Share

BAB 3

Setelah sholat subuh aku berinisiatif untuk turun, siapa tau bisa bantu-bantu Mama Mas Wira untuk masak atau apa pun.

            Saat aku turun dari tangga, Mas Wira, Alfa dan Papanya pulang dari masjid sepertinya. Mas Wira mengenakan sarung dan baju koko warna putih. Entah mengapa ia kelihatan makin manis jadinya.

            Aku melempar senyum ke arah Mas Wira, tapi dia justru memasang muka datar saja meresponku. Nyebelin banget!

            “Pagi Fita!” sapa Alfa dengan senyumnya yang lebar.

            Aku kaget melihat tingkah Alfa yang tak terduga. “Pagi juga.”

            “Mau kemana nih?” tanyanya sambil mendekatiku.

            Aku menghentikan langkahku. “Mau ke dapur. Siapa tau Mama butuh bantuan.”

            “Kayak bisa masak aja.” celetuk Mas Wira yang duduk di sofa depan tv.

            Aku mencibir kesal. “Bisa dong!” jawabku sombong. Aku langsung pergi ke arah dapur. Benar saja, Mama Mas Wira memang sedang menyiapkan sarapan.

            “Eh Fita sudah bangun, Nak?” tanya Mama Mas Wira ramah.

            “Sudah, Ma.” jawabku sambil tersenyum. “Buat sarapan apa, Ma?” tanyaku penasaran karena sarapan yang dibuat Mama Mas Wira agak berbeda dengan tipe sarapan di rumahku.

            “Roti gandum pake alpukat yang dihaluskan untuk selainya.” jawab Mama Mas Wira sambil menumis tomat ceri di teflon. “Nah, ini numisnya pake olive oil. Maaf ya Fita, soalnya memang kita udah lama hijrah untuk hidup sehat. Kebetulan Papa Wira juga seorang dokter, jadi kadang agak bawel kalau makan makanan yang nggak sehat.”

            Aku menelan ludahku mendengar kata-kata Mama Mas Wira, masalahnya aku tipe manusia yang omnivora pake banget. Apa aja dimakan dan cinta banget sama micin. Bisa pingsan Papa Mas Wira kalau tau aku hobi banget jajan telur gulung, cimol, seblak dan masih banyak lagi makanan-makanan penuh micin.

            Setelah selesai menumis tomat ceri, Mama Mas Wira meletakkan tomat ceri tersebut ke atas roti gandum yang telah dioleskan alpukat yang dihaluskan, kemudian menambahkan parsley di atasnya. Mama Mas Wira ternyata juga merebus brokoli. Beliau meniriskan brokoli yang baru diangkat, lalu menaruh brokoli di samping roti gandum.

            “Mama selama ini masak sendiri ya? Nggak pake asisten rumah tangga?” tanyaku kepo, karena kelihatannya Mas Wira ini termasuk orang kaya cuy. Masa nggak pake asisten rumah tangga, kayak capek juga ngurus rumah segede gaban gini.

            Mama Mas Wira tersenyum mendengar pertanyaanku. “Kalau masak, Mama masak sendiri, nggak pake ART. Tapi, untuk beres-beres rumah, cuci, dan setrika baru pake jasa ART.”

            “Kenapa, Ma?”

            “Soalnya Mama mau suami dan anak-anak selalu rindu masakan Mama. Rasanya bahagia banget kalau masakan kita dikangenin orang yang kita cintai.” tutur Mama Mas Wira.

            Aku terdiam mendengar penuturan Mama Mas Wira. Entah mengapa aku setuju dengan prinsip beliau. “Mas Wira sering kangen masakan Mama nggak?”

            Mama Mas Wira tertawa kecil mendengar pertanyaanku. “Pasti dong. Apalagi gudeg buatan Mama.”

            ‘What? Gudeg? Jadi masakan kesukaan Mas Wira itu gudeg? Duh aku kurang suka gudeg pula. Matilah aku kalau harus belajar masak gudeg untuk Mas Wira’, rutukku dalam hati. Seketika pula aku sadar, ‘Ih ngapain pula aku belajar masak gudeg? Emangnya aku bakal beneran nikah sama Mas Wira apa? Dih males banget!

            “Nak, boleh minta tolong bantu bawain sarapan ini ke meja makan?” pinta Mama Mas Wira.

            Aku mengangguk dan segera membawanya ke meja makan. Setelah selesai membawakan semua piring yang telah di isi sarapan buatan Mama Mas Wira, kami langsung duduk dan bersiap untuk makan bersama. Sebelum makan, Papa Mas Wira memimpin doa makan.

            Lalu, semua saling mengucapkan ‘selamat makan!’. Aku tertegun melihat betapa kompak dan bahagianya keluarga ini. Hatiku hanya bisa membatin berdoa agar nantinya dapat membangun keluarga yang seperti ini pula.

            “Mama, temen Alfa hari ini datang dari Bandung. Boleh kan nginap di rumah kita?”

            Mama Mas Wira mengangguk. “Boleh dong, Mas Alfa. Nanti tidurnya di kamar Mas aja ya. Soalnya kamar tamu sudah ada Fita.”

            “Siap, Ibu Negara tercinta!” ujar Alfa sambil memperagakan gerakan lagi hormat saat upacara bendera. Ada-ada saja memang si Alfa ini. “Mas Wira hati-hati, ya. Nanti Fita-nya-Mas ditikung sama temen aku atau bahkan sama aku sendiri. Hihi…” Alfa cekikikan.

            Aku mengernyitkan keningku melihat tingkahnya yang begitu jahil. Mas Wira hanya melirik Alfa dengan tatapan mautnya.

            “Alfa, nggak boleh gitu sama Mas-mu.” tegur Mama Mas Wira.

            “Mbak Fita jangan mau sama Mas Alfa. Soalnya kayak orang gila tingkahnya, mending sama Mas Wira aja. Ya, walaupun udah tua tapi dia waras.” pesan Icha tanpa mempedulikan kedua Masnya yang menatap sebal ke arahnya.

             Aku menutup mulutku menahan tawaku yang nyaris meledak.  Icha ini benar-benar omongannya selalu benar tapi rada menyakitkan. “Mas-mu ganteng kayak gini kok dibilang gila.” sungut Alfa sebal.

            “Sudah-sudah. Ayo diselesaikan makannya, jangan saling ledek.” Mama Mas Wira menengahi. Papa Mas Wira hanya memperhatikan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

             Tiba-tiba saja suara ponsel berbunyi, sepertinya dari dapur. “Ma, hp Mama bunyi. Icha ambilin ya.” Icha langsung berlari menuju dapur. “Assalammu’alaikum, Mbak Leya. Mbak, tau nggak Mas Wira bawa calon istrinya lho ke rumah.” suara Icha terdengar sampai meja makan.

             Mas Wira menoleh ke arahku. Aku hanya mengedikkan bahu. Aku hanya pasrah saja dengan kejadian-kejadian yang mengejutkan apalagi yang akan terjadi. Icha langsung mendekat ke arahku. “Ini, Mbak Fita namanya. Cantik dan imut kan, Mbak?”

             Aku tersenyum ke arah layar ponsel yang dipegang Icha. Yap! Ternyata sedang panggilan video. “Halo, Mbak Leya.” sapaku sopan.

             “Halo, Fita. Kamu masih muda sekali keliatannya, Dik.”

             “Yaiyalah, Mbak. Masih 20 tahun, kayak teman sebayanya si Icha.” celetuk Alfa menyindir Mas Wira.

             “Oh, ya? Dik kamu kok mau sama adikku yang udah tua itu? Mana dingin kayak batu es.” tanya Mbak Leya.

             Oh, ternyata Mbak leya ini kakaknya Mas Wira. Aku kira Mas Wira anak sulung. “Icha, sini hp Mama. Mama mau ngomong sama Mbak-mu.”

             Icha memberikan ponsel itu pada Mama Mas Wira. Icha kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan makannya. Aku sendiri sudah menghabiskan makananku.

             “Ma, Leya nggak bisa pulang liburan akhir tahun ini. Salam untuk calon adik iparnya Leya ya. Bilangin ke Wira jangan terlalu dingin ke Fita.”

             Mendengar pesan dari Mbak Leya, aku langsung menoleh ke arah Mas Wira untuk menjulurkan lidah dan menjulingkan mataku ke arahnya. Dia hanya menatapku dengan tatapan datar sedatar papan reklame di jalanan.

***

Tok Tok!

            Pintu kamarku entah diketuk siapa. Aku langsung berjalan menuju pintu dan membukanya. Mas Wira berdiri tepat di depan pintu dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Kali ini dia terlihat sangat rapi dengan kemeja lengan panjang berwarna biru donker dan celana jeans warna hitam.

            “Mau jalan nggak?” tanyanya tiba-tiba. Aku terperangah mendengar pertanyaan yang dilontarkan Mas Wira barusan. Aku tersenyum-senyum jadinya. Dih dia ngajakin jalan, hihiw. “Mama yang nyuruh. Nggak usah ge-er.” ujar Mas Wira seakan dapat membaca pikiranku.

            Bibirku yang senyam-senyum kege-eran auto berubah menjadi cemberut ketika mendengar ucapan Mas Wira barusan. “Dih, siapa juga yang ge-er!” desisku. Aku membanting pintu sebal. Malu iya, kesal iya. Hihhhh pengen rasanya ku bejek-bejek si Mas Wira!

            “Mau nggak nih?”

            Aku membuka pintu kamar lagi. “Iya, iya mau!” jawabku malas dengan muka ditekuk.

            “Yaudah, siap-siap sana.” perintah Mas Wira sambil tersenyum tipis.

            Aku menatap Mas Wira sebal, lalu menutup kembali pintu. Iyalah, masa aku ganti baju diliatin Mas Wira. Enak aja! Aku langsung melihat baju yang ada di ranselku. Hanya ada baju kaos belang-belang pelangi dan rok warna putih selutut. Mau tidak mau aku memakainya, karena nggak ada pilihan yang lain.

            Aku mengubek-ubek isi tasku, mencari aksesoris. Siapa tau aku bawa. Untungnya ada jepit lidi warna-warni. Aku segera memakainya dengan posisi menyilang. Lalu, aku mengambil lip tint berwarna oranye di kantung ransel bagian depan.

            Aku baru sadar, aku nggak bawa sling bag. Mau nggak mau aku keluar tanpa membawa tas, ya kali aku bawa ransel. Lalu, aku memutuskan untuk segera memakai sneaker warna putihku.

            Tok tok! Tok tok tok tok!

            Aku berlari segera membukakan pintu. Tidak lain tidak bukan pasti itu Mas Wira. Benar saja, dia memasang wajah sebal karena kelamaan menungguku. Haha… aku hanya bisa menyeringai lebar melihat tampang Mas Wira yang seperti itu.

            “Ayo.”

            Aku menutup pintu kamar dan mengekori Mas Wira. Di ruang tv ternyata ada Icha yang sedang menonton drama korea. Ia menoleh ke arah kami. “Mbak Fita imut banget sih. Lucuk!” puji Icha.

            “Hehe makasih, Cha.” aku mesem-mesem dipuji begitu.

            “Kayak anak-anak gitu dibilang imut.” sahut Mas Wira.

            Aku mengelus dadaku. Sabar Fit, sabar. Ingin rasanya aku mendorong manusia es di depanku ini. Biar dia tersungkur. Mampus aja sana!

            “Fita!!! Kamu benar-benar tipe aku banget tau!” jerit Alfa yang tiba-tiba muncul entah darimana. “Lucu, imut, menggemaskan.”

            Mas Wira berbalik ke arahku. Aku menoleh ke arah Mas Wira dengan ekspresi penuh kemenangan karena sudah ada dua orang yang telah memujiku. “Ayo!” Mas Wira menarik tanganku. Aku tersentak kaget. “Ma, Mas sama Fita pergi dulu, ya.” teriak Mas Wira. Aku masih terbengong-bengong memperhatikan tanganku yang sedang digenggam eratnya.

            Sesampainya di garasi, Mas Wira bertanya aku mau naik motor atau mobil, dengan cepat aku menjawab motor. Jalan-jalan menikmati Kota Jogja memang lebih seru naik motor dibandingkan mobil. Bahkan, lebih seru jalan kaki pula.

            Saat kami sudah di atas motor dan mulai meninggalkan rumah Mas Wira. Ia bertanya, “Mau kemana?”

            “Mau keliling-keliling.” jawabku antusias.

            “Hah? Ngapain sih keliling-keliling nggak jelas.” protes Mas Wira.

            “Ih, maunya keliling Jogja. Aku mau menikmati keindahan Kota Jogja. Akhirnya ini sudah ke-6 kalinya aku ke sini.” curhatku.

            “Ngapain kamu sering-sering ke Jogja sih? Aneh.” cibir Mas Wira.

            “Soalnya aku suka Jogja.” jawabku sambil tersenyum senang.

            “Kenapa bisa suka?” tanya Mas Wira kepo.

            “Ya, suka aja. Emangnya kalau suka harus ada alasan ya?” aku balik bertanya.

            “Ya… harusnya sih ada alasan.” kata Mas Wira nggak mau kalah.

            “Kata temen aku, kalau suka ada alasan itu berarti sukanya nggak tulus.” seruku.

            “Dih, dasar anak kecil!” ledek Mas Wira.

            “Biarin! Justru Mas tuh cocok sama cewek yang kayak aku tau. Biar hidupnya berwarna. Nggak hitam doang, kayak langit malam.”

            “Oh, jadi kamu ceritanya nembak aku nih?”

            Aku terperangah mendengar pertanyaan ngawur Mas Wira. “Ih, siapa juga yang nembak Mas? Males banget!”

            “Lho, tadi kamu menawarkan diri kalau kamu cocok untuk aku.” Mas Wira tersenyum kecil. Aku memukul punggungnya sebal. “Eh, kualat ntar kamu kalau mukul orang yang lebih tua.” Mas Wira memperingatiku.

            “Iya ORANG TUA!” sahutku sebal sambil menekankan kata ‘orang tua’. Mas Wira justru ketawa mendengar sahutanku yang sudah gondok dengannya.

***

“Mas, mau eskrim. Ke tempo gelato yuk.” rengekku tiba-tiba.

            “Hhhh… gini nih kalau ngajak anak kecil.” gerutu Mas Wira. Aku mencubit-cubit pinggangnya. “Aduh, sakit, sakit. Ntar kita jatuh nih.”

            “Lagian ngatain aku anak kecil mulu.” rajukku. “Aku kan udah dewasa. Udah 17 plus plus. Udah bisa nonton film bokep kata orang mah.”

            “Ih, kamu nonton film begituan?” tanya Mas Wira kaget.

            “Belum sih. Nanti aja nontonnya pas malam pertama.” jawabku santai.

            “Wah, otak nih anak aneh banget!” gumam Mas Wira terheran-heran.

            “Ih, aneh gimana coba? Kan sama-sama belum tau, ya belajar dulu Mas.”

            Mas Wira menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya, nggak perlu lah. Ngapain juga coba? Lagian nonton begituan dosa, lho.”

            Aku kaget. “Hah? Iyakah Mas?” tanyaku polos.

            Mas Wira bukannya menjawab pertanyaanku justru hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ampun dah! Gini ternyata kalau sama bocah.” ucap Mas Wira pelan nyaris tidak terdengar. Mas Wira membelokkan motornya ke arah kanan. Lalu, motor kami berhenti di tempat parkiran yang telah tersedia.

            “Mas, kok cia gelato sih? Kan aku requestnya tempo gelato.” protesku saat membaca plang bertuliskan ‘Cia Gelato’.

            “Nggak usah banyak protes. Yang penting es krim.” tandasnya.

            Aku mencibir kesal, lalu berjalan dengan menghentak-hentakkan kakiku. Lalu, aku menoleh ke arahnya sambil meledek dengan wajah terjelekku. Ia hanya mengangkat alisnya sebelah melihat tingkahku.

            Mas Wira berjalan menyusulku. Ia masuk duluan, aku mengikutinya di belakang. Saat masuk, mataku langsung tertuju dengan menu waffle strawberry yang terpajang di papan menu.

            “Aku mau waffle strawberry.” pesanku.

            “Mbak berarti pesan waffle strawberrynya satu sama mineral water-nya satu.” ujar Mas Wira pada kasir.

            Aku tercengang mendengar pesanan Mas Wira. Apa-apaan, masa di tempat es krim kek begini dia pesannya air mineral sih? Aku menatap wajah Mas Wira yang ternyata memang tidak bercanda. Dia benar-benar memesan air mineral dong! Aku hanya bisa bersedekap sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

            Mas Wira mengambil dompetnya, menarik selembar uang seratus ribu. Lalu, memberikannya kepada kasir. Ia mengambil kembalian, struk, dan juga air mineralnya. Lalu, berjalan begitu saja tanpa mengajakku. Aku mendesis melihatnya, lalu mengikutinya dari belakang. Kami duduk di pojok sebelah kanan mengarah ke jalanan.

            Aku agak kesulitan naik ke kursi, kebetulan kursinya agak tinggi. Tiba-tiba Mas Wira tertawa. Gila kali ni orang tiba-tiba ketawa, pikirku dalam hati. “Mau dibantu naik ke kursi nggak? Atau mau digendong sekalian?” tanyanya lebih ke nada meledek.

           Aku kontan melotot mendengar tawaran bantuan yang jelas-jelas lebih ke meledek. “Nggak perlu!” tolakku dengan nada jutek.

          Mas Wira justru terbahak mendengar penolakanku. Aku yang kesal langsung terperangah dengan tawa Mas Wira. Tumben-tumbenan manusia es bisa ketawa. Ternyata mayan manis juga si Mas Wira kalau ketawa gini.

          Tawa Mas Wira berhenti karena pesananku tiba. “Mbak ini waffle strawberrynya.”

          “Terima kasih, Mas.” Aku menyunggingkan senyumku. Aku dengan segera melahap waffle strawberry yang di atasnya juga diberikan es krim strawberry pula. “Nyammmmm…” aku menyuapkan ke mulutku. Aku tersenyum senang bahkan sambil memejamkan mataku, menikmatinya.

            “Enak?” tanya Mas Wira tiba-tiba sambil membuka air mineralnya. Lalu, meneguknya langsung dari botol.

            Aku mengangguk cepat. “Mau cobain Mas?” tawarku.

            “Nggak. Kurang bagus untuk kesehatan gigi.” jawab Mas Wira kayak mak-mak yang ngelarang anaknya makan es krim.

            ‘Issh! Nggak asik banget nih orang tua’, batinku dalam hati. “Mas kenapa sih pesan air mineral? Udah tau ini tempat es krim, orang tuh pesannya ya es krim juga lah!”

            “Emang ada yang larang?” tanyanya balik.

            Lah, sih bocah malah nanya balik. Ngeselin banget sumpah. “Ya, nggak ada sih!” jawabku tak mau berdebat. “Mas, aku boleh nanya lagi nggak?”

            “Hmmm…” Mas Wira hanya berhm.

            ‘Hmmm doang? Apa susahnya jawab boleh. Pantes aja nih orang nggak nikah-nikah. Tingkahnya aja begini’, gerutuku dalam hati. “Mas kenapa belum nikah?”

            Dia menatapku sejenak. Aku mewanti-wanti takut didamprat. “Ya, belum ketemu aja sama jodohnya.” jawabnya santai.

            “Mas nggak pernah terbebankah sama pertanyaan ‘kapan nikah’ atau sering diledekin tua-tua belum nikah?” tanyaku makin kepo. Beraniin diri aja sih, soalnya nggak didamprat, berarti masih aman untuk kepo-kepo.

            Mas Wira tertawa pelan. “Nggak kok. Ngapain juga terbebani. Gini ya, semua orang itu punya waktunya masing-masing. Nggak ada kata ‘terlalu cepat’ atau ‘terlalu telat’. Justru kalau kita memaksakan, hasilnya bakalan nggak baik.”

            Aku tertegun mendengar penjelasan Mas Wira. “Nggak perlu terburu-buru, karena suatu saat pasti kita akan merasa begitu yakin pada satu orang yang memang sudah ditakdirkan Allah. Tanpa saling mempermasalahkan kekurangan maupun kelebihan masing-masing.” tambahnya.

            Aku mengangguk-ngangguk setuju. “Mas, boleh beli eskrim lagi nggak?” tanyaku merusak suasana yang sedang serius-seriusnya. Mas Wira langsung menatapku dengan tatapan mematikan. Aku memasang wajah memelas. “Boleh ya, Mas. Plisss…”

            “Yaudah pesan aja.” kata Mas Wira akhirnya.

            Aku langsung menadahkan tanganku, isyarat meminta uang. Mas Wira mengambil selembar uang lima puluh ribu dari dompetnya. Aku langsung menariknya. Lalu, berlari ke kasir. Aku memesan es krim dengan cone. Setelah itu kembali ke tempat duduk.

            “Pesan rasa strawberry lagi?”

            Aku menoleh ke arah es krimku. “Oh, ini buah naga, Mas. Bukan strawberry.”

            “Lagian sama-sama pink.” jawabnya ngeles.

            “Mas, Mas. Tau nggak sih, Mas Wira itu kayak es krim.” ujarku sambil menjilat eskrimku. Mas Wira menaikkan sebelah alisnya. “Soalnya sama-sama dingin, tapi manis.”

            “Gombal?” tanya Mas Wira tanpa ekspresi.

            Aku auto nggak selera lagi menggoda Mas Wira. “Nggak. Tadi boong.” jawabku ketus.

            “Kalau mau gombalin lagi, nggakpapa kok.” bisik Mas Wira balik menggodaku.

            “Bodo!” aku membuang muka. Najis banget nih orang, minta ditimpuk emang!

***

Motor kami memasuki garasi rumah. Kebetulan kami sampai sebelum adzan maghrib berkumandang. Aku turun dari motor dan berusaha membuka pengait helm.  Tapi, dari tadi aku menekan dan menarik-nariknya, pengaitnya tidak juga bisa terbuka.

            “Mas, bantuin buka.” pintaku.

            Mas Wira mencabut kunci motornya. Lalu, melepaskan helm di kepalanya dan segera membantuku melepas pengait helmku. Dalam waktu sedetik, pengait helmku terbuka. Aku langsung ternganga, kok bisa semudah itu dia bukanya? Aku daritadi mati-matian bukanya nggak bisa-bisa.

            Mas Wira meninggalkanku. Aku dengan sigap mengejarnya. Mas Wira membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci sambil mengucapkan salam. Alfa yang sedang menonton tv langsung menoleh ke arah kami. “Yang ditunggu akhirnya datang juga.” ucapnya.

            Aku dan Mas Wira berhenti sejenak karena Alfa mencegat kami. Ia menarik tangan seorang laki-laki yang sepertinya temannya yang dari Bandung. “Mas Wira, Fita, kenalin ini Hafiz temen satu letting Alfa.”

            Aku membelalakkan mataku seketika saat melihat orang yang dikenalkan Alfa. Teman Alfa itu menyodorkan tangannya untuk berkenalan sambil tersenyum manis.

            Aku seketika terhuyung karena benar-benar kaget. Mas Wira yang kebetulan posisi berdirinya agak di belakangku, langsung menahanku agar tidak jatuh.

            Sumpah, kaget banget! Hafiz ini orang yang pernah aku sukai selama satu tahun, meski kita nggak saling mengenal. Aku menemukannya di explore i*******mku, lalu seperti orang gila aku terus-terusan memperhatikannya dari balik layar ponselku.

             Aku juga menulis namanya, mencetak fotonya, lalu menempelkan di dinding kamarku. Bukan itu saja, aku juga sering melihat video-video singkatnya yang dia upload di i*******m saat boker (red: buang air besar) dan sebelum tidur, sampai-sampai Efni yang memang tiap harinya selalu ke rumahku merasa sangat muak jika aku memutar video Hafiz.

            Aku sampe hapal backsong yang ada di video si Hafiz ini!, keluh Efni saat itu. Dia tau seorang Fita hidup di dunia ini aja nggak, gimana kalian mau berjodoh. Halu terosss!, sindir Efni yang sudah lelah dengan tingkah gilaku yang halu dan semakin mengkhawatirkan.

            Aku memegang kepalaku. Rasanya pusing sekali hari ini! Dadaku begitu sakit tiba-tiba. Apa aku tiba-tiba kena serangan jantung? Mas Wira memandangku dengan tatapan bertanya-tanya. Aku hanya menatapnya dengan tatapan ‘aku mau menghilang aja dari bumi ini, Tuhan!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status