Flashback.
"Mas Langit?" "Assalamualaikum, Pak Dika-nya ada?" "Walaikumsalam. Mas Langit mau ketemu Ayah?" Tanya Senja seolah tidak mendengar apa yang menjadi alasan tetangganya itu datang ke rumahnya. Langit menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu tidak berniat menjawab pertanyaan gadis yang ada dihadapannya itu, karena tadi sudah sangat jelas jika dia ingin bertemu dengan ketua Rt di kompleks perumahan tempat tinggalnya. "Maaf Mas, sejak tadi pagi, Ayah sudah berangkat ke kantor. Bagaimana kalau nanti sore atau malam saja, Mas Langit datang lagi kemari," usul Senja. "Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong kamu sudah rapi pagi-pagi begini, mau kemana?" Tanya Langit agak heran, karena belum pernah lihat Senja berpakaian formal seperti saat ini. "Oh, saya mau kuliah Mas. Kenapa?" "Kalau begitu Kebetulan saya juga mau ngajar pagi ini. Mau sekalian saya antar kamu kuliah?." "Beneran Mas? Mau...mau, Alhamdulillah," ucap Senja senang. "Tapi ngerepotin nggak?" "Nggak lah, saya yang ngajak kamu kok. Saya ambil mobil dulu. Kamu bisa tunggu saya sebentar ya." "Baik Mas. Terima kasih sebelumnya." Entah mimpi apa Senja semalam, bisa-bisanya pagi ini dia beruntung berangkat kuliah bersama dengan lelaki tampan, tetangga barunya. Tak berselang beberapa lama, mobil milik Langit sudah ada di depan teras rumah Senja. Tanpa berpikir lagi, Senja kemudian masuk dan duduk di samping Langit dengan perasaan bahagia tiada tara. "Saya baru tahu Mas Langit seorang guru. Ngajar di sekolah mana Mas?" Tanya Senja mengusir keheningan. "Saya ngajar di Universitas Dharma Bakti." Senja sempat terkejut karena dia tidak menyangka jika Langit adalah seorang dosen. Gadis itu pikir, laki-laki yang ada di sampingnya itu adalah seorang guru SMA. "Maaf Mas. Saya pikir Mas Langit guru sekolah menengah. Ternyata Dosen ya." "Sama saja, guru guru juga. Hanya saja, saya ngajar mahasiswa jadinya di sebut dosen," kata Langit seraya melirik gadis yang ada di sampingnya itu. "Kamu kuliah dimana? Biar saya tahu, harus antar kamu kemana." "Oh iya hampir lupa. Saya kuliah di universitas Nusa Bangsa, Mas." Langit menganggukkan kepalanya. Agak lumayan jauh ternyata dengan tempat dirinya mengajar. Untungnya, hari ini dia kebagian jadwal siang. Jadi tidak akan terlambat jika ia mengantarkan Senja terlebih dahulu. "Hm, Mas. Gimana rasanya jadi dosen dan ngajar mahasiswi-mahasiswi cantik? Nggak niat punya pacar salah satu mahasiswi yang diajar Mas Langit?" Melihat wajah Langit berubah, membuat Senja sadar dengan kekeliruannya. "Maaf Mas, kalau saya lancang. Saya hanya bercanda. Jangan diambil hati ya, Mas, hehehe. Kalau Mas nggak mau jawab juga nggak apa-apa kok," ujar Senja merasa bersalah. "Kamu mau jawaban saya seperti apa?" Tanya Langit dengan masih mengemudikan mobilnya. Langit balik bertanya untuk mengerjai anak Pak Rt yang sudah membuatnya sedikit terkejut dengan bercandaannya. "Ya terserah Mas Langit. Kalau memang Mas mau menjawabnya ya jawab aja sesuai hati nurani seorang dosen seperti Mas Langit." "Hm, mahasiswi saya semua cantik-cantik. Tak jarang mereka selalu menonjolkan kelebihan mereka untuk memikat hati saya. Tapi..." Langit menjeda ucapannya agar Senja penasaran. "Tapi apa, Mas?" "Penasaran ya?" "Nggak, biasa aja," ucap Senja sedikit kesal. "Beneran nggak penasaran?" "Ih, Mas Langit. Kalau emang nggak mau jawab. Mas Langit nggak usah pake bikin saya senewen gini Mas." "Tuh, berarti penasaran ya!" "Argh, terserah Mas Langit aja deh!" Langit tertawa melihat tingkah senja yang mulai kesal. Tapi, Langit sama sekali belum puas sebelum gadis itu benar-benar kesal karena ulahnya sendiri menanyakan ranah pribadi Langit. "Padahal, saya benar-benar ingin mengatakan sesuatu sama kamu tentang hal pribadi saya. Tapi kayaknya, kamu nya nggak tertarik. Buktinya, kamu nggak penasaran tentang apa yang kamu tanyakan tadi." "Mas Langit, ih nyebelin banget." Senja mulai terpancing dengan kejahilan Langit. Membuat Langit akhirnya tersenyum puas melihat wajah kesal Senja. "Saya sama sekali nggak tertarik dengan mahasiswi-mahasiwi saya. Padahal jujur, mereka cantik-cantik. Bahkan ada beberapa mahasiswi yang sesuai dengan kriteria saya. Kamu tahu kenapa saya seperti itu?" Senja menggelengkan kepalanya karena memang dia tidak tahu alasan dibalik ketidaktertarikan seorang Langit tentang percintaannnya. "Karena saya pernah menikah." "Apa..!!! Jadi Mas Langit duda!" "Nggak usah diperjelas juga, Senja!" Ujar Langit tak suka. "Bisa nggak kata dudanya diganti single." Mendengar ucapan kesal dari Langit, Senja malah tertawa karena merasa lucu dengan reaksi lelaki tampan itu. "Ceritanya trauma, gitu?" Tanya Senja setelah menghentikan tawanya. "Hm, nggak juga. Hanya saja perpisahan saya dengan mantan istri saya, karena kesalahpahaman. Jadi..." "Jadi Mas Langit nggak bisa move on. Mas masih mencintai mantan istri ya?" Langit tampak berpikir. "Entahlah. Duh, kenapa saya malah jadi curhat sama kamu sih?" Ujar Langit merasa terjebak dengan obrolan pribadinya. "Ya nggak apa-apa atuh Mas. Saya senang kok bisa jadi tempat curhat Mas Langit. Lain kali kalau Mas Langit punya masalah, Mas Langit bisa ngomong ke saya. Saya dengan senang hati menjadi pendengar setia untuk Mas Langit." "Hahaha...saya seumur hidup belum pernah bercerita tentang masalah pribadi kepada siapapun, termasuk ibu saya. Tapi entah kenapa, sama kamu kok kayak magnet ya. Semengalir itu saya bercerita," heran Langit. "Nah itu tandanya, saya ini paling cocok menjadi teman Mas Langit. Bisa lah, sekali-kali ngomongin masalah yang membebani Mas Langit. Laki-laki juga butuh curhat masalah pribadi ke orang lain. Dan sayalah orang yang tepat untuk menampung curhatan Mas Langit." "Bisa aja kamu. Tapi nggak bayar 'kan kalau saya curhat sama kamu?" "Hm, nggak usah bayar Mas, gratis. Tapi sekali-kali traktir mah, boleh kali." "Oke, bisa lah kalau begitu. Daripada harus ke psikolog, bayarnya mahal." Mereka berdua pun sama-sama tertawa. Entahlah, Langit merasa jika Senja akan menjadi teman baiknya. Secara ini pertama kalinya, laki-laki itu merasa nyaman dengan gadis yang baru dikenalnya. Padahal laki-laki itu terbilang cukup menjaga jarak, jika bergaul dengan lawan jenis. Apalagi setelah perceraiannya, dia jauh lebih tertutup dengan kehidupannya.Semakin hari interaksi Langit dan Senja semakin sering mereka lakukan. Jika waktu luang, Langit sering menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Pak Andika. Dan setelahnya, laki-laki itu selalu menyempatkan berbincang juga dengan Senja pula. Senja pun sudah merasa, jika Langit sudah benar-benar menjadi sahabatnya. Karena semakin hari, Langit semakin terbuka untuk sekedar ngobrol masalah pribadi kepada Senja. "Tumben nggak nemuin pacar kamu, Dek?" Tanya Bintang, kakak satu-satunya Senja. Senja menggeser tubuhnya saat sang Kakak kini ikut duduk di sampingnya. "Maksud Abang Mas Langit?" "Iya siapa lagi kalau bukan dia," ucap Bintang seraya mengambil cemilan yang ada ditangan Senja. "Mas Langit lagi bahas sesuatu yang penting sama Ayah. Jadi Adek nggak mau ganggu obrolan mereka. Lagian Adek 'kan sudah bilang sama Abang...Adek itu nggak pacaran sama Mas Langit." "Yakin? Kok Abang nggak percaya kalian nggak pacaran. Secara, Mas Langit sering banget datang ke rumah kita. kalau nggak pac
Flashback."Mas Langit?""Assalamualaikum, Pak Dika-nya ada?""Walaikumsalam. Mas Langit mau ketemu Ayah?" Tanya Senja seolah tidak mendengar apa yang menjadi alasan tetangganya itu datang ke rumahnya. Langit menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu tidak berniat menjawab pertanyaan gadis yang ada dihadapannya itu, karena tadi sudah sangat jelas jika dia ingin bertemu dengan ketua Rt di kompleks perumahan tempat tinggalnya."Maaf Mas, sejak tadi pagi, Ayah sudah berangkat ke kantor. Bagaimana kalau nanti sore atau malam saja, Mas Langit datang lagi kemari," usul Senja."Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong kamu sudah rapi pagi-pagi begini, mau kemana?" Tanya Langit agak heran, karena belum pernah lihat Senja berpakaian formal seperti saat ini."Oh, saya mau kuliah Mas. Kenapa?""Kalau begitu Kebetulan saya juga mau ngajar pagi ini. Mau sekalian saya antar kamu kuliah?.""Beneran Mas? Mau...mau, Alhamdulillah," ucap Senja senang. "Tapi ngerepotin nggak?""Nggak lah, saya yang ngajak ka
"RASYA…!!!"Langit terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu. Mimpi yang baru saja dialaminya membuatnya frustasi. Kenapa Rasya kembali hadir di mimpinya? Argh…Langit sangat kesal saat ini, karena harus mengingat kembali wanita yang masih ada di hatinya sampai saat ini.Namun, Langit sadar saat dia melihat Senja sedang berdiri mematung dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ini pasti karena dirinya yang tanpa sengaja menyebut nama Rasya di saat gadis itu percaya, jika Langit akan berusaha membuka hatinya.Refleks, Langit menghampiri Senja dan langsung memeluk tubuh mungil istrinya itu. Ini semua diluar kendalinya, dan dia pun menyesal. Ini pertama kalinya, laki-laki itu memeluk sang istri, setelah enam bulan lebih menjalani pernikahannya."Maaf, maafkan saya, Senja," ucap Langit sambil mempererat pelukannya.Bukannya menghentikan tangisannya, Senja justru semakin terisak. Sungguh, senja merasakan sakit di bagian dadanya, saat sang suami menyebut wanita lain dihadapannya."Makany
Flash on."Kamu serius? Beneran kita mau liburan ke Pantai, Mas?" Tanya Senja sambil berusaha menahan rasa sakit di tenggorokannya karena tersedak.Senja sempat tersedak saat sang suami mengatakan kepadanya, jika besok laki-laki itu akan mengajaknya berlibur ke Pantai. Tentu saja, Senja menghiraukan rasa sakit di tenggorokannya berganti rasa bahagia yang tiada tara. Bagaimana bisa suami secuek Langit bisa membuat hatinya membuncah bahagia. Ah, kalau begini caranya, dia tidak akan bisa menghilangkan rasa cintanya kepada Langit."Tadi siang, Pak Rektor ngasih liburan gratis ke saya untuk tiga hari, hadiah pernikahan kita katanya. Tadinya saya mau nolak, tapi nggak enak.""Ish, ngapain di tolak, Ini tuh rezeki, Mas. Lagian, Pak Rektor udah baik sama kita. Jangan bikin beliau kecewa," kata Senja. "Ngomong-ngomong, kenapa pengen nolak hadiah dari Pak Rektor? Kamu takut khilaf saat kita berada di sana?"Wajah Langit tiba-tiba merona. "Bener 'kan Mas? Kamu takut kalau kamu tiba-tiba menyent
"Sekali lagi, terima kasih ya, Nak Langit, sudah menolong anak saya," ucap Ayah Dika."Sama-sama Pak. Saya tadi kebetulan lewat, dan melihat anak Bapak tergeletak di pinggir jalan.""Saya tidak tahu, bagaimana caranya kami membalas semua kebaikan Nak Langit. Maaf sudah merepotkan.""Jangan bilang seperti itu Bu. Bapak dan Ibu juga sering membantu saya. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu ya. Semoga, Senja cepat sembuh.""Aamiin ya Rabbal'alamiin. Sekali lagi terima kasih ya Nak Langit."Langit tersenyum," Assalamualaikum""Wa'alaikum salam."*****Keesokkan harinya, Senja sudah merasa lebih baik. Namun memang dia masih belum bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini pun terpaksa dia harus izin kuliah karena tubuhnya masih terasa sakit."Bunda lagi ngapain?" Tanya Senja saat melihat sang Bunda sibuk membuat kue."Kamu kenapa kesini, sayang? Kamu 'kan belum pulih.""Justru badan Senja makin sakit kalau tiduran terus, Bunda," ucap Senja sambil duduk di kursi meja makan. "Bunda belum
Flashback."Ayah, tamu tadi siapa? Kok, Senja baru lihat ya?" Tanya Senja saat mereka menikmati makan siang bersama."Oh itu, namanya Langit. Dia tetangga baru kita yang membeli rumah Pak Agus, di blok C5. Kenapa? Tumben kepo?"Senja pura-pura santai, padahal dalam hati dia begitu senang karena ternyata laki-laki tampan itu adalah tetangga barunya. Bahkan hanya terhalang satu rumah saja dengan rumah milik ayahnya itu."Habisnya, tamu ayah ganteng sih, makanya Senja kepo." "Ganteng? Bukanya kamu bilang cowok paling ganteng sedunia itu, Ayah?" Ucap Bunda Ayu seraya meletakkan air minum untuk Ayah Andika."Paling kalau ada maunya anak bungsu Bunda mah bilang begitu sama Ayah. Sekarang udah kegeser tuh sama tetangga baru kita," ucap ayah Dika pura-pura kesal.Yang sedang jadi bahan pembicaraan hanya tersenyum melihat tingkah sang ayah yang terlihat cemburu."Ish, kegantengan ayah mah nggak akan tertandingi. Tetap, Ayah adalah cowok paling ganteng sedunia raya. Nah tamu yang tadi, cowok t