Share

Married to the Bad Guy
Married to the Bad Guy
Author: Kireina76

SATU

New York.

Di balik gelas wine itu terlihat sepasang mata yang menatap seorang wanita cantik dengan tajam. Dengan perlahan, seorang pria yang memiliki rambut cepak, kulit yang terlalu putih untuk seorang pria dan dan wajah yang terlihat penuh keyakinan, menenggak wine-nya.

“Ini mengherankan,” kata Lucy. “Kamu mengajakku ke Delmonico’s. Bukankah kamu selalu enggan mengajakku ke tempat seperti ini?”

Attar menggeleng. “Kita sudah lama tidak bertemu. Lagipula, apakah aku salah mengajakmu makan malam? Atau kamu takut suamimu akan melihat kita di tempat seperti ini?”

Perempuan yang memiliki rambut pirang itu tersenyum tenang. Dari awal ia bertemu dengan Attar, sekitar dua tahun lalu, ia tahu Attar memiliki sifat sarkasme yang tidak bisa dikendalikan.

“Suamiku sedang di Pound Ridge, entah apa yang sedang dilakukannya. Ya, aku tahu, kamu tidak akan peduli dengan hal itu. Hanya saja ini sangat mengherankan, Sayangku, kamu mengajakku makan malam di restoran seperti ini. Semua ini terlihat…bukan dirimu.

Ya, Attar sadar akan hal itu. Mengajak seorang wanita ke sebuah restoran kelas atas, dan terkesan romantis memang bukan dirinya. Dirinya adalah tipe pria yang senang menghabiskan waktu di lapangan golf, klub, bar, dan tempat sejenisnya. Dan wanita adalah hiburan baginya. Seperti Lucy.

Kehidupannya di Jakarta yang penuh dengan segala aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan membuatnya lelah.  Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, Attar memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengurus perusahaan keluarganya yang bergerak di berbagai bidang.

Sebagai generasi ketiga dari keluarga Hardana, Attar ingin membuktikan bahwa pernyataan generasi ketiga yang menghancurkan usaha yang telah dibangun oleh dua generasi sebelumnya adalah salah. Karena itu ia selalu bekerja keras, dan baru malam ini ia menyadari, pria macam dirinya tidak memiliki cinta.

Selama ini ia mengira hubungannya dengan Lucy akan berjalan dengan serius. Namun rupanya Lucy enggan bercerai dari suaminya yang hidung belang. Dan anehnya, Attar sama sekali tidak merasa marah ataupun cemburu. Ia menjalankan hubungan gelapnya tanpa merasa berdosa.

“Aku akan segera menikah, Luce.”

“Kamu?” Lucy tergelak. Perempuan itu menggeleng. 

Well, aku tidak sedang bercanda.”

Lucy menatap dirinya, tidak percaya. “Dengan siapa?”

“Seorang wanita Indonesia yang belum mengenalku.”

“Jangan bilang kamu dijodohkan, Attar." Lucy menatap Attar dengan tatapan mengancam. Namun Attar menepisnya dengan senyum santainya.

“Mengapa kamu terlihat takut, Luce? Kukira hubungan kita memang hanya sebatas ini saja. Kamu, istri yang kesepian membutuhkan pria yang selalu melindungumu."

Attar kini hanya perlu meninggalkan Lucy, menikahi cucu dari teman kakeknya, dan dia akan mendapatkan setengah warisan kakeknya.  Attar bukan tipe orang yang matre, hanya saja tawaran itu tidak salah untuk tidak ditolak untuknya.

“Kamu tidak akan ke New York lagi, begitu maksudmu?” tanya Lucy dengan bibir gemetar menahan kesal.

“Tidak juga. Wanita yang dijodohkan padaku ini tinggal di sini. Aku akan berada di sini sampai aku mendapatkannya.”

“Jadi wanita itu tidak tahu bahwa ia dijodohkan denganmu?” Lucy tertawa, meremehkan. “Kasihan sekali wanita itu.”

“Aku tidak seburuk itu, kan?”

“Tidak, kamu hanya memiliki wajah seperti Narkissos, namun hatimu seperti Satyr. Tampan tapi tidak memiliki perasaan.”

"Aku pewaris keluargaku, dan kurasa ia bukan wanita yang didambakan semua pria. Kalau iya, kakeknya tidak akan menawarkannya pada kakekku.”

Menawarkannya. Hati-hati dengan kalimatmu, Attar.”

“Tapi aku tahu satu hal. Ia lebih baik darimu, Sayang. Setidaknya, ia tidak menawarkan dirinya padaku.”

Kurang dari dua detik wajahnya sudah tersiram wine. Begitu ia membuka matanya, Lucy tak lagi duduk di depannya.

Attar sama sekali tidak tersinggung. Ia justru tersenyum. Dengan begini, ia tidak akan terbelenggu dalam hubungan tak jelasnya dengan wanita bersuami itu.

***

Rubinia Adiwangsa menyalakan rokoknya di depan gedung Citibank. Sudah lama ia menunggu seseorang di sana, dan udara dingin New York tak bisa ia tahan lagi. Ia harus menghangatkan dirinya.

Seseorang memeluknya dari belakang.

Tanpa menolehpun Ruby tahu siapa seseorang itu. Ia dapat merasakan bau maskulin dari seseorang itu.

Seseorang itu adalah Adam.

Adam membalikkan tubuhnya dengan kedua tangannya yang masih melingkari pinggangnya. “Sudah berapa kali kubilang untuk berhenti merokok, anak nakal?” Adam menarik rokok dari mulutnya dan menginjaknya. Lalu pria itu mengecup bibirnya. “Kamu hanya bisa merokok kalau mulutku sudah busuk, Sayang.”

“Kamu tahu aku paling kesal menunggu.” Ruby melepaskan pelukan kekasihnya. “Apakah meeting-nya berjalan lancar?”

Adam mengangguk. “Awalnya aku sangat nervous. Kamu tahu kan, sejak SMA aku tidak bisa presentasi. Tapi syukurlah, hari ini semua orang yang mengikuti rapat itu mengerti apa yang aku sampaikan.”

“Jangan dipikirkan, kan sudah berlalu."                           

Pria itu tersenyum. Ruby memang paling tahu tentang kekasihnya. Mereka berpacaran sejak mereka duduk di bangku SMA di Indonesia. Sejak itu pulalah mereka bercita-cita untuk tinggal di New York. Dan kini, mereka telah mewujudkannya. Sebenarnya, belum. Ada satu lagi yang Ruby inginkan: menikah dengan Adam.

“Bagaimana kalau kita pergi makan? Aku yang pilih restorannya."

Alis Adam terangkat satu, memberi kesan ia tidak percaya dengan selera Ruby. Ruby mencoba meyakinkan, “Ayolah. Seleraku tidak terlalu buruk, kan?” Sebelum Adam menjawab Ruby telah menarik pria itu ke mobil sedan BMW-nya yang terparkir di pinggir jalan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status