Share

3. Pertemuan

Author: Tetiimulyati
last update Huling Na-update: 2025-06-11 18:01:04

"Hallo Bu Zahra?"

Lantaran aku hanya diam, pria di seberang telepon menyapaku lagi.

"I-iya, maaf, Pak."

"Apa kita bisa bertemu? Ada sesuatu yang penting yang ingin saya sampaikan pada Ibu."

Aku berpikir sejenak. Tiba-tiba aku punya prasangka yang tidak baik. Apakah pria ini beritikad baik?

"Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon?"

"Tidak bisa. Saya ingin bertemu langsung dengan Ibu. Bagaimana, apakah bisa?"

"Mmm... baiklah." Akhirnya aku menyetujuinya.

"Oke. Di mana saya bisa menemui Ibu?"

Aku menyebut nama terminal tempat kemarin bertemu dengan Pak wajid untuk memudahkan. Mau disebut tempat tinggal Pak Majid, letaknya di gang kecil. Selian itu, ini tempat tinggal orang lain, khawatir yang punya rumah keberatan.

"Baiklah, sore ini ba'da ashar kita bertemu."

Telepon ditutup. Kemudian aku menceritakan pembicaraanku dengan Fauzan pada Pak Majid.

"Tolong temani saya bertemu orang tersebut, Pak. Saya takut kalau harus sendirian. Bukan suudzon tapi harus waspada."

"Ya, Bu, nanti saya temenin."

***

Sore harinya aku sudah duduk menunggu di bangku terminal. Tak berapa lama menunggu, masuk sebuah pesan dari Fauzan yang mengatakan bahwa ada seseorang yang akan menjemputku di terminal. Selain meminta potoku, Fauzan juga menyebutkan ciri-ciri orang yang akan datang beserta potonya.

Aku menceritakan isi pesan itu pada Pak Majid dengan hati was-was. Seperti di sinetron saja, tiba-tiba aku jauh dari Mas Topan, tiba-tiba bertemu Pak Majid lagi, tiba-tiba ada orang asing yang ingin bertemu. Sekarang ada orang yang akan menjemputku. Semoga saja tidak terjadi hal-hal buruk padaku.

Berselang beberapa menit seseorang dengan ciri-ciri yang tadi disebutkan oleh Fauzan menghampiriku. Orang yang berpakaian khas orang sopir itu pun menunjukkan foto yang tadi kukirim pada Fauzan.

Aku dan Pak Majid pun mengikuti orang tersebut, menghampiri sebuah mobil mewah yang terparkin di luar terminal.

"Kami akan dibawa kemana, Pak?" tanyaku setelah berada di dalam mobil dengan nada khawatir.

"Ibu yang rileks, ya. Tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa. Pak Fauzan mengundang Ibu untuk berbuka puasa bersama di sebuah restoran," ucap sopir tersebut sambil melirik ke samping kemudian fokus lagi pada jalanan di depannya.

Aku dan Pak Majid pun saling tatap, berdoa dalam hati semoga saja apa yang dibicarakan oleh sopir ini benar.

Memasuki area sebuah restoran yang cukup mewah, aku jadi teringat masa-masa dulu dengan Mas Topan. Ketika kami masih banyak uang. Selalu menyempatkan berbuka puasa di tempat seperti ini. Kalau saja Samsul tidak berbuat curang.

Seorang pria tinggi dan menggunakan kemeja rapi menyambutku di salah satu meja restoran. Ia memperkenalkan diri sebagai Fauzan. Benar saja yang dikatakan oleh Pak Majid kemarin. Masih muda, tampan, rapi dan seperti orang kantoran. Wajahnya sedikit mirip Pak Samsul, hanya saja Fauzan lebih oval.

"Silakan duduk, Bu Zahra. Sambil menunggu waktunya berbuka puasa, untuk kedua kalinya perkenalkan saya Fauzan. Saya anak bungsu dari almarhum Bapak saya, Pak Samsul."

Mataku melebar ketika Fauzan menyebut nama ayahnya dengan embel-embel almarhum.

"Jadi Pak Samsung sudah meninggal?"

"Iya."

"Innalillahiwainnailaihirojiun .... "

"Atas nama Papa, saya mohon maaf pada Ibu dan  .... Ini Pak topan?" Fauzan mengarahkan jempol kanannya pada Pak Majid.

"Bukan, saya pamannya Zahra." Pak Majid dengan cepat menjawab.

"Jadi ... Pak Topan-nya mana?"

"Mas Topan ... ada di kampung."

"Oh ya, tidak apa-apa. Sebenarnya saya ingin bicara sama Ibu dan Pak Topan. Apa bisa dihubungi Pak Topan-nya?"

"Sebenarnya saya dan Mas Topan sudah .... "

Aku ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi aku harus jujur. Tidak boleh ada drama dan kebohongan lagi. Cukup lah Pak Samsul yang berbohong dan menipuku. Dia sudah menerima hukumannya.

"Bu Zahra dan Pak Topan sedang dalam proses perceraian." Pak Samsul melanjutkan kalimatku.

Fauzan membuka mulutnya.

"Jadi begini Bu Zahra, Papa meninggal beberapa bulan yang lalu karena serangan jantung. Setelah beliau tidak ada, kami menemukan beberapa data di kantornya. Salah satunya utang pada Bu Zahra dan Pak pak Topan. Saya yakin Papa punya nomor ponsel kalian, tapi ponselnya tidak bisa dibuka karena Papa mengunci sementara kami tidak tahu passwordnya. Saya sebagai anaknya akan bertanggung jawab utang Papa."

"Jadi maksudnya, utang Pak Samsul akan dibayar oleh Pak Fauzan?" Kurang yakin dengan ucapan Fauzan, akhirnya aku bertanya.

Terdengar konyol, tapi aku harus meyakinkan diri sendiri.

"Terserah Ibu nantinya, akan jadi harya gini atau bagaimana."

"Mas Topan sudah menyerahkan semua hartanya kami pada saya yang memang tinggal piutang pak Samsul ini."

Fauzan menanyakan nominal uang yang harus dikembalikan. Ternyata sama dengan data yang ia ketahui. Pria itu pun meminta nomor rekening untuk mentransfer uang tersebut. Aku kebingungan karena satu-satunya rekening yang kami punya milik Mas Topan.

"Saya sudah tidak ada nomor rekening. Akun yang lama sudah ditutup."

"Saya tidak bawa uang cas sebanyak itu. Bagaimana kalau saya bayar sebagian dulu?"

Bayar sebagian? Apa Fauzan bisa dipercaya? Terlihat baik tapi aku tidak boleh lupa kalau Fauzan adalah anaknya Samsul. Bisa saja itu akal-akalannya supaya bisa membayar setengah.

"Maaf, Pak. Bukannya saya tidak percaya, tapi saya masih trauma atas .... "

"Saya mengerti, Bu Zahra. Tapi bagaimana? Saya tidak ada uang cas, sementara Ibu tidak ada no rekening."

Waktu berbuka puasa sudah tiba, kami menyantap makanan sambil mencari solusi.

"Bagaimana kalau Bu Zahra ikut saya?"

Pertanyaan Fauzan membuatku mengangkat wajah.

"Supaya Ibu percaya kalau saya tidak akan menipu."

"Di sekitar sini banyak ATM, Pak. Bapak bisa tarik tunai .... "

"Tidak bisa."

Aku menoleh ke arah pak Majid. Pria setengah tua yang baru saja menyelesaikan makan itu mengangguk.

Setelah kupikir lagi, dari pada uang tak sampai di tanganku, lebih baik aku ikut Fauzan. Mudah-mudahan pria ini bisa dipercaya.

"Kalau begitu saya permisi pulang duluan." Pak Majid berpamitan.

Aku bingung menjawab, mau bertanya apa pak Majid ada ongkos, sedangkan aku sendiri tidak memegang uang. Hanya lima ribu yang sudah keriting di saku bajuku.

"Handi, antarkan bapak ini ke depan dan berikan ongkos!" Perintah Fauzan pada pria yang tadi menjemput kami di terminal.

"Baik, Pak. Mari Pak, saya antar ke depan." Handi mengangguk sopan.

"Kalau begitu saya permisi dulu."

"Iya, terima kasih, ya, Pak."

"Semoga berhasil," bisik pak Majid kemudian.

"Doakan saja, Pak."

Pak Majid bangkit lalu membungkukkan badannya ke arah Fauzan.

"Terima kasih sebelumnya Pak Fauzan."

Pria yang duduk dengan tenang itu hanya mengangguk dan mengangkat tangannya.

Pak Majid kemudian pergi di antar oleh Handi.

Selama Handi belum kembali, kami saling membisu. Pria di seberang meja itu sibuk dengan ponselnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

Sementara di sini, aku duduk gelisah. Kepalaku dipenuhi pertanyaan, apakah pria ini bisa dipercaya bagaimana kalau dia hanya menjebakku.

Tapi kalau benar dia berniat membayarkan utang ayahnya, berarti ini kesempatan baik bagiku. Dengan penuh emosi, kemarin Mas Topan sudah menyerahkan semua harta yang kami dapat selama bersama termasuk piutang ini karena hanya ingin yang tersisa.

Dengan uang itu aku bisa punya tempat tinggal dan memikirkan untuk memulai usaha.

"Bu Zahra, mari ikut kami."

Seketika aku  mendongak setelah mendengar suara Handi. Pria itu sudah ada di sampingku, sementara Fauzan sudah tidak ada.

"Mari, Bu, mobilnya sebelah sini."

Aku pun bangkit mengekor Handi. Untuk menghemat waktu, Malika kugendong saja.

Ternyata Fauzan sudah berada di dalam mobil. saking asiknya tadi aku melamun, sampai tidak sadar kalau pria itu sudah pergi terlebih dahulu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    54. Kabar Duka

    Seminggu setelah tertangkapnya Mas Fatir. Malam ini Marsha mengetuk kamarku, padahal sudah hampir jam 10.00, biasanya anak itu sudah tidur. "Ada apa, Kak?" tanyaku setelah membuka pintu dan mendapati anak gadisku berdiri di luar pintu dengan wajah panik. "Maaf kalau kakak mengganggu, Ma. Tapi ini penting." "Iya, ada apa, katakan saja, Sayang." "Nenek meninggal." "Innalillahiwainnailaihirojiun." "Siapa yang mengabari?" "Budhe Tutik." Aku mengangguk meski heran. Kenapa tidak Mas Topan yang mengabari Marsha. Tetapi tidak ingin mempermasalahkan hal ini. Bisa jadi Mas Topan tidak sempat atau tidak pegang ponsel. "Kita ke sana 'kan, Ma?" tanya Marsha sambil memelukku. "Tentu saja, Sayang." "Aku mau berangkat sekarang supaya besok tidak tertinggal pemakaman nenek." "Iya, Mama bilang ayah dulu. Sekarang Kakak bersiap, ya." Setelah Marsha pergi ke kamarnya, aku pun segera mengabari Mas Fauzan yang sedang berada di ruang kerjanya. Meminta izin untuk pergi ta'jiah pada mantan mertua

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    53. Tak Disangka

    "Mas Fatir?!" Hampir tidak percaya melihat Mas Fatir duduk sambil menunduk di hadapanku. "Tega kamu melakukan ini padaku, Mas?" Suaraku bergetar menahan amarah, kaget campur marah mengetahui kalau dalang dari semua ini adalah Mas Fatir. "Yang tega itu kamu, Ra. Saat susah sudah kubantu. Setelah sukses lupa sama aku." Mas Fatir mengangkat wajahnya. Ada kilatan kemarahan di matanya, apalagi saat melirik ke arah Mas Fauzan. "Maksudnya apa?" "Kenapa menolakku dan memilih menikah dengan pria itu!" Ia melirik Mas Fauzan lagi dengan tatapan sinis. Lucu kedengarannya, kalau tidak ingat sedang di kantor polisi, mungkin aku sudah tertawa lebar. "Jelas saja aku menolak pria yang sudah beristri, Mas. Kenapa Mas Fatir tidak sadar diri?" "Bukankah sudah kubilang, kalau rumah tanggaku dalam masalah. Harusnya kamu sabar, Ra. Siapa lagi kalau bukan aku yang sabar menolongmu?" Dengan percaya dirinya Mas Fatir mengatakan itu. Padahal sudah jelas, waktu itu istrinya Mas Fatir datang dan menu

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    52. Tertangkap

    "Abang kok, kayaknya sudah tidak mau lagi aku tinggal di sini?" Frans kembali menatap Mas Fauzan. "Bukan seperti itu. Abang senang-senang aja kamu tinggal di sini, malah jadi rame karena ada Marsha ada Malika. Apa lagi kalau nanti mereka punya adik." Mas Fauzan menjeda kalimatnya sambil melirikku, aku pun spontan menunduk sambil tersenyum malu. "Lalu kenapa?" "Mami itu lebih berhak atas diri kamu. Nanti di sana juga rame setelah adik-adikmu lahir. Abang sih, terserah kamu aja, mau tinggal di sini boleh, mau tinggalin sama Mami juga boleh." "Untuk sementara aku tidak mau pergi dari sini. Aku mau sama Abang saja. Entahlah kalau suatu saat aku berubah pikiran." "Iya, Abang ngerti, tapi nanti tolong jelaskan sama Mami kamu kalau dia datang ke sini." *** Sinta dan Agung datang beberapa menit kemudian. Keduanya nampak bahagia. Mungkin momen ini yang mereka nantikan sejak lama. Di mana mereka bisa berhubungan secara terang-terangan. Setelah berbasa-basi, kami pun beralih pada pembic

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    51. Awal yang Baru

    Waktu berlalu begitu cepat. Seperti keinginan Mas Fauzan, pernikahan kami dipercepat. Seminggu setelah acara lamaran, kami pun resmi menikah di sebuah ballroom hotel mewah di kota ini. Keluarga intiku yang sengaja diemput dari kampung sampai terheran-heran melihat megahnya pesta pernikahan kami. "Suamimu beneran orang kaya, ya, Nduk." Bude Aminah paling heboh. "Sekarang percaya ta? Kalau jodoh Zahra kali ini beneran sultan." PakDe juga tak kalah antusias. Untuk menyenangkan mereka, Mas Fauzan sengaja memberikan fasilitas kamar untuk dua malam. Keluargaku tambah senang semuanya. Sebenarnya aku minta pesta yang sederhana, namun mas Fauzan menginginkan pesta yang mewah mengingat ini adalah momen pertama baginya. *** Satu bulan kemudian, Aku sudah pindah ke rumah Mas Fauzan yang di perum. Rumahku yang dulu, sekarang ditempati oleh Pak Majid dan Bu Ita. Awalnya mereka menolak, katanya lebih betah di pabrik. Supaya dekat dengan pekerjaan. Namun, aku tidak tega melihat mereka tingga

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    50. Niat Baik

    "Boleh, tapi harus minta izin dulu sama yang punya meja," sahut Mas Fauzan kemudian melirik ke arahku. Tentu saja aku kaget mendengarnya "Ah iya, tentu saja boleh." "Boleh tuh, Bang." "Makasih, ya." Keduanya langsung duduk. Lantaran kursinya hanya tersedia empat, Mas Fauzan spontan memangku Malika. "Om boleh duduk di sini? Nggak apa-apa 'kan kalau Malika duduk di pangkuan Om?" tanya Mas Fauzan setelah Malika duduk nyaman di pangkuannya. "Boleh, Om, tapi setelah ini Om temenin aku main, ya." "Ah ya, boleh." Aku jadi berpikir, apa Marsha janjian dengan Frans dan sengaja mempertemukan kami di tempat ini. Pasalnya, dari tadi kedua remaja itu terlihat saling lirik dan senyum, malah Marsha kepergok mengacungkan jempolnya ke arah Frans. Kalau benar ini rencana mereka berdua, pantas saja tidak seperti biasanya Marsha ingin pergi setengah memaksa. Padahal tadi aku sudah menolak, tapi dengan merengek anak gadisku itu terus membujukku. Spontan aku menarik tangan dari atas meja saat t

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    49. Pov Zahra

    Pov Zahra "Sayangnya kejadian itu begitu cepat dan aku tidak sempat merekamnya." Mas Fauzan mengalihkan pandangannya ke samping saat aku meminta bukti percakapan kalau Agung adalah ayah kandung Frans. Saat semalam Pak masjid bercerita tentang ayah biologis Frans, aku sempat kaget. Berarti selama ini Mas Fauzan juga dibohongi oleh perempuan itu. Sebenarnya aku bukan tidak percaya, tapi hanya ingin tahu seberapa serius Mas Fauzan padaku. "Tunggu, aku punya bukti chat dari Sinta semalam. Aku belum sempat menghapusnya." Mas Fauzan mengeluarkan ponselnya. Tak lama kemudian ia pun memperlihatkan isi chat dari kontak bernama Sinta. "Sekarang kamu percaya?" tanyanya tepat saat aku selesai membaca dua pesan itu. Sekarang giliran aku yang terpaksa mengalihkan pandangan ketika pria itu menatapku dengan lekat. "Ya, Mas, aku percaya." "Alhamdulillah, berarti siap melanjutkan hubungan kita yang sempat terhenti?" "Berita aku waktu." "Kenapa? Aku tidak ingin menunda waktu lagi, Zahra." "

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status