Share

BAB 4

Aku langsung berdiri kembali setelah terhuyung dan ditangkap oleh Mas Wira. Sebisa mungkin aku melemparkan senyum ke arah Hafiz. Aku menyambut uluran tangan Hafiz. “Fita.”

            Setelahku, Mas Wira juga berjabat tangan dengan Hafiz. “Wira.”

            “Jangan kelamaan mandangin Fita, Fiz. Dia ini calon istrinya Mas Wira.” Alfa memperingati Hafiz. “Ntar naksir.”

            “Ayo siap-siap ke masjid.” seru Papa Mas Wira tiba-tiba.

            Otomatis kami semua menoleh. Aku berpamitan untuk naik ke atas, lalu memutuskan untuk mandi. Tiba-tiba kamarku diketok.

            “Mbak Fita.” panggil Icha.

            Aku membuka pintu kamar. “Kenapa, Cha?”

            Icha menyodorkan baju tidur berwarna pink. “Ini mbak, pake baju tidur Icha aja. Baju tidur Mbak Fita kan belum dilipat.”

            Aku mengambil baju tidur yang diberikan Icha kepadaku. “Wah, makasih ya, Cha. Mbak mandi dulu, ya.”

            “Oke, Mbakku. Jangan lupa abis mandi dan sholat, turun ya Mbak untuk makan malam.” pesannya.

            “Sippp!” aku mengacungkan jempolku.

            “Mandi yang bersih dan wangi ya, Mbak. Biar Mas Wira makin cinta.” bisik Icha menggodaku. Ia berlari sambil tertawa cekikikan. Aku mengedikkan bahuku. Aneh bin ajaib memang keluarga Mas Wira ini.

***

Aku duduk di balkon sambil menatap langit malam yang ditemani bintang-bintang. Udara Jogja malam ini entah mengapa membuatku begitu nyaman. Aku memejamkan mataku, menikmati suasana malam dengan angin malam yang menyentuh pipiku.

            “Balkon ini tempat favoritku.”

            Aku otomatis menoleh ke sumber suara. Ternyata Alfa. “Oh, ya? Ternyata kamu juga suka menyendiri. Ku kira ini tempat persembunyian Mas Wira.”

            Alfa tertawa pelan. “Semua manusia pada dasarnya memang membutuhkan waktu untuk sendiri.” ujarnya sambil duduk di bangku kosong sebelahku.

            “Aku boleh tanya sesuatu nggak?” tanyaku.

            “Boleh. Asal jangan susah-susah ya kayak soal UN.” jawabnya nyeleneh seperti biasa.

            “Kamu pernah bilang, kalau aku ini tipe kamu. Kamu serius suka yang tipe kayak bocah gini?”

            “Yap!!!” jawabnya tanpa ragu.

            “Bukannya kebanyakan cowok sukanya sama cewek yang dewasa, sexy, bohai?” tanyaku lagi.

            Alfa justru ketawa. “Lho, kata siapa?” tanya Alfa balik. “Gini deh, kamu suka langit malam atau langit saat siang hari?”

            “Hmmm… siang hari. Soalnya cantik dengan rona birunya yang meneduhkan. Cerahnya juga dapat membuat siapa pun tersenyum.” ujarku sambil tersenyum mengingat indahnya langit biru. 

            “Menurutmu langit malam itu cantik nggak?” Alfa memandangi langit. Aku ikut-ikutan mendongak ke arah langit. “Aku tau, pasti kamu mau jawab nggak.” kata Alfa mengagetkanku. Ya ampun si Alfa ini jangan-jangan dukun!

            “Setiap orang punya pilihan dan seleranya masing-masing. Kamu nggak suka langit malam, tapi aku suka langit malam. Langit malam itu memang gelap, hitam pekatnya terkadang seakan menakutkan. Namun, justru gelapnya itulah yang melengkapi indahnya sinar bulan dan bintang.” tutur Alfa masih memandangi langit.

             Aku justru memandangi wajah Alfa dengan serius. Menunggu lanjutan kalimat yang keluar dari bibir tipisnya.

             “Begitu pula dengan cowok. Ada yang suka dengan cewek yang lucu, imut, mungil, kayak bocah. Ada yang suka dengan cewek yang terlihat dewasa, keibuan. Ada pula yang suka dengan cewek yang sexy dan bohai.” ujarnya sambil menoleh ke arahku. Aku terkesiap salah tingkah.

             “Jadi, kamu nggak perlu insecure. Don’t be fear of being you. Kamu akan ditemukan dan menemukan seseorang yang memang mencintai kamu yang seperti ini.” tambahnya sambil mencubit kedua pipiku. Mataku seketika melotot kaget. Alfa menarik tangannya sambil tertawa melihat reaksiku.

***

Aku melihat pantulan diriku di cermin. Hhhh! Gini nih kalau baju minjem. Ngerasa kurang puas sama penampilan sendiri jadinya. Hari ini aku memakai kemeja kotak-kotak perpaduan biru dan pink dan celana jeans yang agak kebesaran milik Icha. Yap, I don’t have any clothes again. Jadi, yaudah pasrah aja.

            Aku keluar kamar dan menunggu di sofa ruang tamu. Ternyata sudah ada Hafiz. Aku sebisa mungkin mengontrol rasa deg-deganku. Dia melempar senyum ke arahku. “Mas Alfa belum turun, Kak?” tanyaku pada Hafiz.

            “Belum. Tadi dia masih sibuk bercermin.”

            Aku hanya manggut-manggut. Sesekali aku melihat ke arah Hafiz. Huah!! Ganteng banget sih! Ternyata asli dan fotonya sama-sama ganteng.

            “Cha, kamu nggak usah gatal ya sama Haf__” omongan Alfa terpotong karena aku menoleh. “Eh, ternyata Fita. Kirain si Icha.”

            “Iya, aku memang pinjam baju Icha.” jawabku.

            “Berangkat.” ujar Mas Wira yang baru datang tanpa basa-basi. Aku, Alfa, Hafiz langsung mengikuti Mas Wira.

            “Mas Wira aja ya yang nyetir.” kata Alfa santai.

            Mas Wira menoleh dingin ke arah Alfa. “Hm.”

            Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Hubungan adik kakak macam apa ini. Dingin banget auranya. Aku duduk di tempat duduk belakang. Alfa menyeringai senang melihatku yang duduk di belakang.

            “Fiz, kamu di depan aja sana!” perintah Alfa seenaknya. Hafiz menurutinya pula.

            “Fita pindah ke depan.” tandas Mas Wira tiba-tiba.

            “Tapi…” aku baru saja ingin protes. Mas Wira menoleh menatapku dengan tatapan menghujam. Aku berpindah tempat duduk dengan malas. Alfa menatap sebal Mas Wira.

            Hari ini kami berencana ke Borobudur. Kebetulan aku belum pernah ke Borobudur. Terakhir cuma sempat ke Prambanan saja.

            “Mas kita ke Prambanan aja.” seru Alfa. “Biar Mas sama Fita putus.” tambahnya tiba-tiba.

            Aku kaget sampai menoleh ke belakang. Kulihat Mas Wira hanya menatap tajam Alfa lewat pantulan cermin yang memantul ke belakang. Memang udah nggak waras si Alfa ini. Parah sih!

            “Heh Alfamart! Yang bener aja kalau ngomong.” sahut Hafiz sambil menepuk punggung Alfa.

            “Alfamart, Alfamart! Emangnya aku ini mini market?” tanya Alfa sambil membalas tepukan Hafiz. “Fita tau nggak mitos tentang Candi Prambanan?”

            Aku menoleh. “Tau kok. Kalau pergi sama pasangan, ntar bisa berpisah kan?”

            “Kirain nggak tau.”

***

Setelah satu jam perjalanan lamanya, akhirnya kami sampai di Borobudur. Alfa dan Hafiz pergi ke loket pembelian tiket. Mas Wira memegang plastik berisikan 4 air mineral. Ya, sebelum masuk tadi, kami memutuskan untuk membeli di pintu masuk. Oh ya, kebetulan di dalam hanya boleh membawa air mineral, makanya kami tidak membawa makanan.

            “Mau minum?” tawar Mas Wira tiba-tiba. Aku menggeleng.

            Alfa dan Hafiz datang menghampiri kami. Alfa memberikan satu tiket untukku dan satu untuk Mas Wira. Kami tanpa basa-basi langsung jalan ke pintu masuk.

            “Nih, kamu aja yang bawa.” Mas Wira menyodorkan kantung plastik berisikan air mineral kami ke Alfa.

            Lalu, dengan santainya Alfa mengopernya ke Hafiz. “Nih, kamu aja yang bawa, Fiz.”

            “Kampret!” Hafiz mau tidak mau menerima kantung plastik yang diberikan paksa oleh Alfa. Yang dikatain ‘kampret’ wajahnya lempeng aja tanpa rasa bersalah sama sekali.

            Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah Alfa yang memang kadang sesuka hatinya. Kami berjalan beriringan diisi dengan lawakan yang dibuat Alfa. Tidak rugi juga mengajak Alfa. Setidaknya, nggak garing-garing banget kayak kerupuk.

            Tepat di depan mataku Candi Borobudur berdiri dengan cantiknya. Aku menoleh ke arah Hafiz. Ingin rasanya berfoto dengannya. “Hmm… aku boleh nggak foto sama Kak Hafiz?” tanyaku tiba-tiba.

            Alfa mengerutkan keningnya. “Kok mau foto sama Hafiz sih?” protes Alfa. “Ya ampun Fita! Jangan bilang kamu naksir Hafiz, ya?” jerit Alfa menghebohkan sekitar. Pengunjung lainnya menoleh ke arah kami.

            Mataku seketika membulat. “Ng… nggak kok.” jawabku tergagap.

            “Kalau nggak, kok pipi kamu merah?” selidik Alfa yang mendekati wajahnya ke wajahku.

            Mas Wira menoleh ke arahku dengan tatapan bertanya-tanya. “Ih, apaan sih Mas Alfa.” elakku.

            “Sejak kapan kamu manggil Alfa dengan embel-embel ‘mas’?” tanya Mas Wira mengagetkanku. ‘Oh, iya ya. Kenapa aku manggil Alfa dengan panggilan ‘Mas Alfa’, ya?’, rutukku dalam hati.

            “Kenapa? Cemburu ya?” Alfa menyerobot omonganku yang masih di pangkal tenggorokan. Mas Wira tidak memperdulikan pertanyaan Alfa. Ia menoleh ke sembarang arah.

            Alfa akhirnya bersedia memotretku dan Hafiz tepat membelakangi Candi Borobudur. Aku tersenyum gugup. Mas Wira entah mengapa menatap kami dengan wajah tak senang. Kami melanjutkan perjalanan kami menuju ke candi.

            “Mas Wira, kita istirahat dulu yuk.” pintaku yang sudah berasa engap daritadi belum sampai juga ke tingkatan paling atas. Matahari benar-benar terik sekali membuatku semakin ingin menyerah untuk melanjutkan meniti anak tangga.

            Untung saja Mas Wira menuruti permintaanku. Akhirnya kami menepi untuk melihat-lihat pemandangan dari tingkatan ke-dua Candi Borobudur. Oh ya, Candi Borobudur ini emang tinggi tapi ada istilah tiga tingkatan, yaitu kamadhatu, ruphadatu, dan arupadhatu.

            Alfa dan Hafiz sibuk saling memotret satu sama lain. Mas Wira menemaniku, ia menyodorkan air mineral. Aku mengambilnya, dan membukanya.

            “Aw.” pekikku. Argh! Tanganku tergores tutup botol.

            Mas Wira refleks menarik tanganku untuk memastikan keadaan tanganku. Alfa buru-buru menghampiri kami. “Tangan Fita kenapa?” tanya Alfa sambil menarik paksa tanganku dari Mas Wira. Ia mengamati telapak tanganku yang tergores.

            “Kegores tutup botol.” jawabku.

            “Sini. Di sini aku yang dokter, bukan kamu.” Mas Wira menarik tanganku lagi.

            “Mas Wira kan dokter gigi, bukan dokter umum.” gumam Alfa agak dongkol.

            Mas Wira mengambil tisu dari saku celananya, lalu meneteskannya sedikit air. Ia menepuk-nepuk lembut tanganku yang tergores dengan tisu tersebut. Perkara luka kecil yang ngeluarin darah seuprit aja, anak dua ini bisa berantem. Aku hanya bisa terperangah menyaksikan makin banyak keanehan yang terjadi akhir-akhir ini.

            “Makasih, Mas.” ucapku tulus pada Mas Wira.

            “Kamu nggak bisa buka tutup botol?” selidiknya. Aku nyengir kuda menjawab pertanyaannya. Mas Wira menghela napasnya melihat cengiranku. Ia membuka tutup botol air mineral, lalu memberikan padaku. “Nih, mau minum kan?”

            Aku mengangguk. Lalu, mengambil botol air mineral yang disodorkan Mas Wira. Aku meneguk air tersebut sampai setengah botol.

            “Haus banget ya?” tanya Mas Wira sambil mengambil botol air mineral yang aku sodorkan kembali kepadanya.

            “Iya. Soalnya panas banget.”

            “Udah sanggup untuk lanjut ke atas belum?”

            Aku mengangguk. Mas Wira memanggil Alfa dan Hafiz untuk lanjut naik ke tingkatan selanjutnya. Mas Wira tiba-tiba menggenggam tanganku, ia menuntun langkahku meniti tangga. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyumku.

            Saat kami sampai di tingkatan paling atas, rasa-rasanya matahari tepat di atas kami. Ya, walaupun sekarang jam satu siang. Tetap saja, matahari memang sedang terik-teriknya. Aku menutupi wajahku dengan tangan, karena panas matahari seakan membakar kulit wajahku. Tiba-tiba, sosok tinggi menjulang menghalangi sinar matahari tersebut. Aku mendongak. Mas Wira menatapku yang sedang mendongak.

            “Teduh?” tanya Mas Wira masih menatapku.

            Aku mengangguk. Jelas saja teduh. Postur tubuh Mas Wira yang tinggi dan berukuran lebih dari dua kali lipat dariku tentu saja melindungi tubuh mungilku dari pantulan sinar matahari.

            Cekrek!

            Hafiz memotret kami berdua yang masih saling menatap satu sama lain. “Memang kita nggak perlu mengeluh atas fisik kita, karena percayalah akan ada yang sangat berterima kasih atas lahirnya kita seperti ini.”

            Aku dan Mas Wira otomatis menoleh ke sumber suara. “Allah ciptakan Mas Wira tinggi menjulang, memang ada alasannya. Salah satunya, ya bisa melindungi pasangannya dari teriknya sinar matahari.” ujar Hafiz membuatku dan Mas Wira terbengong-bengong.

            Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Mas Wira justru menatapku yang bingung harus bereaksi seperti apa. “Emm… Kak Hafiz kan juga tinggi. Bukan Mas Wira aja.” kataku sambil menyeringai.

            Hafiz tertawa renyah mendegar perkataanku. “Eh, mau difotoin nggak?”

            Mas Wira meraih bahuku. Ia merangkulku, aku mendongak melihatnya. Lebih tepatnya bukan dirangkul, tapi diketekin. Tinggiku hanya sebahu Mas Wira, jadi kalau dirangkul, lebih cocok dikatakan “diketekin” bukan “dirangkul”.

            “Ayo senyum! 1, 2, 3.” Hafiz memberikan aba-aba. Aku terpaksa tersenyum karena diminta Hafiz. “Nice!

            “Aku mau foto sama Fita juga!” teriak Alfa rusuh.

            “Ayo, kita balik.” ajak Mas Wira tidak menghiraukan teriakan Alfa. Ia menarik tangan kiriku.

            Alfa tiba-tiba menarik tangan kananku, membuat langkahku jadi mundur beberapa langkah. Mas Wira yang menyadarinya langsung menoleh ke belakang. Ia menatap Alfa dengan tatapan dingin. Alfa akhirnya mengalah melepaskan tanganku dengan wajah ditekuk.

            Mas Wira mengenggam tanganku sepanjang jalan menuju pintu keluar. Tanganku rasanya sudah berkeringat, inginku lepas saja tanganku. “Mas, tanganku berkeringat.” ujarku. Mas Wira untungnya peka melepas genggaman tangannya. Aku menghela napas lega.

            Untuk ke pintu keluar, tentu kami melewati pasar yang ramai dengan penjual yang terus menawarkan. Mataku tertuju pada sling bag rotan berbentuk bulat. Aku langsung berlari mendahului Mas Wira, Alfa dan Hafiz. Mata mereka refleks mengikuti pergerakanku.

            “Mas Wira, beliin Fita tas ini dong.” pintaku sambil memasang wajah semanis mungkin.

            “Nggak.” jawab Mas Wira singkat tapi nyebelin. Aku mencebik.

            “Beli aja, Fit. Biar aku yang bayarin.” ujar Alfa.

            Wajahku langsung sumringah mendengar perkataan Alfa yang tiba-tiba menjadi sosok malaikat untukku. Aku langsung memilih-milih tas yang cocok untukku.

            “Yang itu bagus kok.” celetuk Hafiz.

            Aku menoleh ke arah sumber suara.  Tepat di sebelah kiriku, Hafiz sedang tersenyum manis ke arahku. Aku sampai ternganga sejenak karena terpesona. Aku langsung tersadar, lalu memutuskan untuk membeli tas yang dibilang bagus sama Hafiz. Pipiku rasanya panas tiba-tiba. Argh! Aku mengutuki diriku yang terlalu mudah untuk salah tingkah.

            “Bu, mau yang ini.” ujarku memperlihatkan pada Ibu penjual.

            “Ini uangnya, Bu. Kembaliannya untuk Ibu saja.”

            Aku menoleh ke arah pemilik tangan yang menyodorkan uang tersebut. Mataku mendelik. Lho? Mas Wira ngapain bayarin tas aku? Tadi katanya nggak mau?

            “Mas Wira, kan aku yang harusnya bayarin tas Fita.” sungut Alfa.

            “Fita calon istri siapa?” Mas Wira justru bertanya dengan santai.

            Alfa mendengus mendengar pertanyaan konyol Mas Wira yang menyebalkan. Aku langsung menggunakan sling bag rotan yang baru saja dibayar Mas Wira. Alfa berjalan mendahului kami. Mas Wira berjalan di belakang Alfa dengan senyum miringnya yang tak ku mengerti.

            “Sepertinya kamu berada di antara dua pilihan.” bisik Hafiz pelan.

            Mataku auto membulat mendengar bisikan Hafiz yang tersenyum seakan mengatakan ucapannya memang benar. Aku berdiam diri sejenak. Bingung.

***

Aku mengetuk pintu kamar Mas Wira dengan rasa deg-degan luar biasa. Entah mengapa sekarang aku jadi begini. Mas Wira membuka pintu kamarnya.

            “Kenapa?”

            “Mas temenin ke mini market dong.” pintaku sambil menyunggingkan senyum termanis dan mataku mengedip-ngedip manja.

            “Sakit mata, ya?” tanyanya membuatku mencibir. “Bentar, aku ambil dompet dulu.”

            Aku mengangguk dan sedikit mengintip ke kamar Mas Wira. Namun, belum sempat menyembulkan kepalaku, Mas Wira langsung keluar kamar dan menutup rapat pintu kamarnya.

            “Dilarang ngintip.” ujarnya.

            “Pelit.” gumamku. Kami berjalan ke luar rumah. Aku belok ke arah garasi.

            “Kamu mau kemana?”

            “Ke garasi.” jawabku dengan wajah bingung.

            Mas Wira tertawa kecil. “Jalan kaki aja. Deket kok.”

            Aku langsung menghampiri Mas Wira. Berjalan beriringan dengannya. “Mas Wira kerja di rumah sakit mana?” tanyaku membuka obrolan. Ya, daripada krik-krik sepanjang jalan, mending ajakin ngobrol.

            “RSPAD Gatot Subroto.”

            Aku menoleh kaget. “HAH? Beneran, Mas?” tanyaku masih tidak yakin. Ia mengangguk. “Ya ampun! Aku tuh pernah punya impian pengen jadi dokter di sana. Tapi, ya takdir berkata lain.” ujarku sedih.

            “Emang kamu sekarang kuliah jurusan apa?”

            “Public Relations.” jawabku masih dengan ekspresi sedih.

            Mas Wira tersenyum melihat raut wajahku yang tiba-tiba muram. “Kamu kenapa mau jadi dokter?”

            “Biar bisa mengobati banyak orang, terutama yang ekonominya kurang mampu dan juga di pelosok daerah. Menurut Fita, semua manusia yang lahir di dunia ini, punya hak yang sama untuk mendapatkan penanganan kesehatan yang baik.”

            “Yaudah, biar aku yang mewujudkan impian mulia kamu.” jawab Mas Wira yang membuatku terperangah.

            “Maksudnya?” tanyaku sambil menautkan kedua alisku.

            Mas Wira menjawabku dengan senyumannya. Aku mengedikkan bahuku tak mengerti maksudnya apa. Akhirnya kami sampai juga di mini market tujuan kami. Memang benar-benar tidak terlalu jauh dari rumah Mas Wira. Aku langsung menuju bagian pasta gigi dan sikat gigi.

            “Kok beli sikat gigi untuk anak-anak?” tanya Mas Wira sambil mengerutkan dahinya.

            “Soalnya kalau pake sikat gigi orang dewasa kurang maksimal membersihkan sisa makanan. Ini saran dari dokter gigi di klinik kampus aku tau, Mas.” tuturku. Mas Wira mengangguk-angguk.

            “Gigiku jadi sakit kalau pake sikat gigi orang dewasa.” tambahku. Aku langsung ke arah kulkas, mengambil susu rasa strawberry tiga kotak. Lalu, mengambil lima permen kojek rasa strawberry.

            “Gimana nggak sakit gigi kalau kerjaannya makanin permen.” sindir Mas Wira.

            Aku hanya bisa nyengir kuda merespon sindirian Mas Wira. “Oh, iya lupa. Mau eskrim juga ah!” aku berlari ke tempat eskrim. Lalu, mengambil eskrim dengan cup kecil rasa strawberry.

            Mas Wira menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu membayar semua belanjaanku. Kami duduk sebentar di kursi depan mini market. Mas Wira memperhatikanku yang sibuk makan es krim.

            “Berasa bawa anak jadinya.” gumam Mas Wira.

            Aku terdiam. “Mas malu nggak kalau punya istri yang kayak bocah gini?” tanyaku tiba-tiba mellow.

            Mas Wira menoleh dan menatapku. “Mungkin.”

            Aku menghela napas kecewa. “Sudah kuduga.”

            “Kamu ini kenapa kok kayak insecure banget sih?”

            Aku menunduk sedih. “Aku tuh sedih banget sering dikatain ‘Fita itu cantik tapi nggak sexy’, ‘Fita itu hampir sempurna tapi dadanya rata’, ‘Fita itu kayak bocah banget’.”

            “Seperti apa pun kekuranganmu, cobalah untuk bersyukur. Ketika kamu bersyukur, saat itulah rasa mencintai diri sendiri akan muncul. Sosok terbaik untukmu nggak akan datang, kalau kamu belum bisa menerima dan mencintai diri sendiri.” ujar Mas Wira serius. Ia menatap mataku dalam-dalam.           

            “Laki-laki terhormat, nggak akan punya pikiran untuk merendahkan fisik seorang perempuan. Begitu juga sebaliknya. Trust me!”

            Mataku masih tak bisa pergi dari tatapan Mas Wira. Ada kenyamanan dan ketulusan yang kutangkap dari sinar matanya.

***

Tok tok!

            Aku membuka pintu kamarku. Alfa menyunggingkan senyumnya. Ia menyodorkanku sebuah paper bag. “Nih, baju untuk kamu.” ujar Alfa.

            Aku mengerutkan keningku. “Tadi aku ke mall. Beliin kamu baju yang cocok sama kepribadian kamu. Kamu kurang cocok pake bajunya Icha.” tambahnya.

            Aku mengambil paper bag yang diberikan Alfa. Aku membuka sedikit paper bag tersebut, melihat baju yang dibelikan Alfa. Benar saja, baju yang dibelinya benar-benar lucu dan sesuai dengan styleku. Sebuah dress selutut berwarna soft kuning. “Aaaa gemes banget.”

            “Iya kan gemes? Siapa dulu dong yang milih.” sahut Alfa membanggakan diri.

            “Kok kamu tau sih ukuran baju aku?” tanyaku dengan wajah curiga. Jangan-jangan dia ada bongkar-bongkar ranselku?

            “Yaelah, mudah banget tau. Badan kayak kamu yang mungil gini pasti ukurannya S.” jawab Alfa santai sambil bersedekap.

            “Iya, juga sih. Pinter deh Alfa.” ucapku sambil menepuk-nepuk lengan kanan Alfa.

            Alfa melihat ke lengannya yang aku tepuk-tepuk. “Eh, panggil aku Mas Alfa.”

            “Ih, kenapa harus panggil Mas juga?”

            “Aku lebih tua 3 tahun dari kamu tau.” Alfa memberitahuku dengan ekspresinya yang ekspresif.

            “Iyadeh. Karena udah baik beliin aku baju. Terima kasih Mas Alfa.” ujarku sambil menutup pintu.

            Alfa menahan pintu kamarku. “Good night, Fita imut.” ucapnya membuatku terdiam.

***

“Fita imut, ya.” gumam Hafiz tiba-tiba.

            Alfa seketika bangun dari posisi tidurnya. Ia melemparkan bantal ke arah Hafiz. “Heh! Awas aja kalau kamu sampai naksir Fita, aku usir kamu dari sini!” ancam Alfa.

            Hafiz tertawa mendengar ancaman Alfa yang kekanakkan. “Kok ngancam sih?” protesnya. “Tapi, beneran deh. Fita itu kalau diliat-liat manis deh. Walau mungil dan rada kayak bocah, tapi ada daya tariknya sendiri.”

            Alfa melirik tajam ke arah Hafiz yang masih tersenyam-senyum membayangkan seseorang di dalam pikirannya. “Emang!” jawab Alfa berdecak.

            “Dosa nggak sih kalau nikung?” tanya Hafiz membuat Alfa makin dongkol.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status