembali ke guest house dan segera bersiap-siap untuk menghadiri acara Gavriel dan Gadis.
"Kar, lo beneran enggak mau ikut acara ini?"tanyaku ketika aku sudah sampai di dekat mobil yang aku sewa selama berada di Solo ini. Di tanganku sudah ada tas milik Lean yang berisi barang-barang pribadinya.
"Enggak."
"Kenapa? Apa lo masih menyimpan rasa sama Gavriel?
Wajah Mokara tampak terkejut namun setelahnya ia justru tertawa. Baru setelah tawanya reda, Mokara menggelengkan kepalanya. "Gue dari awal juga enggak ada rasa sama dia. Gue cuma males diledekin sama Wilson aja. Lo tahu sendiri congornya dia kaya gimana."
"Ya udah, gue sama Lean berangkat duluan, ya?"
"Okay."
Kini Mokara mencium pipi Lean sekilas. Baru setelah ia selesai mencium pipi Lean, aku membuka pintu mobil dan mendudukkan Lean di kursi penumpang depan mobil. Aku pasangkan sabuk pengaman untuknya dan begitu selesai, aku tutup kembali pintu penumpang depan mobil.
"Habis ini gue mau ke Jogja. Kita ketemu di Jakarta aja," kata Mokara kepadaku.
"Naik apa lo ke sana?"
"Naik KRL cuma bayar delapan ribu doang."
Aku anggukkan kepalaku. Kini aku segera pamit kepaa Mokara lalu berjalan menuju ke sisi pengemudi. Begitu sudah ada di dalam mobil, aku langsung tancap gas meninggalkan parkiran mall ini.
***
Pukul tujuh malam aku sudah menggandeng Lean di tanganku ketika kami akan memasuki rumah orangtua Gadis yang sudah di dekorasi secantik ini. Di depanku ada Adit yang sudah bersama dengan Hanna, di belakangku ada Wilson bersama Raga.
"Berasa mau iringin pengantin masuk pelaminan," celetuk Wilson dari arah belakang tubuhku.
"Memang ini latihannya, Bego'," ucapku pelan sambil menoleh ke arah Wilson.
"Tapi gue yakin yang gue iringin masuk ke pelaminan setelah Gavriel bukan Adit tapi lo."
Ucapan Wilson membuatku tertawa hingga beberapa orang mengarahkan tatapannya kepadaku. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku agar tidak tertawa lagi. Begitu orang-orang sudah berhenti manatapku, aku baru menanggapi perkataan Wilson ini.
"Lo kalo ngomong yang benar aja. Jangankan mau nikah, pacar aja enggak punya."
"Iya sih enggak punya, tapi Lean bilang dia sudah punya Mama," kata Wilson dengan entengnya lalu ia memeletkan lidahnya.
Andai saja kami tidak segera diminta untuk segera masuk ke dalam, mungkin kali ini aku akan melanjutkan pembicaraan ini dengan Wilson yang sejak Lean dan aku pulang dari mall tadi terus menerus mengorek informasi dari anakku tentang perempuan yang ia panggil Mama.
Begitu kami sudah masuk ke lokasi dan dipersilahkan untuk duduk, aku memilih duduk sambil memangku Lean. Meskipun ini akan melelahkan namun semua ini jauh lebih baik daripada aku kehilangan dirinya lagi seperti tadi.
"Lean duduk di kursi ini aja, ya?"
Ucapan Wilson membuatku menoleh. Aku langsung mewakili anakku untuk berbicara. "Enggak usah. Dipangku Papa aja biar enggak hilang lagi."
"Dua jam, Lang kita di sini, paha lo pegel nanti."
Dengan berat hati, aku mencoba menawari Lean untuk duduk dan anak itu langsung mau. Agar dia bisa duduk dengan tenang, aku bukakan tas ransel kecil miliknya yang berisi snack dan camilan. Aku memang selalu membawa baju ganti, susu, bahkan camilan ke manapun aku pergi bila itu bersama dengan Lean.
Kini saat acara di mulai, aku mencoba memperhatikan semuanya dengan baik. Ya, siapa tahu saja suatu hari aku akan melalui semua ini sama seperti Gavriel. Meskipun semakin hari, semakin aku pesimis untuk bisa menikah. Karena tidak mudah mencari perempuan yang bisa menerima diriku terlebih anakku.
"Papa?" panggil Lean pelan yang membuatku menoleh ke arahnya.
"Ya?"
"Aku mau main di sana. Boleh enggak?"
Sejujurnya aku masih tidak yakin untuk melepasnya, namun aku tidak yakin Lean akan betah di tempat ini lebih lama lagi. Ingin mengikutinya main ke arah anak-anak yang sedang bermain di sana tapi aku yakin jika banyak orang yang akan memandang aneh kepadaku. Karena di sana hanya berisi beberapa orang dewasa wanita yang memakai pakaian seragam baby sitter. Jika aku berkumpul bersama mereka, sejujurnya aku kurang nyaman.
"Gimana, ya?"
"Ayolah, Pa... boleh, ya?"
"Kamu beneran enggak akan pergi jauh-jauh?"
"Iya, Pa."
"Okay. kalo begitu kamu boleh ke sana tapi jam ini harus terus dipakai enggak boleh dilepas," kataku sambil mengangkat tangan kiri Lean yang dilingkari sebuah jam berwarna putih.
Senyum bahagia langsung tampak di wajahnya dan setelahnya ia sudah langsung pergi menuju ke arah tempat anak-anak bermain.
Sesekali aku tetap melirik ke arah Lean dan dirinya masih di sana namun saat acara berakhir, aku sudah tidak menemukan sosok Lean di sana yang membuatku langsung berdiri. Tanpa mempedulikan permintaan Wilson yang memintaku untuk berfoto bersama dulu, aku justru mencari Lean. Aku tanyakan pada beberapa orang yang ada di sana dan mereka semua mengatakan jika Lean pergi ke arah parkiran mobil sambil memanggil-manggil Mamanya.
Jantungku semakin berdegup melebihi normal. Mama... Mama... Mama... siapa pula yang dirinya panggil Mama? Karena sejak tadi aku mencoba mengabaikan semua ini. Sambil terus berjalan sambil mengedarkan padanganku, aku mencoba mencari Lean. Semakin lama suaraku semakin keras memanggil namanya hingga akhirnya aku berhenti berjalan saat melihat Lean sedang berdiri. Di hadapannya ada wanita yang sedang berjongkok membelakangiku. Saat aku mulai berjalan mendekati mereka berdua, aku bisa melihat wajah Lean yang tampak bahagia.
"Mama harus pulang sekarang. Kamu ke dalam susulin Papa, ya? Kapan-kapan kita ketemu lagi."
"Mama mau pulang ke mana?"
"Mau pulang ke rumah orangtua Mama. Rumahnya jauh banget, jadi Mama harus pulang sekarang sebelum pintu rumahnya dikunciin dari dalam."
"Biar diantar Papa aja."
"Enggak usah, Mama sama supir pulangnya."
"Pa, anterin Mama pulang," ucapan Lean membuatku tersenyum namun senyumku tiba-tiba lenyap kala melihat sosok perempuan yang ia panggil Mama ini menoleh ke arahku.
Aku mengedipkan kedua mataku berkali-kali. Apakah aku tidak sedang berhalusinasi? Perempuan yang sudah aku cari bertahun-tahun kini sedang bersama Lean di hadapanku dan menatapku dengan tatapan bingung. Meskipun kini ia tersenyum ramah sambil mulai bangkit berdiri dari posisi berjongkoknya saat ini, namun aku masih tidak sanggup berkata-kata di hadapannya. Ya Tuhan....tolong buang semua kebodohanku kali ini karena aku butuh untuk berkenalan dengannya secara lebih layak daripada dulu saat kami bertemu di kolong jembatan.
***
Caramel Attanaya Raharja POVBagai kerbau yang dicolok hidungnya, kali ini aku menurut saja saat Elang sudah menuntunku menuju ke arah tas kami berada. Saat sampai di sana ia segera mengambil handuk mikrofiber milik Edel yang berwarna pink dan ia juga mengambil sabun cair beraroma strawberry milik keponakanku itu. Selesai mengambil dua barang itu, ia meminta kunci mobil kepadaku. Setelah aku memberikannya, ia menuntunku menuju ke arah kamar mandi wanita berada yang ada di dekat kolam renang utama di depan."Kamu mandi, aku carikan baju dulu.""Mau cari di mana?""Dekat perempatan jalan tadi ada swalayan."Aku tahu tempat yang dimaksud oleh Elang ini karena itu aku memilih menganggukkan kepalaku. Saat aku sampai di dekat bapak-bapak yang aku tolong tadi, aku melihat beberapa orang masih berusaha menolong. Aku memilih berhenti berjalan dan melihatnya dari jauh. Bahkan sampai saat petugas medis datang dan membawanya pun aku masih diam di tempatku berdiri saat ini. "Bapaknya enggak kenap
Elang Mahaputra Adikara POVAku tidak mengira jika pada akhirnya rasa kesalku pada Caramel tadi bisa menguap begitu saja saat aku bertemu dengan keluarga besarnya. Seumur hidupku, aku baru satu kali menemui keluarga sehangat keluarga besar Caramel ini. Entah kenapa bukannya ingin mengubur semua rasa yang sudah aku pendam bertahun-tahun pada Caramel, yang ada aku justru semakin berkeinginan diterima oleh dirinya terlebih keluarganya. Mungkin aku akan menyayangi mereka semua seiring waktu karena mereka sangat terbuka dan baik kepadaku. Meskipun mungkin itu baru beberapa saja keluarganya belum seluruhnya.Saat aku, Caramel, Edel, Lean akan masuk ke mobil untuk mengantarkan si kembar les renang, Juna bahkan menyerahkan sebuah cek untuk Caramel. Bukannya aku shock dengan semua ini, namun menurutku terlalu berlebihan jika mengantarkan anak les renang saja, bayarannya menggunakan cek yang aku yakin isinya pasti cukup untuk biaya hidup Caramel selama sebulan. Jika tidak, mana mungkin senyum c
Caramel Attanaya Raharja POVApa aku tidak salah dengar kali ini? Benarkah apa yang dikatakan Elang barusan kepadaku? Jika benar tentu saja aku sudah terlalu overthinking hingga berpikir yang tidak-tidak tentang Elang. Seharusnya aku bisa lebih sabar menghadapi semua situasi ini apalagi aku sudah berusia lebih dari 30 tahun. Ah, mungkin aku begini karena kehebohan keluargaku sejak Elang dan Lean masuk ke rumah Budhe. Apesnya lagi yang menemuinya pertama kali adalah Mamaku. Dari tatapan Mama kepadaku saja, aku tahu bahwa aku harus memberikan penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi mengenai status hubunganku dengan Elang dan Lean. Apalagi Lean memanggilku Mama di depan keluarga besarku.Saat aku membalikkan tubuhku, aku bisa melihat Elang yang dengan sabar mencoba membujuk Lean untuk pulang. Setelah melambaikan tangan kepada Galen, Edel dan Eric, Elang segera menggandeng tangan Lean untuk menuju ke pintu. Aku hanya bisa diam melihat semua ini. Jika aku bergerak, orang-orang akan
Elang Mahaputra Adikara POVSudah tiga hari ini Lean sakit dan puncaknya adalah kemarin malam kala aku membawanya ke UGD salah satu rumah sakit besar swasta yang ada di Jakarta. Panasnya sudah mencapai 40 derajat celcius dan saat aku tahu bahwa amandel Lean membesar, aku semakin merasa bersalah setelahnya. Sepertinya aku terlalu lalai dalam menjaga asupan makanan dan minumannya selama ini. "Pa, aku mau ketemu sama Mama."Ucapan Lean membuatku mengangkat pandanganku yang sejak beberapa saat lalu fokus pada laporan pendapatan bulanan tempat karaokeku. "Okay, Papa telepon Mama Hanna.""Bukan Mama Hanna tapi Mama Mel."Astaga...Aku yang selama satu bulan ini pusing bagaimana membuat alasan untuk menghubunginya akhirnya menemukan solusi di kala Lean mengatakan hal ini. Bukan bermaksud untuk memanfaatkan kesakitan Lean, namun saat ini mungkin saat yang tepat untuk menghubungi Caramel. Aku mencoba menghubungi Caramel namun tidak kunjung diangkat olehnya. Hmm.... kenapa wanita ini mengaba
Caramel Attanaya Raharja POVSatu bulan ini berat badanku naik satu kilogram dan semua itu disebabkan karena hampir setiap malam aku selalu makan di luar rumah. Jika bukan menuruti keinginan keluargaku terutama orangtuaku yang mulai mengenalkan aku pada beberapa anak temannya, aku pasti tidak mau. Mau menyalahkan mereka juga tidak bisa, karena pada nyatanya aku yang sempat meminta keluargaku untuk mencarikan jodoh yang setara denganku. Karena di usiaku yang sekarang semakin hari semakin sulit menemukan pria yang mandiri, mapan dan tentunya bisa nyambung denganku. Aku sudah menutup telingaku rapat-rapat kala ada yang mengatakan aku matre atau sebagainya. Karena nyatanya kembaranku yang sangat realistis dan rela menurunkan standart laki-laki idamannya dengan alasan cinta ujungnya juga nangis dipojokan. Calon suaminya ketahuan memiliki anak dengan perempuan lain. Benar sih, hal seperti itu wajar di dunia barat, namun untukku yang numpang lahir di barat tetapi besar di timur tetap tidak b
Elang Mahaputra Adikara POVAku memandangi nomer telepon Caramel sambil sesekali tersenyum. Aku tersenyum bahagia karena pada akhirnya justru Lean yang bisa menemukan perempuan itu. Seakan Tuhan sedang memberiku kebahagiaan yang bertubi-tubi kali ini karena selain sudah berhasil bertemu dengannya lagi, ternyata Lean juga menyukainya. Ya, setidaknya Caramel cukup ramah anak dan terlihat sangat keibuan. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah menggali semua informasi mengenai semua tamu yang hadir di acara Gadis dan Gavriel. Seperti saat ini sebelum aku pulang ke Jakarta bersama Lean, aku mengajak Gadis berbicara terlebih dahulu. Ya tentu saja menyangkut Caramel yang masih aku rahasiakan dari semua teman dekatku termasuk Gavriel. Pokoknya selama belum yakin seratus persen dia bisa menjadi pasanganku, aku tidak akan berkoar-koar. Aku tidak mau mengulang kesalahan temanku yang sudah mendeklarasikan hubungan mereka namun pada akhirnya untuk menikah saja halangannya banyak sekali sampai mu







