Share

4. Seperti Tahanan

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2025-06-11 18:02:10

Handi membawaku masuk lewat pintu samping sebuah rumah mewah. Pintu ini langsung terhubung ke dapur. Seorang wanita seumuran denganku menyambut kami. Wanita yang mengaku bernama Sri itu membawaku ke sebuah kamar.

"Mbak jangan keluar kalau tidak saya suruh, ya," pinta Sri sopan.

Meskipun bingung tapi aku mengangguk. Sri kemudian keluar, tak lama masuk lagi dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.

"Mbak boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini. Baju tidur, kamar mandi dan perlengkapannya, juga perlengkapan tidur. Ingat, ya, tidak boleh keluar kalau tidak saya suruh."

"Ya, Mbak, tapi kalau boleh tahu kenapa?"

"Saya tidak tahu alasannya, saya hanya diperintah oleh Bapak."

Setelah itu Sri keluar dan sepertinya pintu dikunci. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur. Tempat tidur besar ini cukup untuk berempat.

"Ini rumah siapa, Ma?" tanya Malika sambil bangkit duduk. Gadis kecilku itu tadi kurebahkan di atas kasur.

"Ini rumah om Fauzan, yang tadi ngajak kita makan."

"Rumahnya besar, ya, Ma?"

"Malika jangan rewel, ya. Kalau mau makan bilang Mama. Itu sudah banyak makanan. Kalau mau pipis bilang Mama juga. Kata Mbak yang tadi, kita tidak boleh keluar."

"Kenapa nggak boleh keluar?"

"Mungkin di luar ada orang jahat, jadi Malika nggak boleh rewel, ya."

Gadis kecilku itu mengangguk. Aku bangkit dan menghampiri lemari. Kata Mbak Sri aku boleh menggunakan fasilitas yang ada di ka mar ini. Satu persatu aku membuka pintu lemari yang berjajar. Di pintu ketiga aku menemukan baju tidur dan beberapa baju wanita juga piyama kecil.

Sepertinya Fauzan sudah mempersiapkan ini. Tapi kenapa aku malah dikurung? Bukankah aku diajak ke sini untuk menuntaskan pemba yaran utang ayahnya, tapi kenapa diperlakukan seperti tawanan.

Aku mengambil piyama untukku juga Malika, kami pun berganti pakaian dan bersiap untuk tidur. Lebih tepatnya mengajak Malika tidur. Aku sendiri belum mengantuk apalagi tadi belum sempat salat isya. Nanti saja setelah melihat tidur aku akan salat.

***

Meskipun kamar ini ber-AC, semalaman aku hampir tidak bisa memejamkan mata. Pikiran-pikiran buruk terus memenuhi kepalaku. Tapi demi uang itu kembali, aku harus jalani semua ini.

Pukul 03.30, Sri masuk membawakan makan sahur untukku. Wanita itu keluar dengan mengunci pintu lagi. Sebelum pergi Sri berpesan kalau sehabis subuh aku harus bersiap karena akan meninggalkan rumah ini.

Ya Allah, mau ke mana lagi? Aku seperti tahanan yang dibawa ke sana ke sini tanpa diberi kepastian. Karena mendapat berita seperti itu selera makanku jadi hilang. Tapi karena nanti siang aku akan berpuasa, aku memaksakan diri untuk makan. Hanya dua suap nasi dan sepotong ayam lalu segelas susu yang disediakan oleh Sri yang berhasil masuk dalam perutku. Itupun dengan susah payah. Makanan ini terasa menyangkut di tenggorokanku lantaran pikiranku tidak tenang.

Lekas membersihkan diri sebelum waktu subuh tiba. Mengganti baju dengan pakaianku semalam, juga baju Malika. Meskipun anak itu masih dalam keadaan tidur.

Selesai salat subuh Sri datang kembali, ia benar-benar mengajakku pergi. Membawaku dengan langkah cepat keluar lewat pintu yang semalam aku lewati.

Handi sudah menungguku di samping mobil yang semalam membawaku ke sini. Pria itu segera membuka pintu begitu aku sampai di samping mobil.

"Saya mau dibawa ke mana, Pak Handi? Pak Fauzan-nya mana?" Aku mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Pak Fauzan kemudian beralih menatap pria itu.

"Pak Fauzan meminta saya untuk membawa Ibuku suatu tempat karena di tempat ini tidak aman untuk melakukan transaksi."

"Tapi tidak bohong, 'kan?

"Ibu nurut saja sama saya, ya. Jangan banyak tanya, percayalah, Pak Fauzan itu orang baik."

Akhirnya aku hanya berdiam diri sambil berdoa semoga tidak ada hal-hal buruk menimpa kami. Kasihan Malika yang masih terlelap tadi, aku harus menggendongnya dan sekarang kubaringkan di atas jok mobil.

Aku juga sempat meminta Mbak Sri untuk membungkuskan makanan untuk Malika nanti sarapan. Tapi Mbak Sri bilang tidak usah dan ia mengatakan kalau anakku tidak akan kelaparan.

Handi membawaku ke sebuah perumahan dan menurunkan aku di salah satu unit. Rumah tipe sederhana ini ternyata sudah ada beberapa perabotan di dalamnya.

"Ini rumah siapa, Pak Handi?"

Pria berseragam khas sopir itu hanya melirikku. Aku menyesal telah mengajukan pertanyaan karena teringat pesannya tadi, kalau aku tidak boleh banyak bertanya dan nurut saja pada dia.

Baiklah aku tidak akan bertanya lagi.

Handi pergi setelah membukakan pintu untukku. Tiga puluh menit kemudian dia sudah kembali dengan membawa nasi bungkus serta minuman juga cemilan lainnya, katanya untuk Malika.

"Jangan kemana-mana, nanti siang Pak Fauzan akan ke sini," pintanya sebelum pergi.

Aku melirik Malika yang terlelap di sofa, salah satunya perabot yang ada di rumah ini.

Kuhempaskan tubuh di salah satu sofa, lalu mengambil ponsel yang baterainya tinggal sedikit. Beruntung di dalam tasku selalu tersedia charger. Aku pun mengirim pesan pada ponsel Bu Ita, istrinya pak Majid. Beruntung aku sempat meminta nomor wanita itu.

Aku ceritakan semua yang terjadi pada Bu Ita. Pak Majid katanya sudah pergi mulung dari subuh tadi.

"Alhamdulillah kalau Ibu baik-baik saja. Mungkin ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Pak Fauzan. Semalam saya juga gak nyenyak tidur setelah mendengar cerita Bapak. Saya mendoakan semoga tidak terjadi apa-apa pada Ibu. Semoga juga pria itu tidak menipu seperti ayahnya."

Itu kalimat panjang lebar dari Bu Ita. Alhamdulillah setelah berbincang dengannya, aku sedikit lega. Setidaknya saat ini aku punya tempat berbagi. Tidak merasa sendirian di kota ini.

Jam sembilan lebih Handi datang. Mobil yang tadi pagi mengantarkan aku ke sini itu kembali terparkir di depan rumah ini. Ternyata benar, Handi datang lagi bersama Fauzan.

"Saya tidak punya banyak waktu. Ini uang yang dulu bapak saya pinjam dari kalian. Silakan dihitung dulu!" Fauzan menggeser koper kecil yang tadi dibawa oleh Handi, lalu pria itu memberikan isyarat pada sopirnya untuk membuka benda tersebut.

Mataku melebar ketika melihat tumpukan uang di dalam kotak tersebut. Uang 200 juta yang sempat membuat kami miskin kini telah berada di hadapanku.

"Ini beneran untuk saya?" Dengan tangan gemetar aku menyentuh benda tersebut.

"Benar dan ini bukti pembayarannya." Fauzan kemudian nyerahkan selembar kertas berisi tanda tangannya serta pernyataan bahwa pembayaran selesai.

"Terima kasih atas kesediaan Bapak untuk membayarkan utang Pak Samsul."

"Tidak usah berterima kasih. Ini sudah kewajiban saya sebagai anaknya."

"Kalau begitu, boleh saya pulang sekarang?"

"Pulang ke mana?"

"Ke rumah Pak Majid."

"Tidak usah!"

"Lho kenapa?"

Aku mengangkat wajah, memberanikan diri menatap pria yang sedang menunduk dan mengambil sesuatu dari tas kerjanya.

"Saya sangat merasa bersalah karena perilaku Papa saya, kalian jadi terlunta-lunta. Anggap saja ini sebagai bentuk permintaan maaf saya kepada kalian."

Fauzan meletakkan sebuah map di atas koper yang sudah ditutup kembali oleh Handi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    60. Tak Terduga

    Dua hari sudah aku bersama Pak Asman di tempat ini. Lumayan terhibur dengan adanya ponsel. Aku bisa mendengarkan musik sambil menganyam. Selama ini aku keluar hanya untuk menjual jaring hasil anyamanku di kios sudut pasar dan membeli bahan. Sekarang aku harus keluar untuk mengisi paket data jika sudah habis. Mudah-mudahan saja aman. "Alhamdulillah ada lemburan, To," ucap Pak Asman setelah menerima telepon dari seseorang. "Siapa yang menelepon?" "Mandor. Katanya akan ada material datang berupa batako dan kita yang bongkar. Mayan kan." Aku menautkan alis. Setahuku dulu saat jadi pemasok batako, yang bongkar itu pekerja dari pabrik batako itu sendiri. "Kita yang bongkar? Emangnya pabrik batako itu tidak punya karyawan?" "Pasti ada lah, anggap saja ini rezeki kita." Pak Asman menepuk bahuku. "Ayi bersiap, To!" Tambah pria itu sembari bangkit dan berganti pakaian. Mau tidak mau aku pun mengikutinya meski agak malas. Semenjak berbicara dengan Mbak Tutik tempo hari dan me

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    59. Kabar Ibu

    Sempat khawatir bertemu dengan orang yang kenal, namun akhirnya aku berhasil kembali dengan ponsel yang sudah kupasang kartu baru. Pak Asman belum kembali, aku pun bergegas menyalakan ponsel yang sudah kuisi batrenya. Meski belum penuh tapi bisa digunakan. Tak sabar aku menghubungi Mbak Tutik terlebih dahulu. Ada dorongan kuat untuk mengetahui kabar Ibu. "Benar ini kamu, Pan? Kamu ganti nomor?" Di seberang sana, terdengar suara Kakak perempuanku itu penasaran. "Iya, Mbak. Sengaja aku mengganti nomor karena Mbak tahu sendiri lah keadaanku." "Sampean di mana, Pan? Keadaanmu baik-baik saja, 'kan?" Masih dengan nada khawatir, Mbak Tutik terus bertanya. Pelan-pelan aku menjelaskan tentang keadaanku sekarang. Tanpa kuminta, aku yakin Mbak Tutik akan merahasiakan ini pada orang lain. Setelah beberapa saat aku bercerita, terdengar helaan napasnya berat. "Si Aldi kayaknya marah besar, Pan. Mbak gak tahu bagaimana jadinya kalau dia tahu keberadaanmu. Saran Mbak, kamu ju

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    58. Takut Ketahuan

    Minggu berikutnya, seperti kata Pak Asman, hampir semua orang pulang. Awalnya aku berniat ikut pulang bersama Dirun ke kampunnya, itung-itung refreshing. Tetapi niat itulah kuurungkan lantaran terlalu beresiko. Merasa aman tinggal di proyek ini lantaran tidak bertemu banyak orang. "Pak Asman tak jadi pulang?" tanyaku pada pria yang sebelumnya nampak antusias bertemu keluarga. Pria dengan ciri khas sarungnya itu menggeleng tanpa bersuara. Aku pun menghentikan aktivitas menganyam setelah semua teman-teman berangkat dan tersisa kami berdua. Meraih tempat tembakau milik Pak Asman lalu mulai melinting. "Males." "Lho, kok, mau ketemu keluarga males. Apa gak kangen sama anak istri?" "Saat ini bukan lagi tentang kangen atau tidak. Tapi tentang siap atau tidak." Aku mengernyit mendengar penuturannya. Belum bisa memahami apa maksud ucapannya. "Kayak mau ketemu calon mertua aja, pake acara siap gak siap." Aku tersenyum kecil sambil membuang asap tembakau. Terdengar helaan panjang lal

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    57. Bersembunyi

    Pov Topan "Mas Toto ikut gak?" Terdengar suara Dirun bertanya pada seseorang. Sementara mataku masih fokus pada tangan yang lincah memainkan alat untuk menganyam jaring. Selain untuk menambah penghasilan, kegiatan ini pun aku lakukan untuk mengusir sepi. Saat rekan-rekanku pergi ke luar, atau main kartu menjelang tidur, aku memilih berkutat dengan benang-benang nilon ini. "Mas! Mas Toto denger, gak?" Dirun mengulangi pertanyaannya dengan suara agak keras. "Mas Toto!" Selanjutnya aku merasakan tepukan di bahu kananku, hingga aku sadar pertanyaan itu ditujukan padaku. Selama tiga bulan aku menggunakan nama Toto, masih sering saja tidak sadar kalau orang lain sedang memanggil namaku. "Oh iya, enggak, aku di sini saja. Kalian kalau mau senang-senang, pergilah!" Aku tersenyum miris karena selama tiga bulan ini belum pernah sekalipun pergi keluar komplek proyek ini. "Aku heran sama Mas Toto yang tahan diam di tempat, seperti yang gak butuh hiburan. Padahal di luar itu banyak hal i

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    56

    Tanpa pikir panjang lagi, Mas Fauzan mengambil dompet dan mengeluarkan uang merah dua lembar. Aku melirik Mbak Wulan, wanita itu sempat terbelalak melihat kartu kredit yang berjajar di dalam dompet suamiku. Aku pun menahan senyum melihat reaksinya. "Sudah lunas, ya. Kalau ketemu sama Topan nanti, tolong sampaikan salam saya padanya. Sekarang kami permisi dulu." Meski masih dalam ekspresi kaget, Mbak Wulan menerima uang itu. Setelah itu Mas Fauzan meraih tanganku lalu melangkah meninggalkan Mbak Wulan yang nampak senang menggenggam uang 200.000. "Mas, kok, mau-maunya bayarin?" "Terlepas benar atau tidak Topan punya utang sama dia, aku cuma ingin masalah cepat selesai. Gak ada gunanya berdebat sama orang seperti itu." "Ya Mas, dulu aja Mbak Wulan itu paling kepo dan suka gosip." "Makanya, mudah-mudahan kedepannya tidak bertemu lagi dengan wanita seperti itu." "Makasih ya, Mas." *** Malam ini kami sedang bersiap. Aku menggunakan gaun warna hitam full payet yang baru s

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    55. Entah di Mana

    "Mbak nggak tahu persis permasalahannya, setahu Mbak, dia diancam oleh anaknya Farida. Dengar-dengar dari orang sih, katanya Topan mengambil padi dari gudangnya Farida tanpa izin anak sambungnya. Aldi tidak terima dan hampir saja mengerahkan massa untuk mengeroyok Topan." Sekarang giliran aku yang menarik napas dalam-dalam. Sampai segitunya kehidupan Mas Topan sekarang. "Seperti itulah Topan sekarang, dia menikah dengan Farida bukannya tambah kaya, malah tambah sengsara. Kalau saja dulu dia mempertahankan rumah tangganya denganmu dan tidak tergoda wanita itu." Mbak Tutik mengusap lenganku. "Jodoh kami hanya sampai di situ, Mbak. Meskipun harus ada yang tersakiti dulu." "Mbak sedih, bahkan di hari-hari terakhir Ibu, Topan tidak bisa menemuinya." Mbak Tutik kembali menunduk. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semua yang terjadi atas kehendakNya, meskipun jalannya harus pahit dulu. Kehilangan Mas Topan bukan hal mudah bagiku. Bersyukur aku bisa melewati semua ini. Menemukan ora

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status