“Bagaimana, Sus? Apa benar tekanan darahnya rendah?” tanya Roger begitu perawat mulai membuka lilitan di lengan kiri Vela.
“Benar. Tensinya hanya 88/59 mmHg.”
“Lalu, bagaimana, Dok?” tanya Roger sembari mengalihkan pandangan menuju wanita berjas putih yang tampak sedang berpikir.
“Sus, tolong siapkan ruang USG. Saya curiga, sepertinya pasien ini sedang hamil.”
Deg! Mata Roger langsung terbuka lebar dan jantungnya berdebar hebat. “Vela hamil?”
“Itu baru dugaan saja, Pak. Tapi, Bapak tidak perlu khawatir. Sebentar lagi, istri Anda akan segera sadar. Pasien hanya memerlukan infus dan vitamin.”
Roger mengangguk dengan tampang datar. “Terima kasih, Dok.” Setelah sang dokter pergi, tatapan Roger terfokus pada Vela. “Jika kamu benar-benar hamil, apa yang harus kulakukan?” tanyanya dalam hati. Dengan tangan terkepal dan desah napas samar, sang pria mencari jawaban dalam benaknya.
***<
“Apa ada yang perlu kubantu, Mbok?” tanya Vela ketika memasuki dapur. Wanita yang sedang menyiapkan sarapan pun menoleh.“Eh, Non Vela ... pagi sekali sudah bangun,” sahut Mbok Sum seraya menyunggingkan senyum hangat. “Kenapa enggak pakai baju dari lemari?”Sang tamu langsung tersenyum dan menggeleng. “Aku lebih nyaman pakai bajuku sendiri, Mbok,” sahut perempuan berkaus oblong yang sudah agak pudar itu.“Ya sudah, kalau begitu, sekarang Non Vela duduk dulu. Sarapan sepuluh menit lagi siap.”“Mau kubantu, Mbok?” tanya Vela sembari memeriksa bahan makanan yang tersedia.“Enggak perlu, Non. Cuma bikin dadar telur dan rebusan sayur.”“Enggak apa-apa, Mbok. Biar aku enggak cuma menumpang hidup di sini.”“Jangan, Non .... Den Roger melar
“Kamu benar-benar gila, Roger. Untuk apa kamu memberiku rumah baru sebagus ini?” protes Vela ketika pria itu menyeret kopernya memasuki ruang tamu.“Sudah kubilang, ini bukan rumah baru, Vel. Ini rumah warisan orang tuaku yang jarang ditempati. Daripada sia-sia, lebih baik kamu tinggal di sini.” Laki-laki itu terus menyeret koper menuju kamar. Meskipun Vela berusaha menghadang, ia tetap melaju.“Tetap saja, Roger. Ini terlalu banyak. Aku tidak bisa menerima ini.”Tiba-tiba, Roger melepas gagang koper dan berbalik menangkap lengan wanita yang berusaha merebut kopernya. “Vela, tidak bisakah kamu mengerti? Kalau kamu tidak bisa menerima hatiku, setidaknya terimalah rumah ini. Apakah sesulit itu menerima sebagian kecil dari diriku?”Deg! Jantung Vela melontarkan keterkejutan. Ia tidak menyangka bahwa Roger berani melepas kejujuran dari kandangnya. Kini, tid
Setelah pertengkaran dengan Eridan, Roger tidak berani menampakkan diri di hadapan Vela. Ia tidak ingin menambah beban pikiran wanita hamil itu. Jika Vela tahu keadaan Eridan yang sekarang, bukan tidak mungkin perempuan itu akan menangis tanpa henti dan Roger tidak suka melihat Vela menangis.Malangnya, selang dua hari sejak insiden itu, Vela menghubunginya. Wanita hamil itu ingin membicarakan hal penting dengannya. Mau tidak mau, Roger pun datang menemui sang cinta.“Astaga, Roger .... Ada apa dengan wajahmu? Apa yang terjadi?” tanya Vela ketika ia menyambut kedatangan tamunya yang baru melewati pagar. Sembari meringis, diperhatikannya setiap memar.“Ah, ini ....”“Apakah kamu bertengkar dengan Ridan?” terka Vela tanpa terduga. Perempuan itu memiliki imajinasi yang terkadang memang masuk akal dan sesuai dengan kenyataan.“Hm, ya,”
Eridan menarik napas dan mengepalkan tangan saat memasuki ruangan. Nyalinya yang menciut nyaris hilang saat melihat istrinya terbaring lemah di ranjang. Wajah pucat sang wanita begitu datar, menghadap lurus ke arah langit-langit tepat di atasnya. Sorot matanya sayu, seperti tidak benar-benar memandang.“Vel ...” panggil Eridan dengan suara bergetar. Ia sudah tiba di tepi ranjang. “Bagaimana keadaanmu?”Sang istri tidak menjawab. Hanya kedipan mata yang perempuan itu lakukan. Dengan hati-hati, Eridan meraih jemari kurus yang tidak menolak tetapi tidak juga menyambutnya. “Maafkan aku.”Suasana hening sejenak. “Maafkan aku, Vel.”Bibir sang istri mulai sedikit bergetar. Wanita itu tampak jelas sedang mengekang emosinya.“Aku benar-benar sudah keterlaluan. Aku tidak bermaksud menyakitimu, Vel, apalagi sampai mencelakai anak kita. Aku tidak tahu ....”Mata Vela kini terpejam. Perempuan i
“Apakah kamu akan berhenti menemui Cassie setelah ini?” selidik Vela tak terduga. Mata Eridan sampai terbelalak karenanya. Dengan kecepatan cahaya, pria itu mengangguk-angguk menyatakan kesanggupan.“Ya, ya. Aku tidak akan menemuinya lagi.”“Lalu, bagaimana kamu bisa bahagia? Kamu benar-benar rela mengorbankan kebahagiaanmu demi menyelamatkan pernikahan palsu ini?” tantang wanita yang kini mendongak dengan getar bibir tertahan.Alis Eridan langsung berkerut tak senang. “Kamu masih belum percaya kalau aku mencintaimu?”Sang wanita pun mengalihkan pandangan. “Lalu, kalau aku masih belum bisa memuaskanmu di ranjang, bagaimana kamu menanganinya? Apakah kamu tetap tidak akan menemui Cassie?”Mata sang pria kini berkedip kaku. Ternyata, wanita di hadapannya itu masih memercayai hasutan Cassie. “Vela,” ucap Eridan s
“Jadi, menurutmu, tindakanku ini salah? Memberi Vela waktu untuk berpikir itu salah? Kau tidak mengerti apa yang kuhadapi, Ger. Aku sudah memberikan semua yang kupunya. Waktuku, perhatianku, hatiku. Tapi, dia masih menganggap itu sandiwara. Lalu, kalau memang sikapku ini salah, apa yang harus kulakukan? Hah? Apa?”Roger pun terdiam. Baru kali ini ia mendengar Eridan berbicara banyak tentang isi hati. Perasaan yang tidak pernah ingin ia ketahui sudah telanjur diumbar dan nama yang juga terukir dalam dadanya telah disebutkan. “Kau meminta saran dari orang yang mencintai istrimu? Apa kau masih waras?”Si lawan bicara pun mendenguskan tawa hambar. “Tentu saja aku waras. Kalau aku sudah gila, tidak mungkin aku datang ke sini dan masih menganggapmu sahabat. Kau pikir aku tidak tahu kalau sejak pertama kau bertemu dengan Vela, kau selalu memperhatikannya? Aku tahu, Ger. Karena itu, aku sangat menghargai semua yang kau lakukan untukku. Kalau aku ada di posi
Sepanjang jalan, Vela terus meremas ponselnya. Keresahan tak mampu lagi diredam, sama seperti air mata yang tak berhenti membasahi wajah.“Engh, apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika aku tidak mampu berdiri saat melihat Ridan di kamar itu bersama perempuan lain? Harus dengan cara apa aku membawanya pulang? Apa kutinggalkan saja dia di sana? Atau lebih baik, kubiarkan mereka bermalam berdua?”Selang keheningan sesaat, kepala Vela menggeleng-geleng tak sepakat.“Tidak mungkin aku membiarkan mereka berzina. Kalau memang mereka ingin bersama, bukan begini caranya. Masalah ini harus diselesaikan dengan benar.”Setelah menarik napas cepat, tangan perempuan yang gemetar itu mulai mencari kontak seseorang. Sesaat kemudian, ia pun menempelkan ponsel ke telinga.“Ayolah, Roger .... Angkat teleponku,” gumamnya gelisah. Sayangnya, si pengacara tidak menjawab. Bahkan hingga percobaan ketiga, nada sambung teta
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar