Share

Part 3 Deandra

Masih Tentangmu

- Deandra

"Hai, Dea," sapa Alita yang melewati meja kerja Deandra Senin pagi itu.

Gadis itu tersenyum sekilas pada Dea. Padahal biasanya mampir sejenak untuk ngobrol atau sekedar bertanya sudah sarapan apa belum.

Dea pun hanya memandang sejenak, karena Alita langsung duduk di meja kerjanya. Jika empat hari yang lalu, sebelum gadis itu mengambil cuti, perasaan Dea masih biasa. Sekarang sangat berbeda.

Kalau boleh meminta, dia tidak ingin bertemu gadis itu. Namun bukankah itu terlalu kekanak-kanakan? Jika menunjukkan kalau dia kuat, butuh mengorbankan perasaan dan berusaha terlihat baik-baik saja. Apa Dea bisa?

Padahal semalaman dia sudah banyak merenung. Untuk apa cemburu, untuk apa marah. Toh itu hak mereka untuk bersama. Walaupun Alita sebenarnya tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama.

Namun apa haknya untuk meminta Alita menjaga perasaannya. Dia siapa? Hanya mantan yang sudah dilupakan. Sekarang hanya perlu meyakinkan diri, bahwa semua pasti bisa dilewati. Segalanya akan baik-baik saja setelah ini.

"Yeay, yang baru pulang kencan. Mana oleh-olehnya nih!"

Terdengar seorang rekan menggoda Alita. Disambut rekan lain menimpali. Mereka terdengar tertawa lirih.

"Siapa sih, cowokmu? Jadi penasaran kami."

"Ih, kau ini kepo. Tunggu saja undangannya. Iya kan, Lit?"

"Kudengar kalian dah tunangan dua bulan yang lalu. Hebat ya, rapet banget ngerahasiainnya. Sampe kami nggak ada yang tahu sama sekali."

"Dari mana kalian tahu?" Baru terdengar suara Alita setelah sejak tadi hanya diam.

"Ada deh!"

"Ssttt, kembali ke meja kalian. Udah jam kerja ini," tegur seorang karyawati senior yang membuat beberapa perempuan yang mengerubuti Alita buyar ke meja masing-masing.

Dea menarik napas dalam-dalam sambil menunduk. Menata hati agar tetap terjaga dan waras. Tidak seharusnya dia merasa porak-poranda. Namun hati tak bisa dibohongi.

Lagi-lagi ia tidak berhak apapun atas diri Gama. Sudahlah, belajar melupakan lagi. Belajar ikhlas dan merelakan. Dia sekarang bukan siapa-siapa.

Dulu Dea sudah tak lagi memikirkan tentang Gama. Pasca bercerai, ia memang sempat limbung dan frustasi. Lantas bangkit untuk memulai hidup baru. Bisa mengabaikan Gama yang jarang menyambangi putrinya. Namun setelah dua tahun ini Gama banyak berubah, rasa yang sempat tidur itu kembali bangkit lagi. Namun justru menyiksanya kali ini.

Ponsel Dea berdenting.

[Dea, kamu nggak apa-apa, kan? Jangan pedulikan apa yang kamu dengar.] Pesan dari Hani. Padahal meja mereka sebenarnya hanya bersebelahan. Terpisah oleh papan penyekat saja.

[Aku baik-baik saja, Han.]

[Oke.]

Selesai membaca pesan. Dea menyalakan komputernya. Sekalut apapun perasaannya, pekerjaan harus diselesaikan dengan baik. Meski orang tua bisa menopang hidupnya, tapi ia tidak boleh terus-menerus bergantung pada mereka. Setelah dewasa dia punya tanggungjawab penuh pada hidupnya sendiri. Segala kebutuhan tidak harus meminta pada orang tua.

Sementara Antika mendapatkan tunjangan bulanan dari Gama. Semua keperluan gadis kecil itu sudah ter-cover uang dari papanya.

Menumpuknya pekerjaan yang harus di selesaikan, berlomba dengan kalutnya pikiran. Membuat kepala Dea pusing. Namun pekerjaan harus tetap selesai hari ini. Membuat laporan keuangan butuh ketelitian dan konsentrasi. Karena akhir tahun nanti, produk baru akan diluncurkan. Pendanaan harus diatur secara spesifik.

Dea melirik ponselnya yang kembali berdenting. Ada pesan masuk dari mamanya. Segera dibukanya aplikasi pesan. Sebab sang mama jarang sekali menghubunginya di jam kerja begini kalau bukan karena hal penting.

[Mama baru pulang menjemput Antika dari sekolah. Tadi wali kelasnya ngabari kalau Antik demam. Akhirnya mama menjemputnya di sekolah. Tapi kamu nggak usah khawatir. Pulang sekolah langsung mama suruh makan, minum obat, dan sekarang tidur di kamar. Panasnya sudah turun.]

[Panasnya berapa, Ma?] Dea cemas. Dia paling khawatir kalau putrinya sakit.

[Sekarang sudah turun, 37°C. Tadi 38,5°C. Kamu nggak usah khawatir. Mama hanya ngasih tahu kamu saja. Nanti sore kalau kondisinya belum membaik, kita bawa ke dokter. Ya udah, hati-hati kalau kerja.]

[Ya,]

Meski dengan perasaan bercabang, Dea kembali melanjutkan pekerjaannya. Sejak masih bayi, Antik kalau sakit hanya diam saja tidak pernah rewel.

Dea kembali fokus pada pekerjaan. Mengesampingkan carut marutnya rasa terluka, cemburu, dan cinta yang amat menyiksa.

"Dea, waktunya istirahat. Yuk, makan siang dulu!" ajak Hani setelah tiba jam makan siang.

Saking asyiknya dengan perasaan yang campur aduk, Dea tidak menyadari kalau sudah waktunya istirahat. "Bentar, Han." Dea sibuk menyimpan data dan mematikan komputer.

"Hai, yuk kita makan!" Alita muncul di antara mereka. Dea memandangnya. Rasa sakit kembali mencabik. Dia sadar, seharusnya tidak perlu ada perasaan seperti itu. Bersikap tenang, elegan. Tapi apa semudah itu. Butuh waktu. Yang terasa sekarang hanya perih.

Dea bangkit dari duduknya dan mereka melangkah bertiga dalam diam. Sesekali masih terdengar godaan yang ditujukan pada Alita dari beberapa rekan. Kabar tentang Alita dan kekasih barunya begitu cepat menyebar. Namun yang tidak begitu dekat dengan gadis itu, hanya memandang dan mendengarkan. Justru mereka menyapa Dea. Perempuan periang yang kini hanya menunduk diam.

Ingin rasanya untuk sementara ini Dea tidak bergabung dengan Alita. Dia belum bisa. Dia masih butuh waktu untuk menetralisir perasaan karena terkejut dengan kenyataan yang baru ia ketahui. Tapi itu hanya akan menampakkan betapa rapuhnya dia.

"Dikit banget makanmu, Dea?" seloroh Alita yang duduk bergabung dengan Dea dan Hani.

Dea hanya tersenyum tanpa memandang wanita di hadapannya.

Alita heran. Kenapa Dea berubah hari ini. Sedangkan hari Kamis kemarin gadis itu masih bercanda dengan dirinya. Apa sekarang Dea sudah tahu hubungannya dengan Gama? Lalu siapa yang memberitahu? Padahal teman-teman yang menggodanya tadi juga tidak ada yang tahu siapa kekasihnya.

Jika benar Dea tahu, lalu kenapa harus marah dengannya? Bukankah antara Gama dan Dea sudah tidak ada hubungan apa-apa. Toh Gama juga enjoy dengan dirinya.

Gadis itu memandang rekan kerja yang berhadapan dengannya. Sekarang atau pun nanti, pada akhirnya Dea juga akan tahu hubungannya dengan Gama.

Mereka bertiga makan dalam diam. Suara dering ponsel Dea membuat Hani dan Alita memandang ke arah wanita dengan pakaian kantoran warna putih dengan kombinasi hitam pada blouse-nya.

"Assalamu'alaikum, Ma. Bagaimana keadaan Antik?"

Hani dan Alita mendengarkan Dea bicara di telepon.

"Oh, Alhamdulillah, kalau dia sudah kembali ceria. Aku akan langsung pulang nanti, Ma. Sepertinya hari ini aku memang nggak ada lembur."

Dea kembali melanjutkan makannya setelah mengakhiri percakapan. Hani yang penasaran langsung bertanya. "Ada apa, Dea?"

"Nggak apa-apa. Antik panas tadi, tapi alhamdulilah sudah sembuh sekarang."

"Syukurlah!"

"Sakit apa?" tanya Alita.

"Panas. Sekarang sudah sembuh."

"Oh," jawab gadis itu singkat. Apa mungkin Dea diam karena anaknya sakit? Apa Gama sudah tahu kalau Antika sakit?

Siang itu kebersamaan mereka terasa berbeda. Biasanya berbincang penuh keakraban, tapi sekarang terasa asing. Dea tidak bisa membohongi diri sendiri, ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan kenyataan yang kini dihadapi.

"Aku dengar kamu udah tunangan, Lit?" Mendadak Hani bertanya yang membuat Alita terkejut. Gadis itu memandang kedua rekannya bergantian.

"Iya, dua bulan yang lalu," jawab Alita.

"Kenapa kami nggak tahu. Kamu juga menyimpan kabar bahagia ini dari kami. Justru rekan-rekan yang lain lebih tahu, sedangkan kami yang sering bersamamu malah belum tahu sama sekali" tanya Hani senatural mungkin. Seolah belum tahu dan curiga apa-apa.

Alita tersenyum. "Maaf, sebenarnya aku memang nggak ngasih tahu ke siapa-siapa. Aku juga nggak tahu mereka tahu dari mana. Nanti saja kalau nikahan aku kabari kalian."

"Oh, gitu ya," ujar Hani dengan tatapan menyelidik. Alita sebenarnya sangat terasa dengan tatapan itu. Namun bukan Alita jika tidak bisa bersikap bodo amat. Datang ke Kafe Kasturi dengan santainya saja dia bisa, apalagi ini hanya sekedar tatapan Hani yang tak berarti apa-apa.

Sedangkan Dea masih diam menikmati makanan di piringnya. Dia tidak bisa berpura-pura untuk bertanya, siapa lelaki yang telah melamar Alita.

Makan siang berlalu tanpa canda seperti biasanya. Alita menduga diamnya Dea karena tengah memikirkan anaknya yang sakit. Namun terbesit juga dugaan bahwa Dea mungkin sudah tahu kalau dirinya ada hubungan dengan Gama.

***L***

Langkah Dea tercekat di tangga teras sebuah rumah makan. Terlihat jelas di dalam sana ada Alita yang tengah asyik menikmati makan malam dengan Gama.

Walaupun dalam seminggu sudah mendengar kabar itu, tapi malam ini dia melihat dengan mata kepala sendiri. Mereka duduk berhadapan menikmati hidangan.

Terasa bagaikan kembali tumbang ke dasar jurang. Jatuh oleh perasaannya sendiri. Dea berbalik. Mengurungkan niatnya untuk membeli titipan dari sang mama. Gurame bakar.

Dea kembali masuk ke dalam mobil. Terdiam beberapa saat untuk menenangkan perasaannya. Lantas meluncur pergi mencari restoran lain yang menyediakan gurame bakar. Walaupun sampai rumah mamanya pasti protes, karena gurame favoritnya bukan dari restoran langganan.

Pantas saja Gama tidak mengabari hendak mengambil Antika. Rupanya ada kencan dengan Alita.

Waktu Antika sempat sakit panas selama tiga hari, Gama juga tidak datang atau menanyakan lewat telepon. Apa Alita tidak memberitahunya?

Untuk apa memberitahu? Tidak ada hubungannya kan? Atau sebenarnya diberitahu tapi Gama tidak punya waktu untuk datang atau bertanya kabar. Sedangkan Dea sendiri juga tidak mengabari Gama.

Bukan masalah sebenarnya. Toh Dea sudah terbiasa mengurus Antika sendiri semenjak berpisah dengan Gama. Dia hanya sekedar ingin tahu, Alita cerita apa tidak pada Gama. Sebenarnya Dea tidak sendirian mengurus putrinya. Sebab kedua orang tua juga turut merawat sang cucu. Pak Dedi telah purna tugas dua tahun yang lalu sebagai seorang dosen. Sementara Bu Wetty masih mengajar di kampus meski jadwalnya tidak sepadat dulu.

Dea langsung pulang ke rumah setelah mendapatkan gurame bakar. Mereka makan malam hanya bertiga. Mbak Sri tadi siang izin pulang dan besok pagi baru kembali.

Sedangkan Rizal, satu-satunya kakak lelaki Dea yang sudah berumah tangga dan tinggal terpisah, sudah seharian tadi di rumah papanya. Malam ini mengajak keluarganya ke Solo untuk berkunjung ke rumah mertuanya dan Antika diajak juga.

"Dea, ponselmu bunyi itu. Siapa tahu kakakmu yang nelepon," ujar Bu Wetty memberitahu putrinya saat mendengar dering ponsel Dea yang ada di meja ruang keluarga.

Dea yang sudah selesai makan bangkit dari duduknya dan bergegas meraih benda pipih itu. Rupanya Gama yang menelepon.

"Halo, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. De, sejam lagi aku mau jemput Antik."

"Antik nggak ada di rumah, Mas. Dia ikut Mas Rizal ke Solo," jawab Dea.

"Kapan?"

"Asar tadi berangkat."

"Sebenarnya aku mau ngajak Antik nginap di rumah kakeknya. Kebetulan sepupunya pada menginap di sana malam ini. Keluarga Mas Damar datang dari Jakarta sore tadi. Kapan Antik pulang?"

"Besok."

"Kalau besok sampai rumah, kabari aku ya. Nanti kujemput.

"Ya."

"Sekalian sama kamu. Mbak Astrid ingin bertemu sama kamu."

"Mas jemput Antika saja. Sampaikan salamku buat Mbak Astrid. Maaf, aku nggak bisa ikut."

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Tapi aku nggak akan ngabari kalau Antik sampai rumah sudah malam. Udah ya, Mas. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Tidak ada niat memutuskan silaturahmi. Sementara ini memang lebih baik menjaga jarak, sampai ia siap berhadapan lagi dengan mereka. Sebaik apapun hubungannya dengan istri dari kakaknya Gama, tapi sebentar lagi akan hadir ipar baru. Dan itu teman Dea sendiri. Dia butuh waktu menyesuaikan kondisi hatinya, sampai kembali mampu bersikap seperti biasanya.

***L***

"Ma, aku mau takziah," pamit Dea di Minggu siang pada sang mama yang tengah duduk menonton acara TV.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Siapa yang meninggal?"

"Manajerku, Ma. Barusan aku dikabari sama Hani."

"Kamu pergi bareng Hani?"

"Iya."

"Ya sudah, hati-hati."

Dea mengangguk lantas bergegas pergi untuk menjemput Hani lebih dulu.

Lalu lintas mulai padat dengan aktivitas kendaraan yang hendak membawa keluarga menghabiskan akhir pekan di luar.

Mobil yang dikendarai Dea berhenti di depan sebuah sebuah rumah yang sudah ramai oleh para pelayat. Tampak ada beberapa rekan kantor yang sudah sampai di sana.

Setelah membenahi jilbabnya, Dea turun bersamaan dengan Hani. Kemudian memasuki halaman rumah duka dan menyampaikan ucapan bela sungkawa pada keluarga atasanya. Lantas mereka bergabung duduk di tenda bersama rekan-rekan yang lain.

"Dea, itu mobilnya Gama, kan?" Hani memandang ke arah mobil hitam yang baru saja berhenti di luar pagar.

"Iya" jawab Dea kemudian mengalihkan perhatian ke arah lain. Hani masih memperhatikan hingga Alita turun dari mobil.

Next ....

Selamat membaca.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
for you
bisa bikin dea mati karna menyimpan rasa sama mamtan ga sih ,kok lama lama liat karakter dea memuak kan
goodnovel comment avatar
Nuniee
Ternyata Dea msh menyimpan rasa buat mantan...tpi eehh Emang boleh yaa tunangan ma temen curhat huftt ,,masalahnya Alita sengaja juga sihhh
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
aaah alita... wanita tp g puny kpekaan wanita n yg past g kenal adab... gama.. podo wae.... walo mantan, krn ada ank... y ngasih tahu kalo mo kadih ank ibu sambung...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status