Share

Bab 4

Stella Pov

Malam ini sesuai rencana, aku bersama kedua orangtuaku pergi ke sebuah restaurant Kristal yang begitu mewah di Jakarta. Siapa yang tak mengenal kata Kristal, semuanya pasti tau, perusahaan kuliner yang termasuk 5 besar perusahaan yang mendunia di Indonesia. Itu adalah perusahaan makanan yang katanya ownernya itu tampan banget. Dan sialnya setiap kali aku ke sini untuk makan siang, aku tidak pernah bertemu dengannya. Malah bertemu dengan Bapak-bapak gemuk dengan kepala plontos yang bilang sebagai Manajernya.

Mama memintaku untuk turun dari dalam mobil dan berjalan memasuki restaurant yang mengambil gaya Eropa dan memiliki bangunan beberapa tingkat. Selain itu di bagian atas restaurant ini di buat outdoor dan terbuka hingga memperlihatkan langit malam tanpa penghalang. Terdapat juga sebuah kolam renang berukuran sedang dan beberapa gazeboo juga tempat pembakaran. Sepertinya sangat cocok untuk berkencan di sana dengan nuansa yang begitu romantic. Aku sampai tak kuasa untuk makan di sana, karena tak memiliki pasangan. Nasib Jones, menyedihkan...

"Sayang ayo," seru Mama membuatku mengalihkan pandanganku yang menyisir suasana restaurant yang ramai ke arah Mama yang berjalan mengikuti seorang waiters menuju ke pintu lift. Di dalam lift kami sama-sama terdiam, dan aku melirik ke dinding lift yang di lapisi cermin. Entah kenapa aku merasa harus sedikit merapihkan tatanan rambut dan pakaianku. Hingga pintu lift terbuka lebar membuat kami melangkahkan kaki keluar lift.

Di daerah sini hampir lebih bagus lagi. Hampir setiap meja panjang memiliki sekat dari kaca sebagai pembatas. Dan itu penuh sekali, sepertinya banyak keluarga besar yang memesan tempat makan di sini. Langkahku terhenti saat sudah sampai ke salah satu bilik kaca yang cukup luas. Di depan kami ada sepasang suami istri yang terlihat tampan dan cantik walau usia mereka sepertinya sudah di atas 50 tahun.

"Selamat malam Pak Pradhika, dan Bu Thalita. Bagaimana kabar kalian?" sahut Papa bersalaman dengan mereka berdua. Aku masih berdiri di tempatku dan melihat acara bercengkraman mereka.

"Ah ini putri kesayangan kami, ayo Stella perkenalkan diri kamu," ucap Papa membuatku berjalan mendekati mereka dan mencium tangan mereka berdua.

"Stella, Om, Tante."

"Gadis yang cantik," seru tante itu membuatku tersenyum.

"Ayo silahkan duduk," seru Om Dhika membuat kami semua duduk di kursi meja bundar yang ada di sana. Beberapa gelas berisi Anggur merah dan juga beberapa jenis piring sudah tersedia dengan rapi di sana.

"Bagaimana kabar kalian?" tanya om Dhika.

"Kabar kami sangatlah baik, bagaimana denganmu? Ah, dan kami turut berbela sungkawa atas meninggalnya Pak Surya Adinata," seru Papa membuat mereka berdua tersenyum manis.

"Setelah lama berpisah, kini kita bisa kembali berkumpul. Sepertinya sudah lama sekali," ucap Om Dhika.

"Ya, 15 tahun lalu terakhir kita berjumpa. Kami pun baru pindah kembali ke Indonesia."

"Ya, aku mendengar kabarmu," ucap om tampan itu.

"Ini Stella yang saat itu masih berusia 5 tahun yah," ucap Tante cantik itu membuatku kikuk karena tak paham. Tetapi aku tetap menampilkan senyuman terbaikku. Mereka berdua sungguh baik dan ramah sekali.

"Iya ini lho Mbak, anak yang sering nangis itu," ucap Mama membuat Tante Thalita terkekeh. Apa sih maksud Mama mengatakan aku cengeng, aku kan gak cengeng. Sepertinya,,,

"Ah, aku tidak menyangka restaurantmu jadi semakin sukses seperti ini," ucap Papa membuatku melongo kaget. Benarkah? Benarkah pemilik restaurant ini om Dhika? Bukankah menurut informasi yang ku dapat ownernya itu masih muda sekitar 30tahunan.

"Tidak, ini milik putra pertamaku. Dia yang membuat restaurant ini menjadi semakin sukses."

Wow!!! Benarkah? Berarti benar apa yang di beritakan, tetapi sungguh aku penasaran dengan wajah pria itu. Benarkah begitu tampan seperti yang di ceritakan orang-orang.

"Nah, anaknya datang," ucap Om Dhika membuat kami semua menoleh.

OH GOD!!! Sumpah demi bulu keteknya mimi peri yang di lurusin, dia sangat tampan. Sangat sangat sangat tampan. Aku bahkan belum pernah melihat spesies seperti ini sebelumnya. Pahatan wajahnya begitu sempurna bak dewa yunani. Tuhan sungguh tak tanggung tanggung menciptakan sosok ini dengan begitu sempurna.

"Kenalkan ini putra pertama kami, Leonard."

"Selamat malam Om, Tante. Saya Leonard. Semua pelayan di sini akan melayani kalian, dan saya harap anda semua merasa puas."

Ya Tuhan ya Tuhan, aku mau pingsan mendengar suara bassnya yang bagaikan genderang, membuatku bergetar. Bisakah aku pingsan sekarang? Tapi ingin dia yang membopongku...

Suaranya begitu berat dan seksi, astaga! Aku ingin larut dalam suaranya itu dan menjadi zat cair yang akan mengikutinya. Mengisi setiap sisi tubuhnya seperti air yang memenuhi ruang tertentu.

"Kenalkan Stella," ucap Mama membuatku mengerjapkan mata berkali-kali.

"Leonard," ucapnya dan ya Tuhan sungguh sekarang aku butuh nafas buatan, aku butuh nafas buatan sekarang juga.

"Stell," aku tersadar dari wajah konyolku dan segera mengerjapkan mataku berkali-kali.

"Stella," aku langsung menyambut uluran tangannya yang terasa begitu keras dan hangat. Tangannya begitu pas di tangan mungilku.

"Apa kabar Stella?"

Suara ini???

Haruskah aku berhalusinasi Dosen TMII itu di saat yang tak tepat. Ayolah otak kecil, pusatkan perhatianmu pada pria tampan di hadapanmu ini. Leonard... segagah, setampan namanya.

"Kalian saling kenal?"

"Dia muridku di kampus,"

Wait?

Ini bukan halusinasi Stella, putar kepala sekarang juga.

Damn it! Ya, ini bukan halusinasi. Dosen tengil itu berada tak jauh dariku dengan senyuman menyebalkannya dan tatapan tajam yang membuatku meleleh juga secara bersamaan.

"Pak Dosen?" gumamku.

"Akhirnya kau tersadar juga dari imajinasi liarmu," ucapnya dengan menaikkan sebelah alisnya membuatku ingin meninjunya sekarang juga. Itupun kalau tidak ada hukum di Indonesia. Aku tidak ingin masuk koran pagi dengan berita seorang mahasiswi meninju Dosennya sendiri. Bisa jadi Viral.

Aku hanya menampilkan senyuman kecil padanya dan tatapanku kembali mengarah ke arah Leonard yang jauh lebih tampan. Tetapi tunggu! Di jari manisnya itu apa?

"Apa kau menyukai cincin pernikahan Kakak saya?" ucap Dosen TMII itu.

Damn!!! Apa? Cincin pernikahan? Dia...

Ya Tuhan, belum jadian saja sudah patah hati begini. Kejamnya, kenapa nasib jones selalu semiris ini. Saat ada yang membuat jantung terasa berhenti berdetak, sialnya dia adalah jodoh oranglain.

"Tidak Pak," jawabku dengan ketus.

"Kalau begitu saya permisi, semua pesanan sudah tersedia," ucap Leonard dengan begitu sopan.

"Tidakkah kau ikut makan malam dengan kami," ucap Mama.

"Maapkan saya, tetapi istri saya sudah menunggu. Jadi selamat menikmati hidangannya, permisi." Hatiku semakin menciut mendengar penuturannya. Dia setia sekali pada istrinya. Sudahlah Stell, nasibmu tetap menjadi seorang Jones. Tak jadi di hilal oleh pengusaha kaya raya di Indonesia yang begitu tampan, setampan Leonard.

"Adrian, kau dosen di kampusnya Stella?" tanya Papa dan aku sibuk dengan makananku sendiri mengacuhkan mereka. Dunia ini sungguh sempit. Kenapa dosen TMII itu harus anak dari om Dhika dan tante Thalita yang begitu baik dan juga adik dari Leonard yang begitu HOT dan mempesona. Tidak adakah adik yang lebih pantas, misalnya Justin Bieber, Zayn malik, atau Billy Davidson gitu yang tampan dan ramah. Tidak seperti si tengil ini.

"Stella,"

"Iya,"

"Di tanyain tuh, kenapa diam saja," seru Mama membuatku mengernyitkan dahi. Memang siapa yang bertanya.

"Kamu sudah semester berapa, Sayang?" oh Tante Thalita toh yang bertanya.

"Semester 3 tante,"

"Fakultas kedokteran?" tanya om Dhika yang aku angguki.

Setelahnya mereka mulai membahas sesuatu yang tak ku pahami dan aku memilih sibuk dengan makananku tanpa menoleh ke arah mereka semua.

***

Malam ini aku dan Lenna diam-diam kabur dari rumah dan pergi ke sebuah club malam yang ada di Jakarta. Aku sebelumnya tidak pernah ke tempat seperti ini, karena orangtuaku begitu menjagaku dengan ketat. Tetapi karena malam ini Papaku sedang ada pekerjaan diluar kota dan hanya ada Mama, jadi aku bisa keluar dari rumah dan datang ke sini bersama Lenna sahabatku. Mungkin untuk sekedar mencari teman kencan atau bersenang-senang.

Aku duduk di kursi penumpang dimana Lenna sedang duduk manis di kursi pengemudi. Kami begitu bahagia bisa keluar dari rumah malam minggu ini. Lenna tampak cantik dengan setelah kemeja dan rok mini yang begitu seksi berwarna tosca dan putih. Dan aku memakai dres ketat berwarna hitam dan begitu pas di tubuhku hingga memperlihatkan semua lekukan tubuhku yang bisa terbilang seksi.

Aku menuruni mobil bersama dengan Lenna dan masuk ke sebuah club yang cukup terkenal dan mewah di Jakarta. Saat memasuki ruangan besar yang gelap dan pencahayaan minim, kami di sambut oleh suara keras yang memekakan telinga. Beribu orang berlalu lalang dan ada juga yang menari di tempatnya. Suasananya begitu hidup dan ramai sekali walau sedikit pengap dan berbagai macam bau. Dari bau rokok sampai alkohol.

"Aduh," ringis Lenna membuatku menoleh padanya.

"Kenapa loe?"

"Perut gue melilit, astaga kenapa harus mules di saat yang tidak tepat." Ya Tuhan Lenna, hahaha.

"Loe abis makan apaan emang tadi?"

"Baso, ya Tuhan gue gak tahan lagi Stell."

"Ya udah sana ke kamar mandi, malah curhat."

"Iya, sebentar yah, jangan kemana-mana." Dia langsung beranjak berlalu pergi.

Well? Sekarang aku sendiri dan aku harus mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Aku memilih duduk di sebuah kursi bartender yang cukup kosong walau tak jauh dariku 3 orang pria tengah duduk dan terang-terangan memperhatikanku.

"Minum apa?" tanya sang bartender membuatku sedikit bingung. Jujur saja aku tidak pernah ke tempat seperti ini sebelumnya.

"Itu," ucapku menunjuk ke seorang wanita yang duduk sendiri seraya meneguk cairan coklat terang dengan campuran buah kiwi yang terlihat manis.

Tak lama bartender itu menyerahkan minuman yang sama padaku. Aku menatap sekeliling seraya menyeduh minuman itu dan rasanya. Pahit!

Ini kelihatannya manis tetapi rasanya kenapa pahit. Sungguh penampilan yang menipu. Minuman ini mengingatkanku pada dosen itu, mirip sekali dengan jenis minuman ini. Dan kenapa aku harus mengingatnya lagi?

Aku mengusap wajahku supaya dosen TMII itu lenyap dari otakku, aku membencinya dan rasanya tak perlu otakku ternodai oleh wajah super menyebalkannya itu.

Aku menatap sekeliling mencari pemandangan yang indah, tetapi tak ada sesuatu yang menarik perhatianku. Hingga bartender menyerahkan minuman lagi padaku padahal aku tak memesannya. Minuman itu berwarna coklat dan berada di dalam takaran gelas kecil.

"Aku tidak memesannya," seruku pada bartender itu.

"Itu bonus untukmu Nona, dari pria di sana," ucapnya membuatku menoleh dan ketiga pria tadi tampak mengedipkan matanya dan melambaikan matanya kepadaku membuatku mendengus. Mereka pikir aku akan tertipu dan meneguk minuman mereka ini. Bagaimana kalau airnya memakai obat bisu atau obat tidur kadar tinggi. Bisa kehilangan segalanya...

Aku memalingkan wajahku dan meneguk minumanku sendiri walau rasanya begitu pahit membuatku meleletkan lidah karena rasanya yang pahit dan panas ke daerah kerongkonganku. Ngomong-ngomong Lenna lama sekali. Apa dia boker di negri Jiran? Sampai belum kembali juga.

Aduh, kenapa dengan kepalaku. Aku merasa hatiku senang dan melayang. Kepalaku juga seperti ada ribuan bintang mengelilingi. Sepertinya aku mulai mengantuk. Aku kembali meneguk minumanku hingga habis berusaha menghilangkan kantuk dan rasa panas di tenggorokanku. Tetapi bukannya menolong, aku malah semakin berkunang-kunang.

"Stella," panggilan itu membuatku menoleh dan seketika semuanya gelap.

***

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan terlihat langit-langit kamar berwarna coklat, aku mengernyitkan dahiku. Seingatku semalam aku berada di sebuah club malam menunggu Lenna kenapa sekarang aku ada di sini. Apa aku sudah pulang? Tapi ini bukan rumahku.

Aku membelalak lebar saat mengingat ketiga pria itu. aku hendak bangun tetapi gerakanku terhenti saat tangan kekar melingkar di perutku dengan posesive.

Ya Tuhan!!! Apa yang aku lakukan????

Aku langsung meloncat dari ranjang dengan menedang tubuh pria itu. Aku menunduk dan memeriksa seluruh pakaianku dan Utuh, syukurlah.

"Kenapa kau berisik sekali, Stell?" ucapnya membuatku membelalak lebar.

"Mr. Adrian?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status