Share

BAB 8

Malam ini kebetulan Mas Wira sedang berbaik hati mau mengajak Alfa dan Hafiz untuk ikut jalan bareng. Ia menepati janjinya waktu itu, mengajakku jalan ke Alun-alun Kidul Jogja. Aku tentunya duduk di kursi depan, mau tidak mau seperti itu biar Mas Wira nggak menunjukkan wajah masamnya.

            Alfa sudah santai-santai saja dengan Mas-nya, seakan tidak terjadi apa-apa. Memang anaknya terlalu santai. Ia duduk dengan tenang di kursi belakang. Hafiz memandangku sesekali, sepertinya dia memang masih menunggu jawabanku. Aku pun masih bingung hatiku ini untuk siapa.

            “Nanti kita makan gudeg, yuk.” Alfa akhirnya bersuara.

            Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak mau ah. Fita maunya makanan yang pedas.”

            “Ada kok gudeg mercon. Yang siap buat mulut kamu meledak. Duar!” sahut Alfa garing.

            Hafiz menyenggol lengan Alfa. “Krik, krik banget tau!”

            Alfa mencibir. “Biarin, yang penting bisa buat Fita senyum.”

            Deg! Aku diam sejenak. Terkadang aku bingung pula dengan Alfa. Ucapan dan perlakuannya apakah itu menunjukkan keseriusan atau tidak. Ia selalu dengan gamblang menunjukkan seakan-akan ia benar-benar menginginkanku.

            Akhirnya kami tiba di Alun-alun Kidul Jogja. Mataku langsung tertuju pada odong-odong yang dihiasi lampu warna-warni. “Mas, mau naik itu!” ujarku sambil menarik-narik lengan baju Mas Wira.

            Mas Wira menoleh ke arahku dengan tatapan datar. Tanpa mengatakan ya atau tidak, dia langsung membuka pintu mobilnya dan keluar. Aku mendesis sebal melihat tingkahnya.

            “Dasar kulkas.” desis Alfa. Aku menoleh ke belakang. Wajah Alfa juga kelihatan sebel. “Yaudah, kita aja nanti Fit naik kereta hiasnya.”

            Aku tersenyum senang. Memang Alfa ini seperti selalu ada dan paling mengerti diriku. Mataku bertemu dengan mata Hafiz. Ia menatapku dengan tatapan yang masih sama, meminta jawaban. Aku langsung mengalihkan pandanganku.

            Mas Wira mengetuk-ngetuk kaca mobil di sebelahku. Aku otomatis menoleh dan menurunkan kaca jendela mobil. “Ayo, turun!”

            Aku menaikkan kaca jendalanya lagi, lalu membuka pintu mobil. Aku, Alfa dan Hafiz mengekori Mas Wira. “Mas, mau itu. Haus.” Aku menahan tangan Mas Wira agar berhenti dan menunjuk ke arah stan kecil yang menjual berbagai macam minuman.

            “Ayo, sama aku aja, Fit.” tawar Hafiz.

            Deg! Entah mengapa jantungku langsung berdetak kencang. Asli, jadi takut bakal ditanyain jawaban sama Hafiz. “Yaudah sana kamu sama Hafiz.” jawab Mas Wira santai.

            Mataku auto membulat mendengar jawabannya. Benar-benar mau menjebakku si Mas Wira ini. Sama sekali nggak bisa membantuku untuk menghindari Hafiz.

            “Minta duit.” ujarku kayak preman yang malak ke Mas Wira.

            “Nggak usah. Biar aku aja yang bayar.” sahut Hafiz.

            Aku langsung tersenyum kecut mendengar sahutan Hafiz. “Tuh yang bayarin Hafiz.” kata Mas Wira membuatku menatapnya dengan tatapan nahan gondok.

            Aku berjalan di belakang Hafiz. Ia memperlambat langkahnya hingga kami beriringan. Sepanjang jalan kami diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Bentar.” Hafiz menahanku yang hendak menyebrang. “Ayo.” Hafiz menarik tanganku, sedangkan tangan kanannya di arahkan ke kendaraan agar berhenti dan membiarkan kami menyebrang.

           “Mas saya pesan vanilla latte, ya.” pesan Hafiz. “Kamu mau apa?”

            Aku masih sibuk membaca semua menu yang tertera di daftar menu. “Hmmm…mau strawberry milkshake deh.”

            “Sama strawberry milkshake ya, Mas.” tambah Hafiz. “Nih, duduk.” Hafiz memberikan bangku plastik untukku duduk.

            “Makasih, Kak.” ujarku lalu duduk. Hafiz juga duduk sambil menunggu minuman kami dibuatkan.

            “Fita.” panggilnya.

            Duh, mampus. Pasti mau nanyain jawaban, rutukku dalam hati. Aku susah payah mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk. “Ya, Kak?”

            “Kamu sudah tau ingin memilih siapa?” tanya Hafiz seakan tidak sadar kalau saat ini posisinya dia semacam perebut calon istri orang lain.

            Aku diam lalu menghela napas berat. “Aku belum bisa ngasih jawaban, Kak. Saat ini aku lagi di posisi yang sulit.”

            “Kalau kamu nerima aku, kita perjuangin bareng-bareng.” kata Hafiz. Aku menatap kedua bola mata Hafiz.

            Suasana tegang di antara kami langsung teralihkan karena minuman yang kami pesan sudah jadi. “Mas ini pesanannya.”

            Hafiz menghela napas kecewa, karena otomatis kami harus balik menemui Mas Wira dan Alfa kalau minuman yang kami pesan sudah siap. “Ayo, Kak.” ajakku sambil beranjak.

            Kami berjalan masih dengan keadaan saling diam. Dari kejauahan sana Alfa berteriak tak tau malu. “Wei, lama banget sih!” protesnya.

            Bibirku tersenyum melihat tingkah gilanya yang nggak tau malu di setiap tempat. Hafiz diam-diam melihatku yang sedang tersenyum tanpa sadar karena kegilaan Alfa. Aku mempercepat langkahku.

            “Beli apa?” tanya Alfa mendekatiku.

            “Strawberry milkshake.” jawabku.

            “Selalu.” celetuk Mas Wira. Kami menoleh ke arahnya. “Strawberry.” tambahnya.

            “Fita suka yang serba strawberry, ya?” tanya Alfa yang secara tidak sengaja melihat jepit rambutku yang ada strawberrynya juga. Aku mengangguk mengiyakan. “Fita, mau dungs minuman kamu.” ujar Alfa sambil menyeringai.

            Aku tertawa melihatnya, kemudian menyodorkan strawberry milkshake-ku. “Ayo, katanya mau naik kereta hias.” Mas Wira langsung menarikku, padahal Alfa sudah membuka mulutnya kegirangan ingin mencoba strawberry milkshake-ku.

            Alfa menutup mulutnya kembali dan menatap punggung Mas Wira dengan ekspresi gondok nggak ketulungan. Emang keterlaluan Mas Wira ini.

            “Ayo, Fa.” ajak Hafiz pada Alfa yang diam di tempat dan masih ngedumel.

            Kami akhirnya naik kereta hias. Aku dan Mas Wira di depan, Alfa dan Hafiz di belakang. Ternyata agak capek juga, karena kereta hiasnya nggak akan jalan kalau nggak dikayuh. Tapi, asik juga karena kami jadi balap-balapan sama orang-orang yang juga main kereta hias.

            “Wah, kejar-kejar!” teriak Alfa heboh pake banget.

            Kami semua cekakakan, karena emang seseru itu. “Parah banget kita disalip!!! Woiiii!” Hafiz nggak kalah hebohnya. Aku hanya ketawa ngakak sampe sakit perut, Mas Wira tetap stay cool hanya sesekali aja senyumnya mengembang.

            “Ayo dong Mas Wira kayuhnya lebih kuat!” seperi biasa Alfa songong.

            “Tim belakang yang harusnya lebih kuat! Gimana sih kalian yang masih muda?” protes Mas Wira.

            “Iya deh yang udah tua!” sahut Alfa.

            “Heh!!! Balik ke rumah jalan kaki ya kamu!” teriak Mas Wira sambil membalikkan badannya untuk menjitak Alfa.

            “Aduh, sakit Mas!” Alfa pura-pura kesakitan.

            “Lemah!” ledek Hafiz.

            Alfa meninju lengan Hafiz pelan. Malam ini hubungan kakak adik dan pertemanan mereka benar-benar lagi akur. Tidak ada tatap-tatapan dingin, maupun berdebat kecil. Semua tenggelam dalam tawa.

***

Setelah dari Alun-alun Kidul Jogja, kami benar-benar mampir ke sebuah tempat jualan gudeg. Kebetulan aku memang belum pernah mencoba gudeg Jogja. Lidah sumatera-ku yang begitu kental dengan rasa pedas, tentu saja akan menolak keras segala makanan lauk yang diberikan gula. Aku nggak berani coba gudeg, karena temanku pernah cerita dia pengen muntah makan gudeg karena rasanya yang begitu manis.

            Aku yang diberi sebutan Ratu Cabe di keluargaku, tentu saja tak akan cocok dengan gudeg pikirku. Tapi, malam ini aku pasrah saja dibawa ke sini untuk cobain gudeg. Kata Alfa kalau gudeg mercon nggak terlalu manis rasanya.

            “Mas, nunduk.” Pintaku pada Mas Wira. Soalnya agak susah kalau mau ngebisikkin Mas Wira. Doi terlalu tinggi sih. Mas Wira menurutiku. “Mas, boleh nggak kita makannya sepiring berdua aja?” bisikku pada Mas Wira.

            Mas Wira menaikkan alisnya sebelah. Aku langsung memasang wajah memelas agar permintaanku dikabulkan. Nggak lama kemudian Mas Wira mengangguk diiringi dengan senyum manisnya. Aku refleks membentuk jariku ala-ala “saranghae” orang Korea sambil tersenyum senang.

            Aku duduk duluan, kebetulan memang ada temapt untuk duduk ngemper gitu. Tentu saja kali ini aku duduknya dialasi oleh terpal. Alfa datang duluan. “Lho, kamu nggak makan?” tanya Alfa sambil menjatuhkan dirinya duduk di depanku.

            “Dia makan sepiring berdua sama Mas.” jawab Mas Wira yang tiba-tiba muncul.

            “Dih, pelit banget. Beli kek dua piring.” gumam Alfa.

            Mas Wira duduk di sampingku, matanya menatap dingin Alfa. Mulai lagi deh kebiasaan adik kakak yang nggak akur kambuh. “Nggak kok. Emang aku yang minta Mas Wira untuk makan sepiring berdua. Takut aku nggak habis. Sayang kalau makanan dibuang.” ujarku berusaha untuk menetralkan suasana.

            Mas Wira menatap Alfa dengan tatapan kemenangan. Alfa melengos. Hafiz ikutan nimbrung duduk di samping Alfa. “Eh, Fita nggak makan?”

            Alfa mengedikkan bahunya. “Makan kok. Tapi sepiring sama Mas Wira.” jawabku. Raut wajah Hafiz langsung berubah ketika mendengar jawabanku.

            “Ayo, makan.” Mas Wira menyuruhku untuk segera mencicipi gudeg. Agak sedikit ragu aku menyendokkan gudeg ke mulutku. “Makan aja. Belum tentu yang menurutmu nggak enak, beneran nggak enak. Kamu boleh menilai ketika kamu sudah merasakannya.” Ceramah Mas Wira.

            Emang jiwa-jiwa orang tua tuh gitu, auto nyeramahin di mana pun. Aku menyuapkan gudeg ke mulutku. Beberapa detik kemudian, lidahku mencoba untuk menerka apakah rasanya pas untuk seleraku, kemudian memberikan hasilnya ke otak. Dan, yeah gudeg ini nggak seburuk yang kusangka. Rasa manisnya masih bisa diterima indera pengecapku.

            “Gimana?” tanya Alfa.

            Aku tersenyum. “Masih bisa aku makan ternyata.”

            “Makanya jangan menilai sebelum mencoba.” sahut Mas Wira sambil mengunyah.

            Aku lanjut menyuapkan gudeg kembali ke mulutku. “Ini makanan kesukaan Mas Wira, ya?”

            Mas Wira mengerutkan dahinya. Baru saja ia hendak berkata sesuatu, tapi keburu disambar Alfa duluan. “Kok kamu tau?”

            “Tau dong! Aku kan bisa menebak.” sahutku asal, padahal aku taunya dari Mama Mas Wira.

            “Kalau gitu, coba tebak makanan kesukaan aku apa?” tanya Alfa.

            Aku pura-pura berpikir keras. “Kerupuk.” jawabku benar-benar asal bunyi.

            “Ih, kok kerupuk?” protes Alfa tak terima.

            “Soalnya Mas Alfa suka garing bercandaannya.” ujarku sambil ketawa.

            “Iya emang garing banget!” timpal Hafiz diikuti dengan tawanya.

            “Oh, berarti kamu nebak Mas Wira suka gudeg, karena gudeg rasanya manis?” tanya Mas Wira tiba-tiba.

            Aku, Alfa dan Hafiz seketika menoleh. Ingin rasanya kujitak kepala Mas Wira. Bisa-bisanya dia sepede itu. “Ih, nggak gitu!” sahutku sewot.

            Mas Wira tertawa renyah. Alfa mencibir kesal melihat Masnya yang merasa sok manis. “Nih, aku siram dulu pake es teh manis biar manis. Mau?”

            “Nggak perlu. Kan udah manis dari lahir.” jawab Mas Wira yang sekarang mulai agak bisa cair dan menyatu dengan obrolan kami.

            Aku, Alfa dan Hafiz saling pandang lalu mengangkat bahu. Kami melanjutkan makan, tidak merespon tingkah kepedeannya Mas Wira. Kacangin aja, ntar diem sendiri.

***

Setelah makan gudeg, kami beranjak pulang. Sesampainya di rumah Mas Wira, aku langsung ganti baju, mencuci muka, membersihkan makeup. Lalu, membantingkan tubuhku ke kasur. Aku terpikir kembali dengan pengakuan Hafiz.

            Entah mengapa jadi segalau ini jadinya, benar-benar hati tidak bisa ditebak. Aku menghela napas dengan kasar. Aku bangkit dari tempat tidur, lalu membuka pintu kamar dan menuju balkon.

            Ternyata sudah ada Alfa duduk di balkon. Ia menoleh karena mengetahui keberadaanku. Aku duduk di sampingnya. Alfa meneguk minuman soft drink. “Kamu kenapa tiba-tiba ke sini?” tanyanya.

            Aku menghela napas. “Lagi ada yang buat aku kepikiran.”

            Alfa menyodorkan minumannya. “Nih, minum dulu.”

            Aku menggeleng. “Udah sikat gigi.”

            Alfa tertawa mendengar jawabanku. “Tenang, kalau kamu sait gigi kan ada Masku.”

            “Nggak mau ah diobatin Mas Wira. Cuek, dingin, tukang ceramah, nyebelin….” sungutku.

            Alfa terbahak mendengar ujaranku yang lebih mirip curcolan yang terpendam begitu lama. “Aneh, kamu kayak sebel banget ya sama Mas Wira. Tapi, kok mau jadi calon istrinya?”

            Aku terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Alfa yang begitu mengejutkan. Siapa juga yang mau jadi calon istri Mas Wira, cibirku dalam hati. “Emmm…dipaksa Mas Wira soalnya.” jawabku ngasal.

            “Cinta itu keikhlasan. Kalau kamu merasa terpaksa untuk bersamanya, jangan pernah dipaksakan. Selain bisa melukai dirimu sendiri, kamu juga akan melukai orang lain.” ujar Alfa membuatku terperangah.

            Aku menyenderkan tubuhku ke sandaran kursi. “Apakah masalah hati memang serumit ini?”

            Alfa menoleh. “Butuh pundak untuk bersandar?” tanyanya sambil nyengir.

            Aku otomatis memukul pundak Alfa. “Apaan sih! Emangnya aku mau nangis?”

            Alfa ketawa. “Lho, emangnya orang yang mau nangis aja yang butuh pundak? Nggak kan?”

            Aku mengangguk mengiyakan sambil senyum. “Iya deh iya.”

            “Yaudah, cerita aja kalau mau cerita. Anggap aja aku ini bulan yang menemani malammu untuk bercerita.” kata Alfa sok puitis.

            “Dih, puitis banget kata-katanya.” cibirku.

Alfa ketawa mendengar cibiranku. “Yaudah, yaudah. Anggap aja angin lewat. Lanjut aja kamu mau cerita apa.”

“Hmm…Dulu aku kira kalau orang yang aku sukai, suka balik sama aku, itu adalah hal yang menggembirakan. Namun, nyatanya tidak seperti itu.” ujarku sambil menghela napas.

            Hening sejenak untuk beberapa detik. “Kamu tau nggak? Terkadang apa yang menurut kita itu hal yang baik atau membahagiakan kita, belum tentu itu yang terbaik untuk kita. Hati kita itu seperti jembatan yang dibuat Allah untuk berbicara dengan kita.”

            Aku mengerutkan dahiku. “Percayalah, kalau hatimu ragu dan bingung akan sesuatu yang awalnya menurutmu adalah yang tepat untukmu. Berarti, itu bukanlah yang terbaik untukmu.” tambah Alfa.

            Aku diam saja merespon ucapan Alfa. Mataku kubiarkan menatap indahnya langit malam yang ditemani bulan dan bintang. Otakku tetap saja bekerja, mulai mencerna kata-kata yang diucapkan Alfa barusan.

***

Hari ini aku, Mas Wira, Alfa, Hafiz dan Icha berencana mau makan di café ala-ala Korea. Kebetulan memang yang request si Icha. Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Katanya dia emang udah lama pengen ke situ, tapi nggak ada yang mau nemenin. Padahal sebenernya emang dasar dia mau morotin Mas-masnya, bisiknya padaku. Haha…

            Kini aku sedang bersiap-siap, memasang jepit strawberry pemberian Mas Wira di rambut hitamku. Lalu, aku memandangi pantulanku di cermin. Kali ini aku menggunakan rok hijau tosca di atas lutut dan kemeja warna pink kotak-kotak.

            Icha mengetuk pintu kamarku. “Masuk aja, Cha!”

            Icha membuka pintu kamarku lalu duduk di atas ranjangku. “Mbak Fita udah cantik, Mbak. Udahan ih ngacanya.” goda Icha.

            “Kamu ya, udah bisa ngeledekin Mbak.”

            Icha ketawa. “Ayokkk Mbak, udah ditungguin lho sama Prince Wira-nya.”

            “Dih, prince?” tanyaku sambil menaikkan alisku.

            “Iya… kan Mas Wira itu pangerannya Mbak Fita.”

            Aku tertawa geli mendengar ucapan Icha. Ada-ada saja memang Icha ini. Senang sekali menggoda aku dan Mas Wira.

            “Yok ke bawah.” Aku mengambil sling bag rotan dan memakainya.

            Ternyata benar kata Icha kalau Mas Wira, Alfa dan Hafiz sudah siap di ruang tamu menunggu aku dan Icha. “Lama banget sih.” rutuk Mas Wira. Aku memonyongkan bibirku bete.

            “Buka di g****e maps, Chingu Café.” perintah Mas Wira kepadaku saat kami sudah duduk di mobil.

            “Wah, deket juga ya. Cuma 20 menit doang.” gumamku.

            Nggak butuh waktu lama, kami akhirnya sampai ke café tujuan kami. Icha kelihatan excited banget. Terlihat dari cara dia mendorong-dorong Alfa untuk segera turun dari mobil saat kami sampai. “Ih, cepetan turunnya Mas!”

            “Sabar!!!” sahut Alfa sebel.

            Nuansa café yang serba pink dan sangat serba Korea memang menambah daya tarik café ini. Apalagi kalau pengunjungnya, penggila Korea kayak si Icha. “Huah Oppa Park Bo Gum!” jerit Icha histeris saat melihat gambar salah satu aktor korea di dinding café ini.

            Alfa melengos mendengar Icha. “Masih cakepan Masmu ini, Cha, Cha.”

            Icha pura-pura muntah setelah mendengar ucapan Alfa. Alfa menjitak kepala Icha. Aku hanya bisa tertawa melihatnya.

            “Ini makanan apa sih kok aneh-aneh gini.” Mas Wira ngedumel saat melihat daftar menu. “Enakan juga gudeg.”

            “Dih, Mas Wira sih nggak gaul.” sahut Icha.

            “Biasa, lidah kampung.” timpal Alfa. Mas Wira menatap Alfa dengan tatapan tajam. Alfa langsung membungkam mulutnya. Tatapan Mas Wira memang semengerikan itu sih.

            Aku langsung berinisiatif untuk membantu Mas Wira memesan makanan. Kebetulan aku cukup tahu banyak mengenai makanan khas Korea, karena aku lumayan bucin dengan Drama Korea.

            “Nah, pesan ini aja ya, Mas.” kataku pada Mas Wira.

            Mas Wira mengangguk setuju, lebih tepatnya pasrah, karena dia benar-benar bukan tipe manusia yang hobi cobain berbagai jenis makanan. Lain halnya dengan aku yang hobi mencicipi rumah makan, café, atau restoran terbaru yang baru buka.

            “Aku boleh minta dipilihin menu juga nggak, Fit?” tanya Kak Hafiz tiba-tiba.

            Semua auto langsung menoleh ke arah Hafiz dengan wajah bingung, kecuali aku. ‘Duh, Kak Hafiz ngapain sih sekarang jadi gini,’ rutukku dalam hati.

            Alfa langsung nyeletuk pedas, “Dih, apaan sih Fiz! Pilih aja sendiri.”

            Wajah Hafiz berubah masam mendengar celetukan Alfa. Mas Wira menatap santai Hafiz. Nggak ada tanda-tanda dia cemburu. Ya, walaupun emang nggak harusnya cemburu juga sih, karena kan Mas Wira emang bukan calon suami beneran.

            “Yaudah, bantuin Hafiz gih.” ujar Mas Wira padaku.

            Aku terperangah mendengar perintah Mas Wira. Wajahku agak sedikit kebingungan, ini hal yang benar-benar awkward.

            “Lho, kok Mas malah nyuruh Fita bantu milihin? Harusnya kan Mas cemburu, lho.” seru Alfa sedikit gemas.

            “Kenapa aku harus cemburu?” tanya Mas Wira lempeng. Aku hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan polosnya.

            “Ya, kalau nggak cemburu, berarti Mas nggak cinta sama Fita!” sahut Alfa.

            Aku langsung memijit keningku. Bau-bau pertengkaran akan dimulai nih.

            “Kalau nggak cinta, berarti boleh ditikung kan?” tanya Hafiz kalem. Tentu kami semua seketika menoleh dengan cepat dengan tatapan tegang. Suasana auto krik-krik seketika.

            Tiba-tiba Icha ketawa. “Kak Hafiz lucu banget sih bercandanya.”

            “Nggak lucu candaannya.” ujar Alfa agak sebal.

            “Kalau aku nggak bercanda, gimana?” tanya Hafiz lagi, dengan raut wajah yang serius.

            Icha langsung bungkam, Alfa menatap kesal Hafiz, sedangkan Mas Wira diam seribu bahasa dengan raut wajah yang tak bisa kuterjemahkan. Aku memandang Kak Hafiz sambil menghela napas berat.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
yah kenapa ceritanya udah abiiiiis,penasaran sama lanjutannya (T-T ) kakak ada sosmed ga? aku pingin follow biar bisa keep up ama cerita2nya kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status