Share

Married With the Devil
Married With the Devil
Author: Pwati

Bab 1. Ini Baru Permulaan!

“Hah, hah." Deruan Nafas memburu keluar dari mulut kecilnya, terdengar begitu jelas dan mencekat. Nara berlari dengan sekuat tenaganya di tengah guyuran hujan yang deras, kaki kurusnya yang mungil sudah tidak kuat untuk berlari lagi sehingga mulai mengendur. Suara nafasnya yang terengah-engah menandakan, selain merasa kelelahan Nara juga merasa ketakutan.

“Ahhh,” ringisnya. Saat kakinya terpeleset dan membuatnya terjatuh karena jalanan yang licin oleh air hujan.

Nara melihat ke arah belakangnya, dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk kembali berdiri. Kakinya sudah tidak bisa diajak bekerja sama lagi, rasa lelah yang semakin terasa juga rasa sakit akibat terjatuh tadi, membuat kakinya tidak mau berlari dengan benar bahkan sudah terpincang-pincang.

Dia menghentikan larinya, dan melihat ke sana kemari untuk mencari tempat persembunyian dari orang-orang yang sedang mengejarnya, karena sungguh dia sudah tidak sanggup lagi untuk berlari.

Nara menghentikan pandangannya pada sebuah pohon besar dan rindang. Dia berpikir pohon itu akan cukup untuk melindungi dirinya selain dari guyuran hujan juga dari orang-orang yang saat ini tengah mengejarnya.

Dengan kaki yang sudah terpincang-pincang, Nara berusaha untuk mencapai pohon itu. Dengan terus melihat ke belakang, dia berusaha mempercepat langkahnya agar cepat sampai pada pohon besar yang tak jauh darinya.

Nara duduk meringkuk saat sudah berhasil berada di bawah pohon besar itu, air matanya jatuh membasahi pipinya yang basah karena air hujan, dia menggigiti kukku jarinya untuk menghilangkan rasa takut juga rasa dinginnya dari guyuran hujan.

“Papa, mama, Najwa. Sebenarnya apa ini semua, kenapa orang-orang itu tega menghabisi kalian, hiks hiks,” ucapnya sambil menangis. Tubuhnya langsung bergetar hebat ketika dia mengingat apa yang baru saja dialaminya.

1 jam yang lalu. Sebuah mobil berwarna merah berhenti tepat di depan pintu gerbang sebuah rumah mewah, terlihat pintu sebelah kiri mobil itu terbuka, lalu turunlah sesosok gadis cantik dengan balutan jeans berwarna biru dan kemeja yang berwarna merah muda.

Gadis lainnya yang masih berada di dalam mobil itu membuka kaca mobilnya dan berbicara dengan gadis yang baru saja turun dari mobilnya itu. “Nar, kalo gitu gue pulang ya. Sampai jumpa besok,” ujar Kiara.

“Oke, sampai jumpa besok,” jawab Nara. Dia melambaikan tangannya saat melihat sahabatnya Kiara mulai melajukan kembali mobilnya dan meninggalkan kawasan rumahnya.

Nara tersenyum dan berbalik, dia memencet bel di depan pintu gerbangnya berharap satpam penjaga rumahnya segera datang dan membukakan pintu gerbangnya. Namun, sudah berkali-kali dia memencet bel rumahnya. Tapi satpam penjaga rumahnya itu tak kunjung datang untuk membukakan pintu gerbangnya. "Lohh pak Karman ke mana ya, kok gak dateng-dateng,” gumamnya bingung.

Nara lalu mencoba melihat pintu gerbangnya itu. “Ehh enggak dikunci? Tumben?” bingungnya.

Dia pun memasukkan tangannya ke sela-sela pintu gerbang itu dan membuka gerbangnya sendiri. Saat masuk ke dalam dan melangkahkan kakinya hendak menuju rumahnya, Nara kembali melihat ke arah belakangnya dan memperhatikan pintu gerbang rumahnya, dia merasa aneh karena biasanya pintu gerbang rumahnya itu selalu dikunci, tapi kenapa hari ini justru tidak.

Dengan menepis semua pikiran buruknya, Nara pun kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk, Nara menyempatkan diri untuk mampir ke pos satpam, dia mencari satpam penjaga rumahnya itu. Namun nihil, karena tidak ada siapa-siapa di sana.

“Lohh, kok pak Karman enggak ada. Dia ke mana ya, ini kan udah malem, masa dia keluar. Kan harusnya jagain rumah.” Nara semakin merasa ganjil dan khawatir dengan apa yang sekarang dia lihat. “Ada apa ya? Kok perasaanku gak enak, semoga aja gak terjadi apa-apa.”

Dengan perasaan tidak tenangnya, Nara kembali melanjutkan langkahnya. Dia hendak mengetuk pintu rumahnya, namun hal itu dia urungkan saat melihat pintu rumahnya yang sedikit terbuka.

“Terbuka lagi? Kok tumben gak dikunci, tadi pintu gerbang juga gak dikunci. Sebenarnya ada apa ini, kok perasaanku semakin enggak tenang.” Nara semakin merasa khawatir dengan keluarganya, tanpa banyak basa basi lagi, dia pun masuk ke dalam rumahnya. Tampak di dalam begitu gelap, seakan-akan tidak satu pun orang yang berada di rumah ini. “Kok gelap banget, apa jangan-jangan ada maling?” paniknya.

Nara melanjutkan langkahnya secara perlahan, dia tidak berani menyalakan lampu. Karena jika memang benar ada pencuri, kemungkinan nyawanya akan dalam bahaya. Dia lebih memilih untuk jalan mengendap-endap dan berteriak sekeras mungkin jika memang benar ada pencuri di rumahnya. Pandangannya lalu tertuju pada salah satu ruangan yang terang. Dimana hanya ruangan itulah yang memiliki cahaya.

“Ehh kok di ruang keluarga lampunya nyala, apa jangan-jangan malingnya lagi beraksi di sana?” gumamnya. Dengan perasaan takut, Nara pun berjalan perlahan menghampiri ruang keluarga yang tadi dia maksud.

Pupil matanya melebar, saat mendapati segerombol pria yang memakai pakaian serba hitam sedang berkumpul di ruang keluarga rumahnya. “Si-siapa mereka,” gumamnya pelan. Nara semakin melebarkan matanya, ketika melihat lantai ruang keluarganya yang penuh dengan darah. “A-apa warna merah yang berceceran di lantai ini.”

Nara menajamkan pandangannya pada segerombolan pria yang sekarang masih berdiri di ruang keluarganya, pandangannya itu lalu turun ke bawah kaki pria-pria itu dan betapa terkejutnya dia, saat melihat ada tiga orang yang terkulai lemah berada di bawah kaki mereka dengan penuh darah. Nara menutup mulutnya dengan kedua tangannya saat menyadari bahwa orang-orang yang dipenuhi dengan darah itu adalah kedua orang tuanya dan juga adiknya.

“Papa, mama, Najwa,” gumamnya lagi. Namun, sepertinya gumamannya itu didengar oleh salah seorang dari pria berpakaian hitam itu.

Nara yang menyadari itu langsung berjongkok dan bersembunyi di balik sofa besarnya. Dia menutup rapat mulutnya dengan kedua tangannya, karena jika tidak seperti itu dia yakin orang-orang itu pasti akan mendengar tangisannya.

“Jo, bukankah harusnya masih ada satu tikus lagi?” Suara dingin Zico yang merupakan bos dari segerombol orang itu mengagetkan Nara yang sedang berusaha untuk menghindar dan bersembunyi.

“Benar Tuan, seharusnya masih ada satu lagi. Yaitu, putri sulung mereka yang bernama Nara,” jawab laki-laki bernama Jo, yang merupakan tangan kanan dari Zico.

“Hmm, sepertinya tikus itu sekarang sedang bersembunyi, tapi sepertinya tikus kecil itu tidak bisa bersembunyi dengan baik.” Zico dengan perlahan melangkahkan kakinya mendekati sofa besar tempat Nara bersembunyi.

Nara yang mendengar ucapan Zico langsung bergetar ketakutan. Air matanya mengalir dengan derasnya, dia masih berusaha untuk menutup mulutnya agar tidak menimbulkan bunyi apa pun. Namun, ketika dia mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya, dia yakin bahwa satu dari orang itu telah menyadari keberadaannya. Nara menutup matanya, dia harus memutuskan sesuatu, tetap duduk di sana dan bersembunyi, atau sekuat tenaga melarikan diri.

Detak jantungnya semakin bergemuruh saat menyadari langkah kaki yang semakin dekat ke arahnya. Dengan tekad yang sudah bulat, Nara membuka kembali matanya dan langsung berlari keluar dari ruang keluarga rumahnya itu.

“Tuan, wanita itu. Sepertinya dia adalah Nara, putri sulung dari Aryo Suharja,” ucap Jo yang melihat Nara melarikan diri.

Zico menunjukkan smirknya saat melihat Nara yang berlari dengan cepatnya tanpa menoleh lagi ke belakang. “Larilah tikus kecil! Mau sejauh mana pun kau melarikan diri, kau pasti akan aku tangkap,” ucapnya dengan seringai di bibirnya.

“Dengar Jo, kejar gadis itu sampai dapat. Karena aku tidak akan melepaskan satu pun orang yang memiliki hubungan darah dengan Aryo Suharja!”

“Baik Tuan.”

***

Nara menggeleng dengan air matanya yang berderai setelah mengingat kejadian tadi. Ia kembali mengintip dari balik pohon orang-orang yang sedang mengejarnya. Dia merasa semakin ketakutan saat melihat orang-orang berpakaian serba hitam itu mulai mendekat pada tempat persembunyiannya.

“Papa, mama. Nara harus bagaimana, Nara takut,” ucapnya dengan terisak.

Tidak ada jalan lain lagi, selain dia harus melanjutkan larinya dan menjauh dari iblis-iblis itu. Nara pun berdiri, dia berjalan mundur untuk memastikan terlebih dahulu bahwa orang-orang itu tidak melihatnya.

Dug! Nara terperanjat dan langkahnya terhenti saat dia merasa telah menabrak tubuh seseorang, seketika jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat.

Dengan tubuh bergetar dan rasa takut dihatinya. Nara memberanikan diri mendongakkan wajahnya untuk melihat tubuh siapa yang dia tabrak. “K-k-kau,” ucapnya terbata dengan pupil matanya yang melebar, saat mengetahui siapa orang yang sudah dia tabrak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status