Share

BAB 5

Setelah sarapan pagi, Mas Wira langsung beranjak ke kamarnya. Aku menarik tangannya, menahan langkah Mas Wira. “Mas, kita ke museum cokelat yuk.”

            Baru saja Mas Wira membuka mulutnya untuk menjawab ajakanku. Papa Mas Wira tiba-tiba nyeletuk dari belakang kami. “Setujui aja maunya Fita, Mas. Sekalian kan jalan-jalan.”

            Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tumben-tumbenan Papa Mas Wira bersuara, biasanya diem-diem bae kayak lagi sakit gigi. Ini lagi nggak berhalusinasi, kan?

            Mas Wira menatapku dengan tatapan pasrah. “Iya, Pa.” jawabnya singkat banget. Walaupun singkat, nggak bisa dipungkiri sih aku langsung tersenyum senang. Aku otomatis beryeay ria.

            “Hafiz ikut juga, ya.” tiba-tiba Hafiz nimbrung.

            “Boleh, boleh.” Aku mengangguk sambil melemparkan senyum paling manis ke arah Hafiz tanpa menoleh ke arah Mas Wira.

            “Kenapa nggak jalan sama Alfa aja?” tanya Mas Wira dingin.

            Aku cemberut mendengar pertanyaan Mas Wira. Emangnya Mas Wira mau berduaan sama aku?

            “Males banget berduaan sama Hafiz. Ntar dikirain maho.” sahut Alfa yang lagi menyambar minuman punya Icha.

            “MAS ALFAAAA!”  benar saja, Icha langsung murka mengetahui minumannya disambar Alfa yang emang nyebelin.

            “Pelit banget sih!” Alfa menjitak kepala Icha yang akan benar-benar murka. Tapi Alfa langsung bersiap ngacir sebelum disemprot omelan Icha.

            “Yaudah sih, Mas. Nggak boleh berdua-duaan.” aku menoel lengan Mas Wira.

            “Iya, soalnya yang KETIGA dan KEEMPAT itu SETAN.” sambung Mas Wira dengan nada bicara yang seakan menyindir.

            Aku mengernyitkan keningku. Mas Wira meninggalkan aku dan Hafiz yang masih terheran-heran. “Kenapa sih, Mas Wira?” tanyaku bingung pada Hafiz.

            “Cemburu mungkin?” Hafiz mengedikkan bahunya. Hafiz meninggalkanku yang masih bertahan dengan ekspresi ‘Hah?’.

***

Aku menuruni anak tangga, ternyata Mas Wira, Alfa dan Hafiz sudah siap sedari tadi. Tumben-tumben mereka semua cepat banget siap-siapnya.

            “Fita manis banget deh kayak brown sugar menaburi boba.” ujar Alfa seperti biasa heboh. Ia menggunakan kaos oblong warna soft kuning dan celana jeans warna krem.

            “Kamu pikir Fita ini makanan?” timpal Hafiz.

            “Iri bilang bossss!!!” jawabnya santai. “Ma… cocok nggak aku dan Fita? Bajunya sama-sama kuning pula.” tanya Alfa pada Mamanya yang hendak ke dapur. Yang ditanya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keusilan Alfa. Pasti sih, dia ini mau buat panas si Mas Wira.

            Mas Wira menatapku dengan tatapan tajam. Ia langsung mengenggam tanganku, lalu meninggalkan Alfa dan Hafiz begitu saja. Tapi, mereka berdua segera mengejar aku dan Mas Wira.     

            Aku ingin melepas genggaman tangan Mas Wira, tapi keburu Alfa dan Hafiz menyusul. Bisa bahaya kalau ketahuan kita ini hanya pura-pura. Aku hanya bisa pasrah. Mas Wira membukakan pintu mobil untukku. Aku langsung masuk ke mobil dan duduk manis.

            “Nggak ngucapin terima kasih?” tanya Mas Wira mengejutkanku.

            Aku melongo mendengar pertanyaan tak terduga dari Mas Wira. “Kenapa  harus terima kasih?” tanyaku balik dengan wajah bingung.

            “Bukannya cewek suka ya diginiin? Dibukain pintu ala-ala film romantis.” gumam Mas Wira.

            Ha? Rasanya aku ingin ketawa guling-guling mendengar apa yang dikatakan Mas Wira barusan. Kocak banget, bisa-bisanya dia berpikiran untuk romantis. Eh, bentar-bentar? Apa jangan-jangan Mas Wira diam-diam udah jatuh cinta sama aku?

            “Ya mana sukalah kalau yang bukain pintu si manusia kulkas.” ujar Alfa dengan wajah tanpa dosa.

            Mas Wira menatap Alfa tak suka. Ia bergegas untuk masuk ke mobil dan duduk tepat di sampingku. Ya, lagi-lagi Mas wira yang mengendarai mobil untuk jalan-jalan kali ini. Aku menutup pintu mobil yang masih ternganga.

            Perjalanan ke daerah Bantul memakan waktu cukup lama, Mas Wira akhirnya menghentikan mobil yang ia kendarai ke sebuah mini market untuk membeli beberapa cemilan selama perjalanan.

            Aku lari ke kulkas, berniat untuk mengambil susu strawberry. Tiba-tiba Mas Wira menyodorkan sebuah keranjang ke arahku. “Taruh di sini aja. Mau beli susu strawberry, kan?”

            Aku cengo. Buset udah hafal aja si Mas Wira sama kesukaanku. Aku mengangguk, lalu mengambil 3 kotak susu rasa strawberry. Setelahnya, aku pergi ke rak makanan ringan. Aku mengambil cemilan rumput laut tae kae noi.

            “Permen kojek rasa strawberrynya?” tanya Mas Wira makin membuatku terperangah.

            “Bukannya kata Mas, ntar sakit gigi?” tanyaku balik sambil mengernyitkan dahiku.

            “Nggakpapa, kan ada aku yang ngobatin.” jawabnya kalem.

            Aku bergidik ngeri mendengar jawaban yang sama sekali tak ingin kudengar keluar dari mulut seorang Mas Wira. Tiba-tiba terdengar Alfa tertawa keras. Aku dan Mas Wira sontak menoleh.

           “Geli banget sama gombalannya Mas Wira!” katanya sambil masih terkikik. Ketawanya Alfa membuatku jadi ikutan tertawa, entah kenapa tertawanya menularkan rasa ingin tertawa pula.

           Mas Wira pura-pura budek, ia segera menuju ke kasir. Membayar semua belanjaanku. Hafiz berjalan menuju pintu keluar dengan berbagai macam cemilan dan minuman dipelukannya. Aku menautkan kedua alisku bingung.

           “Heh! Bayar dulu woi!” teriak Alfa.

           “Kan mini market ini punya kamu. Jadi gratis, nggak perlu bayar. Dah!!!” sahut Hafiz santai tanpa dosa.

           “Hah?”

           “Iya. Coba baca aja di depan. Tulisannya kan ‘ALFAMART’, berarti punya kamu kan?” ujar Hafiz makin ngaco. Aku tertawa geli mendengar ujaran Hafiz yang rada gila.

          “HEH!!! NGGAK GITU GENDENG!” seru Alfa emosi. Ia mengejar Hafiz yang kesusahan ingin membuka pintu mini market. “Bayar dulu sana!” Alfa menarik kerah baju Hafiz, lalu mendorongnya ke arah kasir. Hafiz masih sempat-sempatnya cekikikan meski didorong temannya sendiri yang sedang emosi itu.

***

Kami mendengarkan penjelasan mbak dari Museum Chocolate Monggo dengan seksama tentang cara pembuatan cokelat kreasi sendiri. Kami sudah siap dengan celemek dari Museum Chocolate Monggo.

            Aku kebagian jadi yang pertama mencoba untuk membuat kreasiku sendiri. Tanganku entah mengapa sedikit bergetar, membuat tampilan cokelat yang ku buat jadi bergerigi tak jelas bentuknya.

            Setelahku, giliran Mas Wira, ternyata ia membuat cokelat berbentuk awan. Entah apa maksudnya membuat itu. Alfa seperti biasa dengan segala kegilaannya, ia membuat bentuk huruf I, bentuk hati, dan huruf U. Lalu, dengan ngawurnya bilang, “Ini spesial untuk Fita”. Jelas saja terang-terangan Mas Wira melotot ke arah Alfa. Sedangkan Hafiz, ia membuat bentuk emoticon senyum begitu rapi. Sepertinya, Hafiz ada sedikit jiwa seni.

            Cokelat yang kami buat harus didinginkan di dalam lemari pendingin untuk beberapa menit. Kami memutuskan untuk pergi menyeruput cokelat di kedai cokelat. Mas Wira duduk di sampingku, sedangkan Alfa dan Hafiz masih sibuk memesan.

            “Mas suka awan?”

            “Yap! Awan itu meneduhkan, meski jarang dipuja. Kebanyakan orang fokus pada matahari yang bersinar. Sama seperti kita, terkadang begitu silau dengan kehebatan orang lain yang begitu menonjol.” ujar Mas Wira. “Padahal menjadi diri sendiri saja jauh lebih nyaman dibanding harus memaksa menjadi orang lain agar terlihat bersinar namun rasanya begitu menyiksa.”

            “Apakah Mas sudah menjadi diri sendiri?”

            “Menurutmu belum?” Mas Wira bertanya balik. “Bukankah sudah jelas ya, kalau aku ini nyaman dengan diriku yang seperti kulkas tanpa peduli komentar orang lain.”

            Aku menggelengkan kepalaku. “Hmm… buktinya tadi Mas Wira berusaha pengen romantis seperti orang lain.”

            Mas Wira membuang mukanya, menutupi rasa malu yang menjalar. “Apa sih.”

            “Jadilah romantis, tanpa mengubah jati diri.” bisikku.

            Mas Wira menatapku, aku tersenyum tulus padanya. Alfa dan Hafiz akhirnya datang. Alfa duduk tepat di depanku. Ia menatapku senyam senyum kayak orang kesengsem. “Nanti aku belikan baju lagi, ya.” ucap Alfa sambil menyeruput cokelat miliknya.

            Kontan Mas Wira dan Hafiz menoleh ke arah Alfa. “Kenapa pada noleh ke arah aku?” tanyanya. “Iya, tau kok aku ini ganteng.” gumamnya kepedean.

            Mas Wira melengos. Hafiz terbatuk-batuk mendengar gumaman yang penuh dengan kepercayaan diri Alfa. “Ganteng kalau dilihat dengan mata tertutup.” cibir Hafiz.

            Alfa menendang kaki Hafiz. Hafiz mengaduh kesakitan. “Lemah! Ditendang dikit aja udah kesakitan. Gimana mau mengayomi masyarakat?”

            “Dih, bawa-bawa masyarakat pula!” Hafiz ngedumel.

            “Kira-kira udah selesai didinginin belom ya, cokelat yang kita buat tadi?” tanyaku tiba-tiba.

            “Tuh, tanyain aja sama orang yang disamping kamu, Fit.” jawab Alfa sambil mengarahkan dagunya menunjuk ke arah Mas Wira. Aku menoleh ke arah Mas Wira yang masih stay cool aja. Keningku berlipat, berusaha mencerna maksud dari Alfa. “Kan Masku itu kulkas.” imbuhnya.

            Hafiz menepuk paha Alfa. “Dikutuk Mas Wira baru tau rasa!”

            Aku menahan tawaku. Mas Wira melirik tajam ke arahku yang sedang menahan tawa. “Sana kamu cek ke dalam!” Mas Wira menyuruh Alfa yang mendengus. Hafiz mengekori Alfa.

            “Aku mau ikut juga ah.” ujarku sambil ngacir meninggalkan Mas Wira seorang diri. Sesampainya disana, aku malah terdistraksi dengan sekumpulan orang yang sedang membuat cokelat kreasi. Kepo, kira-kira mereka bisa buat cokelat dengan bentuk yang cantik atau nggak.

            “Nih, untuk kamu biar selalu tersenyum.” Hafiz menyodorkan cokelat buatannya.

            Aku kaget bukan main. Apakah aku sedang bermimpi, tiba-tiba mendapatkan cokelat buatan tangan Hafiz sendiri?

            “Kok nggak diambil?” tanyanya menyadarkanku dari lamunan.

            “Eh, mau kok.” Aku dengan sigap mengambil cokelat pemberian Hafiz. “Makasih.” jawabku malu-malu.

            “Sesulit apa pun ujian yang sedang dihadapi, jangan pernah membiarkan lengkung senyum berubah menjadi cemberut yang berkepanjangan.” pesannya.

            Aku mengangguk mengerti. Hafiz meninggalkanku begitu saja setelah membuatku terkesima nggak karuan. Aku berjalan menuju etalase yang memajang beberapa macam cokelat yang dijual. Di atas etalase tersebut ternyata ada tester. Mumpung gratis aku mencoba semua tester, ternyata yang kadar kakaonya lebih tinggi rasanya lebih enak menurutku. Cokelat makin pahit rasanya menjadi begitu unik di lidah.

            Aku memasang wajah tak tahu malu, mengambil lagi tester yang aku sukai. Mbak penjaga cokelatnya melemparkan senyum ke arahku. Mungkin di dalam hati mbaknya udah mengutuki tingkahku yang celamitan nggak tahu malu.

           “Kenapa suka coklat yang kadar kakaonya 86%? Bukannya pahit ya?” tanya Mas Wira tiba-tiba.

           “Biar jadi reminder kalau hidup itu nggak cuma terdiri dari rasa manis aja, tapi juga rasa pahit.” jawabku ngasal masih sambil mengunyah cokelat.

           Mas Wira sedikit terkejut dengan jawabanku. Ada raut rasa kagum muncul di raut wajahnya. Ia mengusap kepalaku lembut, lalu tersenyum.

            “Sama kayak kopi yang mengajarkan bahwa rasa pahit itu nggak seburuk yang kita pikirkan. Minum kopi bareng, yuk.” ucap Alfa yang berdiri tepat di belakang kami berdua.

            “Fita nggak suka kopi. Sukanya susu.” jawabku sambil nyengir kuda.

            Terdengar suara tertawa renyah milik Hafiz. “Kasian banget sih, Fa!” ledek Hafiz sambil tertawa memegang perutnya.

            Mas Wira tersenyum miring. “Mas, kalau mau ketawa, ketawa aja tau.” ujarku sambil memandangi wajahnya.

            “Siapa juga yang mau ketawa?” elak Mas Wira. Ia meninggalkanku yang mendengus.

***

“Turun.” perintah Mas Wira.

            Alfa dan Hafiz membuka pintu dan keluar dari mobil. Aku pun membuka pintu mobil. Baru saja aku hendak keluar, Mas Wira menahan tanganku. “Jangan pergi.”

            Aku menautkan kedua alisku. “Kenapa?”

            “Tutup lagi pintunya.” seru Mas Wira tanpa menjawab pertanyaanku.

            Aku menuruti perintah Mas Wira untuk menutup pintu mobil kembali. Tiba-tiba Mas Wira menjalankan mobilnya dan meninggalkan Alfa yang auto berteriak.

            “Mas kita mau kemana?” tanyaku yang masih kaget. Mas Wira diam saja, seakan-akan tidak mendengar pertanyaanku. “MASSSSSSSSS!” teriakku.

            “Kamu kenapa teriak sih?” protesnya.

            “Oh, kedengaran ya? Kirain Mas Wira congekan.” sindirku santai. Ia mendengus.

            Suasana mobil menjadi hening, sehening saat mengheningkan cipta pas upacara bendera. Nggak ada suara radio, nggak ada suara apa-apa, selain suara mobil yang menderu. Membosankan sekali! Aku menoleh sebal ke arah Mas Wira.

            “Baju kuning yang kamu pake dikasih Alfa?” tanya Mas Wira tiba-tiba.

            “Iyalah. Mas Alfa kan baik, perhatian, dan sangat-sangat mengerti aku.” jawabku sambil bersungut-sungut.

            “Alfa itu pemain wanita.” ujar Mas Wira dengan suara yang terdengar seakan memperingatiku.

            “Alfa memang pemain wanita, namun Alfa bukan buaya.” Aku menyanyikan lagu Pecinta Wanita yang dipopulerkan oleh Irwansyah dengan suara cemprengku.

            Mas Wira menoleh ke arahku dan mengerutkan dahinya dengan ekspresi penuh tanda tanya. “Kamu ngapain sih?”

            “Nyanyi.” jawabku enteng.

            “Lain kali jangan nyanyi lagi deh. Kayak orang kesurupan tau!”

            Aku menoleh dan melotot berang ke arah Mas Wira. “Maksudnya?”

            “Ya, pikirlah sendiri. Punya otak kan?” Mas Wira sama sekali tidak menoleh dan peka dengan kekesalanku. Aku menarik tangan kanannya, lalu menggingit tangan Mas Wira sekuat tenaga. “Arghh! Sakit!” Mas Wira menarik tangannya.

            “Makanya kalau ngomong tuh jangan bikin orang lain sakit hati.”

            “TURUN!”

            Aku langsung tercengang dengan seruan Mas Wira yang menyuruhku turun. Mati lah kamu Fita! Pasti Mas Wira marah banget sama aku.

            “Turun.” serunya sekali lagi.

            “Nggak punya hati!” teriakku. Aku keluar dari mobil Mas Wira dengan penuh kekesalan.

            Mobil Mas Wira melaju kencang meninggalkan aku yang masih nggak ngerti sama isi otak laki-laki dingin itu. “Itu manusia atau apa sih? Ngeselin banget!!!!” aku terus ngedumel tiada henti. Aku duduk dipinggiran jalan. “Kok ada ya cowok kampret kayak si Mas Wira.” gerutuku.

            “Siapa yang kampret?”

            “Mas Wira.” jawabku berapi-api.

            “Meskipun udah ditolongin untuk nginep di rumah aku, tetap aja kampret ya?”

            Mataku membesar ketika menyadari suara yang tak asing bagi indera pendengaranku. Sejenak aku menahan nafas. Pelan-pelan memberanikan diri untuk menoleh. Benar saja, Mas Wira sedang melipat kedua tangannya di dada dengan tatapan yang menurutku seakan ingin menerkamku.

            Aku menyeringai. “Hehe… kok Mas ada di sini sih?”

            “Ya, mau ngajak kamu jalan-jalan menikmati suasana malam di Malioboro lah.”

            Aku terkejut mendengar jawaban Mas Wira. “Lho, bukannya tadi Mas ngusir aku dari mobil. Terus ninggalin aku sendirian, kan?” tanyaku berusaha membetulkan semua prasangka burukku padanya.

            “Nggak.” jawabnya singkat padat dan jelas.

            Ternyata benar, akulah yang salah menilai Mas Wira. Eh, nggak sepenuhnya salah aku sih. Salah sendiri kenapa nggak bilang mau ngajak aku jalan. Kami akhirnya berjalan menyusuri jalan malioboro. Kami memutuskan berhenti sejenak melihat dan menikmati penampilan seorang penyanyi jalanan yang membawakan lagu Naff.

Akhirnya ku menemukanmu

Saat hati ini mulai merapuh

Ku berharap engkaulah

Jawaban segala risau hatiku

Dan biarkan diriku

Mencintaimu hingga ujung usiaku

            Aku dan Mas Wira sama-sama saling pandang. Entah mengapa seakan-akan lagu yang dinyanyikan memang cocok dan menyindirku dan Mas Wira. Aku menunduk malu. Ada apa sebenarnya? Kenapa hatiku seakan memaksaku untuk sadar bahwa Mas Wira memang sosok yang aku cari selama ini.

            Semua penonton bertepuk tangan dan menyoraki penuh semangat sang vokalis yang memang bersuara merdu. “Mau beli minum nggak?” tanya Mas Wira.

            Aku mengangguk. Tiba-tiba aku melihat mas-mas penjual permen kapas. “Mas mau itu.” pintaku sambil menunjuk penjual permen kapas.

            Sebelum Mas Wira menjawab iya, aku sudah menarik tangannya untuk ikut denganku menghampiri penjual permen kapas. Aku membeli dua. Sebenarnya satunya untuk Mas Wira, tapi ternyata dia nggak mau, yaudah untuk dibawa pulang aja deh.

            Aku menunggu di kursi yang tersedia di sepanjang Jalan Malioboro. Mas Wira sedang ke mini market membeli minum. Tadi katanya mending aku duduk dan menunggu di sini saja. Aku duduk sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Malioboro memang tak pernah sepi, meski malam mulai larut.

            Mas Wira terlihat berjalan menghampiriku dari kejauhan. Tidak ada senyum di raut wajahnya. Pembawaannya begitu dingin, pantas memang julukan manusia kulkas untuknya. Ia duduk di sampingku, membukakan tutup botolnya terlebih dahulu, lalu memberikannya padaku. “Nih, minum dulu.”

            Aku mengambil air mineral yang disodorkan Mas Wira. “Makasih, Mas.” kataku. Setelah minum, aku membuka plastik permen kapas. “Mau Mas?” tawarku.

            Mas Wira menggeleng. “Aku nggak makan beginian.”

            “Terus makannya apa dong?” tanyaku sambil memasukkan permen kapas yang sudah kupotek ke dalam mulutku.

            “Kamu.”

            Aku menoleh cepat ke arah Mas Wira. “Iiiii takut….”

            Mas Wira tertawa kecil tanpa suara melihatku. “Lagian nanyanya gitu sih.”

            Aku memukul pelan lengan Mas Wira. “Eh, Mas. Tipe istri Mas itu yang kayak gimana?”

            Sekarang justru Mas Wira yang menoleh ke arahku. Ia menaikkan alisnya tinggi-tinggi. “Kenapa nanya-nanya? Mau daftar?”

            “Ih, pede banget sih!” cibirku.

            “Hmmm… aku suka cewek yang mencintai dirinya sendiri. Mencintai diri sendiri itu bukan egois ya maksudnya.” ujar Mas Wira.

            “Menurutku seseorang yang udah mencintai dirinya sendiri, tentunya dia udah tau apa arti bersyukur, bahagia, dan mencintai orang lain juga. Jika seseorang sudah bisa mencintai dirinya sendiri, maka dia akan melakukan yang terbaik untuk dirinya, menerima dan menjaga dirinya sebaik mungkin. Ia juga nggak akan ketergantungan akan kebahagiaan dari orang lain, dan dia jauh lebih tau untuk menghargai dan mencintai orang lain pula.” tambahnya.

            “Udah? Gitu aja?”

            “Lho, emang tipe suami kamu kayak gimana?”

            “Aku selalu berdoa ke Allah agar dijodohkan dengan sosok yang baik agamanya biar tujuan pernikahan kami bukan sekedar saling mencintai tapi juga mengharap ridho Allah, yang baik tingkah laku dan tutur katanya, yang punya jiwa sosial biar pernikahan kami bukan sekedar tentang kami saja tapi juga tentang saling menebarkan kebermanfaatan dan kebaikan untuk orang sekitar pula, yang satu visi misi tentunya, dan pekerja keras.” jelasku sambil tersenyum-senyum.

            “Itu doa atau gerbong kereta api? Panjang banget!” semprot Mas Wira.

            “Ih, kalau berdoa tuh harus detail, Mas. Biar Allah nggak bingung.”

            “Berdoa itu cukup minta saja yang terbaik untuk kita. Percaya deh, Allah itu Maha Baik, jadi nggak mungkin memberikan yang terburuk untuk hamba-Nya.” nasehat Mas Wira. Aku terdiam dibuatnya.

***

“Kesel banget deh, Ma. Masa temen Icha ngatain Icha, ‘Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau masih ngurusin dapur’, gitu katanya” cerita Icha dengan bibir yang manyun. “Padahal kan Icha pengen kayak Mama yang pinter masak dan masakannya selalu dikangenin.”

            Mama Mas Wira tersenyum mendengar keluhan Icha. “Orang tua menyekolahkan anaknya bukan untuk menyombongkan diri. Kembali ke dapur bukanlah hal yang rendahan, melainkan bentuk kasih sayang kita ke orang terkasih. Tapi, ingat! Nggak pernah ada paksaan bahwa wanita harus bisa masak. Masak itu bisa dilakukan sama perempuan maupun laki-laki, istri maupun suami.”

            “Sekolah tinggi-tinggi seharusnya dapat membuka pikiran kita untuk semakin bijak dalam bertindak, bukan malah menginjak.” Mama Mas Wira menatap Icha dalam-dalam.

           “Icha kalau mau dihargai dan dicintai orang lain. Ya, Icha juga harus melakukan itu juga ke orang lain. Jangan pernah berkoar-koar menuntut tapi kita sendiri tidak melakukan hal yang kita tuntut ke orang lain.” Mama Mas Wira menepuk pundak Icha.

            “Mama memang terbaik deh!” Icha menghambur ke dalam pelukan Mamanya. “Terima kasih ya Ma sudah lahir ke dunia ini untuk jadi wanita paling hebat di hidup Icha.” ucap Icha tulus.

***

Aku menghampiri Alfa yang sedang duduk di balkon, lalu duduk langsung di sampingnya tanpa persetujuannya terlebih dahulu. “Lagi ngapain?”

            Alfa menoleh. “Liatin langit malam.” jawabnya.

            Aku membuka plastik yang membungkus permen kapas. Lalu, melahapnya sendiri tanpa menawarkannya pada Alfa. Manusia dewasa mana lagi yang doyan permen kapas selain aku?

            “Kok nggak bagi-bagi sih?” Alfa mencebik.

            “Lho, emang Mas Alfa suka?”

            “Iya. Aku sering banget iseng ke Malioboro cuma untuk beli permen kapas.” jawab Alfa jujur. Aku terbatuk-batuk. Yang benar saja seorang Alfa masa doyan makanan kayak bocah gini? “Kamu kaget ya?”

            Aku mengangguk. “Ini kan makanan bocah. Mana Mas Alfa kan cowok, terus gagah gitu. Kayak nggak mungkin banget suka yang beginian.”

            “Gini nih yang aku nggak suka. Kenapa sih cowok itu selalu dipandang gitu? Kalau pake sesuatu yang berwarna pink, diledekin. Makan makanan bocah, diledekin. Minum susu, diledekin. Nangis dan mengaduh kesakitan, diledekin. Memangnya laki-laki dewasa itu robot?”

            Aku mengerjap-ngerjapkan mataku mendengar curcolan Alfa. “Hmmm… bukan sih.”

            “Kita tuh terlalu banyak diatur standar masyarakat tau. Laki-laki nggak boleh nangis, perempuan harus bisa masak. Padahal kan laki-laki juga manusia yang punya emosi dan rasa. Sama halnya dengan memasak, nggak ada gender mana pun yang diharuskan. Bisa memasak atau tidak itu pilihan.” jelas Alfa. Alfa kalau lagi begini benar-benar beda dengan tingkahnya yang seperti biasa.

            “Aku setuju dengan pemikiran Mas Alfa. Terlalu banyak standar masyarakat yang melekat, terutama di negara kita ini.” jawabku sambil mengangguk-angguk.

            “Yap, makanya jangan jadikan standar yang ada di masyarakat itu membuatmu nggak bahagia, bahkan menjadi buah pemikiran yang berlebihan sampai buat diri jadi depresi.”

            Aku menyodorkan permen kapas kepada Alfa. Ia mengigitnya langsung. “Manis.” gumamnya.

            “Kalau asin, namanya garam bukan permen.” sahutku sewot.

            Alfa terbahak. “Padahal aku mau ngegombal tadi tuh.”

            “Nggak suka digombalin. Nggak kenyang.”

            “Tapi bikin sayang?” tanya Alfa jahil.

            Aku mendelik. “Ih, males banget!”

            “Hati-hati, ntar malah mau banget.” godanya. Aku mencubit perut Alfa, ia mengaduh kesakitan. Aku memeletkan lidahku, sambil bilang ‘rasain!’.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status