"Ayo kita berangkat sekarang, Mas!"
Langit melirik ke arah sang istri yang tiba-tiba masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya tanpa izin. "Kenapa sih, kamu selalu saja seenaknya kayak gini?" Langit kembali dibuat kesal oleh sang istri, Senja Aurora. Seperti biasa dia tidak akan pernah hidup tenang selama bersama istrinya itu. Setiap hari Langit selalu harus menyiapkan stok sabarnya untuk Senja yang selalu membuat ulah. Hari ini pun sama, sang istri seenaknya masuk ke dalam mobilnya. Sementara, tempat kuliah sang istri dan kampus tempatnya mengajar berbeda arah. Tentu saja, Langit tidak mungkin mengantarkan sang istri terlebih dahulu, jika dia tidak ingin terlambat. "Mobil aku mogok Mas, baru mau aku service ke bengkel hari ini," ucap Senja dengan wajah tanpa dosa. "Tapi saya nggak bisa nganterin kamu. Hari ini saya ngajar pagi." "Yaelah Mas, paling terlambat lima belas menit, mahasiswa kamu pasti memaklumi. Jalanan Bandung sekarang sama macetnya seperti di Jakarta 'kan." Namun apalagi yang bisa Langit lakukan, selain pasrah dengan apa yang dilakukan istrinya itu. Akhirnya dengan perasaan tak ikhlas laki-laki itupun melajukan mobilnya menuju kampus sang istri terlebih dahulu. "Kenapa nggak ngomong dulu sih kalau kamu mau diantar ke kampus hari ini? Kalau saya tahu seperti ini, mungkin saya tidak akan tidur lagi setelah saya shalat Subuh," keluh Langit saat laki-laki itu khusyu di depan kemudi mobilnya. "Bagaimana aku bisa ngomong, kamu lupa? Semalam aku ke kamar kamu ya, Mas. Saat aku mau ngomong, kamu keburu bilang kalau kamu ngantuk. Ya nggak jadi bilang lah kalau mobil aku bermasalah," sanggah Senja tak terima. "Saya kemarin nggak enak badan, makanya saya tidur lebih awal. Lagi pula kamu 'kan bisa ngomong ke saya, tadi setelah shalat Subuh." "Aku sedang halangan Mas. Jadi baru bangun setengah enam. Nggak keburu ngomong, karena aku siap-siap pergi ke kampus." "Lagian biasanya juga pake ojek online kalau mobil kamu mogok. Kenapa tiba-tiba minta dianterin?" Senja menghela nafas panjang. Ada sedikit sesak di dalam dadanya. Bagaimana bisa suaminya itu mengatakan hal itu. Padahal seharusnya, ini sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang suami, ketika istrinya sedang mengalami kesusahan. "Ya ampun, kamu ini jahat banget sih mas! kok kamu ngomongnya gitu! Sekali-kali pengen lah aku dianterin kamu. Lagipula ini pertama kalinya 'kan aku minta dianter sama kamu, Mas," gerutu Senja. "Ya udah kalau kamu nggak ikhlas mah turunin aku di sini. Biar ke kampusnya naik ojek online aja, seperti yang kamu bilang tadi." Bukannya menghentikan mobilnya seperti apa yang diinginkan Senja, Langit malah menaikan kecepatan laju mobilnya. Dia tidak mau menghabiskan tenaganya hanya untuk meladeni perdebatan dengan sang istri saat ini. Langit kembali menghela nafas panjang. Dia sama sekali tidak tahu, kenapa sepagi ini dia harus berdebat dengan istrinya itu. Kondisi tubuhnya pun saat ini, belumlah sehat sepenuhnya. Namun, entah kenapa, dia sudah harus menjaga moodnya karena sejak tadi sang istri menguji kesabarannya. Untung dia masih bisa menjaga emosinya, sehingga sepagi ini laki-laki itu masih bisa menjaga moodnya agar stabil sampai di kampus tempatnya mengajar. Entahlah pernikahan macam apa yang dijalani kedua pasangan suami istri ini. Sejak sebulan menjalani pernikahan, mereka tidak tidur sekamar. Bahkan interaksi mereka sangatlah jarang. Mungkin karena pernikahan mereka tidak ada cinta di dalamnya, sehingga tak ada sedikitpun dari mereka merasakan indahnya pernikahan. Setelah memakan waktu 45 menit, akhirnya mereka sampai di kampus tempat Senja belajar. "Makasih ya Mas udah nganterin aku," ucap Senja sambil mencium tangan sang suami dengan takzim. Namun bukannya keluar dari mobil, Senja justru masih anteng duduk manis dengan senyum yang mengembang di bibirnya. "Ada apalagi Senja? Cepat keluar! Saya sudah terlambat," kesal Langit saat istrinya masih anteng di dalam mobilnya. Alih-alih menuruti sang suami, Senja malah menunjuk kening dengan jarinya. Sudah pasti Langit paham, jika sang istri ingin sekali dia mengecup kening istrinya itu. Karena ini bukan pertama kalinya sang istri memintanya untuk melakukan hal itu. "Saya sudah terlambat!" "Justru kalau kita berdebat terus gara-gara kamu nggak mau cium kening aku, kamu akan semakin terlambat Mas, ayo!" Ucap Senja memaksa. Kembali, Senja menunjuk lagi keningnya, agar langit segera mengabulkan keinginannya. Cup…!!! Dada Senja berdebar sangat kencang. Matanya terpejam sesaat, menikmati sentuhan yang baru saja dia dapat dari sang suami. Ah, entah kenapa, dia malah ingin menangis karena terharu. Ini pertama kalinya, semenjak menikah sebulan yang lalu, sang suami baru mencium keningnya hari ini. Padahal selama menikah, gadis itu selalu berusaha untuk membuat suaminya melakukan itu padanya. Ah, jangan berharap lebih, karena Senja sudah paham jika hal sekecil ini pun sangat sulit dia dapatkan dari suaminya itu. Dan pagi ini, apa yang diinginkannya selama ini telah terkabul. Sudah sejak lama dia menginginkan pernikahannya senormal pasangan suami istri lainnya. Namun dia sadar, pernikahan yang didasari tanpa cinta, tentu akan sangat berat dijalani. Dia Pun akhirnya pasrah dengan apa yang dijalani nya saat ini. Karena dia sadar, sangat sulit menaklukkan hati suaminya itu. "Makasih Mas," ucap Senja tulus. "Aku berangkat dulu ya, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Setelah sang suami menghilang dari pandangannya, Senja kemudian berbalik menuju tempatnya belajar. Dihapusnya air mata yang sempat menetes di pipinya. Ya, Senja sangat bahagia dengan apa yang terjadi padanya, baru saja. Sebuah ciuman singkat di keningnya, yang membuatnya kini sangat berbunga-bunga. Senja melangkahkan kakinya dengan hati yang bahagia. Senyum tak lepas dari bibir mungilnya hari ini. "Assalamualaikum, Wi!" Sapa Senja kepada sahabatnya Dewi yang sedang asyik memainkan ponselnya. "Waalaikumsalam, Ibu Senja. Wah, cerah sekali anda pagi ini. Semalam habis berapa ronde?" Senja mengerucutkan bibirnya, membuat Dewi tertawa melihat wajah lucu sahabatnya itu. Sejak Senja menikah, Dewi tahu, bagaimana kondisi rumah tangga sahabatnya itu. Dewi pun tahu, bagaimana tersiksanya Senja saat cintanya mulai tumbuh untuk suaminya namun tak terbalas. Dia pun sering menjadi tempat curhat Senja saat dia terpuruk karena sikap suaminya yang dingin dan cuek terhadapnya. "Lo pikir, kita bakalan ngelakuin itu?" Lirih Senja. "Nggak mungkin, Wi." "Ish, jangan ngomong gitu, Senja Aurora, bukan nggak mungkin, tapi belum kali. Pasrah amat jadi orang. Memangnya Lo bakalan nyerah gitu aja. Nggak mau berusaha gitu buat suami Lo jatuh cinta sama Lo?" Senja kemudian duduk di kursi lalu menyimpan tasnya di atas meja. "Gimana gue mau usaha, dia selalu ngehindar kalau gue ada di samping dia. Awalnya Gue pikir gue bisa menaklukan duda keras kepala kayak Mas Langit. Eh, nyatanya sulit bagi gue, Wi." Merasa sudah membuat mood sahabatnya anjlok. Dewi kemudian merangkul bahu Senja dengan erat. "Sorry ya. Gue udah bikin mood Lo ancur," lanjut Dewi dengan wajah sendu. "Nggak kok, Wi. Hari ini, gue justru seneng banget. Selama sebulan nikah, baru tadi pagi dia mau cium kening gue. Ya walaupun gue paksa sih." Mata Dewi membulat sempurna. Dia tidak percaya, akhirnya sang sahabat bisa mendapatkan apa yang diinginkannya selama ini. "Ya Allah, beneran, Senja?" Senja menganggukkan kepalanya dengan senyum terbaik yang belum pernah Dewi lihat setelah sahabatnya itu menikah. Pelukan hangat mendarat di tubuh Senja. Sungguh, Dewi bahagia dengan adanya kemajuan hubungan sahabatnya itu dengan suaminya. Dewi berharap, semoga ini awal kebahagiaan atas pernikahan sang sahabat. "Alhamdulillah, gue seneng dengernya." "Tapi apa gue bisa meluluhkan hati Mas Langit, Wi? Secara, gue sudah sangat berusaha selama ini. Tapi nyatanya tetap sama, Mas Langit tidak pernah menghargai semua usaha gue." Air mata kembali jatuh di kedua pipi Senja. Rasanya gadis itu sudah lelah dengan perjuangannya mendapatkan cinta dari suaminya itu. "Serahkan semua kepada Sang Maha membolak-balikkan hati manusia, Allah SWT, Senja. Gue yakin do'a dan usaha yang Lo lakuin nggak akan pernah sia-sia. Apapun takdir yang akan Lo dapet, itu sudah menjadi takdir yang terbaik untuk Lo. Lo ikhlas dan sabar, gue yakin semua akan indah pada waktunya. Gue cuma bisa bantu do'a, semoga pernikahan Lo langgeng." "Aamiin, makasih ya Wi." Kedua sahabat itu saling berpelukan, sebelum mereka berdua memulai kegiatan belajarnya. Tak dipungkiri, Senja sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Dewi. Gadis itu bisa sedikit melupakan kesedihannya, saat berada di dekat sahabatnya itu dan bercerita banyak tentang kesedihannya selama ini.Flash on.Langit masih belum berani berbicara dengan Senja. Setelah kejadian dua hari yang lalu. Ya, mereka akhirnya memutuskan untuk membatalkan liburan yang dijadwalkan selama tiga hari. Keesokan paginya, mereka pun langsung pulang dengan hati yang berkecamuk. Senja disini yang paling tersakiti, karena ternyata, sang suami lebih memilih menyerah untuk pernikahan mereka saat ini.Laki-laki itu benar-benar merasa sangat bersalah. Namun, berbarengan dengan perasaan lega, karena apa yang menjadi bebannya selama ini, telah bisa dirinya ungkapkan.Hari ini, Langit masih mendapatkan cutinya sehari lagi dengan menyiapkan sarapan untuk istrinya. Laki-laki itupun menata hasil masakannya di meja makan, berharap jika perasaan sang istri akan jauh lebih baik. Ini juga sebagai bentuk permintaan maafnya, karena sudah merusak liburan yang mungkin diharapkan akan menjadi liburan yang indah untuk istrinya itu."Untuk sementara, aku mau menginap di rumah Bunda," ucap Senja sambil melengos begitu saja
Langit membuang pecinya secara sembarangan. Hari ini, laki-laki itu telah sah menjadi suami Senja. Ya, setelah kejadian itu, seminggu kemudian Langit melamar Senja. Itu semua dia lakukan, karena selain desakan warga komplek mereka, ini juga karena desakan Mama Dona, Mama dari Langit. Satu hari setelah kejadian, Langit menceritakan apa yang dialaminya. Bukannya terkejut, Sang Mama justru merasa sangat bahagia, karena akhirnya sang anak bisa menikah kembali, setelah sekian lama menduda. Bukan tanpa alasan Mama Dona sudah sangat lelah melihat Langit terus saja meratapi apa yang sudah menimpanya.Tentu saja, akhirnya pernikahan itu terselenggara meskipun hanya dihadiri keluarga inti mereka saja."Mas mau mandi?" Tanya Senja saat gadis itu sudah ada di kamarnya setelah tadi sempat ngobrol bersama sahabatnya, Dewi. "Kok malah diem aja sih?" Tanya Senja lagi. Gadis itu kemudian duduk di meja rias, untuk membuka aksesoris yang digunakannya saat acara akad nikah."Ini semua gara-gara kamu ya
"Cepat jelaskan sama Ayah, apa yang kamu lakukan di kamar Langit, Senja! Dan kenapa kamu bisa ada di sana? Bukannya kamu bilang mau ke toko buku? 'kan tadi izinnya gitu sama Bunda, kok malah jadi ke rumah Nak Langit?"Bunda Ayu memegang tangan suaminya untuk menenangkan laki-laki yang sangat dicintainya. Bunda Ayu merasa tidak tega melihat sang anak yang sedang diinterogasi oleh ayahnya sendiri. Wajar saja Bunda Ayu seperti itu, selama ini, beliau belum pernah melihat suaminya semarah ini kepada anak bungsunya itu."Iya maaf Ayah, Bunda. Memang niatnya mau ke toko buku, Cuman tadi pas liat mobil Mas Langit masih terparkir di garasi rumahnya, Senja berubah pikiran. Senja pikir, Mas Langit pasti punya buku yang Senja maksud, secara Mas Langit Dosen Fakultas Ekonomi."Senja menarik nafas panjang. Dadanya berdegup kencang karena melihat amarah dari wajah sang Ayah."Teruskan!" Titah sang Ayah."Sesudah itu, Senja ketuk-ketuk pintu beberapa kali, tapi nggak ada yang jawab. Sampai tiba-tiba
Semakin hari interaksi Langit dan Senja semakin sering mereka lakukan. Jika waktu luang, Langit sering menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Pak Andika. Dan setelahnya, laki-laki itu selalu menyempatkan berbincang juga dengan Senja pula. Senja pun sudah merasa, jika Langit sudah benar-benar menjadi sahabatnya. Karena semakin hari, Langit semakin terbuka untuk sekedar ngobrol masalah pribadi kepada Senja. "Tumben nggak nemuin pacar kamu, Dek?" Tanya Bintang, kakak satu-satunya Senja. Senja menggeser tubuhnya saat sang Kakak kini ikut duduk di sampingnya. "Maksud Abang Mas Langit?" "Iya siapa lagi kalau bukan dia," ucap Bintang seraya mengambil cemilan yang ada ditangan Senja. "Mas Langit lagi bahas sesuatu yang penting sama Ayah. Jadi Adek nggak mau ganggu obrolan mereka. Lagian Adek 'kan sudah bilang sama Abang...Adek itu nggak pacaran sama Mas Langit." "Yakin? Kok Abang nggak percaya kalian nggak pacaran. Secara, Mas Langit sering banget datang ke rumah kita. kalau nggak pac
Flashback."Mas Langit?""Assalamualaikum, Pak Dika-nya ada?""Walaikumsalam. Mas Langit mau ketemu Ayah?" Tanya Senja seolah tidak mendengar apa yang menjadi alasan tetangganya itu datang ke rumahnya. Langit menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu tidak berniat menjawab pertanyaan gadis yang ada dihadapannya itu, karena tadi sudah sangat jelas jika dia ingin bertemu dengan ketua Rt di kompleks perumahan tempat tinggalnya."Maaf Mas, sejak tadi pagi, Ayah sudah berangkat ke kantor. Bagaimana kalau nanti sore atau malam saja, Mas Langit datang lagi kemari," usul Senja."Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong kamu sudah rapi pagi-pagi begini, mau kemana?" Tanya Langit agak heran, karena belum pernah lihat Senja berpakaian formal seperti saat ini."Oh, saya mau kuliah Mas. Kenapa?""Kalau begitu Kebetulan saya juga mau ngajar pagi ini. Mau sekalian saya antar kamu kuliah?.""Beneran Mas? Mau...mau, Alhamdulillah," ucap Senja senang. "Tapi ngerepotin nggak?""Nggak lah, saya yang ngajak ka
"RASYA…!!!"Langit terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu. Mimpi yang baru saja dialaminya membuatnya frustasi. Kenapa Rasya kembali hadir di mimpinya? Argh…Langit sangat kesal saat ini, karena harus mengingat kembali wanita yang masih ada di hatinya sampai saat ini.Namun, Langit sadar saat dia melihat Senja sedang berdiri mematung dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ini pasti karena dirinya yang tanpa sengaja menyebut nama Rasya di saat gadis itu percaya, jika Langit akan berusaha membuka hatinya.Refleks, Langit menghampiri Senja dan langsung memeluk tubuh mungil istrinya itu. Ini semua diluar kendalinya, dan dia pun menyesal. Ini pertama kalinya, laki-laki itu memeluk sang istri, setelah enam bulan lebih menjalani pernikahannya."Maaf, maafkan saya, Senja," ucap Langit sambil mempererat pelukannya.Bukannya menghentikan tangisannya, Senja justru semakin terisak. Sungguh, senja merasakan sakit di bagian dadanya, saat sang suami menyebut wanita lain dihadapannya."Makany