Share

BAB 2

Baya memutuskan hubungan kami dua hari sebelum hari raya idul fitri. Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta di hari ketiga lebaran. Selain memang aku harus masuk kantor untuk keperluan magang, aku juga sudah tidak tahan berada di kampung halamanku. Setiap sudut tempat selalu ada kenangan yang menghantui.

“Fit, lu mau makan apa? Biar gue beliin.”

            “Nggak tau.” jawabku sambil menggeleng lemah.

            Ria berpikir sejenak. “Mau mie ayam?”

            Aku menggeleng.

            “Bakso mau? Atau mau nasi padang?” Ria masih sibuk menawarkan.

            “Nggak selera, Ri.” jawabku dengan wajah muram.

            “Mau telur gulung nggak? Gue traktir deh, ya.” bujuk Ria. Aku masih menggeleng, kali ini air mataku jatuh begitu saja. Ria panik. “Lu jangan gini dong, Fit! Kalau lu nggak makan ntar sakit. Badan lu aja udah kurus banget gini. Gue beli apa aja deh, ya. Gue pergi dulu deh.”

            Aku menatap kepergian Ria dengan nanar. Hatiku benar-benar membuatku semakin seperti zombie. Tiap harinya aku mungkin hanya mampu makan dua sendok nasi saja.

Air mataku terus-terusan mengalir, sedangkan telingaku tetap tersumbat oleh headset yang mengalunkan lagu You are The Reason. Mataku benar-benar terasa panas, kelelahan menangis berhari-hari sejak sebulan yang lalu.

            ‘Ya Allah, aku ingin melupakan ini semua’ pintaku dalam hati. Mataku lama-kelamaan terpejam tak dapat tertahankan.

***

Aku membuka mataku perlahan, merenggangkan kedua tanganku sambil menguap. Namun, tiba-tiba mataku membulat seketika saat mengetahui aku bukanlah di kamar kosku. Melainkan, sedang di dalam kereta api jarak jauh yang aku pun tak tahu tujuannya kemana.

            Aku menoleh ke arah tempat duduk seberang kananku. Ada seorang laki-laki yang sedang membaca buku sambil menggunakan headset di telinganya. Karena aku duduk sendiri dan kebetulan laki-laki itu juga sendiri, aku memberanikan diriku untuk datang menghampirinya. ‘Kayaknya mending aku tanya ke oom itu deh. Keliatannya dia baik deh’, pikirku dalam hati.

            Aku duduk tepat di sebelahnya. Namun, dia tidak bergeming sama sekali. ‘Ini Om kok nggak noleh ke arah aku sih?’, cibirku dalam hati. Aku menusuk-nusuk lengan kirinya menggunakan telunjuk kananku. Ia menoleh, lalu aku tersenyum seramah mungkin.

            Ia melepas headsetnya. “Kenapa? Udah nggak sedih lagi?” tanya-nya dengan wajah datar, tak menghiraukan senyumanku.

            Aku cengo mendengar pertanyaannya. “Hah? Sedih? Maksudnya, Om?”

            “Dari awal kamu naik kereta ini, kamu terus-terusan nangis sambil menatap jendela.” jawabnya.

            Mataku auto membulat mendengar penuturannya. “Hah?” aku ber-hah dengan besar, sampai penumpang lainnya menoleh kearah kami. Aku langsung memohon maaf pada penumpang lain. ‘Aku nangis karena apa? Aduh pasti memalukan banget, mana aku kalau nangis biasanya ingusan dan jelek banget. Malu-maluin banget sih, kamu Fit!’ rutukku dalam hati.

            “Tidur bisa buat orang lupa ingatan ternyata.” celetuknya.

Aku menutupi wajahku dengan tangan kananku. Asli! Malu banget woi.

“Kok wajahnya ditutupin? Malu?” tanyanya sambil tersenyum.

Ya Allah manisnya’ pujiku dalam hati. ‘Ih apaan sih, Fit! Sempat-sempatnya salfok dalam keadaan begini!’. “Aku ingusan nggak Om tadi pas nangis?” tanyaku polos.

“Iya, ingusan. Kamu lap di baju kamu pula.” jawabnya santai.

Mataku benar-benar akan keluar pada tempatnya karena lagi-lagi melotot kaget. aku terus merutuki kebodohanku. Oke, Fit. You are done! Langsung aja tanyain intinya. Tanyain ini kereta tujuannya kemana. “Om, kalau boleh tau. Ini keretanya tujuan kemana, ya?”

“Jogja.”

Wajahku lagi-lagi menampakkan ekspresi kebingungan. Jogja? Aku mau ngapain ke Jogja? Aku kenapa sih, kok bisa lupa ingatan begini?

“Oh ya, jangan panggil aku ‘om’. Aku bukan om-om.” pesannya. Aku tercengang mendengarkan penuturan laki-laki yang tak aku ketahui namanya. “Wira.” ujarnya tanpa menoleh dan tentunya tanpa menyodorkan tangan untuk berkenalan.

“Ini ngajak kenalan, ya?” tanyaku sambil memiringkan kepalaku, soalnya si Om Wira ini fokus banget sama bukunya.

“Nggak. Cuma ngasih tau aja nama aku Wira.” jawabnya datar.

Aku mencibir kesal. Ku tinggalkan saja dia. Aku kembali ke tempat dudukku, lalu memutar lagu di playlist ponselku. Sedang enak-enaknya mendengarkan lagu sambil memandangi pemandangan senja yang memanjakan mata, perutku tiba-tiba berbunyi. Aku segera memeriksa ranselku. ‘Lho, kok nggak ada makanan?’ aku mencari-cari dompetku. ‘Lho, dompetku mana? Aduh aku harus gimana dong? Nggak ada pilihan lain, kayaknya aku minta tolong sama Om Wira aja apa ya?

Aku berlari ke tempat duduk Om Wira. Duduk tepat di depannya. Aku mengetuk buku yang sedang dibacanya dengan sedikit ngeri. Ia menurunkan bukunya. Alisnya terangkat sebelah, rautnya seakan bertanya ‘Ada apa?’. Aku nyengir sambil bilang, “Om, aku nggak punya uang. Lapar.”

Ia mengernyitkan keningnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bisa nggak, jangan panggil aku ‘om’?”

“Emang umur Om berapa?”

“31 tahun.”

“Udah tua itu sih.” celetukku tanpa dosa. Matanya melotot ke arahku. Aku menutup mulutku. “Eh, maaf deh. Kakak nggak tua kok. Umur aku 20 tahun, jadi cuma beda dikit lah ya sama umur Kakak.” jawabku cepat, takut buat manusia di depanku ini marah.

Ia tersenyum miring. “Jangan panggil aku ‘kak’.”

Aku ber-hah. Ini orang maunya apa sih? Dipanggil ‘om’ nggak mau, dipanggil ‘kak’ juga nggak mau. Aku panggil ‘kakek’ baru tau rasa.

“Panggil aku ‘Mas Wira’.”

Idih! Apa-apan, kok aku manggilnya ‘mas’, sih. Geli banget. “Nggak mau!” jawabku sambil membuang muka.

“Yaudah, selamat lapar ya.”

Aku langsung menoleh ke arahnya. “Eh, iya-iya deh, Om. Eh salah, Mas maksudnya.”

Ia tersenyum. “Mau langsung ke gerbong restorasi?” tanya Mas Wira. Aku mengangguk cepat. Kami berdiri bersamaan. Aku mendongak melihat Mas Wira yang tinggi menjulang. “Ternyata kamu kecil kayak anak sd, ya.” ujar Mas Wira tiba-tiba. Aku mendelik. Dia tertawa renyah.

***

“Mas Wira udah nikah?” tanyaku sambil mengunyah nasi rames.

            “Belum. Kenapa tanya-tanya?” jawabnya ketus.

            Aku mencibir. “Dih, biasa aja kale. Aku kan nanya aja,” responku jadi sewot.

            “Jangan-jangan kamu jodoh aku.” celetuk Mas Wira sambil mengusap-ngusap dagunya ala-ala orang sedang berpikir. Aku tersedak. Dia memberikan aku air mineral.

            “Nggak mau jodoh sama om-om.” teriakku dengan wajah mencebik. Mas Wira menatapku dingin. Aku menghela napas. ‘Aduh salah ngomong deh kayaknya’, rutukku dalam hati.

            “Emang aku setua itu kah?”

            ‘Tua sih’ jawabku dalam hati. “Nggak kok, Mas. Hehe…” jawabku sambil nyengir kuda. Mas Wira melanjutkan makannya sambil termenung. Entah apa yang dipikirkannya. Aku nggak berani mengganggunya.

            Setelah selesai makan, kami kembali ke gerbong dan tempat duduk kami. Aku mengambil ranselku, lalu pindah tempat duduk di depan Mas Wira. Aku hanya dapat menampilkan cengiran deretan gigiku yang rapi. Ia diam saja, tanpa respon dan mengeluarkan bukunya kembali. Aku membaca judul buku yang dibaca Mas Wira.

            “How to respect myself.”

            Mas Wira menurunkan bukunya, menatapku dengan tatapan yang tak ku mengerti. “Mau baca?” tawarnya.

            “Hah?” kayaknya aku hari ini sudah berkali-kali ber-hah.

            “Iya. Buku ini cocok kayaknya untuk kamu yang suka nangis-nangis galau nggak jelas.” jawabnya santai. “Pasti putus cinta, kan?”

            Putus cinta? Oh ya ampun! Aku sampai lupa kalau aku habis diputusin Baya. Bagaimana bisa aku lupa?

            “Udahlah. Untuk apa sih ngegalauin orang yang nggak ngehargain kita. Mending fokus untuk ngehargain diri kita dulu, baru ngehargain orang lain. Gimana orang lain mau respect dan cinta sama kita, kalau kita sendiri belum bisa melakukan itu untuk diri sendiri?”

            Aku terdiam mendengar perkataan Mas Wira. Tiba-tiba gigiku ngilu dan berubah menjadi sakit. Aduh, kayaknya sakit gigi-ku kambuh lagi.

            “Kamu kenapa?”

            “Sakit gigi, Mas. Huhuhu…” aku memegangi pipiku sebelah kiri.

            Mas Wira membuka ranselnya. Lalu, mencari sesuatu. Ia menyodorkan obat. “Nih, minum.”

            “Obat apaan nih?”

            “Obat sakit gigi lah. Masa obat sakit hati.”

            Ingin rasanya aku menjitak kepala orang di depanku ini. Untung saja dia lebih tua dariku, jadi aku masih sedikit menghormatinya. “Soalnya aku biasanya minum ponstan atau paracetamol.”

            “Lain kali beli ini aja. Nanti aku buatkan resepnya untuk kamu.” perintahnya.

            Aku tertawa meledek. “Emangnya Mas ini dokter?”

            “Iya.” jawabnya singkat.

            Aku tertawa terbahak-bahak. Lalu, lima detik kemudian aku baru sadar dia menjawab “Iya” bukan “Nggak sih.”. Aku mengangkat kepalaku, perlahan menatap wajah Mas Wira yang sedang memperhatikanku dengan tatapan dingin.

            “Kok berhenti ketawanya?”

            Aku mengambil obat yang dia sodorkan tadi. Dengan segera aku meminumnya. Lalu, mengambil ponselku, dan mendengarkan lagu. Kemudian, pura-pura tidur hingga benar-benar tidur.

***

“Hmmm apa siihhh.” Aku meracau kesal karena tubuhku diguncang-guncang oleh seseorang.

            “Bangun. Kita udah sampe lempuyangan.”

            Mataku dengan cepat membuka. Aku mengucek-ngucek mataku yang masih sedikit kabur, efek baru bangun tidur. Lalu, menggendong ransel berwarna hijau mudaku. Aku keluar gerbong bersamaan Mas Wira. Ku putuskan untuk duduk sebentar, membuka ponselku dan mencoba untuk menghubungi Kiky sahabatku yang ngekos dan kuliah di Jogja.

            “Hah? Kamu udah nggak di Jogja?”

            “Iya, Fitaku sayang. Kan semenjak lulus S1, aku balik ke Bangka dan kebetulan keterima kerja di dinas pariwisata.

            “Hah? Bentar, bentar. Kalau kamu udah lulus, berarti aku juga udah lulus dong?”

            “Iyalah. Malah kamu duluan lho yang wisuda.

            Aku mengernyitkan keningku, benar-benar bingung. Ini kenapa sih? Aku lupa ingatan atau apa sih? “Say, emang sekarang tahun berapa?”

            “2021.

            “Whattt? Bukan 2019?”

            “Bukan.

            Aku membantingkan tubuhku lemas ke sandaran kursi. Aku kenapa sih? Aku terjebak di masa depan-kah? Atau memang aku sedang lupa ingatan? Terus aku harus gimana? Aku nggak kenal siapa-siapa di Jogja. Mana aku nggak bawa dompet pula. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku menangis, kali ini dengan suara.

            “Eh, anak kecil. Ngapain sih nangis lagi?”

            Aku berhenti menangis dan membuka telapak tanganku yang menutupi wajahku. “Mas Wira kok masih di sini?” tanyaku sambil mendongak.

            “Tadi aku ke toilet dulu. Kamu kenapa sih nangis lagi?”

            “Mas, aku boleh ikut mas pulang nggak?” tanyaku dengan raut wajah sedih.

            “Hah?”

            “Aku nggak tau harus kemana. Aku nggak punya uang. Aku nggak punya teman di sini.”

            Mas Wira memegang dahinya. Sepertinya aku benar-benar telah membuatnya pusing tujuh keliling. “Terus aku harus bilang apa ke Mama nantinya?”

            Aku berpikir sejenak. “Hmmm bilang aja aku calon istri Mas Wira.”

            Mas Wira menghela napas berat. “Yaudah ayok.” jawabnya terpaksa. Aku langsung sumringah mendengar jawaban Mas Wira. “Aku nikahin beneran kamu, baru tau rasa.” celetuknya.

            Aku menginjak kakinya. “Mimpi!”

            “Awww!” dia mengaduh kesakitan, lalu membalasku dengan tatapan tajamnya.

***

Aku dan Mas Wira bersamaan naik ke taksi. Aku menutup pintu, dia pun begitu. Sok banyak duit banget sih pake naik taksi segala ni orang, pikirku.

            “Adiknya ya, Mas?” tanya Mas Supir Taksi.

            Kita saling berpandangan. “Bukan, Mas. Calon istri saya.” jawab Mas Wira. Aku menoleh ke arah Mas Wira sambil menatapnya tajam dengan tatapan ‘Awas ya, lo!’

            “Hoalah. Soalnya Mbaknya muda banget, kayak jomplang banget sama Masnya.”

            Aku terkikik mendengar jawaban Mas Supir yang terlalu jujur. “Emang saya masih muda, Mas. Dianya tua.”

            Kini justru Mas Wira yang menoleh dan menatapku dengan tatapan menghujam. “Enggak apa-apa, Mas. Saya emang suka yang muda, lucu menggemaskan kayak anak-anak soalnya.” jawabnya sambil tersenyum terpaksa.

            Aku memasang wajah masam ke arah Mas Wira. “Dasar pedofil,” gumamku hampir tak bersuara.

            “Kamu ngomong apa barusan?” tanya Mas Wira dingin.

            ‘Eh, mampus kedengaran pula’, rutukku dalam hati. “Hehe… nggak. Nggak ngomong apa-apa, Masku.” jawabku sambil tersenyum manis ke arahnya, lalu menoleh ke samping kiriku dan ber’huek’. Aku bergedik geli memanggilnya ‘Masku’.

            Aku memandangi pemandangan Jogja dari balik kaca taksi. Aku menyunggingkan senyumku. ‘Hai, Jogja! Aku kembali lagi’, gumamku dalam hati. Aku jadi teringat kata-kata supir taksi online saat aku berlibur November 2018 lalu.

            Mbak e kalau udah cicip air Jogja, biasanya bakal balik lagi ke sini, lho. Malah bisa-bisa dipersunting orang Jogja.

            Aku langsung menggeleng-gelengkan kepalaku. Nggak, nggak, nggak mungkin. Mas Wira menyenggolku, sambil memasang ekspresi ‘Kenapa sih?’. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman yang kupaksakan.

            Tidak lama kemudian, taksi yang kami naiki berhenti di depan rumah yang cukup mewah menurutku. Hatiku sudah meronta-ronta untuk mengatakan ‘Wah’.

            “Turun.” perintah Mas Wira.

Aku mengerutkan dahiku. Sejenak aku berpikir, nggak mungkin kan rumah ini rumahnya Mas Wira?

“Udah sampe.” lanjutnya setelah melihat ekspresiku yang seakan tidak yakin dengannya.

Buset! Jadi ini beneran rumah Mas Wira? Gila sih. “Terima kasih, Mas. Hati-hati di jalan, ya.” ucapku sopan pada Supir Taksi yang mengantarkan kami.

Nggih, mbak e.” jawab Mas Supir Taksi sambil melemparkan senyumnya ke arah kami.

            Aku dan Mas Wira berjalan beriringan. Ia membuka pintu pagar berwarna emas itu dengan mudah. Ya, kebetulan memang belum dikunci. Mataku menyapu keseluruhan halaman rumah Mas Wira. Sisi kiriku terdapat taman yang dihiasi mawar yang ditanam langsung di tanah, tentunya terdapat pula meja dan beberapa tempat duduk yang terlihat sederhana namun cantik.

            Kami sampai di depan pintu rumah. Mas Wira memencet bel. Tidak lama kemudian, seorang gadis manis membukakan pintu untuk kami. Raut wajahnya begitu sumringah ketika melihat Mas Wira, namun beberapa detik kemudian wajahnya berubah menjadi tatapan jahil ketika melihatku.

            “Mama!!! Mas Wira bawa pacarnya, Ma!” teriak gadis manis itu, namun bagiku teriakannya masih terdengar begitu lembut. Beda sekali dengan teriakan adikku di rumah yang jauh lebih menggelegar.

Mas Wira langsung membungkam mulut gadis manis itu, sepertinya dia adiknya Mas Wira. Dalam sekejap beberapa pintu kamar terbuka dengan cepat. Tidak lain tidak bukan pastinya Mama, Papa, dan satu lagi sepertinya adik laki-laki Mas Wira.

“Ayo Mbak masuk.” ajak gadis manis itu sambil menarik tangan kananku. Aku hanya bisa menyunggingkan senyumku meresponnya. Ku lihat Mas Wira menepuk jidatnya sambil menghela napas berat.

Mama Mas Wira tersenyum manis ke arahku. “Ayo, Nak duduk dulu.”

Aku mengangguk dan duduk di sofa ruang tamu. Semua mata tertuju padaku. Sumpah, berasa jadi artis aku hari ini. Diliatin dan disenyumin seperti ini. Mas Wira duduk di kursi sebelah kananku, dikarenakan sebelah kiriku sudah ada Mamanya.

“Ini siapa Mas Wira? Kok keliatannya muda banget.” celetuk adik laki-laki Mas Wira.

“Calon istri Mas. Namanya… namanya…” Mas Wira tidak bisa melanjutkan perkataannya karena aku baru sadar bahwa sedari tadi aku tidak memberitahukan siapa namaku.

“Nama saya Fita.” sambarku sambil tersenyum.

“Mbak Fita umurnya berapa?” kali ini adik perempuan Mas Wira lagi yang bertanya.

“20 tahun.”

Semua orang yang ada otomatis terkejut mendengar jawabanku. “Ya ampun! Mbak Fita cuma tua satu tahun sama Icha.” sahut Icha. “Mbak kok mau sih sama Mas Wira yang udah tua?” tanya adik perempuan Mas Wira begitu polos. Aku ingin sekali tertawa ngakak mendengar pertanyaannya, namun aku hanya bisa tersenyum manis agar tetap sopan.

“Cha!!!” Mas Wira menatap adiknya dengan tatapan dingin. Adik Mas Wira yang bernama Icha itu justru memeletkan lidah ke arah Masnya.

“Ya ampun, Mas. Mending Fita untuk Alfa aja. Kalau sama Mas Wira kesannya jadi kayak bapak dan anak tau.” timpal adik laki-laki Mas Wira. Mas Wira menatap sebal adiknya, entah mengapa adik-adiknya jadi membully umurnya yang sudah 31 tahun ini. Sedari tadi pula aku menahan diri untuk tidak tertawa.

“Sudah-sudah, kenapa kalian jadi membully Mas kalian sendiri.” Mama Mas Wira menengahi dengan ucapannya yang begitu lembut. “Icha, kamu antarkan Mbak Fita ke kamar tamu, ya. Kasihan Mas dan Mbakmu ini pasti lelah.”

“Baik, Ma!” Icha langsung mengajakku untuk naik ke lantai dua. Papa Mas Wira daritadi hanya diam, persis seperti Mas Wira yang tak banyak bicara. Aku berpamitan untuk mengikuti Icha.

“Fita, kamu masih boleh berubah pikiran kok. Mau pilih aku atau Mas Wira. Pilih daun muda atau daun tua.” ujar Alfa jahil. Aku tertawa kecil lalu menoleh ke arah Mas Wira yang wajahnya berubah masam.

***

Icha mengantarkanku ke kamar paling pojok kiri. Ia membukakan pintu kamar untukku. Kamar tamu di rumah Mas Wira besar juga ternyata, sudah seperti kamar hotel saja. Icha duduk di kasur.

            “Mbak Fita, Mbak perempuan pertama yang dikenalin ke keluarga, lho. Selama ini, Mas Wira itu fokusnya belajar mulu. Katanya untuk apa terburu-buru berpasangan, mending jadi versi terbaik dari diri kita dulu. Eh, tau-taunya udah 31 tahun aja si Mas.” tutur Icha.

            Aku menyimak penuturan Icha. Mas Wira sepertinya bukan orang yang bisa sembarangan untuk menjalin hubungan. “Mas Wira belum pernah pacaran?”

            “Setahu Icha belum pernah sih, Mbak. Padahal dulu temen-temen kampus Mas Wira itu cantik-cantik, lho.” cerita Icha. “Tapi Mbak Fita juga cantik kok. Imut lagi. Pantesan Mas Wira suka. Hehehe…” imbuhnya. Aku tersenyum malu mendengar pujian Icha.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status