“Hah, hah." Deruan Nafas memburu keluar dari mulut kecilnya, terdengar begitu jelas dan mencekat. Nara berlari dengan sekuat tenaganya di tengah guyuran hujan yang deras, kaki kurusnya yang mungil sudah tidak kuat untuk berlari lagi sehingga mulai mengendur. Suara nafasnya yang terengah-engah menandakan, selain merasa kelelahan Nara juga merasa ketakutan.
“Ahhh,” ringisnya. Saat kakinya terpeleset dan membuatnya terjatuh karena jalanan yang licin oleh air hujan.Nara melihat ke arah belakangnya, dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk kembali berdiri. Kakinya sudah tidak bisa diajak bekerja sama lagi, rasa lelah yang semakin terasa juga rasa sakit akibat terjatuh tadi, membuat kakinya tidak mau berlari dengan benar bahkan sudah terpincang-pincang.Dia menghentikan larinya, dan melihat ke sana kemari untuk mencari tempat persembunyian dari orang-orang yang sedang mengejarnya, karena sungguh dia sudah tidak sanggup lagi untuk berlari.Nara menghentikan pandangannya pada sebuah pohon besar dan rindang. Dia berpikir pohon itu akan cukup untuk melindungi dirinya selain dari guyuran hujan juga dari orang-orang yang saat ini tengah mengejarnya.Dengan kaki yang sudah terpincang-pincang, Nara berusaha untuk mencapai pohon itu. Dengan terus melihat ke belakang, dia berusaha mempercepat langkahnya agar cepat sampai pada pohon besar yang tak jauh darinya.Nara duduk meringkuk saat sudah berhasil berada di bawah pohon besar itu, air matanya jatuh membasahi pipinya yang basah karena air hujan, dia menggigiti kukku jarinya untuk menghilangkan rasa takut juga rasa dinginnya dari guyuran hujan.“Papa, mama, Najwa. Sebenarnya apa ini semua, kenapa orang-orang itu tega menghabisi kalian, hiks hiks,” ucapnya sambil menangis. Tubuhnya langsung bergetar hebat ketika dia mengingat apa yang baru saja dialaminya.1 jam yang lalu. Sebuah mobil berwarna merah berhenti tepat di depan pintu gerbang sebuah rumah mewah, terlihat pintu sebelah kiri mobil itu terbuka, lalu turunlah sesosok gadis cantik dengan balutan jeans berwarna biru dan kemeja yang berwarna merah muda.Gadis lainnya yang masih berada di dalam mobil itu membuka kaca mobilnya dan berbicara dengan gadis yang baru saja turun dari mobilnya itu. “Nar, kalo gitu gue pulang ya. Sampai jumpa besok,” ujar Kiara.“Oke, sampai jumpa besok,” jawab Nara. Dia melambaikan tangannya saat melihat sahabatnya Kiara mulai melajukan kembali mobilnya dan meninggalkan kawasan rumahnya.Nara tersenyum dan berbalik, dia memencet bel di depan pintu gerbangnya berharap satpam penjaga rumahnya segera datang dan membukakan pintu gerbangnya. Namun, sudah berkali-kali dia memencet bel rumahnya. Tapi satpam penjaga rumahnya itu tak kunjung datang untuk membukakan pintu gerbangnya. "Lohh pak Karman ke mana ya, kok gak dateng-dateng,” gumamnya bingung.Nara lalu mencoba melihat pintu gerbangnya itu. “Ehh enggak dikunci? Tumben?” bingungnya.Dia pun memasukkan tangannya ke sela-sela pintu gerbang itu dan membuka gerbangnya sendiri. Saat masuk ke dalam dan melangkahkan kakinya hendak menuju rumahnya, Nara kembali melihat ke arah belakangnya dan memperhatikan pintu gerbang rumahnya, dia merasa aneh karena biasanya pintu gerbang rumahnya itu selalu dikunci, tapi kenapa hari ini justru tidak.Dengan menepis semua pikiran buruknya, Nara pun kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk, Nara menyempatkan diri untuk mampir ke pos satpam, dia mencari satpam penjaga rumahnya itu. Namun nihil, karena tidak ada siapa-siapa di sana.“Lohh, kok pak Karman enggak ada. Dia ke mana ya, ini kan udah malem, masa dia keluar. Kan harusnya jagain rumah.” Nara semakin merasa ganjil dan khawatir dengan apa yang sekarang dia lihat. “Ada apa ya? Kok perasaanku gak enak, semoga aja gak terjadi apa-apa.”Dengan perasaan tidak tenangnya, Nara kembali melanjutkan langkahnya. Dia hendak mengetuk pintu rumahnya, namun hal itu dia urungkan saat melihat pintu rumahnya yang sedikit terbuka.“Terbuka lagi? Kok tumben gak dikunci, tadi pintu gerbang juga gak dikunci. Sebenarnya ada apa ini, kok perasaanku semakin enggak tenang.” Nara semakin merasa khawatir dengan keluarganya, tanpa banyak basa basi lagi, dia pun masuk ke dalam rumahnya. Tampak di dalam begitu gelap, seakan-akan tidak satu pun orang yang berada di rumah ini. “Kok gelap banget, apa jangan-jangan ada maling?” paniknya.Nara melanjutkan langkahnya secara perlahan, dia tidak berani menyalakan lampu. Karena jika memang benar ada pencuri, kemungkinan nyawanya akan dalam bahaya. Dia lebih memilih untuk jalan mengendap-endap dan berteriak sekeras mungkin jika memang benar ada pencuri di rumahnya. Pandangannya lalu tertuju pada salah satu ruangan yang terang. Dimana hanya ruangan itulah yang memiliki cahaya.“Ehh kok di ruang keluarga lampunya nyala, apa jangan-jangan malingnya lagi beraksi di sana?” gumamnya. Dengan perasaan takut, Nara pun berjalan perlahan menghampiri ruang keluarga yang tadi dia maksud.Pupil matanya melebar, saat mendapati segerombol pria yang memakai pakaian serba hitam sedang berkumpul di ruang keluarga rumahnya. “Si-siapa mereka,” gumamnya pelan. Nara semakin melebarkan matanya, ketika melihat lantai ruang keluarganya yang penuh dengan darah. “A-apa warna merah yang berceceran di lantai ini.”Nara menajamkan pandangannya pada segerombolan pria yang sekarang masih berdiri di ruang keluarganya, pandangannya itu lalu turun ke bawah kaki pria-pria itu dan betapa terkejutnya dia, saat melihat ada tiga orang yang terkulai lemah berada di bawah kaki mereka dengan penuh darah. Nara menutup mulutnya dengan kedua tangannya saat menyadari bahwa orang-orang yang dipenuhi dengan darah itu adalah kedua orang tuanya dan juga adiknya.“Papa, mama, Najwa,” gumamnya lagi. Namun, sepertinya gumamannya itu didengar oleh salah seorang dari pria berpakaian hitam itu.Nara yang menyadari itu langsung berjongkok dan bersembunyi di balik sofa besarnya. Dia menutup rapat mulutnya dengan kedua tangannya, karena jika tidak seperti itu dia yakin orang-orang itu pasti akan mendengar tangisannya.“Jo, bukankah harusnya masih ada satu tikus lagi?” Suara dingin Zico yang merupakan bos dari segerombol orang itu mengagetkan Nara yang sedang berusaha untuk menghindar dan bersembunyi.“Benar Tuan, seharusnya masih ada satu lagi. Yaitu, putri sulung mereka yang bernama Nara,” jawab laki-laki bernama Jo, yang merupakan tangan kanan dari Zico.“Hmm, sepertinya tikus itu sekarang sedang bersembunyi, tapi sepertinya tikus kecil itu tidak bisa bersembunyi dengan baik.” Zico dengan perlahan melangkahkan kakinya mendekati sofa besar tempat Nara bersembunyi.Nara yang mendengar ucapan Zico langsung bergetar ketakutan. Air matanya mengalir dengan derasnya, dia masih berusaha untuk menutup mulutnya agar tidak menimbulkan bunyi apa pun. Namun, ketika dia mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya, dia yakin bahwa satu dari orang itu telah menyadari keberadaannya. Nara menutup matanya, dia harus memutuskan sesuatu, tetap duduk di sana dan bersembunyi, atau sekuat tenaga melarikan diri.Detak jantungnya semakin bergemuruh saat menyadari langkah kaki yang semakin dekat ke arahnya. Dengan tekad yang sudah bulat, Nara membuka kembali matanya dan langsung berlari keluar dari ruang keluarga rumahnya itu.“Tuan, wanita itu. Sepertinya dia adalah Nara, putri sulung dari Aryo Suharja,” ucap Jo yang melihat Nara melarikan diri.Zico menunjukkan smirknya saat melihat Nara yang berlari dengan cepatnya tanpa menoleh lagi ke belakang. “Larilah tikus kecil! Mau sejauh mana pun kau melarikan diri, kau pasti akan aku tangkap,” ucapnya dengan seringai di bibirnya.“Dengar Jo, kejar gadis itu sampai dapat. Karena aku tidak akan melepaskan satu pun orang yang memiliki hubungan darah dengan Aryo Suharja!”“Baik Tuan.”***Nara menggeleng dengan air matanya yang berderai setelah mengingat kejadian tadi. Ia kembali mengintip dari balik pohon orang-orang yang sedang mengejarnya. Dia merasa semakin ketakutan saat melihat orang-orang berpakaian serba hitam itu mulai mendekat pada tempat persembunyiannya.“Papa, mama. Nara harus bagaimana, Nara takut,” ucapnya dengan terisak.Tidak ada jalan lain lagi, selain dia harus melanjutkan larinya dan menjauh dari iblis-iblis itu. Nara pun berdiri, dia berjalan mundur untuk memastikan terlebih dahulu bahwa orang-orang itu tidak melihatnya.Dug! Nara terperanjat dan langkahnya terhenti saat dia merasa telah menabrak tubuh seseorang, seketika jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat.Dengan tubuh bergetar dan rasa takut dihatinya. Nara memberanikan diri mendongakkan wajahnya untuk melihat tubuh siapa yang dia tabrak. “K-k-kau,” ucapnya terbata dengan pupil matanya yang melebar, saat mengetahui siapa orang yang sudah dia tabrak.Laki-laki yang tak lain pembunuh dari seluruh keluarganya itu hanya menunjukkan smirknya saat melihat wajah Nara yang terkejut ketika melihatnya.Nara menggenggam dengan erat kedua tangannya dan menaruhnya di depan dadanya, karena saat ini dia benar-benar merasa ketakutan. Tanpa sadar Nara kembali berjalan mundur ke arah pohon besar tadi, sedangkan Zico, dengan santainya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan berjalan maju mendekati Nara, dengan smirknya yang tidak dia hilangkan.“To-tolong ja-jangan mendekat,” pinta Nara dengan terbata-bata.Bukannya merasa kasihan, Zico justru memamerkan seringai iblisnya dan terus melangkahkan kakinya mendekati Nara dengan santainya.Nara tersentak saat menyadari bahwa punggungnya sudah menempel ke batang pohon besar tempat persembunyiannya tadi. Dia sudah tidak bisa berkutik lagi, karena dia sudah terkurung sekarang, dan dia sangat yakin bahwa ini adalah akhir dari hidupnya. Laki-laki di depannya ini pasti akan segera menghabis
Zico tidak peduli dengan permintaan Nara, dia terus melangkahkan kakinya mendekati Nara dengan seringaian iblis yang terus terukir di bibir tipisnya itu.“Ja-jangan mendekat kumohon." Nara semakin mempererat kedua tangannya dalam melindungi tubuhnya, mata dan pipinya sudah dibanjiri oleh air matanya yang terus mengalir karena rasa takutnya."Hah.” Dia tersentak saat Zico memegang tangannya dan menariknya dengan kasar. Dalam sekejap dirinya sudah berada tepat di pelukan pria itu. "Lepas, lepaskan aku! Kumohon,” pintanya lagi sambil memukul-mukul dada bidang Zico. “Apa yang ingin kau lakukan?”Kini, seringaian Zico menghilang dan tergantikan dengan ekspresi bengisnya, seakan-akan dia sudah bersiap untuk memangsa sesuatu di depannya ini. “Kau putri yang baik dan berbakti, kan? Maka tunjukkan kebaktianmu itu kepada papamu,” ucapnya dingin.Srararakkkkk, Zico menarik kemeja yang dipakai Nara, hingga semua kancing kemeja itu terlepas dan terurai ke ranjang.Nara syok dengan sikap Zico
Entah kenapa Zico merasa hatinya bergetar, mendengar permintaan Nara dengan tatapan mata yang penuh harap padanya, membuatnya kembali teringat akan ibunya.“Baiklah, ayo kita menikah,” jawabnya.Nara tersentak, dia langsung mendongakkan kepalanya dan melihat Zico yang menatapnya datar. Nara merasa lega sekaligus juga sedih, dia lega karena itu artinya prinsipnya untuk hanya disentuh oleh suaminya masih terjaga, tapi dia juga merasa sedih karena dia akan menikah dengan pria yang tidak dia cintai dan juga mencintainya, terlebih pria yang akan menjadi suaminya ini adalah seorang iblis yang membantai semua keluarganya.“Terima kasih,” ucap Nara dengan suara lirihnya.Zico lalu berjongkok dan menatap Nara kembali dengan tatapan tajamnya. “Aku akan menikahimu, tapi kau hanya akan menjadi penghangat ranjangku, tidak lebih dari itu,” ucapnya dingin.Nara tidak bereaksi apa pun setelah mendengar ucapan Zico, karena sebenarnya dia juga sudah tahu bahwa tujuan mereka menikah hanyalah untuk
Perempuan mana yang tidak mengidam-idamkan pernikahan sesuai dengan angan-angannya. Semua perempuan di seluruh penjuru dunia pasti selalu memiliki bentuk pernikahan yang sudah mereka idamkan sejak lama, termasuk juga Nara. Dia sudah mengidam-idamkan sebuah pernikahan dengan konsep yang sudah dia susun, seperti mengundang semua teman-temannya. Kehadiran orang tua dan keluarga besarnya. Dia bahkan sangat ingin mengundang selebriti kesukaannya. Tapi sebenarnya yang terpenting bukanlah itu semua, pernikahan yang paling Nara idamkan adalah pernikahan dengan seseorang yang dia cintai dan juga mencintainya.Tapi apa yang terjadi sekarang, tidak ada apa pun di pernikahannya, jangankan kehadiran sahabat maupun keluarga besarnya. Nara bahkan menikah setelah satu hari keluarganya meninggal, dia bahkan masih belum tahu apakah orang tuanya dan juga adiknya di makamkan dengan layak. Terlebih dia menikahi sosok iblis yang sudah membantai keluarganya.Saat ini Nara tengah terduduk di sofa ruang tam
Zico lalu melangkahkan kakinya dengan cepat menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya. Dia harus memastikan keadaan Nara saat ini. Nara tidak boleh mati dengan mudah seperti keinginannya. Dia harus merasakan penderitaan yang sama sepertinya sewaktu dia masih berumur 19 tahun.“Buka!” ucap Zico tiba-tiba dengan suara tingginya seraya menggedor-gedor pintu kamarnya.Nara yang memang masih duduk bersimpuh di depan pintu itu merasa terkejut dengan suara gedoran pintu yang disertai suara Zico yang tiba-tiba. “Iblis itu, dia datang,” gumamnya.“Tikus kecil, aku bilang buka! Atau aku akan mendobrak pintu ini!”Nara sontak berdiri saat mendengar suara Zico yang semakin meninggi. Dia perlahan berjalan mundur, dia harus mencari cara untuk menghentikan Zico membuka paksa pintu kamarnya, saat ini Nara masih belum siap untuk meladeni Zico. Terlebih jika Zico menginginkan haknya.“Ti-tidak, a-aku tidak mau membuka pintunya,” gumamnya lagi yang terdengar oleh Zico.“Sepertinya kau menganggap s
Sinar matahari kini sudah naik cukup tinggi. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 08.12 pagi. Nara terbangun dari tidurnya, dia merasa seluruh tubuhnya remuk, terutama di bagian bawah perutnya. Saking sakitnya dia bahkan tidak bisa bergerak sedikit. pun.Nara mencoba untuk bangun dan duduk di atas tempat tidur, dia menutupi tubuh polosnya dengan selimut berwarna putih. Saat Nara menarik selimut itu untuk menutupi tubuhnya, dia melihat noda darah yang begitu banyak menodai warna seprei yang awalnya seputih salju.Air mata Nara kembali menetes ketika melihat noda darah itu. Dirinya sudah ternodai oleh seorang suami yang hanya menganggapnya sebagai boneka ranjangnya tidak lebih dari itu.“Nona, Anda sudah bangun?” tanya pelayan Sari yang memang menjadi penanggung jawab Nara di rumah Zico.Nara tidak menjawab pertanyaan pelayan Sari, dia hanya menundukkan wajahnya dengan lelah dan lesu.“Tuan sudah pergi ke kantor sejak pagi tadi Nona.” Sari memberitahukan hal yang tidak Nara tanyaka
Zico kembali ke ruangannya dengan penuh emosi, dia menutup pintu ruangannya dengan sangat keras, beruntung Jo yang berada di belakangnya bisa menghindar saat pintu itu hampir saja menghantam wajahnya.“Jo, siapa yang berwenang memasukkan para karyawan baru?” tanya Zico.“Pak Hartawan Tuan,” jawab Jo.“Urus dia!”“Baik Tuan.” Jo langsung membungkukkan badannya dan keluar dari ruangan Zico, dia menyuruh salah satu staf sekretarisnya untuk memanggil pak Hartawan ke ruangannya.Beberapa menit kemudian, pria yang berumur kira-kira 37 tahun itu datang ke ruangan Jo dengan perasaan gugup.Tok tok. “Sekretsris Jo, ini saya Hartawan.”“Masuk!” sahutnya.Hartawan pun masuk dengan perasaan takut, dia berpikir apakah dia telah melakukan kesalahan besar sampai-sampai sekretaris Jo memanggilnya.“Anda memanggil saya?” tanya Hartawan yang sekarang sudah berada di depan meja kerja Jo.“Apa kau sudah tahu, kenapa kau dipanggil kemari?” tanya balik Jo.Hartawan terlihat sangat bingung, kenap
Pelayan Sari memapah Nara sampai ke ruang makan, terdapat 4 pelayan yang berdiri di samping meja makan, tugas mereka adalah melayani tuan dan nona mereka saat sedang berada di meja makan.Saat Nara telah sampai di ruang makan, ke empat pelayan itu langsung membungkukkan badan mereka kepada Nara seraya mengucapkan selamat siang kepadanya dengan serentak.Salah satu dari mereka menarik kursi makan untuk Nara duduki. Dengan bantuan dari pelayan Sari, Nara pun duduk di sana. “Terima kasih,” ucapnya kepada ke empat pelayan itu dan juga pelayan Sari.“Nona, keadaan Anda sangat lemah. Saya menyuruh koki untuk memasakan Anda sup daging sapi agar kondisi Anda kembali pulih.” Pelayan Sari menyuruh pelayan yang bertugas menyiapkan makanan agar segera memberikan makanannya kepada Nara.Pelayan itu pun membungkuk dan menaruh sup dan juga nasi pada piring dan mangkuk Nara. “Silakan Nona,” ujarnya.Nara mendongak dan melihat kepada Sari dengan tersenyum. “Terima kasih, aku akan memakannya," uc