Share

Mate
Mate
Author: Intan Pitaloka

BAB 1

Efni terburu-buru membuka pintu kos, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan. Ia mengernyitkan keningnya setelah melihat siapa yang datang. Ia sama sekali tidak mengenali laki-laki tersebut. Kulitnya sedikit gelap, badannya proporsional, nggak terlalu kurus maupun gemuk dan tingginya semampai.

            “Maaf, cari siapa ya?”

            “Hmmm… Fitanya ada?” tanya-nya.

            Efni baru sadar bahwa dia sedang di kos-an Fita. “Fita? Oh… dia ke kos Ria.”

            “Oke. Makasih.” jawab laki-laki itu tanpa basa-basi. Dia pergi begitu saja menuju mobilnya. Lalu, meninggalkan Efni yang masih tercengang bingung.

            Efni tiba-tiba terbangun. Ia menghela napas, lalu melihat jam di dinding kamar kosnya. Jarum jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Efni terdiam sejenak, mencerna maksud mimpinya apa. Ia merasakan seakan-akan semuanya nyata.

            “Apa dia jodohnya Fita, ya?” tanya Efni pada dirinya sendiri. Ia mengambil gelas berwarna biru berisikan air mineral, lalu meminumnya.

***

Ponsel-ku berdering, aku meletakkan buku-buku yang sedang aku rapikan di meja. Lalu, mengambil ponselku yang terus saja berdering di atas tempat tidur.

            Efni.

            Aku tersenyum membaca nama yang tertera di layar ponselku. Tumben-tumbenan sahabatku itu menelpon, biasanya aku yang bawel menghubunginya.

            “Halo… tumben banget, Ni. Kenapa? Kangen ya?” tanyaku meledek.

            “Dih, ge-er. Aku ada cerita.”

            “Cerita apa nih?”

            “Aku semalam mimpiin seseorang. Kayaknya dia jodoh kamu deh, Fit.” ujar Efni mengagetkanku.

            “Hah? Jodoh aku? Gimana-gimana? Coba ceritain yang jelas dong.”

            “Iya. Jadi ada cowok nyari kamu. Badannya bagus banget, pelukable, tinggi.”

            “Dih… malah salfok. Ah, itu mah cuma mimpi kamu doang, Ni. Nggak usah dipikirin banget.” jawabku mengabaikan mimpi Efni.

            “Jangan-jangan kamu nggak jodoh sama si Baya.”

            “Apa sih, Ni. Nggak usah ngaco deh. Yaudah, aku mau lanjut beres-beres dulu. Bye.” Aku segera menutup telpon dari Efni. Ada-ada saja si Efni. Entah siapa yang dia mimpikan. Lagian, siapa pula laki-laki itu?

***

“Jodoh Fita ini ada di dua pilihan. Satunya polisi, satunya tentara. Nggak tau yang mana, tergantung pilihan Fita sendiri.” ujar Mama tiba-tiba.

            Mama, dia teman dekat Ibu, karena sudah sangat dekat, aku pun memanggilnya dengan panggilan Mama. Memang Mama punya kelebihan, sixth sense. Tapi, aku tidak terlalu kepo untuk bertanya-tanya tentang masa depan dan sejenisnya.

            Aku hanya terdiam mendengar ucapan Mama. Tentara? Dekat dengan Tentara pun tidak. Ada sih temanku saat di taman kanak-kanak dan sekolah dasar yang kini menjadi tentara. Tapi, ya aku sama sekali tidak dekat dengannya. Hanya sekedar teman. Polisi? Masuk akal sih, soalnya calon suamiku saat ini pun adalah anggota Polisi. Aku tersenyum mengingatnya. Syukurlah, setidaknya aku tidak menjaga jodoh orang lain (lagi).

            Aku menelpon Efni sesudah Mama pulang dari rumahku. Tentunya ingin menceritakan yang dikatakan Mama barusan. Oh iya, Efni belum pulang ke Bangka. Dia masih di Bengkulu. Katanya masih ada UAS, jadi belum bisa pulang kampung.

            “Napa, Fit?” Efni malas-malasan menjawab telponku. Terdengar jelas dari suaranya.

            “Aku ada cerita, Ni. Hehe…”

            “Apaan?”

            “Tadi Mama ke rumah aku. Terus tiba-tiba bilang, katanya jodoh aku tuh ada dua di penglihatan beliau. Polisi dan Tentara. Jadinya sama siapa, itu tergantung kedepannya gimana.”

            “OMG! Aku tauuuuu sekarang!” teriak Efni tiba-tiba antusias dan memekakkan telinga.

            “Bisa nggak sih, nggak usah teriak-teriak? Sakit nih telinga aku.”

            “Hehehe...ya maap. Fix banget Fit yang di mimpi aku tuh jodoh kamu. Kayaknya dia Tentara. Soalnya penampilannya itu tegap dan gagah gitu.”

            Aku terdiam sejenak. Hatiku bertanya-tanya ‘Iyakah?’. Tapi dia siapa? Apakah aku mengenalnya? Entahlah. Kepalaku sedikit pening jika memikirkannya.

***

Tinnn…

            Aku berlari ke depan. Benar saja, Baya baru saja turun dari mobil xenia berwarna silver. Ia tersenyum ke arahku, masih dengan baju dinasnya lengkap. Sepertinya dia baru saja pulang dari Polda, lalu langsung ke rumahku.

            “Kok masih pake baju dinas?” tanyaku.

            “Iya, nih. Abis dari kantor langsung ke rumah kamu. Udah kangen soalnya.” goda Baya sambil melepaskan sepatu Pakaian Dinas Lapangan (PDL)-nya.

            Aku mencibir. “Dih, apaan sih. Lebay.” jawabku geli. Hahaha entah mengapa aku tidak bisa bermanis-manisan dengan Baya. Mungkin karena kita adalah teman sekelas saat SMA. “Yuk, masuk.”

            “Ada cafe baru. Cobain, yuk.”

            “Siap. Aku ganti baju dulu kalau gitu.” aku langsung menuju kamarku dan bersiap-siap. 

Tidak butuh waktu lama, 10 menit kemudian aku telah siap dengan makeup tipis dan celana kulot warna putih dan atasan berwarna soft pink, dilengkapi tas sling bag berwarna pink pula.

“Bay, kuy!!!” ajakku.

Baya berpamitan dengan Ibu dan Bapakku yang sedang menonton di ruang keluarga. Baya mengganti sepatu PDL-nya dengan sandal biasa yang sengaja dia bawa dari rumah. Dia juga menggunakan jaket parasut berwarna biru donker yang aku berikan januari lalu. Dia sudah tahu persis, bahwa aku kurang nyaman jalan dengannya kalau masih mengenakan pakaian dinas.

Tidak perlu waktu lama, kami pun sampai ke tempat tujuan. Ya, cafe yang dimaksud memang tidak terlalu jauh dari rumahku. Mungkin hanya membutuhkan watu sekitar 15 menit dari rumahku. Cafenya cukup unik menurutku. Ada hiasan piring-piring yang ditempelkan pada dinding-dinding cafe.

“Mau duduk dimana? Lantai 2?” tanya Baya.

“Lantai 2 aja kali, ya? Soalnya seru juga liat jalanan dari atas.” jawabku sambil membayangkan suasananya.

            Baya mengangguk mengerti. Ia menggenggam tanganku, kami berjalan menuju lantai 2. Kami memilih duduk di pojok sebelah kanan paling depan. Tujuannya tentu biar bisa liat suasana Kota Pangkalpinang di sore hari.

            Aku dan Baya langsung melihat daftar menu. Seperti biasa, kami selalu memesan banyak makanan. Haha… maklum kita sama-sama hobby makan.

            “Aku pesan nasi goreng kepiting, strawberry milkshake with whip cream, sama avocado crepes with strawberry ice cream. Yang dessertnya diantar setelah selesai makan ya, mbak.” pesanku. “Kamu pesan apa, Bay?”

            “Aku pesan fire chicken wings, tomyum seafood, onion ring sama mango cheese.”

            “Baiklah. Mohon ditunggu ya, Pak.” ujar Mbak Pelayan Cafe.

            Aku menahan tawaku ketika Baya dipanggil ‘Pak’. Setelah mbak-mbak itu menjauh, aku langsung terbahak sambil menggoda Baya yang wajahnya sudah masam sedari tadi. “Halo, Pak. Hahahaha… kamu sih wajahnya boros.”

            “Huh… jelas-jelas aku masih muda gini.” sungut Baya.       

            “Padahal kita seumuran, ya. Tapi, keliatannya tua-an kamu jauh dari aku, yang.” ledekku.

            Baya mencebik. “Huh, biarin.”

            “Oh ya, yang. Tadi ada Mama ke rumah. Terus dia bilang sesuatu.”

            “Bilang apa?”

            “Katanya jodoh aku tuh ada dua. Polisi sama Tentara. Ada-ada aja deh Mama. Tentara? Sejak kapan aku dekat sama Tentara. Nggak pernah. Hahaha… jadi nggak mungkin.”

            Baya menatapku dengan wajah tidak mengenakkan. “Oh.”

            “Kok kamu marah sih, yang?” tanyaku jadi bingung sendiri kenapa si Baya justru jadi jutek.

            “Hati kalau nggak dibuka, nggak akan dia datang. Kalau sayang nggak kasih kesempatan, ya nggak bakal ada orang lain yang hadir.” ujar Baya makin membuatku bingung.

            “Apaan sih, yang? Lagian kan aku juga nggak ada kenalan Tentara. Jadi, nggak mungkin. Lagian, nggak perlu terlalu percaya lah.”

            Baya hanya ber’hm’ menanggapi ucapanku. Aku menghela napasku. Untung saja tiba-tiba makanan kami datang, menolong suasana yang awalnya canggung menjadi sedikit teralihkan.

***

Aku tersenyum melihat pantulan diriku di cermin. Kali ini aku mengenakan baju bermotif kotak-kotak, dan rok selutut berwarna cream. Merapikan sedikit poniku. Aku duduk di atas tempat tidurku, lalu mengambil ponselku, menelpon Baya.

            “Halo, sayang dimana? Aku udah siap nih.”

            “Yang, aku ada kerjaan nyiapin senjata di kantor. Kita nggak bisa makan mie ayam kesukaan kamu, hari ini.” jawabnya.

            Aku langsung badmood mendengar penuturan Baya. Bagaimana tidak, dia baru memberitahu sekarang. Sedangkan, aku sudah siap seperti ini. “Kok nggak bilang daritadi? Aku tuh udah siap, udah dandan, kenapa nggak ngabarin sih?” aku nggak bisa mengendalikan kekesalanku. Benar-benar sekesal itu.

            “Ya, maaf aku lupa ngabarin kamu. Kamu jangan marah dong. Ya gini kalau kamu cuma sama aku yang pangkatnya rendah. Kamu cocoknya emang sama yang perwira.” tuturnya ngawur.

            “Apa sih? Kenapa bawa-bawa pangkat? Kita lagi bahas kenapa kamu nggak ngabarin aku kalau nggak jadi, kenapa jadi bahas pangkat? Aku milih kamu bukan karena pangkat atau apa pun itu.”

            “Aku tuh cuma bisa nurut perintah atasan. Kamu nggak cocok sama aku, Fit. Kamu memang cocoknya jadi Ibu Perwira.” jawabnya makin bikin aku kesal.

            Aku mematikan telepon. Sumpah, aku kesal sama Baya. Dia selalu saja mengungkit-ungkit masalah pangkat. Selalu bilang dia nggak pantas untuk aku. Aku aja nggak pernah membahas tentang perpangkatan dengan dia. Aku juga nggak pernah mengeluh tentang pangkatnya. Entahlah, aku terlalu lelah berdebat dengannya jika menyangkut masalah ini.

***

Hari ini aku deg-degan sekali, karena Baya mengajakku untuk ikut buka bersama dengan anggota satu divisi dengannya di kantor. Aku memoles bibirku dengan lip cream berwana peach. Kali ini aku menggunakan baju berwarna coklat muda dan rok tutu sebetis warna pink.

            Sesampainya di tempat buka bersama, Baya mengenalkanku dengan teman dan seniornya. Aku hanya bisa melemparkan senyum termanis dan sopan kepada siapa pun.

            “Jadi, kapan nih ngundang?” tanya salah satu senior Baya.

            Aku menjawab tanpa ragu. “Insya Allah tahun depan, Kak.”

            Baya diam dan menatapku dengan tatapan yang aku tak mengerti. Aneh sekali, biasanya dia yang akan dengan semangat menjawab pertanyaan ‘kapan nikah?’.

            “Iyakah Bay, tahun depan nih?” tanya seniornya yang lainnya memastikan jawabanku.

            Baya diam sejenak, tersenyum seakan terpaksa. “Hehe…lihat aja nanti, Bang.”

            Aku menatap Baya dengan tatapan kecewa. Entah mengapa seakan dia ragu akan pernikahan kami yang tinggal menghitung bulan saja.

***

“Aku udah nggak kuat lagi sama kamu. Sifat kamu yang cuek, selalu sibuk, keras kepala, nggak pernah mau nurut sama aku dan nggak pernah ngehargain aku. Keluarga kamu pun juga gitu. Adek kamu kalau aku datang, wajahnya selalu masam dan jutek. Nggak pernah mau salam bahkan senyum dan nyapa aku. Tapi, kalau aku bawa makan, baru dia senyum.” cerocos Baya membuatku kaget.

            “Adek aku emang gitu orangnya. Kamu seharusnya nggak masukin itu ke dalam hati, Bay. Aku yang sibuk, cuek, nggak nurut sama kamu. Bukannya kamu dari awal selalu bilang nggak apa-apa, kan? Aku juga udah kasih tau ini semua dari awal. Aku sibuk dengan urusan kampusku. Aku juga udah bilang, aku nggak bakalan nurutin perintah kamu kalau kita belum nikah.” Aku berusaha menjelaskan semua ke Baya.

            “Aku selama ini ngelarang kamu ini itu juga untuk kebaikan kamu, Fit.” Jawab Baya nggak mau kalah.

            “Kebaikan apanya? Kamu kadang terlalu lebay. Aku pergi sendiri nggak boleh. Aku nonton di bioskop sendirian juga kamu nggak bolehin. Sebelum ada kamu, aku selalu ngelakuin semuanya sendirian. Apa yang harus kamu takutkan? Takut aku nyasar, takut aku ketemu orang jahat. Aku bisa jaga diri aku, Bay.”

            “Udahlah, Fit. Kita emang nggak cocok sama-sama.”

            Malam itu, aku tidak bisa tidur sama sekali. Baya memutuskanku secara sepihak. Dia menjadikan banyak alasan untuk mengakhiri hubungan ini. Sifatku dan keluargaku selalu dia sebut-sebut. Katanya orang tuaku tidak menghargainya. Padahal dengan begitu jelas terlihat bahwa orang tuaku sangat menerima dan menyayanginya. Bukan hanya orang tuaku saja, melainkan keluarga besarku dari pihak Ibu dan Bapak telah mengenalnya dan sangat mendukung hubungan kami.

            Aku masih teringat jelas, dulu aku sama sekali tidak mau memiliki hubungan untuk saat-saat ini. Ya, karena aku ingin fokus pada kuliahku, karirku, dan pertemananku. Aku menyibukkan diri dengan organisasi, ikut lomba sana sini, belum lagi kegiatan kampusku juga seabrek-abrek. Aku juga mengikuti kegiatan di luar kampus, tentunya aku sangat sibuk. Tapi, saat itu dia yang keuhkeuh untuk tetap menerima keadaanku.

            Aku juga masih sangat ingat, saat itu aku mengatakan padanya bahwa aku nggak suka diatur-atur dan nggak bakal nurutin perintahnya kalau belum menikah. Bagiku, aku ini masih milik orang tuaku. Orang tuaku membiayai kehidupan dan sekolahku. Maka, aku harus memaksimalkan semuanya untuk membanggakan mereka. Jadi, selagi mereka tetap mendukung semua kegiatanku, aku tetap akan melakukannya. Tidak perduli pacarku melarangku. Bagiku, pacar belum berhak atasku. Dia mengiyakan semua yang ku katakana. Katanya, dia tidak akan melarangku ini itu, tidak akan memerintahku ini dan itu. Namun, nyatanya? Ia menjadikan ini semua sebagai alasan untuk mengakhiri kisah ini.

            Tangisku pecah ketika dia jujur akan kehadiran sosok baru di hatinya. Hatiku terasa begitu ngilu. Aku masih teringat jelas wajah perempuan itu. Begitu pula penampilannya. Dia begitu dewasa dan sexy. Aku hanya bisa tersenyum pilu. Dalam hatiku terus bertanya, ‘apakah semua laki-laki menyukai perempuan yang terlihat dewasa dan sexy?’.

            Selama ini, aku selalu memaksa diri untuk terlihat dewasa. Membeli pakaian, aksesoris, sepatu, tas yang dikenakan dengan orang lain yang menurutku terlihat dewasa. Namun, hasilnya nihil. Ketika aku mengenakannya, aku sama sekali tak berubah. Masih seperti bocah unyu.

            Masih teringat jelas kata-kata sahabat karib Baya. “Fita itu cantik, tapi nggak sexy.”

            Sekuat tenaga aku mengubah diri, se-melelahkan itu pula rasanya jika yang ada hanya pantulan siapa aku sebenarnya. Terlalu banyak insecurity yang ada, benar-benar mematikan jati diriku. Sampai pada saat ini tiba, aku ditinggalkan oleh sosok yang aku cintai karena sosok wanita yang terlihat lebih dewasa dan sexy.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status