Share

Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas
Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas
Author: CH. Blue Lilac

Tidak Pernah Puas

last update Last Updated: 2025-08-25 19:56:30

"Ughh...” Rhevan menindih tubuh istrinya tanpa banyak basa-basi. Gerakannya agak terburu-buru, tanpa ciuman atau kalimat pemanis.

“Aaaah... Nadine...” gumamnya cepat, napasnya semakin memburu.

Nadine sang istri hanya bisa menggigit bibir, berusaha menyesuaikan ritme. Tapi sebelum dirinya sempat merasakan apapun, Rhevan sudah mencapai puncak.

“Aaa...” desahnya panjang, tubuhnya menegang beberapa detik sebelum akhirnya ambruk di samping ranjang.

“Mas, kamu udah selesai?” Nadine membuka matanya, menatap suaminya dengan alis berkerut. “Aku—”

Rhevan melirik ke arah istrinya, nafasnya masih terengah-engah. Namun kali ini wajahnya lebih rileks dibandingkan sebelumnya. “Kenapa? Ada masalah?”

“Bu—bukan gitu, Mas. Tapi aku…” Navira bangkit. Ia menatap suaminya dengan nanar. “Aku...” Ia tak melanjutkan. Kalimat uneg-uneg yang ingin ia katakan hanya sampai di ujung lidah. Ia takut suaminya marah.

“Ngomong yang jelas, Nad!” Ia melirik ke arah istrinya yang mulai menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut.

“Enggak Mas. Enggak apa-apa kok.” Perempuan berkulit putih itu memandangi suaminya yang sudah sibuk bermain ponsel. Jemarinya begitu lincah mengetik pesan entah kepada siapa. “Buatkan aku kopi!”

Nadine menarik napas panjang, menahan gejolak di dadanya. “Iya Mas. Tapi, aku mau bersih-bersih dulu,” balasnya sambil bersiap untuk turun dari atas ranjang.

Rhevan menoleh sebentar, wajah malasnya berubah menjadi kesal. Pria itu paling malas jika permintaannya dibantah. “Cepetan mandinya!”

“Iya Mas, iya,” sahut perempuan itu sambil menahan pedih.

Nadine akhirnya masuk ke kamar mandi. Pandangannya tertuju ke arah pantulan dirinya di depan cermin. Ia sungguh menyedihkan. Hampir 5 tahun menikah, ia tak pernah mendapatkan kepuasan batin. Hampir tiap mereka bercinta, suaminya selalu “selesai” lebih dulu. Ia sudah seperti tempat pembuangan sperma bagi Rhevan.

Ia ingin mengatakan soal kepuasan batinnya pada Rhevan, sayangnya ia terlalu takut membuat Rhevan marah, terlebih dengan sikap temperamen dan mudah tersinggungnya.

Tak hanya itu, suaminya juga selalu bersikap ketus dan dingin padanya. Selalu egois dan sering memerintah ia seenaknya. Memperlakukan Nadine layaknya ART, bukan seorang istri.

“Mungkin ini hanya sementara.”

“Aku yakin, Mas Rhevan akan berubah.”

“Namanya juga menikah karena perjodohan. Pasti kita berdua harus saling beradaptasi.”

Bertahun-tahun kalimat tersebut menjadi patokannya agar terus kuat menjalani rumah tangga bersama Rhevan. Namun sialnya, semakin ke sini ia merasa berjuang sendirian.

“NADINE! CEPETAN MANDINYA! AKU MAU KOPI!”

Perempuan itu tercekat. Ia segera mengusap air mata di wajahnya dan mencoba menstabilkan suaranya agar tak membuat Rhevan curiga.

“Iya Mas, sebentar.” Dengan secepat yang dia mampu, Navira segera membersihkan bekas cairan cinta sang suami dan mengganti pakaiannya dengan yang bersih. Setelahnya ia segera ke dapur dan menyiapkan kopi sesuai keinginan pria yang 5 tahun lebih tua darinya tersebut.

“Ini kopinya, Mas.” Sambil tersenyum, ia meletakkan cangkir berisi cairan hitam pekat itu di atas lemari kecil samping ranjang.

“Lama banget sih!”

“Maaf.”

Rhevan meletakkan ponselnya di paha. Lalu mulai menghirup aroma kafein yang menguar dari kopi buatan istrinya.

“Mas, aku boleh bicara nggak?” Dengan ragu, Nadine mulai buka suara. Ia duduk di pinggir ranjang dekat dengan Rhevan.

“Soal apa?” tanya pria bermata tajam itu dengan ketusnya.

“Mas, kita kan udah sudah lama menikah. Bagaimana kalau kita coba periksa ke dokter. Aku udah—”

“Apa? Ke dokter?” potong Rhevan cepat, bahkan sebelum Nadine menyelesaikan kalimatnya. Wajah pria itu langsung mengeras mendengar ucapan istrinya. Seolah kalimat sederhana itu adalah penghinaan besar baginya.

“Kenapa harus ke dokter?” suaranya meninggi, penuh tekanan.

Nadine menelan ludah, jemarinya meremas ujung dasternya sendiri. “Bu—bukan gitu, Mas. Aku cuma... em— maksudku... kita udah hampir lima tahun nikah, tapi belum juga punya anak. Jadi—”

“Jadi apa, Nad?!” Rhevan memotong cepat, untuk kedua kalinya. “Cepat ngomong yang jelas!”

Nadine mengerjap, jantungnya berdetak kencang. Tapi ia memberanikan diri untuk tetap melanjutkan ucapannya. “Aku sudah buat janji sama dokter kandungan. Aku berniat ngajakin kamu untuk konsultasi soal program kehamilan.” Kalimat itu meluncur lirih dari bibir Nadine. Tapi cukup untuk membuat darah Rhevan naik ke ubun-ubun.

PRAANG!!

Cangkir kopi yang baru saja ia genggam dibanting keras ke lantai. Cairan hitam panas memercik liar, sebagian besar mengenai kaki putih Nadine.

“Akhh!” teriak perempuan itu, spontan ia mengangkat kakinya ke atas ranjang dan mengusapnya cepat, efek terkena cipratan air kopi.

“Kamu buat janji dengan dokter tanpa memberitahuku lebih dulu?” suara Rhevan meledak, matanya merah menahan amarah. “Berani-beraninya kamu lancang begini?”

Nadine gemetar, air mata bercucuran tanpa bisa ditahan. “A-aku nggak bermaksud lancang, Mas. Lagipula aku sudah sering bahas ini, tapi kamu–”

Rhevan tak peduli dengan penjelasan istrinya. Ia sudah terlanjur dikuasai amarah. Dengan kasar ia meraih dagu Nadine, mencengkeramnya kuat hingga perempuan itu terpaksa menatap wajah garang suaminya.

“Dengarkan aku baik-baik!” suaranya berat, sarat ancaman. “Apapun alasannya, aku tidak mau pergi ke dokter! Kalau kamu maksa, pergi saja sana sendiri!”

“Ma—Mas...” Nadine meringis, matanya berkaca-kaca karena dagunya sakit ditekan terlalu keras oleh jari-jari kasar suaminya.

“Bukan salahku kalau kamu tidak kunjung hamil,” Rhevan melanjutkan, matanya menyipit penuh tuduhan, “itu jelas KESALAHAN kamu, Nad! Kamu yang mandul! Kamu yang gagal jadi istri! Kamu yang nggak becus melayani suami.”

DEG!

Ucapan itu menusuk dada Navira lebih tajam daripada pisau. Nadine terdiam, tubuhnya kaku, ia hanya bisa menangis dalam diam.

“Beruntung kamu masih aku pertahankan sampai sekarang. Kalau bukan karena almarhum Pak Wijaya, dari dulu kamu sudah aku ceraikan!” lanjut Rhevan tanpa ampun, suaranya sinis dan penuh penekanan.

Air mata Nadine jatuh semakin deras. Ia berusaha membuka suara, tapi tak ada satu kata pun yang sanggup keluar. Dagu yang masih dipegang erat membuatnya hanya bisa terisak tertahan.

Setelah puas melampiaskan amarahnya, Rhevan akhirnya melepaskan cengkeraman itu dengan kasar. “Hapus air mata kamu itu! Aku muak melihatnya!”

Nadine langsung memalingkan wajah, menutupi tangisnya dengan telapak tangan. Tubuhnya gemetar hebat.

Sementara itu, Rhevan kembali meraih ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. “Minggir!” Ia menendang pinggang sang istri hingga Nadine nyaris jatuh dari atas ranjang. “Aku mau istirahat!”

Perempuan itu terduduk di lantai kamar. Pinggangnya masih sakit akibat tendangan Rhevan barusan, sementara hatinya remuk berkeping-keping.

Air matanya terus mengalir deras tanpa henti. Ia memandang lantai yang dipenuhi pecahan cangkir kopi—seolah mewakili perasaannya saat ini.

“Mas Rhevan, kenapa kamu tega begini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
maharani
udah tinggalin aja nad, laki laki kasar ngga ada otak..... nggak pantas di pertahankan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Jawab Jujur!

    Nadine terdiam cukup lama. Matanya menunduk, seolah berusaha menahan sesuatu yang sejak tadi ingin tumpah. Dirga hanya berdiri di hadapannya, sabar menunggu tanpa mendesak lagi. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Nadine menghela napas berat. “Sebenarnya aku salah input data. Data yang aku masukin saya barang fisiknya beda." Ia tertawa hambar. “Dan leader team bilang itu kesalahan fatal karena buat perusahaan rugi." Dirga mengerutkan dahi. “Terus?” “Karena itu emang murni keteledoranku, aku diminta bikin kronologis, klarifikasi ke finance, dan bantu cari solusi biar gak harus ganti rugi." Nadine menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak di dada. “Tapi HR bilang kemungkinan aku juga harus tetap tanggungjawab dan ganti semua kerugian karena itu murni kesalahan pribadiku." “Berapa?” suara Dirga merendah. Nadine menelan ludah. “Dua puluh juta.” Dirga mengerjap pelan, lalu bersandar pada mobil. Ia tidak langsung bicara, seolah memberi waktu agar Nadine bis

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Selalu Ada

    Sebuah sentuhan dingin di pipinya membuat Nadine tersentak. “Nghh?!” Ia buru-buru mengangkat kepala. Matanya langsung membulat saat melihat sosok yang berdiri di sebelah meja kerjanya. “Dirga?!” Pria itu tersenyum kecil sambil menaruh jus kemasan di meja. "Kejutan." Nadine masih menatapnya tak percaya. “K- kamu ngapain di sini?” "Khawatir," jawab Dirga santai, bahunya sedikit terangkat. "Soalnya ada perempuan yang pas ditelfon nada bicaranya kayak mau nangis." Nadine cukup terkejut saat mendengar ucapan Dirga. Tapi ia menutupi rasa gugupnya sambil berkata, "Kamu kok tau aku ada di sini? Terus— emang kamu gak dimarahin satpam ya sampai masuk ke sini?" "Dirga dimarahin? Si satpam yang bakal aku marahin balik," balas si duda dengan kaos polo-nya yang khas itu sambil terkekeh. "Ngawur," cibir Nadine sambil buang muka. "Kamu ngapain sendirian di sini? Yang lain kan sudah pada pulang?" Nadine tak langsung menjawab, ia memilih untuk meraih jus yang Dirga berikan dan meminumnya sedik

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Si Paling Peka

    Belum sempat Nadine menarik napas panjang, ponselnya kembali bergetar di meja. Kali ini bukan notifikasi pesan — tapi panggilan masuk. "Dirga?" Nadine menatap layar itu lama, hatinya ingin menolak, tapi jempolnya justru bergerak sendiri menekan tombol hijau. “Halo...” sapa Nadine. Berusaha terlihat biasa saja dan tak membuat Dirga curiga. “kenapa chatku gak dibalas?” suara Dirga terdengar di seberang. "Kamu sesibuk itu ya sekarang?" Nadine menelan ludah. “Iya nih. Lagi ada beberapa kerjaan yang belum selesai." “Kamu kedengeran capek banget,” kata Dirga. “Ada apa? Kamu baik-baik aja kan?” Pertanyaan itu membuat dada Nadine langsung sesak. Ia menunduk, berusaha menahan getaran di suaranya. “Iya, aku baik-baik aja kok.” “Yakin?” nada Dirga sedikit menekan, penuh perhatian. “Suara kamu kayak abis nangis.” Nadine buru-buru menggeleng, meski tahu Dirga tak bisa melihatnya. “Enggak... cuma lagi pusing aja. Tadi sempat salah input data, jadi harus beresin dari siang.” Dirga terdiam

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Kesalahan Fatal

    Sepanjang siang Nadine berusaha memperbaiki data yang disebut Clara. Ia dan Sarah memeriksa laporan satu per satu, mencocokkan antara data penjualan dan stok dari sistem gudang. Namun setelah berjam-jam menelusuri file dan membandingkan catatan lama, hasilnya membuat dada Nadine terasa menyesak. Salah satu file yang ia input memang keliru — satu kolom nominal stok tertukar antar dua unit proyek. Angka kecil yang salah tempat itu, ternyata berimbas besar pada keseluruhan laporan. Nadine menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Tangannya bergetar. “Ternyata... memang aku yang salah, Mba,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Sarah menghela napas panjang. “Ini salah aku juga sebenarnya, soalnya udah ngasih tugas ini ke kamu. Padahal kamu masih anak baru." Clara kembali datang ke meja Nadine. Nada suaranya dingin tapi terselip kepuasan. “Udah aku bilang kan, pasti ini salah kamu,” ujarnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Sekarang ayo ikut aku! HRD sama bagian keuangan ma

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Membuat Kesalahan

    “Nadine!!” Suara bentakan itu menggema keras di ruangan, membuat semua kepala otomatis menoleh. Nadine spontan berdiri, wajahnya bingung, sementara jantungnya berdetak cepat. Clara berjalan cepat ke arahnya, menenteng beberapa lembar berkas dengan ekspresi penuh amarah. “Kamu ini kerja pakai otak nggak sih?!” Ruangan langsung hening. Bahkan suara AC pun seolah menghilang. “M—Mba Clara, ada apa ya?” tanya Nadine hati-hati, berusaha tetap tenang meski lututnya mulai lemas. Clara menepuk keras berkas itu ke meja Nadine hingga beberapa kertas berhamburan. “Lihat ini! Data kamu kemarin kacau semua!” Nadine terperanjat. Ia menunduk, mengambil lembaran itu dengan tangan bergetar. “Kacau gimana, Mba?” “JANGAN PURA-PURA GAK TAU, NADINE!” teriak Clara lagi, suaranya meninggi dan membuat beberapa rekan kerja di cubicle lain langsung pura-pura sibuk. “Karena ulah kamu, sistem laporan hari ini kacau total! Ada data penjualan yang gak sinkron sama gudang!” Sarah yang duduk tak jauh dari sit

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Ada Apa Dengannya?

    Keesokan paginya, Nadine sudah berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang jatuh lembut di bahu. Wajahnya tampak lebih segar dan tenang, meski semalam sempat diwarnai amarah. Saat keluar kamar, ia sudah melihat Rhevan duduk di meja makan, berpakaian rapi dengan kemeja biru muda dan jam tangan hitam yang selalu ia kenakan. “Pagi Mas,” ucap Nadine singkat. “Hmm,” balas Rhevan, tanpa menoleh lama. Jelas, dia sedang sibuk dengan hapenya, mana mungkin memperhatikan Nadine yang ada di depannya. Tak ada percakapan panjang di antara mereka. Pasutri itu sibuk menikmati sarapan masing-masing sebelum berpisah menuju tempat kerja. *** Sesampainya di kantor, Nadine tidak langsung naik ke lantai atas. Ia sengaja mampir dulu ke kantin di lantai dasar— sekadar memesan satu cup espresso. Aroma kopi langsung menyambutnya begitu pintu kantin terbuka. Suasana pagi masih sepi, hanya ada beberapa karyawan yang sibuk menatap ponsel sambil menunggu pesanan mereka. Nadine mengantre dengan sabar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status