Share

BAB 7

Tanpa sengaja aku menabrak seseorang, lalu jatuh terpental ke bawah, orang yang tabrakan denganku malah nggak kenapa-napa. Masih berdiri dengan kokoh. Aku mendongak, ternyata aku menabrak Hafiz.

            Alfa langsung menghampiri dan membantu berdiri. “Ada yang luka nggak?” tanyanya panik.

           Aku menggeleng. Wajah Hafiz langsung berubah khawatir juga. “Maafin aku, Fita. Kamu nggakpapa kan?” tanya Hafiz sambil memegang wajahku.

           Alfa menepis tangan Hafiz. “Gimana sih? Kalau jalan pake mata dong, Fiz!”

           “Jalan pake kaki, kali.” debat Hafiz.

          Aduh, mulai deh pertemanan seperti Tom and Jerry muncul lagi. Entah apa yang membuat mereka bisa berteman, tapi selalu berantem. Pertemanan yang aneh. Aku menepuk jidatku.

          “Ada apa?” tanya Mas Wira tiba-tiba muncul entah darimana, kayak jelangkung.

          “Ini si Hafiz nabrak Fita sampe jatoh, Mas.” Alfa mengadu ke Mas Wira. “Marahin aja, Mas.”

          Aku terperangah melihat Alfa yang tanpa disangka malah mengadu ke Mas Wira kayak anak kecil yang ngadu ke Papa-Mama-nya. Hafiz menoleh ke arah Alfa dengan tatapan ingin mencekik temannya itu.

         “Maaf, Mas Wira. Hafiz tadi nggak sengaja, Mas.” ujar Hafiz nggak enak dengan Mas Wira.

         “Yaudah nggakpapa.” kata Mas Wira tidak mau ambil pusing. “Fita, ikut Mas.”

          Aku langsung mengikuti Mas Wira. “Kenapa, Mas?” tanyaku menyusul langkah kaki Mas Wira. Mas wira bergeming. Aku menutup mulutku kembali, terpaksa ikutan diem juga, takut ntar tiba-tiba disemprot.

           Kami berjalan ke arah taman. Mas Wira duduk, aku juga ikut duduk di sampingnya. “Kamu beneran nggak kenapa-napa?” tanya Mas Wira.

           Aku menautkan kedua alisku. Jadi, Mas Wira nyuruh aku ikutin dia. Cuma buat nanyain ini?

           “Ada yang sakit?” tanyanya lagi.

           Aku iseng mengaduh kesakitan tiba-tiba. “Aduh, kaki aku sakit, Mas.”

           Mas Wira langsung panik dan mengecek keadaan kakiku. Aku langsung tertawa kencang melihat ekspresi khawatir Mas Wira. “Nggak kok, Mas. Aku nggakpapa.”

           Mas Wira menatapku tajam dengan mata hitamnya. “Hal kayak gini jangan dijadiin becandaan.” ujarnya serius.

           Aku yang masih ketawa langsung terdiam dan menunduk. Aku menoleh ke arah Mas Wira hati-hati. “Maaf, Mas.” ucapku agak ngeri.

           Mas Wira hanya ber-hm. Beberapa menit kami hanya diam-diaman. Tiba-tiba Mas Wira sibuk merogok kantung celananya. “Nih.” Mas Wira menyodorkan sebuah jepit dengan tempelan strawberry kecil diatasnya.

            Aku seketika takjub. “Lucu banget!!!” pekikku sambil mengambil jepit tersebut dari tangan Mas Wira.

            Mas Wira tersenyum melihatku yang senang melihat kelucuan sebuah jepit strawberry doang. “Suka?”

            Aku menoleh dan mengangguk dengan semangat. “Suka, Mas. Makasih.” ujarku sambil melempar senyum termanis. “Aku mau ngegombalin Mas Wira deh.” celetukku.

            Mas Wira menaikkan alisnya sebelah. “Nggak. Nggak usah.”

            “Ih, mau gombalinnnn.” rengekku sambil menarik-narik lengan baju Mas Wira.

            “No, no, no.”

***

Mas Wira, sibuk melerai Alfa dan Icha yang sedang adu mulut ala kakak-adek. Seperti biasa, Alfa ngisengin Icha. Mama Mas Wira sibuk ngurusin barbeque-annya. Papa Mas Wira hari ini ada jadwal operasi mendadak di rumah sakit.

Hafiz berjalan menghampiriku. “Nih, untuk kamu.” Hafiz memberikanku segelas jus jeruk.

            Aku menerima pemberian Hafiz. “Thank you, Kak.”

            “Menurut kamu, manusia hidup itu untuk apa sih?” tanya Hafiz tiba-tiba.

            Aku membenarkan posisi dudukku. “Menurut Fita setiap manusia yang dilahirkan di bumi ini pasti ada alasannya masing-masing. Ada yang diciptakan untuk menjadi dokter yang dapat memberikan harapan hidup untuk orang-orang yang sakit. Ada yang diciptakan sebagai peneliti dan menemukan suatu hal yang dapat memudahkan kehidupan manusia lainnya.” ujarku sambil menyeruput jus jeruk sejenak.

            “Intinya manusia hidup itu ya untuk saling menebarkan manfaat dengan caranya sendiri.” tambahku.

            “Lalu, bagaimana dengan yang merugikan manusia lainnya?” tanya Hafiz lagi.

            “Dia hanya belum tau bahwa dirinya sangat dinantikan banyak manusia lainnya untuk menebarkan manfaat.” jawabku sambil mengangguk-angguk. “Masih banyak manusia di bumi ini yang nggak sadar bahwa dirinya sangat berharga.”

            Hafiz tersenyum mendengar jawabanku. “Sama halnya seperti kamu yang nggak tau seberapa berharganya kamu bagiku.” kata Hafiz tiba-tiba.

            Aku menoleh seketika, menatap manik mata Hafiz yang seakan mengatakan bahwa perkataannya barusan tidaklah bohong. Aku mematung, sedikit shock dengan apa yang barusan kudengar.

***

Mataku masih saja terang, seakan tak ada rasa kantuk yang menyelimuti. Ucapan Hafiz beberapa jam yang lalu benar-benar membuatku sakit kepala dan jadi tak karuan rasanya. Hatiku benar-benar bingung. Bukankah aku harusnya senang? Lalu, mengapa sekarang aku jadi bingung sendiri?

            “Suatu saat Kak Hafiz pasti suka sama aku.” ujarku dengan wajah yang mesem-mesem ala orang yang sedang ketiban cinta.

            “Masih siang, Fit. Mimpinya nanti aja pas malam.” sahut Efni.

            Aku menoleh tak senang. “Awas aja! Kamu bakal kaget kalau tau Kak Hafiz bakal nyatain cinta ke aku.”

            Efni bangun dari duduknya. Lalu, menyeretku paksa. “Ayo!”

            “Mau kemana sih?”

            “Ngerukiah kamu!” jawab Efni sebal.

            Aku tersadar dari lamunanku karena ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku bergegas turun dari tempat tidur dan menuju pintu untuk membukanya. Ternyata Mas Wira.

            “Kenapa Mas?”

            “Kok belum tidur?” tanyanya balik.

            Aku mengedikkan bahuku. “Nggak bisa tidur.”

            “Yaudah, ikut Mas aja.” ajak Mas Wira.

            Aku mengangguk setuju dan menutup pintu kamar. Mas Wira mengajakku duduk di balkon. “Oh, Mas Wira juga sering duduk di sini?” tanyaku.

            Mas Wira yang hendak duduk langsung menoleh ke belakang, lebih tepatnya ke arahku. Aku mengernyitkan keningku seakan mengatakan ‘ada apa?’.

            “Kenapa kamu tanya gitu?”

            “Soalnya Mas Alfa sering duduk-duduk di sini juga.” jawabku jujur.

            “Sama kamu?” tanyanya dingin.

            Aku meringis mengiyakan. Mas Wira seketika menatapku dengan tatapan dingin. Ia duduk diam dan mengabaikan aku. Aku memberanikan diri mendekatinya dan duduk di sampingnya.

            “Mas, coba liat ke arah langit deh.”

            Mas Wira menuruti perkataanku. Ia melihat langit malam yang sekarang dipenuhi bintang-bintang. “Kenapa?” tanyanya sambil menoleh ke arahku.

            “Mas suka langit malam?” tanyaku random, biar mencairkan suasana yang tadinya beku kayak di kulkas.

            “Suka.” Jawab Mas Wira singkat.

            Aku menoleh dan menatap Mas Wira sebal. “Kenapa suka?” tanyaku berusaha untuk tetap berbaik hati pada Mas Wira yang menyebalkan.

            “Karena suka itu nggak perlu alasan.” jawab Mas Wira sambil menaikkan alis.

            “Ih, Mas Wira copas! Itu kan kata-kata Fita.” protesku dengan suara cempreng.

            “Nanti aku tulis di daftar pustaka deh.” ujarnya sambil tersenyum.

            Aku seketika terperangah mendengar perkataan Mas Wira barusan. Tidak, tidak, sepertinya karena senyuman Mas Wira, bukan karena perkataannya. Aku langsung memaksa diriku untuk sadar dari pesona senyuman Mas Wira yang seakan menyihirku.

            “Emangnya lagi nyusun skripsi?” celetukku sewot.

            Mas Wira tertawa renyah. “Lagian kamu sih.”

            Aku ber-huh, lalu mengalihkan pandanganku ke langit malam. “Mas.”

            “Hmmm…”

            Aku berdesis mendengar jawaban Mas Wira yang hanya berdehem. “Mas Alfa itu udah berapa kali pacaran ya kira-kira?”

            Mas Wira langsung menoleh ke arahku. “Nggak tau.” sahutnya dengan nada ketus.

            Aku auto menoleh karena mendengar nada suara Mas Wira yang tidak mengenakkan. “Kok Mas Wira ngegas sih?”

            Mas Wira diam saja. Aku memonyongkan bibirku, dongkol. “Kalau mau tau. Tanya aja sendiri.” ujarnya dingin. Ia meninggalkanku tiba-tiba. “Tidur. Udah malem.” tambahnya lagi.

            Aku mengikuti omongan Mas Wira barusan tapi dengan wajah dibuat-buat dan tanpa suara. Dasar si manusia kulkas!

***

Sarapan pagi kali ini jadi sedikit tidak nyaman. Wajah Mas Wira yang masam dan wajah Hafiz yang seakan meminta respon sesuatu dariku pasca pernyataan cintanya semalam. Alfa? Jelas saja dia masih cerah secerah matahari, dia tidak tahu apa-apa tentang kami bertiga semalam.

            “Pagi, Fita imut.” sapa Alfa saat aku duduk di kursi tempat kami biasa makan. Aku hanya tersenyum meresponnya.

            Icha malah menendang kaki Alfa. Kebetulan Alfa duduk berhadapan dengan Icha. “Nggak usah genit deh sama calonnya Mas Wira!” ujar Icha sambil melototin Alfa. Alfa hanya memeletkan lidahnya.

            “Ayo, kita mulai makan. Udahan berantemnya.” Mama Mas Wira seperti biasa melerai dengan nada lembut dan tidak emosian menghadapi anaknya.

            Tidak lupa ritual sebelum makan, berdoa bersama dipimpin Papa Mas Wira. Setelah berdoa, Alfa dengan riangnya menyantap sarapan pagi buatan Mamanya.

            Aku mengalihkan pandanganku dari Alfa ke Mas Wira. Ternyata Mas Wira sedari tadi memperhatikanku, aku langsung menunduk, menatap makanan di piring dan pura-pura tidak tahu bahwa Mas Wira sedang memperhatikanku.

           “Hari ini mau jalan kemana, Mas?” tanya Mama Mas Wira.

           “Mau ke Hutan Pinus Pengger. Menikmati suasana pagi, Ma.” jawab Mas Wira.

           “Oke!” sahut Alfa masih sambil mengunyah seakan-akan dia juga diajak untuk pergi bareng.

           “Emang kamu diajak?” tanya Mas Wira dengan nada datar yang terdengar jauh lebih nyebelin dari biasanya.

           Alfa menoleh sebal ke arah Mas Wira. “Yaudah, kalau gitu, Fita aku culik!” jawab Alfa pura-pura nggak tau kalau sekarang posisinya aku itu calonnya Mas Wira. Aku bergidik ngeri mendengar jawaban Alfa, takut mengundang amarah beruang kutub.

           “Kok kamu lama-lama kurang ajar, ya.” ujar Mas Wira dengan nada agak tinggi.

           Semua mata langsung tertuju ke arah Mas Wira. Raut wajahku benar-benar menunjukkan ekspresi panik.

           “Sudah tau Fita itu calon istrinya Mas, bisa-bisanya kamu memaksakan diri untuk berduaan sama Fita.” sambung Mas Wira marah.

           Aku terperangah mendengar perkataan Mas Wira yang benar-benar terlihat kesal. Mama Mas Wira kaget melihat anaknya yang tiba-tiba jadi marah. “Mas Wira.” itu saja yang keluar dari mulut Mama Mas Wira, seakan memberikan isyarat untuk Mas Wira mengontrol emosinya.

           Mas Wira pergi meninggalkan meja makan begitu saja, berjalan keluar rumah. Aku menatap kepergian Mas Wira dengan rasa bersalah, padahal aku nggak ngapa-ngapain sih.

           “Mas Alfa sih!” Icha berdecak sebal. “Marah kan Mas Wira jadinya.”

           Aku dengan segera melahap sisa makanan yang ada dan meminta izin untuk menyusul Mas Wira. Aku keluar rumah dan celingak-celinguk mencari keberadaan Mas Wira. Ternyata Mas Wira duduk di kursi taman sambil menopang dagu. Aku menghampirinya.

           “Mas Wira.” panggilku lembut. Mas Wira menoleh ke arahku. “Mas kenapa kok bisa semarah tadi?”

           Mas Wira jadi salah tingkah ditanya begitu. Dia pun bingung kenapa bisa seperti itu tadi. “Emmm…nggakpapa kok.” jawabnya dengan sedikit tergagap.

           Aku memandangnya dengan tatapan menyelidik. “Nggak mungkin nggak ada apa-apa.” ujarku dengan mata menyipit.

           “Yok, ke Pinus Pengger.” Mas Wira malah menarik tanganku untuk berdiri.

           “Eh, masa cuma pake baju kaos doang gini. Aku juga belum makeup.” Protesku sambil melepaskan genggaman tangan Mas Wira.

           “Nggak usah. Gini aja udah cantik.” jawab Mas Wira tanpa memperdulikan aku yang ingin melepaskan genggaman tangannya.

           Aku mendengus sebal, Mas Wira sepertinya tidak akan mendengarkan protesanku. Mau memaksa lepas juga percuma, tenaga Mas Wira jauh lebih kuat dari aku yang bertubuh mungil.

           Mas Wira membukakan pintu mobil untukku. Aku masuk ke dalam mobil dengan terpaksa. Ia hendak menutup pintu mobil untukku, aku langsung dengan sigap menutupnya sendiri lalu menatap garang Mas Wira.

           “Kenapa sih nggak suruh aku siap-siap dan ganti baju dulu?” aku ngedumel saat Mas Wira sudah duduk di sampingku.

           “Kenapa sih kamu nggak pede dengan penampilan kamu yang saat ini?” Mas Wira bertanya balik dengan mengikuti gaya bicaraku barusan sambil menghidupkan mesin mobil.

           Aku berdecak kesal melihat tingkah Mas Wira. “Mas, aku serius, lho.”

           “Iya, aku juga serius.” jawab Mas Wira santai.

           Aku melipat kedua tanganku di depan dada sambil cemberut. “Ya, menurut Mas aja! Masa mau pergi main cuma pake kaos oblong putih, celana selutut, pake sandal jepit gini, terus nggak pake makeup sama sekali.” cerocosku.

           “Terus kenapa? Kamu ngerasa nggak cantik gitu?” tanya Mas Wira. Aku hanya berdecak kesal. “You need to know, you are beautiful with or without makeup.” ucap Mas Wira seakan menampar pikiranku yang selama ini selalu fokus untuk terlihat cantik. Aku diam saja, tak lagi bersuara dan merasa sebal padanya.

***

Kami akhirnya sampai ke Hutan Pinus Pengger, tapi sayangnya wisata satu ini belum buka. Kata petugasnya buka jam 8, sedangkan saat ini masih jam 7. Mas Wira sedikit memohon ke petugas agar mengizinkan kami masuk. Namun, percuma saja, ternyata memang tidak bisa. Akhirnya kami menyerah dan masuk kembali ke mobil.

            “Padahal terakhir kali aku kesini boleh lho, subuh.” gumam Mas Wira. Aku hanya mengamati Mas Wira. Nggak tau harus merespon apa. “Kita ke Puncak Becici aja dulu, deh.”

            “Itu tempat apa, Mas?”

            “Mirip sama Hutan Pinus Pengger.” jawab Mas Wira.

            Aku mengangguk-angguk. “Yaudah, kesitu aja Mas.”

            Mas Wira melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Puncak Becici yang memang jaraknya tidak terlalu jauh kata Mas Wira memang benar adanya. Tidak butuh waktu lama kami pun sampai di Puncak Becici.

            Aku keluar dari mobil dan suasana Puncak Becici yang cukup dingin langsung menyeruak dan membuatku memeluk erat tubuhku sambil mengelus lengan tanganku agar hangat.

            Mas Wira yang melihatku merasa kedinginan langsung pergi menuju mobilnya lagi. Ia menyodorkan jaket parasut berwarna hitam ke arahku.

            Aku menoleh ke arahnya. “Mas, nggak ada sweater aja kah?” tanyaku agak ngelunjak.

            Mas Wira menoleh ke arahku. “Sini jaketnya. Coba aku cari dulu di mobil.”

            Aku mengembalikan jaket parasut kepada Mas Wira. Mas Wira mengambilnya, kembali ke mobil, membuka pintu tengah mobil dan sibuk mencari-cari sweater untukku. Ternyata ada juga sweater di mobil Mas Wira. Ia membawa sweater berwarna abu-abu lalu menyodorkannya kepadaku.

            Aku mengambil sweater milik Mas Wira, lalu membentangkannya untuk melihat ukurannya. “Gila! Gede banget. Ini sih bukan sweater, tapi dress.”

            “Pake aja. Nggak usah protes!” sahut Mas Wira.

            Aku mencibir. Lalu, memakai sweater tersebut. Benar saja, panjang sweater Mas Wira sampai ke paha-ku sedangkan tanganku tenggelam, kedodoran. Mas Wira menahan tawanya. Aku hanya bisa melotot sebal.

            Aku hanya bisa ngedumel sepanjang jalan. “Udah dibilang, mending ganti baju aja dulu. Tetap aja maksa.”

            “Udah dong ngomelnya.” bujuk Mas Wira. Aku masih cembetut. “Sebagai gantinya, nanti aku beliin es krim.”

            Aku menoleh dengan wajah senang. “Janji, ya?”

            Mas Wira mengangguk. Kami berjalan menyusuri tempat yang dipenuhi dengan pohon pinus. Ada beberapa warung-warung kecil yang menjual teh manis hangat, pop mie, gorengan dan jajanan kecil lainnya.

            “Mas Wira… mau pop mie.” rengekku.

            Mas Wira menghela napas melihatku. “Nggak usah. Kita beli air mineral aja, ya.” ujar Mas Wira lembut seakan memberikan pengertian untuk anaknya.

Aku mencebik sambil menatapnya dengan tatapan memohon. “Emang kamu nggak kenyang?” tanya Mas Wira masih mencoba agar aku nggak jadi beli pop mie.

            Aku menggeleng cepat. “Nggak. Lagian sarapannya udah lebih setengah jam yang lalu.” jawabku dengan wajah polos.

            Mau tak mau Mas Wira membelikanku sebuah pop mie dan satu botol air mineral. “Kita makannya di sana aja nanti.”

            Aku yang baru saja duduk di tempat duduk warung kecil itu langsung berdiri mengikuti Mas Wira yang melangkah keluar. Di sana mananya aku pun tak tahu. Ikuti saja apa kata Mas Wira, kebetulan aku belum pernah ke sini.

            Kami menyusuri jalan setapak yang telah disemen bersama batu-batuan kecil yang cantik. Di sepanjang jalan tersebut, ditanami bunga warna-warni yang menambah cantik suasana hutan yang ditanami pinus. Aroma embun pagi begitu kuat tercium oleh inderaku. Benar-benar begitu menyejukkan.

            Kami menuruni jalan mengarah ke sebuah papan yang ada bertuliskan ‘Puncak Becici’. Tapi, kami tidak ke arah situ. Mas Wira berbelok ke kiri ke arah sebuah ayunan putih. Dia duduk di ayunan tersebut, dan menepuk tempat di sampingnya sebagai kode untukku duduk di sampingnya.

            Aku duduk di samping Mas Wira. Lalu, membuka tutupan pop mie. Aroma pop mie menyeruak dan membuatku makin tak sabar untuk menikmatinya. Aku menyendokkan mie ke mulutku. “Hmmm… berasa lagi muncak.”

            “Kamu pernah ngedaki?” tanya Mas Wira penasaran.

            Aku menggeleng masih sambil mengunyah. “Nggak”

            Mas Wira mencibir. “Tadi omongannya kayak udah sering ngedaki aja.”

            Aku menyeringai lebar. “Belom pernah sih, Mas. Ntar aja deh honeymoon-nya di gunung aja.” sahutku santai. 

            Mas Wira menoleh ke arahku sambil mengerutkan keningnya. “Honeymoon kok di gunung? Kamu aneh-aneh aja!”

            Aku menghirup kuah pop mie. “Nggakpapa dong, biar beda dari yang lain.” kataku polos.

            Mas Wira menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataanku. Benar-benar fita ini limited edition. Anehnya itu khas, gumamnya dalam hati.

            “Mas, itu gunung apa?” tanyaku sambil menunjuk ke arah gunung di kejauhan sana.

            “Gunung Merapi.”

            Aku mengangguk-angguk. “Enak ya, suasana di sini menenangkan. Pemandangannya yang indah gini bikin kita jadi makin bersyukur.”

            “Iyap. Makanya kita perlu untuk keluar menikmati alam yang indah biar rasa syukur itu muncul.” sahut Mas Wira. “Bersyukur kita masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara segar di sini. Bersyukur kita diberikan kaki yang kuat untuk menopang kita sampai ke sini. Bersyukur kita diberikan mata yang dapat memandang keindahan ciptaan Allah.”

            “Salah satunya juga bersyukur bisa memandang Mas Wira.” gombalku sambil nyengir. Mas Wira diam, sedikit salah tingkah karena gombalanku barusan.

“Kalau aku juga masuk bagian keindahan ciptaan Allah nggak, Mas?” tanyaku sambil menoel-noel tangan Mas Wira.

            Mas Wira mengedikkan bahunya. “Nggak tau.” jawabnya pura-pura cuek sambil menahan senyum.

            “Ih, masa nggak tau sih.” protesku sambil mencebik. Lalu, dengan jahilnya aku menggelitik Mas Wira. Mas Wira menggeliat tapi menahan tawa gelinya. “Jawab jujur, Mas.” rengekku. “Jawab, jawab, jawab.”

            “Iya, iya.” jawabnya yang hanya tersenyum.

            “Iya apa?” tanyaku sedikit resek.

            “Iya, kamu ciptaan Allah yang indah.” jawab Mas Wira mau nggak mau.

            Aku terkikik mendengar pengakuan Mas Wira yang dipaksa mengaku. Memang kurang ajar, ngerjain orang tua. “Cie, cie.” ledekku lagi.

            “Balik ajalah.” rajuk Mas Wira sambil berdiri.

            Aku menahan tangan Mas Wira yang ingin meninggalkanku. “Orang dewasa nggak ngambekkan, lho.” ujarku santai sambil memakai kata-kata Mas Wira saat meledekku kemarin.

            Mas Wira duduk kembali sambil melotot ke arahku. “Kamu udah bisa ya sekarang ngeledekin aku.”

            Aku nyengir kuda. “Hehehe ya maap, Mas.”

            Mas Wira tersenyum simpul. “Iya, aku maafin deh.” ujar Mas Wira. Memang benar ya kalau orang tua itu sangat bijak dan pemaaf, pikirku dalam hati sambil berhihi.

***

Setelah ke Puncak Becici, Mas Wira tetap mengajakku ke Hutan Pinus Pengger. Menurutku ya hampir sama-lah pemandangannya dengan Puncak Becici, disuguhkan dengan udara pagi Jogja yang menyejukkan indera penciuman dan pemandangan pohon pinus yang ditanam rapi.

            Nggak lama dari kami duduk-duduk memandangi hamparan pemandangan alam yang masih alami, Mama Mas Wira telpon. Wajar saja, kami pergi tanpa pamit pasca kejadian Mas Wira yang tiba-tiba ngegas dan langsung meninggalkan meja makan begitu saja. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah.

            Sesampainya di rumah, aku langsung ke kamarku dan memutuskan untuk mandi lagi. Matahari pagi yang sedikit menyengat membuatku berkeringat dan badan terasa agak sedikit lengket. Setelah mandi, aku baring-baring sebentar di kasur dan Icha mengetuk pintuku. Tentu saja aku tau itu Icha, suara khasnya yang memanggilku begitu jelas di memori.

            “Masuk aja, Cha. Nggak dikunci, kok.” teriakku.

            Icha membuka pintu kamarku, lalu menutupnya kembali. “Mbak Fita.”

            Aku bangkit dari posisi rebahanku dan menyenderkan punggungku. “Kenapa, Cha?”

            Icha duduk di sebelahku. “Mbak, kayaknya Mas Wira bener-bener sayang sama Mbak Fita.”

            Aku mengerutkan dahiku. “Kamu tau darimana?”

            “Soalnya Mas Wira nggak pernah semarah itu sama Mas Alfa.” ucap Icha serius.

            “Maafin ya kalau aku udah bikin Mas-mas-mu jadi berantem gitu.”

            Icha menggeleng. “Nggak kok. Mbak Fita nggak salah.” ujar Icha merasa tak enak. “Kalau boleh tau, kalau suatu saat Mbak disuruh milih. Mbak bakal pilih Mas Wira apa Mas Alfa?”

            Aku diam sejenak. Kepalaku seakan terus memikirkan banyak hal beserta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. “Kalau aku pilih Mas Alfa apa semua akan baik-baik saja?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status