Share

Mas Gege, I Love You!
Mas Gege, I Love You!
Author: P

1. Bukan Zaman Siti Nurbaya

"Mah, aku belum mau nikah. Kalo pun aku nikah, aku mau nikah sama orang yang aku cintai. Bukan lewat dijodohin kek gini, Ma." 

"Revi, Mama nggak akan nuntut kamu sampe begini kalo kamu nggak sama Rani. Dia bukan perempuan baik untuk kamu. Sadar! Buka mata dan pikiran kamu itu. Mama juga ngelakuin ini demi kebaikan kamu."

Lelaki itu mengusap rambut hitamnya kasar. Emosi dan lelah yang ditahan di wajah laki-laki berkepala dua itu begitu kentara. Perdebatan antara anak dan orang tua perihal perjodohan ternyata bisa saja terjadi. Hanya saja aku tak menyangka akan jadi begini.

"Ma, Rani perempuan yang tepat buat aku. Dia baik. Mungkin karena Mama aja belum kenal dia secara keseluruhan. Ini juga bukan zaman Siti Nurbaya Ma, aku juga berhak untuk menikah dengan pilihan aku. Nggak dengan dijodohkan. Lagipula aku sama Zaf nggak deket. Cinta pun enggak. Bener, 'kan Zaf?" 

Aku mendadak tersedak oleh minumanku. Pandanganku menunduk, panas menjalari kerongkongan. Jilbab hitamku jadi sedikit basah. Mengapa aku terdengar seperti spesies yang menyukai sesama jenis? Apakah laki-laki tua ini takut mendadak mencret jika menyebutkan namaku dengan betul? Z-A-F-I-R-A-H, panggil saja "Nunung."

Namun bagaimanapun, aku tetap mengangguk setuju. "Bener, Tante. Apa yang dibilang Kak Rrr-revigeano bener. Aku sama kak Revi nggak ada hubungan apa-apa. Kita cuma sebatas adik-kakak kelas pas waktu SMA." Aku menebar senyum terbaik seperti iklan pasta gigi.

Acara membawa kue brownies pesanan tante Riana harus berakhir dengan masalah perjodohan. Aku tak percaya. Kalo masalah sekedar guyonan belaka, aku akan dengan senang hati berpura-pura tertawa anggun sembari menggelengkan kepala. 

Nah ini? Tanpa tendeng aling-aling Tante Riana sudah menentukan hari pernikahannya bulan depan, lengkap dengan pilihan berapa jumlah cucunya nanti!

"Loh, bukannya kalian dulu deket setelah boncengan pas sepeda kamu rusak, Zara?" 

Aku menggaruk pipiku yang mendadak gatal. "Nggh ... tapi nggak deket-deket amat juga sih, Tante. Itu ... kebetulan pas ban sepeda aku bocor, Kak Revi lewat, trus karena kita searah makanya Kak Revi mau angkut aku sampe rumah. Setelahnya kita temenan aja kok, Tante." 

Menjadi tetangga baru dengan Revi ternyata membuat Tante Riana menjelma menjadi sepupu jauh dari detektif konan. Ia akan mengawasi dan bertanya-tanya padaku dan anaknya. 

Aku ingat dulu bagaimana hebohnya Tante Riana begitu mengetahui anak sulung laki-lakinya memboncengku, sementara sepedaku memisahkan jarak kami berdua. Terbayang bagaimana aku yang kenyang makan angin di belakang karena laki-laki itu yang ngebut-ngebutan. Aku yang tetap kekeh tak ingin meninggalkan sepeda kesayanganku menang melawan ego seorang Revigeano yang merupakan titisan batu berjalan. Anggap saja tak tahu diri, toh dia tetap mengijinkanku.

"Tapi setelah itu kalian jadi akrab, 'kan? Buktinya setelah itu Revi sering main ke rumah kamu, Zara. Iya, 'kan? Udahlah, kalian itu udah cocok tau nggak sih, dari jabang bayi emang Tante udah pengen ngejodohin kamu sama Revi. Mama kamu bilang, kamu juga sering nanya-nanya tentang Revi." 

Mataku membola. Oh, tidak. Tante Riana salah paham."Ah, nggak. Nggak gitu Tante–" 

"Ma, udah yah. Revi capek, mau izin istirahat. Mama juga jangan lupa istirahat." Tanpa persetujuan laki-laki yang berusia tiga tahun di atasku itu beranjak dan berjalan melewati anak tangga begitu saja. 

Sekonyong-konyong aku bisa melihat air wajah Tante Riana berubah marah sejalan dengan beliau yang beranjak ke dekat anak tangga. "Revigeano William! Mama belum selesai bicara sama kamu!" 

Aku lantas berdiri mendekati Tante Riana yang masih tersulut emosi. Tak ada tanda-tanda Revigeano akan turun. Mungkin gumpalan mimpi bersama Rani telah memeluk jiwa Revi. Pulang benar-benar opsi terbaik. Aku tak ingin ikut campur.

Dehamanku menarik atensi Tante Riana. "Mohon maaf banget ya Tante, aku izin mau pulang. Soalnya mau nganter Mama ke toko elektronik sore ini." Aku tak berbohong. Mama memang menyuruhku mengantarnya ke toko elektronik untuk membeli mesin cuci baru. Padahal mesin cuci itu baru dua bulan pemakaian.

"Ah iya-iya. Kamu hati-hati yah. Tante mewakili Revi minta maaf atas sikap dia. Anak itu makin nambah umur bukannya makin baik malah makin– Astaghfirullah kepala Tante." Tanganku yang tergantung ingin mencium tangan Tante Riana, dengan sigap menahan tubuh beliau yang hampir terjatuh. Tante Riana menjerit kesakitan memegangi kepalanya.

Degup jantungku berpacu lebih cepat. Khawatir dengan wajah Tante Riana yang terlihat pucat dan tersiksa. Aku memegangi pipi Tante Riana memeriksa. "Tante? Tan? Ta–tante mau di bawa ke rumah sakit?" –Oh astaga, pertanyaan bodoh! "Kak Revi! Kakk! Tolong Tante Riana pingsan." Aku berteriak keras. Sayup-sayup mata beliau tertutup lemas. Aku menyesal tak mengikuti ucapan Mama untuk membawa kendaraanku. 

                                                                                    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status