LOGINCaramel Attanaya Raharja POV
Aku cukup terkejut ketika anak yang aku temui di mall beberapa jam yang lalu ada di acara keluarga Bimantara ini. Ia bahkan memanggil-manggil diriku dengan sebutan Mama hingga membuat Mbak Nada yang baru saja berjalan bersamaku menuju ke parkiran mobil terheran-heran.
"Sejak kapan lo punya anak? Gue yakin lo kawin aja masih belum pernah," ucapnya pelan yang membuatku menghela napas.
Ya, aku memang masih perawan sampai saat ini. Karena aku selalu berusaha menghindari sex bebas selama ini. Aku berpikir jika sex bebas hanya akan merugikan kaum wanita saja, apalagi jika sampai tekdung duluan belum lagi resiko penyakit menular seksual yang mungkin terjadi. Hmm... lebih apesnya lagi, tidak sedikit kaum laki-laki yang hanya mau senangnya saja tanpa memikirkan jangka panjang jika sampai si perempuan ini mengandung anaknya.
Aku mencoba mengabaikan perkataan sepupuku ini. Kini aku berjongkok untuk menyambut bocah itu. Begitu bocah itu sudah ada di hadapanku, ia langsung memeluk dan menyebut Mama terus menerus. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya memanggil begitu. Ternyata tidak terlalu buruk disebut Mama meskipun itu hanya pura-pura saja.
"Mel, gue duluan ke mobil, ya?"
"Iya, tunggu sebentar ya, biar baliknya bareng."
"Okay," ucap Mbak Nada yang tanpa banyak bertanya lebih jauh mengenai anak yang ada di hadapanku ini.
Baru setelah Mbak Nada masuk ke dalam mobil, aku segera mengajaknya berbicara. Terutama tentang bagaimana anak ini bisa ada di sini. Tentu saja semua ini aku awali dengan menanyakan namanya terlebih dahulu yang ternyata bernama Leander. Hmm... tipikal nama anak jaman now yang sedikit unik, sulit di ucapkan dan ditulis. Untung saja bukan cucu keluarga besarku karena di keluargaku ada aturan tidak tertulis yang meminta para pasangan yang baru saja memiliki anak untuk tidak memberi nama anak dengan nama yang terlalu kebaratan dan sulit untuk diucapkan oleh lidah para sesepuh. Tentu saja nama King, Queen bahkan Elzio pun di keluargaku tidak ada. Semua menggunakan nama yang sangat membumi bahkan saking membuminya ada yang bernama Pelangi, Edelweis sampai Awan. Meskipun Awan tidak berumur panjang karena ia sudah meninggal dunia sebelum usianya genap satu tahun. Ya, Awan adalah kakak Mbak Angi yang sejak lahir mengidap trisomi.
Saat aku berbicara dengan Lean dan belum sampai ke inti pembicaraan, tiba-tiba seorang pria yang memanggil Lean membuat pembicaraan kami terhenti begitu saja. Saat aku menoleh, aku menemukan wajah pria itu yang sepertinya saat melihat wajahku mungkin seperti ia melihat setan. Karena seketika ia berhenti berbicara dan matanya fokus mengamati diriku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Baiklah, aku akui jika aku ini tidak begitu cantik apalagi menarik. Aku hanya perempuan biasa yang sangat-sangat biasa. Dimulai dari segi kemampuan otakku yang biasa saja. Karena tidak pernah aku masuk 10 besar anak berprestasi di kelas apalagi di sekolah. Aku juga tidak setinggi kembaranku atau sepupu-sepupuku yang lain. Apalagi untuk hoby. Hmm... sungguh sangat berbeda dengan kebanyakan keluargaku. Mbak Nada yang hoby memasak, mas Adam yang hoby mengoleksi mobil sport, hingga kembaranku yang hoby traveling, aku justru hoby berkaraoke dengan lagu-lagu koplo hingga lagu-lagu jawa. Tidak segan-segan aku mengunjungi tempat karaoke di sela-sela kesibukan harianku selama ini. Semua demi menghilangkan penat dan tentunya menyalurkan suara sumbangku. Setidaknya di dalam ruangan karaoke yang tidak terlalu luas itu, aku tidak perlu takut jika suaraku adalah salah satu polusi suara bagi telinga orang lain.
"Mama, itu Papa. Ganteng 'kan, Ma?"
Pertanyaan dari Lean hanya aku tanggapi dengan senyuman dan sedikit anggukan kepala. Tidak mungkin 'kan aku gelengkan kepalaku. Aku tidak mau membuatnya kecewa dan tentunya aku tidak mau dikatakan katarak karena laki-laki yang ada di depanku ini memang tampan, gagah dan rambutnya sedikit gondrong. Anehnya, kegondrongannya ini justru membuatnya terlihat semakin tampan. Sampai aku berpikir pernah melihat wajah yang hampir mirip dengannya namun siapa? Saat aku ingat-ingat lagi ternyata itu adalah wajah dari seorang artis bernama Paing Takhon. Ya, memang bukan artis dari negara ini, namun dirinya cukup terkenal di negaranya. Bedanya hanya ia tidak menjadikan tubuhnya sebagai buku gambar saja seperti artis itu.
Aku baru kembali menapaki realitas ketika laki-laki ini membantuku untuk berdiri.
"Papa, kenalin ini Mama Caramel."
Mendengar perkataan Lean, aku mencoba tersenyum lalu mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan dengan laki-laki ini. Aku harus menunggu beberapa detik sampai laki-laki ini menerima jabat tanganku.
"Elang," ucapnya singkat.
Oh... nama yang cukup merakyat di kebun binatang. Ya, 'kan.... setidaknya di Gembiraloka Zoo kita akan menemukan kembarannya di sana dalam bentuk hewan. Hmm... semakin beragam saja aku mengenal hewan dalam wujud manusia. Di mulai dari Monyet, Babi dan kini ada Elang. Bedanya mungkin nama laki-laki ini benar-benar Elang di kartu tanda pengenalnya berbeda dengan pasangan beda spesies di keluargaku itu yang memiliki nama asli Adam dan Akshara.
"Caramel. Panggil aja, Mel."
Setelah mengatakan hal itu, aku menarik lebih dulu jabat tangan kami yang bagiku terlalu lama daripada seharusnya.
Suara Mbak Nada yang terdengar tiba-tiba datang dari arah kaca mobilnya membuatku menoleh.
"Buruan kita balik. Anak gue sudah nyariin."
Mendengar ajakannya, aku segera pamit pada Leander dan Elang. Tidak perlu banyak bercerita karena menurutku membahas tentang persepsi Lean tentangku pada Papanya sama saja dengan menganggap masalah ini serius. Lagipula ini bukan anak pertama yang memanggil aku Mama, sebelumnya aku pernah dipanggil Bunda, Ibun bahkan Ibu oleh beberapa murid TK.
"Le, Mama pulang, ya?"
"Biar diantar Papa aja."
"Enggak usah, Sayang."Aku mencoba menolak tawaran Lean. Lagipula orang gila mana yang mau menyetir sampai ke Jogja untuk orang yang tidak dirinya kenal dengan baik.
"Bisa minta nomer kamu?"
Pertanyaan tiba-tiba yang datang dari Elang membuatku cukup terkejut. Hmm... jangan sampai laki-laki ini menganggap semua ini serius. Demi apapun, tipikal laki-laki tampan yang sepertinya mapan dijaman sekarang kalo bukan suami orang ya cuma para players saja. Dan dari dua kemungkinan itu, aku lebih meyakini jika Elang masuk ke dalam kategori players.
"For what?"
"Buat Lean. Takutnya dia nyariin kamu."Aku hanya tersenyum namun setelah aku pikir-pikir lagi, tidak ada salahnya memberinya nomer. Karena aku tahu bagaimana rasanya jika harus menenangkan anak kecil yang sedang tantrum. Saat ia mengulurkan handphonenya, aku segera menerimanya dan menuliskan nomer teleponku yang berjumlah sepuluh digit di sana. Ya, nomerku memang tidak pernah berubah sejak aku masih memakai seragam SMP sampai saat ini aku sudah kepala tiga. Selesai aku menyimpan nomerku di sana, aku segera pamit dan masuk ke mobil Pakdhe Dimas. Aku meminta supir Pakdhe untuk segera berjalan mengikuti mobil mbak Nada pulang. Tentu saja aku tidak mungkin semobil dengan Mbak Nada saat pulang ke Jogja. Rumah Mbak Nada yang di daerah Maguwoharjo itu terlalu jauh dari rumah orangtuaku yang ada di daerah Bantul.
Selama perjalanan malam ini, aku lebih banyak diam namun notifikasi yang terus berbunyi di handphoneku membuatku menghela napas panjang. Siapa pula malam-malam begini masih ribut di group. Segera saja aku mengeceknya karena takut ada hal penting yang sangat mendesak. Ternyata itu adalah group keluarga besarku. Pelan-pelan aku membaca semua yang ada di sana. Siapa tahu saja aku memiliki bahan ejekan baru untuk salah satu keluargaku terutama para sepupuku yang memang memiliki kelakuan ajaib.
Nada : *sending picture*
Nada : Woro-woro... akhirnya Caramel punya kandidat calon bojo tanpa harus diedarkan saudara-saudara.
Ervin : Hmm... katanya mau mencintai produk dalam negri. Nyatanya...
Kaluna : Nyatanya gue pernah ketemu laki ini. Dia temannya client gue. Badannya tinggi, gagah dan enggak kalah ganteng daripada Stevan.
Juna : Panas dingin gue kalo bayangin Stevan. Soalnya efek hubungan dia sama Vanilla sangat-sangat karambol.
Ruben : Yuhu, Junaidi. Cuma dia yang berhasil bikin keluarga besar kita huru hara dan tante Maria keluar masuk rumah sakit berkali-kali.
Adam : Kunci untuk menaklukkan Om Aris mah simpel selain bisa bulutangkis.
Vanilla : Sudahlah, enggak usah bawa-bawa Stevan. Dia sudah hidup damai di Seoul.
Nada : saran lo apa, Nyet?
Adam : Cukup tiga kuncinya. Kunci rumah, kunci mobil dan kunci brangkas. Kalo dia bisa kasih semua itu buat Caramel, gue yakin om Aris dengan lapang dada melepaskan satu anaknya buat dinikahin.
Tiara : Mel... gue enggak nyangka kalo lo diam kelihatan lugu, sekalinya bergerak langsung dapat modalan laki selebgram begini.
Aku membaca semua ini dan hanya bisa menghela napas panjang. Keluargaku sudah benar-benar edan. Dan beruntungnya aku saat ini Vanilla tidak langsung meneleponku untuk mengkonfimasi siapa laki-laki itu. Karena aku tahu watak kembaranku itu yang tidak mungkin akan percaya begitu saja dengan penjelasanku tanpa mencari informasi lebih jauh lagi. Langkah paling tepat malam ini adalah mengabaikan semua ocehan keluargaku di group keluarga. Karena jika sekali saja aku keluar dan mencoba mengkonfirmasi mengenai semua ini, yang ada mereka akan semakin menjadi-jadi.
***
Caramel Attanaya Raharja POVBagai kerbau yang dicolok hidungnya, kali ini aku menurut saja saat Elang sudah menuntunku menuju ke arah tas kami berada. Saat sampai di sana ia segera mengambil handuk mikrofiber milik Edel yang berwarna pink dan ia juga mengambil sabun cair beraroma strawberry milik keponakanku itu. Selesai mengambil dua barang itu, ia meminta kunci mobil kepadaku. Setelah aku memberikannya, ia menuntunku menuju ke arah kamar mandi wanita berada yang ada di dekat kolam renang utama di depan."Kamu mandi, aku carikan baju dulu.""Mau cari di mana?""Dekat perempatan jalan tadi ada swalayan."Aku tahu tempat yang dimaksud oleh Elang ini karena itu aku memilih menganggukkan kepalaku. Saat aku sampai di dekat bapak-bapak yang aku tolong tadi, aku melihat beberapa orang masih berusaha menolong. Aku memilih berhenti berjalan dan melihatnya dari jauh. Bahkan sampai saat petugas medis datang dan membawanya pun aku masih diam di tempatku berdiri saat ini. "Bapaknya enggak kenap
Elang Mahaputra Adikara POVAku tidak mengira jika pada akhirnya rasa kesalku pada Caramel tadi bisa menguap begitu saja saat aku bertemu dengan keluarga besarnya. Seumur hidupku, aku baru satu kali menemui keluarga sehangat keluarga besar Caramel ini. Entah kenapa bukannya ingin mengubur semua rasa yang sudah aku pendam bertahun-tahun pada Caramel, yang ada aku justru semakin berkeinginan diterima oleh dirinya terlebih keluarganya. Mungkin aku akan menyayangi mereka semua seiring waktu karena mereka sangat terbuka dan baik kepadaku. Meskipun mungkin itu baru beberapa saja keluarganya belum seluruhnya.Saat aku, Caramel, Edel, Lean akan masuk ke mobil untuk mengantarkan si kembar les renang, Juna bahkan menyerahkan sebuah cek untuk Caramel. Bukannya aku shock dengan semua ini, namun menurutku terlalu berlebihan jika mengantarkan anak les renang saja, bayarannya menggunakan cek yang aku yakin isinya pasti cukup untuk biaya hidup Caramel selama sebulan. Jika tidak, mana mungkin senyum c
Caramel Attanaya Raharja POVApa aku tidak salah dengar kali ini? Benarkah apa yang dikatakan Elang barusan kepadaku? Jika benar tentu saja aku sudah terlalu overthinking hingga berpikir yang tidak-tidak tentang Elang. Seharusnya aku bisa lebih sabar menghadapi semua situasi ini apalagi aku sudah berusia lebih dari 30 tahun. Ah, mungkin aku begini karena kehebohan keluargaku sejak Elang dan Lean masuk ke rumah Budhe. Apesnya lagi yang menemuinya pertama kali adalah Mamaku. Dari tatapan Mama kepadaku saja, aku tahu bahwa aku harus memberikan penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi mengenai status hubunganku dengan Elang dan Lean. Apalagi Lean memanggilku Mama di depan keluarga besarku.Saat aku membalikkan tubuhku, aku bisa melihat Elang yang dengan sabar mencoba membujuk Lean untuk pulang. Setelah melambaikan tangan kepada Galen, Edel dan Eric, Elang segera menggandeng tangan Lean untuk menuju ke pintu. Aku hanya bisa diam melihat semua ini. Jika aku bergerak, orang-orang akan
Elang Mahaputra Adikara POVSudah tiga hari ini Lean sakit dan puncaknya adalah kemarin malam kala aku membawanya ke UGD salah satu rumah sakit besar swasta yang ada di Jakarta. Panasnya sudah mencapai 40 derajat celcius dan saat aku tahu bahwa amandel Lean membesar, aku semakin merasa bersalah setelahnya. Sepertinya aku terlalu lalai dalam menjaga asupan makanan dan minumannya selama ini. "Pa, aku mau ketemu sama Mama."Ucapan Lean membuatku mengangkat pandanganku yang sejak beberapa saat lalu fokus pada laporan pendapatan bulanan tempat karaokeku. "Okay, Papa telepon Mama Hanna.""Bukan Mama Hanna tapi Mama Mel."Astaga...Aku yang selama satu bulan ini pusing bagaimana membuat alasan untuk menghubunginya akhirnya menemukan solusi di kala Lean mengatakan hal ini. Bukan bermaksud untuk memanfaatkan kesakitan Lean, namun saat ini mungkin saat yang tepat untuk menghubungi Caramel. Aku mencoba menghubungi Caramel namun tidak kunjung diangkat olehnya. Hmm.... kenapa wanita ini mengaba
Caramel Attanaya Raharja POVSatu bulan ini berat badanku naik satu kilogram dan semua itu disebabkan karena hampir setiap malam aku selalu makan di luar rumah. Jika bukan menuruti keinginan keluargaku terutama orangtuaku yang mulai mengenalkan aku pada beberapa anak temannya, aku pasti tidak mau. Mau menyalahkan mereka juga tidak bisa, karena pada nyatanya aku yang sempat meminta keluargaku untuk mencarikan jodoh yang setara denganku. Karena di usiaku yang sekarang semakin hari semakin sulit menemukan pria yang mandiri, mapan dan tentunya bisa nyambung denganku. Aku sudah menutup telingaku rapat-rapat kala ada yang mengatakan aku matre atau sebagainya. Karena nyatanya kembaranku yang sangat realistis dan rela menurunkan standart laki-laki idamannya dengan alasan cinta ujungnya juga nangis dipojokan. Calon suaminya ketahuan memiliki anak dengan perempuan lain. Benar sih, hal seperti itu wajar di dunia barat, namun untukku yang numpang lahir di barat tetapi besar di timur tetap tidak b
Elang Mahaputra Adikara POVAku memandangi nomer telepon Caramel sambil sesekali tersenyum. Aku tersenyum bahagia karena pada akhirnya justru Lean yang bisa menemukan perempuan itu. Seakan Tuhan sedang memberiku kebahagiaan yang bertubi-tubi kali ini karena selain sudah berhasil bertemu dengannya lagi, ternyata Lean juga menyukainya. Ya, setidaknya Caramel cukup ramah anak dan terlihat sangat keibuan. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah menggali semua informasi mengenai semua tamu yang hadir di acara Gadis dan Gavriel. Seperti saat ini sebelum aku pulang ke Jakarta bersama Lean, aku mengajak Gadis berbicara terlebih dahulu. Ya tentu saja menyangkut Caramel yang masih aku rahasiakan dari semua teman dekatku termasuk Gavriel. Pokoknya selama belum yakin seratus persen dia bisa menjadi pasanganku, aku tidak akan berkoar-koar. Aku tidak mau mengulang kesalahan temanku yang sudah mendeklarasikan hubungan mereka namun pada akhirnya untuk menikah saja halangannya banyak sekali sampai mu







