Share

Bab 4. Panggilan 'Mas'.

Arsy baru selesai berurusan dengan dosen pembimbingnya selang satu setengah jam kemudian. Wajahnya sedikit kusut lantaran dosennya yang bergelar doktor itu menyuruh dia untuk mencari literatur tambahan lagi supaya thesisnya lebih ‘berisi'. Padahal Arsy sudah mengumpulkan hampir lima puluh referensi yang mencakup buku teori, jurnal, hasil penelitian dan wawancara dengan narasumber langsung.

Sebagaimana syarat untuk thesis pascasarjana yang mewajibkan minimal punya empat puluh referensi, seharusnya pak Wira sudah cukup tau jika Arsy bahkan sudah berusaha lebih dengan melampirkan lima puluh lebih referensi.

Tere masih menunggunya di depan ruangan seperti tadi. Melihat wajah kusut Arsy, gadis itu langsung tau jika sesi bimbingan sahabatnya itu tidak berjalan dengan baik.

"Kenapa muka kamu kusut begitu? Pak Wira kasih tugas aneh-aneh lagi ya?"

Arsy menjatuhkan bokongnya di sebelah Tere. Meletakkan tas dan map-nya begitu saja di atas meja yang ada di hadapan mereka.

"Masak aku harus nambah literatur lagi, Ter? Kurang banyak apa coba? Huft."

"Kok bisa? Bukannya kemarin pak Wira bilang sudah cukup ya?"

Arsy menggeleng lemah. "Entah lah, Ter. Mau cari buku apa lagi coba? Perasaan semua buku tentang bisnis mikro yang ada di toko buku udah aku borong."

Tere jadi ikut prihatin. Arsy adalah sahabat satu angkatannya dan teman seperjuangannya untuk dosen pembimbing yang satu ini. Gadis itu sangat tahu betul, pak Wira memang sering tidak konsisten dengan ucapannya, karena dia juga pernah mengalaminya sebelum ini.

"Mau aku temani cari bukunya?"

"Kamu mau? Kamu kosong nggak hari ini?"

"Mumpung hari ini aku kerjanya shift sore, ayo aja. Tapi aku nebeng ya? Kepo sama bodyguard-mu itu, hihi!" jawab Tere jujur. Dia memang sedikit kepo dengan laki-laki tampan yang menjadi topik hangat di fakultas mereka sejak tadi pagi.

"Astaga, Ter! Aku sampai lupa! Ayo ayo! Kasihan dia nungguin lama!"

Arsy benar-benar melupakan sebuah fakta bahwa sekarang dia tidak sendirian lagi di kampus. Ada Evan yang ditugaskan untuk mengikutinya dan gadis itu benar-benar lupa hal tersebut lantaran terlalu lama berkutat dengan pak Wira. Sempat-sempatnya dia duduk di sofa seperti sekarang!

Arsy menyambar semua barang-barangnya lagi dan beranjak dari sisi Tere. Langkah cepatnya hampir tidak bisa diimbangi temannya itu lantaran dia terlalu tergesa-gesa.

Ternyata Evan masih menunggunya di tempat yang tadi. Tepatnya di kursi taman yang ada di bawah pohon. Laki-laki itu pun masih bersama dosen pengganti bu Retno yang tadi, Wilda.

Saat melihat kedatangan Arsy, Evan tiba-tiba berdiri. Wilda pun tehenyak, melihat ke arah Evan memandang. Gadis itu lagi? Tanyanya dalam benak. Setelah satu setengah jam berbincang dengan Evan, Wilda sama sekali tidak menemukan clue tentang siapa gadis itu. Evan hanya mengatakan kalau kehadirannya di kelas tadi merupakan bagian dari sebuah pekerjaan.

Melihat ada Wilda, Arsy jadi serba salah. Mengajak Evan pergi atau tidak. Jelas sekali mereka sedang mengobrol. Arsy sungkan menginterupsi mereka. Walaupun Evan sudah berdiri sebagaimana harusnya, gadis itu tetap merasa tidak enak. Ingat kan, wanita yang sedang menatap aneh padanya itu adalah dosennya? Tentu saja Arsy tidak mau cari masalah.

"Selamat pagi, Bu ..." Arsy menyapa Wilda duluan dengan ramah.

"Selamat pagi. Kamu mahasiswi yang di kelas tadi ya? Kenalkan, Wilda ..." Wanita itu mengulurkan tangannya ke hadapan Arsy. Well, kalau Evan dan Arsy punya hubungan, ada baiknya dia menjalin pertemanan dengan Arsy juga kan? 

"Arsy, Bu." Arsy membalas uluran tangan dosennya itu. Tidak lupa dia tersenyum dengan ramah. Entah apa pun hubungan Wilda dengan Evan, dia memilih untuk tidak ikut campur.

"Barusan dari pak Wira?"

"Iya, Bu. Kok Bu Wilda tau?" tanya Arsy dengan wajah berseri. Apakah dosen cantik ini memperhatikannya tadi?

"Saya pernah lihat kamu di ruangan beliau." 

"Oh ... begitu ya Bu?" Lagi, Arsy tersenyum. "Iya, Bu. Lumayan lama bimbingannya."

"Memangnya sudah bab berapa?" Wilda lanjut bertanya. Seakan ingin menunjukkan kepada Evan kalau dia bisa berteman dengan Arsy. 

"Sudah pembahasan, Bu. Tapi disuruh tambah literarur sama pak Wira."

"Oh ya? Kamu sudah tau mau beli buku apa lagi?"

Arsy menggeleng. "Ini rencana mau cari buku lagi, Bu."

"Oh? Ke mana? Saya bisa ikut nggak? Sekalian mau cari buku juga. Nanti saya juga bisa bantu carikan buku yang pas untuk thesis kamu."

"Boleh, Bu!" Tanpa berpikir panjang, Arsy langsung menerima tawaran Wilda. Tidak ada ruginya kan? 

"Ini, teman kamu?" 

"Astaga!!" Arsy langsung tersadar jika masih ada Tere di belakangnya. Dia terlalu asyik dengan Wilda. "Sori sori Ter, aku sampai lupa! Kenalin, Bu, ini Tere, teman saya." Arsy pun menyebutkan nama Tere di hadapan Wilda.

Tere dengan gampang bersalaman dengan Wilda. Tapi saat dia menjulurkan tangan ke arah Evan, pria itu bergeming. Memangnya dia wajib mengenal teman majikannya? Pikir Evan.

"Mas ...?" panggil Arsy tiba-tiba. Alhasil kata itu berdengung di dalam gendang telinga Evan. Mas. Mas. MAS?! Kenapa tiba-tiba gadis itu menyematkan panggilan itu kepadanya? 

"Kenalin, ini temen aku, Tere." Arsy memberi kode pada Evan agar menyambut uluran tangan Tere yang kini mengambang di udara.

"Evan." Oke, mau tidak mau dia berkenalan dengan orang baru lagi. Cukup mengejutkan, hari ini dia dikelilingi tiga perempuan di hari pertamanya bekerja.

"Ya sudah. Mas, kita ke Gr*media ya? Yang di Jalan Aceh. Tau kan?"

Evan menaikkan satu alisnya. Kemana sikap bengis gadis itu? Kenapa sekarang mendadak sopan dan lembut seperti ini? Apa maksudnya?

Seakan mengerti arti ekspresi Evan, Arsy pun menaikkan satu alisnya, seperti memberi kode kalau 'kita harus main cantik di depan mereka'. Kan nggak lucu kalau Wilda tau kalau Arsy tidak menyukai Evan?

"Baik, Nona. Kita berangkat sekarang?" tanya pria itu kemudian.

"Iya. Sekarang." Maksudmu kapan lagi? Kesal Arsy dalam hati.

Evan pun membuat gesture mempersilakan Arsy berjalan duluan di depannya. Hal itu langsung membuat Wilda kebingungan.

"Ayo, Ter." Arsy menggandeng tangan Tere. Wilda? Terserah dia lah mau ngapain di belakang, pikirnya.

Sedangkan Evan sendiri yang sudah berada dalam mode tugasnya, ikut mengabaikan Wilda. Wanita itu berjalan di belakang Arsy dan Tere, lalu Evan di belakang Wilda.

"Kamu ngapain jalan di belakang, Van?" Wilda masih belum paham dengan situasi mereka, hingga akhirnya Evan berucap pelan, namun masih bisa terdengar jelas di telinga Arsy dan Tere.

"Maaf, Wil. Aku lagi kerja."

Jawaban itu pun lantas membuat Wilda mengerti apa pekerjaan yang dimaksud Evan sejak tadi. Apakah dia seorang pengawal?? Pengawal gadis itu???

Seketika Wilda merasa bodoh sendiri. Gadis itu sangat beruntung memiliki bodyguard seperti Evan. Setiap detik berdekatan dengan laki-laki itu. Dan tadi pun Arsy memanggil Evan dengan panggilan 'mas'. Panggilan itu terdengar cukup mesra di telinga Wilda. Apakah hubungan mereka hanya sebatas majikan dan pengawal? Atau lebih dari itu?? Wilda sangat penasaran.

Sesampainya di parkiran, Evan dilanda kebingungan. Di mana Arsy harus duduk? Jika Wilda yang harus duduk di sebelahnya, apakah itu sopan? Secara dia sedang dalam posisi bekerja. Wilda pasti akan mengoceh di sepanjang jalan. 

"Nona." Evan spontan membuka pintu yang ada di sebelah kursi kemudi dan mempersilakan Arsy masuk. 

Arsy sempat menatapnya kebingungan. Namun Evan memberi kode yang entahlah apa artinya, namun sukses membuat Arsy mau tidak mau menurut kepadanya.

"Ter, aku di depan ya," katanya. Tere mengangguk dan tersenyum. 

Setelah Arsy masuk, Evan mempersilakan Tere dan Wilda supaya ikut masuk di kursi penumpang. Tentu saja tanpa embel-embel membukakan pintu.

Setelah mereka berempat sudah berada di dalam mobil, Evan menghidupkan GPS. Mengetik nama toko buku ternama yang berada di alamat yang disebutkan Arsy tadi. Setelah itu dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

*****

Selama berada di dalam mobil, Arsy, Tere dan Wilda bertukar cerita. Evan sendiri konsisten dengan prinsipnya. Selama dia dalam posisi bertugas, dia mengabaikan pertanyaan jika itu bukan dari Arsy, majikannya. Wilda sampai beberapa kali dibuat malu karena pertanyaannya menggantung, tidak ada jawaban dari Evan.

"Mas ..." lagi-lagi suara lembut itu membuat telinga Evan mendengung. Apa-apaan gadis ini? Kenapa masih saja memanggilnya dengan panggilan yang intim seperti itu? Keluh Evan di dalam hati.

"Mas ...!" Arsy bahkan menyentuh siku Evan dan ... jederrr!! Sekujur tubuh laki-laki itu seperti dijalari aliran listrik. Dia tersentak kaget. What the ...

"Bu Wilda nanya tuh. Mas ngelamun ya?" tegur Arsy. "Lagi bawa mobil kok ngelamun sih, Mas?"

Bibir Evan kelu. Masih belum bisa mencerna kalimat Arsy yang sangat banyak sejak tadi. Perasaan sejak pagi gadis itu berbicara kepadanya dengan sebutan 'kamu', kenapa sekarang dia sangat rajin memakai 'mas' di depan Wilda dan Tere? Dia sangat pintar bersandiwara.

"Oh iya. Kenapa, Wil?" Evan melirik sebentar ke kaca yang ada di atas dahinya. Melihat sekilas ke arah Wilda yang duduk persis di belakangnya.

"Aku tadi tanya, kamu masih paham materi kuliah kita yang dulu nggak? Secara jurusan kita kan sama dengan Arsy dan Tere."

"Oh, itu. Udah banyak lupa." Evan menjawab singkat sambil tersenyum.

"Masak mahasiswa cumlaude udah lupa, Van?" Wilda lanjut menggoda. Dia lupa, kalau bukan karena Arsy yang menyuruh Evan bicara, pria itu pasti tidak akan menjawab pertanyaannya. 

Evan menyengir kuda. Tak menjawab apa pun. 

Arsy kembali dilema. Sepertinya dia mulai paham, Evan ini sangat profesional. Dia tidak ingin mencampuradukkan urusan pribadi dan urusan kerjaan. Tapi dia iba melihat Wilda yang sangat ingin berbicara panjang lebar, namun Evan terpaksa mengabaikannya.

"Mas cumlaude?" Arsy lagi-lagi terpaksa menjadi jembatan obrolan tersebut.

"Eh?" Evan sport jantung lagi. Haruskah dia menghitung berapa banyak kata yang sudah keluar dari bibir mungil majikannya itu? Perasaan saat berangkat kerja mobil mereka sunyi senyap.

"Kok eh? Mas, fokus!"

Tere dan Wilda kaget mendengar suara Arsy yang sedikit memekik kesal.

"Maaf, Nona. Saya fokus menyetir."

Jawaban Evan cukup jelas, membuat Arsy tidak ingin melanjutkan obrolan dengannya lagi. Bodoh amat kalau si Wilda-Wilda itu ingin mengajak pria itu bicara tapi diabaikan. Toh Evan sendiri yang tidak bersedia bicara. Namun, dia sendiri tetap melibatkan Wilda saat dia dan Tere mengobrol.

Perjalanan yang sedikit canggung itu berakhir juga. Mereka akhirnya tiba. Saat mesin mobil dimatikan, ketiga wanita itu langsung membereskan barang bawaannya. 

Entah kapan Evan keluar dari mobil dan memutari benda itu, tau-tau pintu di sebelah Arsy sudah terbuka.

"Silakan, Nona."

Wilda dan Tere melihatnya dengan reaksi yang berbeda. Tere tersenyum malu-malu, sedangkan Wilda sedikit tidak suka.

"Duluan saja, sabuk pengamanku stuck." Arsy tidak berbohong. Seatbelt-nya memang tidak bisa dibuka. "Sepertinya supir papa nggak ngecek tadi pagi," tambahnya lagi.

"Maaf, biar saya lihat dulu." Evan tidak berpikir apa pun. Dia murni ingin membantu Arsy. Spontanitasnya membuat semua orang yang ada di dalam mobil itu terkejut. Evan memasukkan tubuhnya ke dalam mobil dan melewati tubuh Arsy. 

Arsy mematung. Dia membeku. Aroma parfum Evan menembus indera penciumannya begitu saja. Gila! Wangi sekali! Tanpa sadar Arsy menutup kedua matanya dan membiarkan dia terhipnotis oleh aroma tersebut.

Entah berapa detik Evan membereskan pengait seatbelt-nya. Sepertinya hanya sekitar lima belas detik. Pria itu bergerak lagi, ke luar. Lagi-lagi angin menghembuskan wangi-wangian itu ke dalam hidung minimalis Arsy.

"Sudah, Nona." Evan kembali berdiri tegak.

"Makasih, Mas." Arsy harus tersenyum kan?? Karena dia masih dalam mode sandiwara. 

Lalu gadis itu turun. Tere dan Wilda sudah menunggunya di luar.

Wilda merasa jengah menyadari Arsy sangat istimewa di sini. Gadis kecil itu menempati kasta tertinggi di antara mereka berempat. Gadis ini pasti anak orang kaya, tebaknya. Tidak se-level dengan keluarga Evan. Tapi, dari cara Evan memperlakukan Arsy, dia khawatir kalau kedua orang itu memang ada hubungan lebih. 

Seketika dia menjadi khawatir.

*****

Comments (3)
goodnovel comment avatar
ida Sari
duh Arsy mulai ada rasa gmn gitu sama Evan
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
Awas Ada kecemburuan
goodnovel comment avatar
Nellaevi
hhhhmmmm arsy evan, walau sdh baca di sebelah.. kembali akan kubaca...disini demi kamuuuuh wwkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status