Masih Tentangmu
- Deandra"Hai, Dea," sapa Alita yang melewati meja kerja Deandra Senin pagi itu.Gadis itu tersenyum sekilas pada Dea. Padahal biasanya mampir sejenak untuk ngobrol atau sekedar bertanya sudah sarapan apa belum.Dea pun hanya memandang sejenak, karena Alita langsung duduk di meja kerjanya. Jika empat hari yang lalu, sebelum gadis itu mengambil cuti, perasaan Dea masih biasa. Sekarang sangat berbeda.Kalau boleh meminta, dia tidak ingin bertemu gadis itu. Namun bukankah itu terlalu kekanak-kanakan? Jika menunjukkan kalau dia kuat, butuh mengorbankan perasaan dan berusaha terlihat baik-baik saja. Apa Dea bisa?Padahal semalaman dia sudah banyak merenung. Untuk apa cemburu, untuk apa marah. Toh itu hak mereka untuk bersama. Walaupun Alita sebenarnya tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama.Namun apa haknya untuk meminta Alita menjaga perasaannya. Dia siapa? Hanya mantan yang sudah dilupakan. Sekarang hanya perlu meyakinkan diri, bahwa semua pasti bisa dilewati. Segalanya akan baik-baik saja setelah ini."Yeay, yang baru pulang kencan. Mana oleh-olehnya nih!"Terdengar seorang rekan menggoda Alita. Disambut rekan lain menimpali. Mereka terdengar tertawa lirih."Siapa sih, cowokmu? Jadi penasaran kami.""Ih, kau ini kepo. Tunggu saja undangannya. Iya kan, Lit?""Kudengar kalian dah tunangan dua bulan yang lalu. Hebat ya, rapet banget ngerahasiainnya. Sampe kami nggak ada yang tahu sama sekali.""Dari mana kalian tahu?" Baru terdengar suara Alita setelah sejak tadi hanya diam."Ada deh!""Ssttt, kembali ke meja kalian. Udah jam kerja ini," tegur seorang karyawati senior yang membuat beberapa perempuan yang mengerubuti Alita buyar ke meja masing-masing.Dea menarik napas dalam-dalam sambil menunduk. Menata hati agar tetap terjaga dan waras. Tidak seharusnya dia merasa porak-poranda. Namun hati tak bisa dibohongi.Lagi-lagi ia tidak berhak apapun atas diri Gama. Sudahlah, belajar melupakan lagi. Belajar ikhlas dan merelakan. Dia sekarang bukan siapa-siapa.Dulu Dea sudah tak lagi memikirkan tentang Gama. Pasca bercerai, ia memang sempat limbung dan frustasi. Lantas bangkit untuk memulai hidup baru. Bisa mengabaikan Gama yang jarang menyambangi putrinya. Namun setelah dua tahun ini Gama banyak berubah, rasa yang sempat tidur itu kembali bangkit lagi. Namun justru menyiksanya kali ini.Ponsel Dea berdenting.[Dea, kamu nggak apa-apa, kan? Jangan pedulikan apa yang kamu dengar.] Pesan dari Hani. Padahal meja mereka sebenarnya hanya bersebelahan. Terpisah oleh papan penyekat saja.[Aku baik-baik saja, Han.][Oke.]Selesai membaca pesan. Dea menyalakan komputernya. Sekalut apapun perasaannya, pekerjaan harus diselesaikan dengan baik. Meski orang tua bisa menopang hidupnya, tapi ia tidak boleh terus-menerus bergantung pada mereka. Setelah dewasa dia punya tanggungjawab penuh pada hidupnya sendiri. Segala kebutuhan tidak harus meminta pada orang tua.Sementara Antika mendapatkan tunjangan bulanan dari Gama. Semua keperluan gadis kecil itu sudah ter-cover uang dari papanya.Menumpuknya pekerjaan yang harus di selesaikan, berlomba dengan kalutnya pikiran. Membuat kepala Dea pusing. Namun pekerjaan harus tetap selesai hari ini. Membuat laporan keuangan butuh ketelitian dan konsentrasi. Karena akhir tahun nanti, produk baru akan diluncurkan. Pendanaan harus diatur secara spesifik.Dea melirik ponselnya yang kembali berdenting. Ada pesan masuk dari mamanya. Segera dibukanya aplikasi pesan. Sebab sang mama jarang sekali menghubunginya di jam kerja begini kalau bukan karena hal penting.[Mama baru pulang menjemput Antika dari sekolah. Tadi wali kelasnya ngabari kalau Antik demam. Akhirnya mama menjemputnya di sekolah. Tapi kamu nggak usah khawatir. Pulang sekolah langsung mama suruh makan, minum obat, dan sekarang tidur di kamar. Panasnya sudah turun.][Panasnya berapa, Ma?] Dea cemas. Dia paling khawatir kalau putrinya sakit.[Sekarang sudah turun, 37°C. Tadi 38,5°C. Kamu nggak usah khawatir. Mama hanya ngasih tahu kamu saja. Nanti sore kalau kondisinya belum membaik, kita bawa ke dokter. Ya udah, hati-hati kalau kerja.][Ya,]Meski dengan perasaan bercabang, Dea kembali melanjutkan pekerjaannya. Sejak masih bayi, Antik kalau sakit hanya diam saja tidak pernah rewel.Dea kembali fokus pada pekerjaan. Mengesampingkan carut marutnya rasa terluka, cemburu, dan cinta yang amat menyiksa."Dea, waktunya istirahat. Yuk, makan siang dulu!" ajak Hani setelah tiba jam makan siang.Saking asyiknya dengan perasaan yang campur aduk, Dea tidak menyadari kalau sudah waktunya istirahat. "Bentar, Han." Dea sibuk menyimpan data dan mematikan komputer."Hai, yuk kita makan!" Alita muncul di antara mereka. Dea memandangnya. Rasa sakit kembali mencabik. Dia sadar, seharusnya tidak perlu ada perasaan seperti itu. Bersikap tenang, elegan. Tapi apa semudah itu. Butuh waktu. Yang terasa sekarang hanya perih.Dea bangkit dari duduknya dan mereka melangkah bertiga dalam diam. Sesekali masih terdengar godaan yang ditujukan pada Alita dari beberapa rekan. Kabar tentang Alita dan kekasih barunya begitu cepat menyebar. Namun yang tidak begitu dekat dengan gadis itu, hanya memandang dan mendengarkan. Justru mereka menyapa Dea. Perempuan periang yang kini hanya menunduk diam.Ingin rasanya untuk sementara ini Dea tidak bergabung dengan Alita. Dia belum bisa. Dia masih butuh waktu untuk menetralisir perasaan karena terkejut dengan kenyataan yang baru ia ketahui. Tapi itu hanya akan menampakkan betapa rapuhnya dia."Dikit banget makanmu, Dea?" seloroh Alita yang duduk bergabung dengan Dea dan Hani.Dea hanya tersenyum tanpa memandang wanita di hadapannya.Alita heran. Kenapa Dea berubah hari ini. Sedangkan hari Kamis kemarin gadis itu masih bercanda dengan dirinya. Apa sekarang Dea sudah tahu hubungannya dengan Gama? Lalu siapa yang memberitahu? Padahal teman-teman yang menggodanya tadi juga tidak ada yang tahu siapa kekasihnya.Jika benar Dea tahu, lalu kenapa harus marah dengannya? Bukankah antara Gama dan Dea sudah tidak ada hubungan apa-apa. Toh Gama juga enjoy dengan dirinya.Gadis itu memandang rekan kerja yang berhadapan dengannya. Sekarang atau pun nanti, pada akhirnya Dea juga akan tahu hubungannya dengan Gama.Mereka bertiga makan dalam diam. Suara dering ponsel Dea membuat Hani dan Alita memandang ke arah wanita dengan pakaian kantoran warna putih dengan kombinasi hitam pada blouse-nya."Assalamu'alaikum, Ma. Bagaimana keadaan Antik?"Hani dan Alita mendengarkan Dea bicara di telepon."Oh, Alhamdulillah, kalau dia sudah kembali ceria. Aku akan langsung pulang nanti, Ma. Sepertinya hari ini aku memang nggak ada lembur."Dea kembali melanjutkan makannya setelah mengakhiri percakapan. Hani yang penasaran langsung bertanya. "Ada apa, Dea?""Nggak apa-apa. Antik panas tadi, tapi alhamdulilah sudah sembuh sekarang.""Syukurlah!""Sakit apa?" tanya Alita."Panas. Sekarang sudah sembuh.""Oh," jawab gadis itu singkat. Apa mungkin Dea diam karena anaknya sakit? Apa Gama sudah tahu kalau Antika sakit?Siang itu kebersamaan mereka terasa berbeda. Biasanya berbincang penuh keakraban, tapi sekarang terasa asing. Dea tidak bisa membohongi diri sendiri, ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan kenyataan yang kini dihadapi."Aku dengar kamu udah tunangan, Lit?" Mendadak Hani bertanya yang membuat Alita terkejut. Gadis itu memandang kedua rekannya bergantian."Iya, dua bulan yang lalu," jawab Alita."Kenapa kami nggak tahu. Kamu juga menyimpan kabar bahagia ini dari kami. Justru rekan-rekan yang lain lebih tahu, sedangkan kami yang sering bersamamu malah belum tahu sama sekali" tanya Hani senatural mungkin. Seolah belum tahu dan curiga apa-apa.Alita tersenyum. "Maaf, sebenarnya aku memang nggak ngasih tahu ke siapa-siapa. Aku juga nggak tahu mereka tahu dari mana. Nanti saja kalau nikahan aku kabari kalian.""Oh, gitu ya," ujar Hani dengan tatapan menyelidik. Alita sebenarnya sangat terasa dengan tatapan itu. Namun bukan Alita jika tidak bisa bersikap bodo amat. Datang ke Kafe Kasturi dengan santainya saja dia bisa, apalagi ini hanya sekedar tatapan Hani yang tak berarti apa-apa.Sedangkan Dea masih diam menikmati makanan di piringnya. Dia tidak bisa berpura-pura untuk bertanya, siapa lelaki yang telah melamar Alita.Makan siang berlalu tanpa canda seperti biasanya. Alita menduga diamnya Dea karena tengah memikirkan anaknya yang sakit. Namun terbesit juga dugaan bahwa Dea mungkin sudah tahu kalau dirinya ada hubungan dengan Gama.***L***Langkah Dea tercekat di tangga teras sebuah rumah makan. Terlihat jelas di dalam sana ada Alita yang tengah asyik menikmati makan malam dengan Gama.Walaupun dalam seminggu sudah mendengar kabar itu, tapi malam ini dia melihat dengan mata kepala sendiri. Mereka duduk berhadapan menikmati hidangan.Terasa bagaikan kembali tumbang ke dasar jurang. Jatuh oleh perasaannya sendiri. Dea berbalik. Mengurungkan niatnya untuk membeli titipan dari sang mama. Gurame bakar.Dea kembali masuk ke dalam mobil. Terdiam beberapa saat untuk menenangkan perasaannya. Lantas meluncur pergi mencari restoran lain yang menyediakan gurame bakar. Walaupun sampai rumah mamanya pasti protes, karena gurame favoritnya bukan dari restoran langganan.Pantas saja Gama tidak mengabari hendak mengambil Antika. Rupanya ada kencan dengan Alita.Waktu Antika sempat sakit panas selama tiga hari, Gama juga tidak datang atau menanyakan lewat telepon. Apa Alita tidak memberitahunya?Untuk apa memberitahu? Tidak ada hubungannya kan? Atau sebenarnya diberitahu tapi Gama tidak punya waktu untuk datang atau bertanya kabar. Sedangkan Dea sendiri juga tidak mengabari Gama.Bukan masalah sebenarnya. Toh Dea sudah terbiasa mengurus Antika sendiri semenjak berpisah dengan Gama. Dia hanya sekedar ingin tahu, Alita cerita apa tidak pada Gama. Sebenarnya Dea tidak sendirian mengurus putrinya. Sebab kedua orang tua juga turut merawat sang cucu. Pak Dedi telah purna tugas dua tahun yang lalu sebagai seorang dosen. Sementara Bu Wetty masih mengajar di kampus meski jadwalnya tidak sepadat dulu.Dea langsung pulang ke rumah setelah mendapatkan gurame bakar. Mereka makan malam hanya bertiga. Mbak Sri tadi siang izin pulang dan besok pagi baru kembali.Sedangkan Rizal, satu-satunya kakak lelaki Dea yang sudah berumah tangga dan tinggal terpisah, sudah seharian tadi di rumah papanya. Malam ini mengajak keluarganya ke Solo untuk berkunjung ke rumah mertuanya dan Antika diajak juga."Dea, ponselmu bunyi itu. Siapa tahu kakakmu yang nelepon," ujar Bu Wetty memberitahu putrinya saat mendengar dering ponsel Dea yang ada di meja ruang keluarga.Dea yang sudah selesai makan bangkit dari duduknya dan bergegas meraih benda pipih itu. Rupanya Gama yang menelepon."Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. De, sejam lagi aku mau jemput Antik.""Antik nggak ada di rumah, Mas. Dia ikut Mas Rizal ke Solo," jawab Dea."Kapan?""Asar tadi berangkat.""Sebenarnya aku mau ngajak Antik nginap di rumah kakeknya. Kebetulan sepupunya pada menginap di sana malam ini. Keluarga Mas Damar datang dari Jakarta sore tadi. Kapan Antik pulang?""Besok.""Kalau besok sampai rumah, kabari aku ya. Nanti kujemput."Ya.""Sekalian sama kamu. Mbak Astrid ingin bertemu sama kamu.""Mas jemput Antika saja. Sampaikan salamku buat Mbak Astrid. Maaf, aku nggak bisa ikut.""Kenapa?""Nggak apa-apa. Tapi aku nggak akan ngabari kalau Antik sampai rumah sudah malam. Udah ya, Mas. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Tidak ada niat memutuskan silaturahmi. Sementara ini memang lebih baik menjaga jarak, sampai ia siap berhadapan lagi dengan mereka. Sebaik apapun hubungannya dengan istri dari kakaknya Gama, tapi sebentar lagi akan hadir ipar baru. Dan itu teman Dea sendiri. Dia butuh waktu menyesuaikan kondisi hatinya, sampai kembali mampu bersikap seperti biasanya.***L***"Ma, aku mau takziah," pamit Dea di Minggu siang pada sang mama yang tengah duduk menonton acara TV."Innalilahi wa innailaihi rojiun. Siapa yang meninggal?""Manajerku, Ma. Barusan aku dikabari sama Hani.""Kamu pergi bareng Hani?""Iya.""Ya sudah, hati-hati."Dea mengangguk lantas bergegas pergi untuk menjemput Hani lebih dulu.Lalu lintas mulai padat dengan aktivitas kendaraan yang hendak membawa keluarga menghabiskan akhir pekan di luar.Mobil yang dikendarai Dea berhenti di depan sebuah sebuah rumah yang sudah ramai oleh para pelayat. Tampak ada beberapa rekan kantor yang sudah sampai di sana.Setelah membenahi jilbabnya, Dea turun bersamaan dengan Hani. Kemudian memasuki halaman rumah duka dan menyampaikan ucapan bela sungkawa pada keluarga atasanya. Lantas mereka bergabung duduk di tenda bersama rekan-rekan yang lain."Dea, itu mobilnya Gama, kan?" Hani memandang ke arah mobil hitam yang baru saja berhenti di luar pagar."Iya" jawab Dea kemudian mengalihkan perhatian ke arah lain. Hani masih memperhatikan hingga Alita turun dari mobil.Next ....Selamat membaca.MASIH TENTANGMU - Dua Perempuan "Dea, ternyata Alita sendirian. Cuman yang dipake mobilnya Gama," bisik Hani di telinga Dea.Dea hanya mengangguk tanpa kembali memandang ke arah Alita yang melangkah masuk pintu pagar. Gadis itu tampaknya juga tidak menyadari keberadaan Dea dan Hana yang berbaur dengan para pelayat yang berpakaian serba hitam, duduk di tenda depan rumah sebelah barat. Apalagi Dea dan Hani kali ini memakai jilbab. Sedangkan Alita mengenakan selendang panjang yang dikalungkan pada lehernya. Namun mereka sama-sama memakai kacamata hitam.Hampir semua karyawan yang datang meneteskan air mata. Mereka teringat sosok manager yang humble dan sangat perhatian pada karyawan. Lelaki berwajah oriental itu tiada dalam usia lima puluh lima tahun. Setelah sakit beberapa lama.Setelah mengucapkan bela sungkawa pada keluarga almarhum, Alita duduk bergabung dengan rekannya yang berada di sebelah timur rumah. Namun pada akhirnya ia melihat Dea dan Hani yang duduk di bawah tenda. Gadis
Alita tersenyum. Senyuman yang terlihat sinis bagi Hani. "Jadi, aku harus minta izin sama Dea. Gitu?"Hani menahan rasa yang nyaris meledak dalam dadanya. Perempuan di sampingnya ini memang tidak tahu bagaimana menjaga perasaan orang lain. Ingin rasanya mencakar dan mencabik-cabik wajah yang tak menunjukkan empati sama sekali."Setidaknya kamu bisa menjaga perasaan orang lain. Apalagi kamu tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama."Lagi-lagi Alita tersenyum sambil membuang pandang. "Tapi Gama sudah nggak ada perasaan lagi pada Dea. Gama hanya menganggap Dea sebagai ibu dari anaknya. Itu saja. Kalau dia sudah nggak mau kenapa Dea masih berharap. Salah siapa kalau begini? Bucin sendiri."Hani benar-benar harus mengontrol emosi. Wanita di depannya ini laiknya srigala berbulu domba. Padahal selama ini terlihat begitu manis dan lembut di depan Dea. "Kamu bisa ya ngomong seperti ini? Pada teman yang hampir setiap hari duduk makan bersamamu. Jalan dan curhat bersama. Jadi sikapmu yang terlihat
MASIH TENTANGMU - Move On, Dea"Antik sudah pulang apa belum?" tanya Gama memandang ke arah Dea."Aku belum tahu. Sejak pagi aku takziah. Mungkin malam nanti, Antik baru di antar oleh Mas Rizal. Maaf, Mas. Aku pulang dulu.""Tunggu!" tahan Gama saat Dea hendak melangkah."Bisa kita bicara sebentar."Apa yang hendak dibicarakan oleh Gama? Apa akan memberitahu tentang hubungannya dengan Alita? Degup jantung Dea terasa nyeri."Bicara apa?""Aku dan Alita ....""Aku sudah tahu," sahut Dea cepat sambil bersitatap dengan Gama. Lantas lebih dulu mengalihkan perhatian pada tempat lain."Apa yang kamu tahu?""Kalian sudah bertunangan dan akan menikah." Oh, rasanya sangat sakit mengatakannya.Hening. Yang terdengar hanya gemerisik dedaunan yang bergesekan karena tertiup angin. Sebenarnya Gama tidak ingin membicarakan hal itu. Tapi Dea pasti melihat mobilnya yang dipakai oleh Alita tadi. Gama menghela nafas panjang sambil memandang nisan kecil, di mana anak pertamanya telah tenang di sana. Te
Namun setelah Gama menikah dengan Alita, masih bisakah ia memperhatikan Antik seperti sekarang ini. Atau berubah lagi tidak peduli.Ini sudah malam. Kenapa Gama nekat datang?Dea ikut bangun dan menghampiri Mbak Sri. "Temani Antik turun, Mbak. Saya mau istirahat. Kepala saya agak pusing.""Njih, Mbak Dea. Ayo, Mbak Antik.""Yeay, Mbak Sri lupa ya. Mesti memanggilku apa?"Mbak Sri terkekeh. Wanita bertubuh subur itu mencubit gemas pipi majikan kecilnya. "Ya, Nona Antik."Antika tersenyum lebar. Dia ingin dipanggil seperti princess di film kartun kesukaannya. Kemudian memandang ke arah sang mama. "Mama, nggak ikut?""Nggak, Sayang.""Tapi ada Mbak Astrid juga, Mbak," kata Mbak Sri baru ingat. Ah, dia jadi pelupa sekarang. "Mbak Astrid ingin bertemu Mbak Dea tadi."Dea diam sesaat. Enggan rasanya turun dan bertemu mereka untuk saat ini. Tapi sudah didatangi, masa iya tidak ditemui. Dea bergerak ke meja riasnya. Mengambil jepit rambut dan mengikat asal saja rambut panjangnya.Akhirnya men
MASIH TENTANGMU - Cemburu Dea meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh di hadapannya. Bukan panggilan masuk, tapi sebuah pesan dari mamanya.[Dea, nanti sepulang kerja kamu mampir ke rumah sakit. Sita mau melahirkan. Sekarang baru bukaan lima, tapi tadi mama dikabari oleh budhemu kalau akan dilakukan tindakan SC.]Sita ini sepupunya Dea. Anak dari satu-satunya kakak perempuan sang mama. Dea segera mengetik pesan balasan. [Oke, Ma.]"Ada apa?" tanya Hani."Sepupuku mau lahiran. Mama memintaku mampir ke rumah sakit sepulang kerja nanti."Setelah Dea selesai membalas pesan, Hani mengajak sahabatnya itu kembali ke kantor. Di lobi mereka berpapasan dengan Alita yang hendak masuk ruangan juga. Sengaja Dea memperlambat jalan supaya Alita lebih dulu melangkah. Beberapa rekan heran melihat kerenggangan mereka. Namun sudah ada beberapa orang yang tahu duduk permasalahan. Namun mereka hanya berbisik sesama rekan, tidak ada yang menanyakan langsung pada Dea atau pun pada Hani. Yang tampak ken
"Mas, mau makan apa?" tanya Alita sambil memandang Gama yang duduk dan fokus pada ponselnya semenjak mereka datang tadi.Malam itu mereka makan malam di Restoran Wijaya Kusuma milik Bu Ariana. Mengambil tempat duduk paling tepi, agar bisa leluasa untuk ngobrol.Alita yang punya ide makan di sana biar sekalian bisa bertemu dan bicara dengan ibu kedua bagi Gama. Melihat Gama yang banyak berubah akhir-akhir ini membuat Alita khawatir. Tentunya ia tidak ingin malu jika gagal lagi. Apalagi Gama termasuk pria paket komplit. Kaya dan keturunan bangsawan.Saga dan Melati juga sudah tahu kalau ia bertunangan dengan Gama. Kalau gagal, mau ditaruh mana mukanya.Sejauh ini Gama juga belum tahu tentang masa lalunya. Jika pada akhirnya terbongkar, tak masalah. Yang penting mereka telah menikah."Mas," panggil Alita lagi karena Gama masih diam."Aku pesan nasi goreng saja," jawab Gama tanpa mengalihkan perhatian pada benda pipih di tangannya.Alita yang kesal langsung berdiri dan melangkah ke belaka
MASIH TENTANGMU - Keresahan Gama "Makan dulu, Mas." Alita meletakkan nampan di hadapan Gama.Ada dua porsi nasi goreng dan dua gelas es teh manis. Karena lapar, Gama langsung melahapnya hingga tandas. "Minggu ini, papaku minta kita ke Surabaya, Mas.""Aku belum bisa kalau Minggu ini, aku masih ada urusan ke Jakarta.""Terus kapan?""Nanti kukasih tahu."Alita melanjutkan makan tanpa berselera. Sikap dingin Gama makin terasa. Memang awalnya dia hanya ingin mendapatkan Gama karena gagal dengan Saga. Namun jika kali ini gagal, musibah juga baginya. Apalagi keluarga besarnya sudah tahu kalau ia akan menikah dengan pria kaya keturunan ningrat. Teman-teman di grup alumni juga sudah pada tahu. Alita sendiri yang mengabari mereka kalau sudah bertunangan.Jujur saja, Gama juga bukan lelaki yang buruk. Meski sikap dinginnya tidak ketulungan. Namun di waktu tertentu, enak juga diajak bercanda dan bicara. Cukup menyenangkan. Dan momen seperti itu sungguh spesial dan ia rindukan. Momen langka b
Setelah pertengkaran malam itu, sebulan kemudian Dea dan Antika pulang. Hubungan jarak jauh yang dingin. Hingga suatu hari, Dea memutuskan untuk bercerai.Gama yang egois tidak mau merendahkan diri dan memohon agar Dea mau bertahan dengannya. Dea masih berharap kalau Gama akan berjuang untuk rumah tangga mereka, nyatanya Gama diam dengan sikap keras kepalanya.Dea yang masih cinta, lebih mempertahankan harga diri daripada merayu pada lelaki yang tak lagi peduli. Mengorbankan perasaan meski sangat tersiksa.Hubungan mereka berjarak. Gama yang kecewa enggan membangun komunikasi, selain tetap memenuhi tanggungjawab memberikan nafkah pada putrinya.Pada akhirnya Gama yang stres dan kalut, memutuskan pulang ke Indonesia. Bertemu pula dengan Saga yang membuatnya tambah cemburu karena perhatian beberapa orang terdekatnya beralih pada putra buleknya itu.Ancamannya yang ingin menggoda Melati hanya ancaman belaka. Mana pernah dia mendekati perempuan kecintaan Saga itu. Selain usil dengan membu