GIPIT. Iyan lang ang tanging nasa isip ni Maureen magmula noong binenta ng kanyang ama ang kanilang kompanya. Nagkanda-letche ang kanilang buhay at wala siyang ibang maisip na paraan kundi ang bawiin ang kanilang kompanya mula sa taong pinagbentahan ng kanyang ama. Ngunit paano na lang kung walang balak na ibalik ng bagong may-ari ang kanilang kompanya? Kakayanin niya bang makipagsapalaran sa tanging kasunduan nito? Pero paano kung ang tanging paraan para makuha muli ang kanilang kompanya ay ang pakasalan ang bagong may-ari nito? Handa ba siyang matali sa isang relasyong sapilitan?
Lihat lebih banyakDelapan belas jam sebelum tragedi besar itu terjadi, di kantin yang ramai oleh siswa-siswi SMA, Eliz tengah duduk bersama seorang sahabat baiknya. Selembar undangan tergeletak di meja dan dua remaja itu memandanginya dengan lekat.
"Lu yakin?" Anne, sahabat Eliza, bertanya untuk kesekian kali. "Yakin lah, Ne! Ini kesempatan gue buat ketemu pria itu!" Eliza ngotot dengan keputusannya. "Kapan lagi gue bisa nemuin pria itu kalo bukan malam ini! Gue harus nemuin dia sebelum pertemuan keluarga bulan depan. Dan, lu harus bantuin gue!" "Tapi, 'kan masih banyak waktu, El." "Nggak ada! Mulai minggu depan kita udah sibuk ujian, Ne. Please, temenin gue, ya!?" Eliza memohon dengan tatapan memelas yang selalu jadi andalannya untuk membujuk Anne. "Lu 'kan tahu, gue nggak sejago lu dalam merayu orang! Cuma lu yang bisa gue andelin buat nemuin pria itu." Sembari menghembuskan napasnya berat, akhirnya Anne menganggukkan kepala. "Oke, gue temenin lu! Tapi sebagai gantinya, lu harus beliin gue--" "Gue akan beliin apapun yang lu minta. Gue janji!" Jari telunjuk dan jari tengah Eliza terangkat membentuk huruf 'V' sebagai bentuk kesungguhan ucapannya. "Jam 7 nanti gue jemput lu. Pokoknya lu harus udah siap!" "Oke." Dan malamnya, Eliza benar-benar menjemput Anne tepat waktu. Gadis yang jarang keluar rumah itu, tiba-tiba saja menjadi sangat antusias untuk datang ke pesta topeng yang diadakan oleh salah satu perusahaan otomotif, di hotel milik keluarga Eliza. "Lu yakin, Liz?" Anne kembali menegaskan keraguannya. Ia merasa Eliza yang sekarang duduk di belakang kemudi itu bukanlah Eliza yang ia kenal. Tak biasanya Eliz sangat ngotot untuk menemui pria itu, pria yang akan dinikahkan dengannya tahun depan. "Nggak pernah seyakin ini, Ne. Lu nggak lihat gue udah dandan semenor ini biar nggak kelihatan kaya bocil?" Tatapan Anne menyelidiki setiap jengkal wajah sahabatnya yang memang tampak berbeda malam ini. "Ya udah, pokoknya lu jangan sampai bikin gaduh ya di pesta itu. Sesuai rencana tadi siang, kita cuma datang buat nemuin cowo itu dan setelahnya kita pulang!" "Oke!" Nyatanya, rencana yang sudah tersusun rapi mendadak buyar ketika Anne bertemu DJ favoritnya di pesta itu. Anne yang memang gadis pesta, sontak lupa pada tujuannya datang ke sana. Ia meninggalkan Eliza yang kebingungan sendiri di antara ratusan tamu yang hadir dengan topeng beraneka ragam. "Minum, Miss?" "Oh!" Eliza menoleh dengan terkejut ketika seseorang telah berdiri di depannya sembari membawa nampan berisi beberapa gelas minuman berwarna-warni. Merasa haus, Eliz memilih salah satu gelas berisi cairan berwarna pink dan meneguknya dengan kalap. Eliza tak tahu, jika yang baru saja ia telan adalah minuman alkohol dengan kadar tinggi yang sontak membuatnya pening beberapa menit kemudian. "Kenapa semua orang jadi berputar-putar?" gumam Eliz bingung sembari bangkit dari kursinya. Dengan langkah sempoyongan, Eliz berusaha menuju toilet karena mendadak ia ingin muntah. "Di mana Anne?!" dengusnya kesal, ketika teringat pada temannya yang justru menghilang tanpa jejak diantara ratusan tamu. Tepat di sebuah lorong menuju toilet, Eliza merasakan kepalanya semakin berat dan tubuhnya seakan ringan. "Jangan pingsan di sini, Liz! Jangan!" Masih dengan langkahnya yang semakin terseok-seok, Eliza memberi sugesti pada dirinya sendiri. Eliz tak menyadari, seseorang juga sedang berjalan di belakangnya dengan tubuh panas membara. Ia baru saja meneguk minuman yang diberi oleh rekan kerjanya beberapa menit yang lalu. Melihat seorang perempuan bergaun backless berjalan dengan sangat lambat dan sedikit oleng di depannya, membuat pria itu mengawasinya dengan waspada. Punggung mulus wanita itu nampak sangat menggiurkan, tubuhnya yang sintal dan mungil juga mulai mengusik gelora nafsunya. Saat tiba-tiba tubuh Eliza berhenti dan ambruk, pria itu sontak mendekat dengan panik. "Nona, are you oke?" Pria itu mengangkat kepala Eliz dengan cemas. "Geri!! Geri, di mana kamu!" teriaknya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, tak ada siapapun di lorong itu. Semua orang sedang menikmati musik yang menghentak riuh dan menggema. Entah mendapat dorongan dari mana, pria itu mengangkat tubuh Eliza dan membopongnya. Masih dengan topeng yang menutupi wajah keduanya, pria itu membawa Eliza keluar dari gedung pesta. Sesuatu di dalam tubuhnya semakin memanas ketika melihat belahan dada Eliz yang tersingkap kala pria itu menggendongnya. Tidak, jauh sebelumnya pun pria ini merasa tubuhnya tak baik-baik saja usai meneguk minuman sialan itu. Karena tak tahu harus membawa wanita ini ke mana, akhirnya ia menggotongnya ke dalam kamar yang sudah ia tempati sejak tadi sore. Ia membaringkan tubuh mungil Eliza di atas ranjang kingsize itu dengan napas tertahan. "Minuman brengsek!" maki pria itu sembari beringsut ke kamar mandi untuk membasahi badannya yang terasa panas terbakar. Namun, rupanya dinginnya air shower tak mampu melenyapkan sensasi aneh yang semakin menyiksa di sekujur tubuhnya. Merasa semakin pening dan ingin meledak, pria itu akhirnya keluar dari kamar mandi sambil terus menggerutu, tatapannya lantas tersita pada seseorang yang sedang duduk di atas ranjang. Untuk beberapa detik, pria itu terpana menatap wajah cantik yang kini sudah melepas topeng yang ia kenakan. "Lu ganteng banget." Eliz masih belum sadar dari pengaruh alkohol. Melihat seorang pria tiba-tiba muncul di depannya hanya dengan mengenakan bath robe dan rambut basah, respon otaknya seketika menganggap pria itu adalah idolanya. "Maaf, kamu bilang apa?" "Lu ganteng banget, sih! Boleh peluk dan minta tandatangan, nggak?" **************MAUREEN“Kanina ka pa tulala. Ayos ka lang, teach?” I was taken aback when Fhaye suddenly snapped her finger in front of me. “Hindi mo pa ginagalaw ang pagkain mo. Malapit na kaya matapos ang lunchbreak.” dagdag pa niya. “I have something to tell you...” medyo nag-aalinlangan kong sabi.Sa totoo lang, kagabi pa ako binabagabag nitong iniisip ko. Halos hindi nga din ako makapagturo nang maayos dahil dito. “Bakit? Ano ba 'yan?” pag-uusisa niya. -F-L-A-S-H-B-A-C-K- “Hurry! Kailangan kong makahabol sa flight ko ngayong gabi,” nagmamadaling ibinigay sakin ni Reich ang marriage contract saka tumalikod at tinipa ang cellphone niya. “Few more minutes. I'm on my way,” dinig kong kausap niya sa kabilang linya ng telepono. Halos manlumo ako habang nakatitig sa kontratang nasa harap ko. Marriage Contract? Ganitong wedding pala ang tinutukoy niya? I was expecting na bibigyan niya ako ng isang engrandeng kasal pero tanging civil wedding lang set up namin. Kaya pala ang lakas ng loob niya kani
MAUREEN"Sign this," inilagay ni Reich sa mesang kaharap ko ang isang pirasong papel na may kasamang ballpen.Pauwi na sana ako kanina pagkatapos ng klase, kaso nakita ko siyang nakaabang sa labas ng gate at halatang naghihintay sakin. He wanted to talked things about us the reason why nandito kami ngayon sa isang café na hindi kalayuan sa paaralang pinagtatrabahuan ko. "Eighty percent of my possession is too much, so I decided to give back your Dad's company instead. Kung tutuusin hindi ka na din naman lugi do'n,” sabi pa niya habang nakahalukipkip at nakadungaw sa labas ng café ang paningin. Binasa ko ang nakasulat sa binigay niyang papel sakin at nakita ang katagang “Prenuptial Agreement”. Napatingin pa ako sa lawyer na kasama niya at napalunok ng wala sa oras. “Need pa ba talaga 'to?” I diverted my gaze at him while raising the piece of paper. “I mean, seryoso ka ba talagang magpakasal?” nakakunot noo kong tanong. Come to think of it. Isang Reich Lionel na kilala bilang isa sa
CHAPTER FOURMAUREEN's POINT of VIEW"What the hell are you talking about?" nanggagalaiti kong tanong kay Reich dahil nababaliw na siya sa pinagsasabi niya.Kung trip niyang magbiro, pwes! Hindi tamang biro ang sabihin niyang buntis ako. At ano daw? Papanagutan niya 'ko? Naririnig ba niya ang lumalabas sa kanyang bibig?"Pinalaki ka namin ng maayos, Kiana. Paano mo nagawa samin 'to?" Hindi makapaniwalang usal ni mom dahilan para tumabi ako sa pagkakaupo sa kanya at naiiling na tinitigan siya."I'm not pregnant! Swear to God!" I even raised my right hand, showing my sincerity na hindi ako nagsisinungaling. "He's insane." dagdag ko pa na ang tinutukoy ay si Reich."Bakit kailangan pang humantong sa ganito? Nagkulang ba kami sa pagpapalaki sayo?" sabat naman ni Dad kaya kaagad akong napatingin sa kanya."I told you, I'm not pregnant. That's the truth!" gi
CHAPTER THREE Maureen's POINT of VIEW "Sigurado po ba kayong ayaw niyong magpa-hospital?" nag-aalala kong tanong kay Mom. Nakaupo siya sa sofa habang hinihilot ko ang palad niya. High blood din kasi 'to e at gustuhin ko mang dalhin siya sa hospital, panay naman ang tanggi niya at paulit na sinasabing okay lang daw siya. "I'm okay." simpleng sagot niya. Kita niyo na? "Heto na ang tubig." Nagmamadaling lumapit si Dad sa pwesto namin at ibinigay ang basong may lamang tubig kay Mom. Inalalayan ko si Mom na umupo nang maayos para uminom ng tubig at pagkatapos niyang uminom, kaagad siyang bumaling sakin. "Saan mo nakilala 'yan?" Nanlilisik ang mga matang tinitigan niya si Reich na prenteng nakaupo sa single sofa at mukhang walang pakialam. Hindi daw siya aalis hangga't hindi niya nasisigurado na okay lang si Mom. E, sa hitsura niya pa lang ngayon, halatang iba ang pakay niya at idinadahilan niya lang ang nangyari kay mom. Sinabihan ko na siya kahapon na hindi ako papayag sa gusto ni
CHAPTER TWO REICH's POINT of VIEW "When are you planning to get married?" tanong ni Dad habang nasa kalagitnaan kami ng dinner. Hindi ko alam kung ano ang isasagot ko sa kanya. He keeps on asking me these past few months patungkol diyan, pero kagaya ng nakasanayan ko. Hinahayaan ko na lang na magtanong siya ng magtanong at hindi binibigyan ng sagot. "Dad? Hindi pa nga siya naka-move on sa dati niyang—" "Next month." putol ko sa lalaking sumagot. Seryoso ang mga matang tinitigan ko si Risen at ngayo'y nakangisi na siya sakin. This jerk needs a proper guidance na huwag sumagot sa tanong na hindi naman para sa kanya. Tch. "Really, huh?" pang-aasar niya. "May girlfriend ka, kuya?" kaagad na tanong sakin ni Rullet at hindi makapaniwalang tinitigan ang katabi niyang si Rexie. "Kailan mo ipapakilala samin?" sunod niyang tanong. "Is she pretty?" tanong naman ng katabi niya. "Oh maybe, she looks like a model?" hirit uli niya. "She's not." maikli kong sagot sabay nguya sa kinakain ko.
CHAPTER ONE MAUREEN's POINT of VIEW "Siya ba talaga 'yan?" tanong ko sa kasama ko habang hindi inaalis ang tingin sa lalaking nakaupo, di kalayuan sa pwesto namin dito sa Starbucks. Saglit akong napatingin sa kaibigan kong si Fhaye at nakita kong nakatutok ito sa kanyang ipad. "Walang duda, siya nga 'yan." sagot niya pagkatingin niya sakin. "Sigurado ka?" paninigurado ko kaya bigla niyang inilapit sa mukha ko ang ipad niya. Tinitigan ko muna ang picture sa ipad bago tumayo at kumuha ng bwelo. Okay. This is a matter between life and death. Kailangan kong mapakiusapan ang lalaking 'yon. Taas noo akong naglakad palapit sa table ng lalaki. Pigil hininga pa ang ginawa ko dahil medyo hindi ako sanay na naka-chin up. Mahirap, pero kakayanin ko 'to. Medyo malapit na ako sa pwesto ng lalaking kakausapin ko, nang biglang may tumulak sa likuran ko dahilan ng pagkakatapilok ko kaya nawalan ako ng balanse at sumalampak sa sahig. "Aray ko. . ." napatingin ako sa suot kong stiletto at nakitan
Komen