"Ren, aku bisa jelasin!" Teriakan samar terus terngiang, membangunkan Rena dari alam bawah sadarnya. Kelopak matanya perlahan terbuka, langit-langit kamar berwarna abu-abu menyambut pandangan matanya pertama kali. Merasa asing, lantas ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang didimoniasi warna abu-abu. Hingga netranya berhenti di seseorang yang berada di samping ranjang.
Davin?
Mata Rena berkedip-kedip, sedikit terkejut mendapati pria itu berada satu ruangan dengannya dan yang membuat Rena heran kenapa Davin tertidur sambil duduk di lantai, pria itu bersandar di dinding, setelah itu Rena baru menyadari sesuatu yang berada di genggaman tangannya. Ia pun menurunkan pandangannya ke bawah.
Tangan Davin. Spontan Rena menarik tangannya, melepaskan genggaman pada jemari pria itu. Pergerakan Rena ternyata membangunkan Davin, pria itu melenguh, menggosok sebelah matanya sambil menguap. "Sudah bangun?" tanyanya, terlihat tenang seolah tidak ada yang aneh.
"Kenapa gue di sini?" tanya Rena. Ia sama sekali tak mengingat apa pun, bahkan kepalanya terasa pening, berdenyut seakan ada bor di dalam kepalanya.
"Lo nggak ingat?" Davin beranjak bangun, menghela napas panjang saat Rena menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Lo semalam mabuk di bar gue. Kebetulan gue yang nemuin lo, nggak mungkin 'kan gue bawa pulang lo ke rumah dalam keadaan teler. Gue belum siap digantung sama bokap lo."
Rena tersenyum geli mendengar jawaban Davin. "Lalu, kenapa lo bisa tidur di bawah? Apa aparteman lo nggak ada kamar lagi?"
"Harusnya gue yang nanya, kenapa lo tahan gue di sini. Lo nggak tahu gimana pegelnya leher gue harus tidur sambil duduk?"
Rena mengerutkan keningnya, meragukan ucapan Davin. Masa si? batinnya.
"Nggak usah dipikirin, mending lo mandi. Bukannya lo musti ke rumah sakit?" Suara Davin mengambil alih kesadaran Rena. "Baju lo kena muntahan, belum gue ganti. Kalau mau pakai baju gue, lo bisa ambil di lemari," ucap Davin sebelum keluar dari kamar.
Rena menunduk, berdecak ketika melihat dress yang dikenakannya terdapat bekas muntahan. "Bau lagi." Tak tahan dengan baunya, Rena cepat-cepat berlari ke kamar mandi.
Sementara Davin masuk ke kamar mandi yang ada di dekat dapur. Ia termenung menatap cermin, sebelah tangannya terangkat menyentuh bibir bawah. Bayang-bayang semalam berputar di kepala, wajah manis Rena terus memenuhi pikirannya.
"Davin, jangan pergi." Rena menarik lengan Davin sampai pria itu terjatuh ke atas tubuhnya.
"Ren, lepas." Davin berusaha melepaskan rangkulan tangan Rena di lehernya, namun wanita itu menggelengkan kepala.
"Nggak mau, gue nggak mau ditinggalin," ucap Rena, terdengar ngelantur. "Davin, please. Bawa gue pergi."
"Ren, lepas ya. Lo mabuk, mending lo istirahat."
"Nggak! Pokoknya nggak mau!" Tanpa Davin duga, Rena menarik tengkuknya secara tiba-tiba. Wanita itu mendaratkan kecupan hangat di bibirnya.
Syok? Jelas, Davin sangat terkejut. Ini memang bukan ciuman pertamanya, tapi ini ciuman pertama selama dia melajang, mungkin sudah hampir dua tahun. Bahkan Davin sudah lupa rasanya bibir wanita dan hari ini ia kembali merasakannya. Manis.
Namun hal itu tak berselang lama, kewarasan mengambil alih tubuhnya. Dengan satu gerakan, Davin berhasil melepaskan diri dari rengkuhan Rena. Ia segera bangun, turun dari ranjang. Tapi saat Davin akan berbalik keluar, Rena menahan tangannya.
"Jangan pergi," cicitnya diiringi tangisan. "Gue nggak mau sendirian."
Melihat tatapan Rena yang sayu, membuat batin Davin bergejolak. Mana tega dirinya meninggalkan wanita itu dalam keadaan sekacau ini. Akhirnya Davin mengalah dengan ego dan kewarasan, namun ia tetap membentengi diri dari bisikan setan laknat.
Davin duduk di lantai, tangannya mengusap kepala Rena. "Gue nggak bakal pergi, sekarang tidur ya." Rena mengangguk, tangannya menggenggam erat sebelah tangan Davin. Perlahan matanya mulai terpejam.
Davin menyugar rambutnya ke belakang, membasuh wajahnya dengan air mengalir. Ia berusaha menghilangkan bayang-bayang kejadian semalam. Meski rasa manis bibir Rena tak bisa ia lupakan, begitu membekas. Rasa manis yang tak mungkin hilang dari ingatan.
—————
Rena keluar dari kamar Davin, menggosok-gosok rambutnya yang masih basah. Ia memakai sweater dan celana training panjang milik Davin, ukuran yang over size membuat tubuhnya tenggelam.
"Boleh minjem charger?" Suara Rena menginterupsi Davin yang sedang berkutat di depan kompor. Mata Rena terfokus sejenak pada apron yang dipakai pria itu, mengundang senyuman kecil terbit. Hello kitty?
"Ada di laci." Davin menunjuk ke arah laci yang ada di dekat pintu penghubung dapur. Aparteman Davin memang tidak begitu besar, hanya ada dua ruang kamar, satu ruang tamu bersebelahan dengan dapur. Meski begitu tempatnya sangat nyaman, rapi dan bersih. Sepertinya Davin rajin membersihkan apartemannya.
"Ketemu?" tanya Davin, sembari meletakkan mangkuk sup ke meja.
Rena mengangguk. "Sudah."
"Duduk." Davin menarikkan kursi saat Rena datang. "Kepala lo masih pusing?"
"Dikit," jawab Rena, mendaratkan bokongnya di kursi. Aroma lezat dari mangkok berisi sup daging yang masih mengepulkan asap menyambut indera penciumannya. "Lo bisa masak?" tanya Rena, mengalihkan pandangan ke Davin yang duduk si sebelah.
"Dikit-dikit." Davin menyajikan sup ke mangkuk kecil, lalu meletakkannya ke depan Rena. "Katanya sup daging bisa bantu meredakan hangover. Tapi jangan terlalu berharap soal rasanya," kata Davin, memberitahu.
"Thank's." Rena menyendokkan sesuap sup ke mulutnya. Rasa kaldu berpadu dengan rempah-rempah terasa lezat, ditambah daging yang dimasak empuk, kombinasi yang perfect untuk menciptakan cita rasa yang enak. "Enak banget, harusnya lo ikut master chef ketimbang acara mencari jodoh," celetuk Rena.
"Lo muji atau nyidir?" Davin mendengus pelan.
"Muji tapi diselipin sindiran." Rena terkekeh, melihat ekspresi Davin, wajah pria itu berubah masam. "Terus gimana? Udah dapet?"
"Apanya?" Davin mengalihkan atensinya ke Rena.
"Jodohnya," ucap Rena.
Davin mengedikkan bahunya. "Masih dijagain orang." Rena tertawa entah apa yang lucu, tapi Davin bisa melihat ada air mata disela-sela tawa wanita itu. "Lo baik-baik aja?"
Rena menghentikan tawanya, menyeka sudut matanya yang berair. "Siapa, gue? Gue baik-baik aja kok, emang kenapa?"
Meskipun Rena bilang baik-baik saja, Davin tidak percaya. Ia sangat mengenal Rena, wanita itu memang pintar menyembunyikan kesedihannya. Tapi sayangnya hal itu tak berlaku bagi Davin, ia selalu bisa melihat kesedihan yang coba Rena sembunyikan.
"Kalau ada masalah cerita? Jangan dipendam sendiri," ucap Davin.
"Masalah?" Rena tertawa sumbang. "Gue nggak ada masalah apa-apa kok. Jangan ngadi-ngadi Vin, lama nggak ketemu terus sekarang lo berubah profesi jadi cenayang?" ejeknya.
Davin menghela napas berat, meletakkan sendoknya lalu mengalihkan pandangan sepenuhnya ke Rena. "Ren." Ia menatap lekat mata Rena, di sana tergambar jelas kesedihan wanita itu. "Mungkin gue belum lama kenal lo, kita juga jarang ketemu. Tapi gue tahu lo, gue tahu kebiasaan lo." Davin menjeda ucapannya, mengamati reaksi Rena yang berubah diam, matanya mulai berkaca-kaca. "Lo nggak pernah mabuk Ren," lanjut Davin. "Pasti ada sesuatu, sampai lo mabuk berat kaya semalam."
Rena tak menjawab, bibirnya terkatup rapat, berusaha mengontrol air mata yang bertumpuk di pelupuk mata, mencegahnya agar tidak tumpah membasahi pipi. Tapi saat Davin meraih kedua tangannya, pertahanan Rena runtuh dalam sekejap mata.
"Gue putus." Tangis Rena pecah, suaranya memenuhi unit aparteman Davin.
Rena mengernyit ketika mobil Davin berhenti di pelataran rumahnya, sorot matanya langsung tertuju pada barisan mobil yang terparkir di depan rumah—————nyaris memenuhi teras rumahnya.Ada apa ini?Rena bertanya-tanya, matanya memperhatikan keadaan rumahnya yang terpantau sepi meski banyak mobil terpakir di depannya.Apa ada tamu? Tapi siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Hanya orang-orang kurang kerjaan yang bertamu sepagi ini. Bahkan mungkin orangtuanya baru terbangun. Di saat Rena sibuk dengan berbagai pertanyaan yang berseliweran di dalam kepalanya, dari arah samping suara Davin menginterupsi."Ayo." Davin sudah melepas sabuk pengaman, bersiap akan turun.
Kitaperlu bicara, dari hati ke hati.-Davin-Davin berjalan gontai memasukiprivat roomdi klub miliknya. Ketika pintu terbuka, bunyi terompet berpadu dengan suara teriakan heboh dan percikan kertas kerlap-kerlip menyambutnya."Surprise!!" seru kelima pria tampan yang tak lain sahabat-sahabatnya sejak SMA.Namun, bukannya senang mendapat kejutan tak terduga dari para sahabatnya. Davin malah mendengkus pelan, wajahnya nampak kusut dan tak bersemangat. Langkahnya seperti zombi kelaparan, berjalan lesu menuju sofa tanpa menghiraukan satu pun para sahabatnya yang dibuat cengo oleh sikapnya."Lo kenapa?" tanya Rey
Dering ponsel memekakkan telinga, Rena yang masih terlelap di atas kasur empuknya mulai terusik oleh suara nada dering dari ponselnya yang begitu bising memenuhi ruang kamar. Kelopak mata Rena perlahan terbuka, ia menoleh ke samping, tangannya terulur meraih ponsel.Rena mendengkus pelan ketika melihat nama si penelepon yang muncul di layar, orang yang telah mengusik tidur lelapnya. Padahal semalam Rena pulang waktu dini hari, rasa kantuk jelas masih mendominasi meski saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kenapa?" Rena langsungto the pointketika mengangkat panggilan dari kakaknya. "Mama?" Ia mengerutkan kening, sebelum akhirnya mengembuskan napasnya dengan kasar. "Kak Reyvan nelpon aku cuma buat nanyain mama di mana? Kakak 'kan bisa telepon langsung ke nomor mama, kenapa harus nelepon aku. Ganggu or
Acara lamaran antara Davin dan Rena sudah dilakukan seminggu yang lalu, kedua keluarga sudah memutuskan tanggal pernikahan yang akan digelar satu bulan lagi. Terkesan mendadak memang, namun itu demi kebaikan bersama mengingat banyak rumor tak sedang yang beredar. Demi menepis segala gosip miring itulah pernikahan keduanya dipercepat dan selama beberapa hari ini baik Rena dan Davin sudah sibuk mempersiapkan segala perlengkapan pernikahan keduanya, dibantu kedua orangtua masing-masing.Rena tersenyum manis ketika mendapat pesan dari Davin, pesan romantis dan terkesan ambigu seperti biasa. Ya, ia sudah terbiasa dengan kelakuan Davin, hal itu justru membuat Rena semakin mencintai pria itu. Davin yang romantis, terkadang nyeleneh, memberikan kesan berbeda di mata Rena."Iya, ini sudah selesai," ucap Rena ketika mengangkat panggilan telepon d
Seperti biasa, saat Rena keluar dari rumah sakit sudah ada mobil Davin yang menunggu di depan lobi. Pria itustand bydi samping pintu mobil, menyunggingkan senyum manisnya ketika Rena menghampiri."Hai, makin cakep aja pacar aku." Dan seperti biasa, gombalan garing akan meluncur dari mulut Davin."Kenapa? Terpesona ya?" balas Rena, mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan Davin yang lebih tinggi darinya."Iya, nih," ucap Davin, kemudian mengecup kening Rena sampai membuat sang empu membeku sesaat."Davin!" pekik Rena setelah kesadaran mengambil alih, ia melirik ke sekitar di mana orang-orang tampak berseliweran keluar masuk rumah sakit, beberapa dari mereka mencuri pandang ke arahnya. "Rese!" Seraya menahan malu Ren
Lima menit berlalu, suasana hening masih menyelimuti ruang rawat Vera. Hanya embusan napas berat yang silih berganti antara dua orang wanita yang sama-sama membisu seribu bahasa. Kecanggungan antara Vera dan Rena terlihat jelas dari gestur tubuh keduanya, saling melirik satu sama lain, namun enggan membuka obrolan lebih dulu."Gimana?" Rena akhirnya buka suara setelah keheningan yang cukup lama, menurunkan sedikit egonya untuk berbicara lebih dulu. "Nggak ada yang sakit 'kan? Kata Dokter Maya, hari ini lo udah boleh pulang."Vera mendesis pelan, melirik sinis Rena. "Nggak usah sok perhatian lo! Bukannya lo seneng, lo pasti lagi bahagia banget 'kan lihat gue sengsara kaya gini?"Rena menghela napas panjang, tak terpancing akan ucapan Vera yang mencercanya. "Gue tahu Ver, ini nggak mudah