Hendi mengabaikan semua panggilan-panggilan yang ada di dalam kepalanya, semua memori yang selintas-selintas muncul. Sebab, semua hanya mendatangkan rasa sakit baginya. Dia kehilangan minat untuk mencari tahu segalanya. Pasrah.“Apa pun yang ditawarkan takdir kepadaku akan kuterima. Aku lelah.” Hendi berpikir demikian sambil memandangi Anggita yang tersenyum lembut kepadanya. “Entah siapa atau apa dirimu ini. Siluman atau bidadari, aku tak lagi peduli. Hidup matiku sendiri, aku pun tak mau lagi peduli.”Pikiran Hendi kosong, sekosong tatapan matanya. Tubuh dan jiwanya mati rasa. Dia lelah merasa cemas dan muak dengan kebingungannya sendiri. Seperti daun yang jatuh dari dahan pohon, dia membiarkan dirinya terombang-ambing di atas lautan takdir.Anggita senang akhirnya bisa menguasai Hendi seutuhnya tanpa perlu bantuan sisi gelap dirinya, sang Kanjeng Ratu. Meski demikian, sesuatu yang sudah menjadi bagian dari dirinya sejak awal dan sejak lama tidak akan semudah itu menghilang, tidak a
Di kamar rahasia yang ada di dalam villa milik Kandita, kamar yang hanya diketahui keberadaannya oleh mereka bertiga, Kandita, Dirga, dan Andaru, aroma busuk mayat menguar, menusuk-nusuk hidung. Dibutuhkan banyak usaha untuk meredam aroma itu keluar dari kamar. Kandita sengaja menyalakan dupa wangi untuk menutupi baunya atau menyebar rempah-rempah di sudut-sudut yang bisa menyerap baunya. Bau mayat itu datang dari tubuh Andaru yang membusuk.“Ini tidak bisa dibiarkan!” Kandita menatap wajah kekasihnya, Andaru, dengan sangat cemas. “Kita butuh lebih banyak lagi darah untuk menjagamu tetap hidup.”Andaru hanya diam sambil balik memandangi Kandita. Dia merasa kasihan untuk Kandita dan bukannya dirinya sendiri yang perlahan-lahan kembali membusuk setelah berhasil bangkit dari kematian. Sebenarnya Andaru sudah cukup puas dirinya dapat kesempatan untuk hidup lagi, dan melihat putrinya semata wayang hidup dengan baik.“Karmila sangat berbeda dengan Kandita. Aku harap dia bisa tetap seperti i
Suasana hati Kandita semakin memburuk. Baik Karmila maupun Andaru tidak satu pun di antara mereka yang bisa memahami dirinya, apalagi dijadikan sekutu. Kandita lalu keluar dari villa kediamannya. Villa itu dikelilingi oleh hutan kecil dan pegunungan. Di tengah-tengah hutan ada air terjun yang tidak banyak diketahui orang-orang karena letaknya yang curam dan akses menuju ke sana masih mustahil bisa dilalui orang awam. Siapa saja yang mau menuju air terjun itu harus mempunyai kemampuan khusus untuk turun ke lembah curam, menembus semak belukar, mengambil risiko bertemu dengan ular berbisa dan binatang hutan lainnya.Hanya Kandita dan Dirga yang hapal jalan menuju air terjun perawan itu sekaligus juga mampu pergi ke sana. Di tempat tersembunyi itu biasanya mereka melakukan ritual dan latihan spiritual. Di balik air terjun ada goa yang tidak terlalu dalam yang biasa dijadikan tempat semedi Dirga. Ke sanalah Kandita menuju.Sudah ada Dirga di dalam goa. Pemuda itu duduk bersila di atas lem
Malam itu Karmila merasa gelisah. Dia keluar dari kamarnya di lantai dua menuju balkon. Langit malam itu tidak berbintang. Gemuruh guntur dan kilat sesekali bersahutan, tanda hujan akan turun. Namun bagi Karmila, semua itu adalah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.“Ada apa ini? Aku harus cari tahu sekarang. Waktunya mendesak.” Karmila berpikir.Dengan langkah-langkah panjang dan cepat Karmila turun ke lantai bawah. Villa tempat di mana dia tinggal saat itu suram dan sepi. Karmila sama sekali tidak melihat atau mendengar suara siapa pun.“Ibu! Dirga! Ayah!” Karmila berseru memanggil semua anggota keluarganya yang harusnya ada di dalam rumah pada waktu selarut itu. Dia bahkan sangat yakin kalau ayahnya juga ada di sana, meski ibunya bersikeras mengatakan sebaliknya.Tidak ada sahutan dari semuanya. Suaranya menggema kembali di dinding-dinding villa.“Ke mana semua orang?” batin Karmila semakin terusik.Villa yang menjadi rumahnya sejak dia dilahirkan mendadak terasa begitu
Jawaban Andaru membuat Karmila seketika menjadi lemas. Sebenarnya dia sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi. Udara yang dia hirup di sekitarnya membawakan desau ramalan, prasangka, bukan berita baik, pastinya. Namun batinnya seakan-akan tidak mau tahu, tidak mau mendengar berita itu. Karmila menyingkirkan semua pikiran negatif itu jauh-jauh dari dalam benaknya, berusaha untuk pura-pura tidak tahu, tidak percaya.Sebuah kenyataan, kebenaran, tidak pernah ambil pusing apakah keberadaannya diyakini atau tidak. Meski sejuta manusia menyangkalnya, apa yang terjadi, tetaplah terjadi. Sekeras apa pun seseorang berusaha menutupinya atau bahkan lari darinya, kenyataan tetap mengejar, meninggalkan rasa getir.“Jadi saat kita sedang bercakap-cakap begini, di luar sana Dirga dan Ibu memanen nyawa manusia? Membunuhi mereka demi kelangsungan hidupmu, Ayah?” Karmila nyaris tersedak menahan tawa saat mengatakan demikian. Ironi ganjil yang lucu, lelucon! Kelangsungan hidup siapa yang sedang berus
Andaru terkekeh-kekeh. “Kamu sudah memutuskan hal yang benar, putriku, sesuai dengan harapanku.”“Hah? A-apa maksud Ayah?” Karmila cepat-cepat menghapus air mata yang meleleh di pipinya.Andaru mengangkat tangannya yang menggenggam kunci motor milik Dirga. “Pergilah! Aku berharap kamu bisa mencegah mereka.” Setelah bicara begitu Andaru melemparkan kunci motor itu ke arah Karmila.Karmila dengan cepat menangkap kuncinya. Dia masih tidak percaya jika Andaru berpihak pada dirinya. “T-tapi bagaimana dengan Ayah? Apa yang akan terjadi kepada Ayah? Ayah akan menghilang?”“Jangan khawatirkan aku. Aku bisa bertahan jika dibutuhkan. Aku janji, aku tidak akan menghilang begitu saja. Saat-saat terakhirku pastilah ada di dalam pelukanmu. Pergilah! Waktumu tidak banyak. Aku hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Ah, aku percaya kamu akan baik-baik saja. Kamu adalah putriku, putri Kandita dan Andaru, tidak ada yang akan bisa melukaimu dengan mudah.”Karmila mengangguk mantap, terharu oleh d
Karmila mengabaikan keselamatannya sendiri. Dia memacu motornya kencang-kencang menuju rumah sakit jiwa tempat Nurlaila dirawat. Batinnya tidak tenang sampai dia berhasil bertemu Nurlaila dan memastikan keselamatan perempuan paruh baya yang sudah dianggapnya ibu itu. Berbeda dari ibunya sendiri, Kandita, Karmila justru lebih dapat merasakan kehangatan seorang ibu dari Nurlaila, meski perempuan itu setengah tidak waras.Lampu-lampu ibu kota terlihat semakin terang saat Karmila sudah berada di jalan raya, tanda kalau dia sudah semakin dekat dengan tujuan. Dadanya berdegub kencang, itu adalah pertama kalinya dia mengendarai motor sendirian begitu jauhnya dari villa. Dia tidak mempunyai SIM, tidak membawa STNK, setiap kali melihat petugas polisi lalu lintas, Karmila mengingatkan dirinya sendiri untuk memelankan laju motor. Dia sadar tidak punya waktu untuk disia-siakan guna meladeni para penegak hukum.“Semoga Dirga belum melakukan apa-apa!” Karmila berdoa.Setengah jam terasa bagai satu
Bukan hanya Karmila yang mendengar suara lengkingan itu, tetapi beberapa perawat yang ada di sana juga. Tanpa menunggu-nunggu lagi, mereka bergegas ke sumber suara, berduyun-duyun, tergopoh-gopoh, mereka semua datang ke sana.Suara jeritan itu berasal dari bangsal perawatan yang dihuni enam pasien perempuan. Pintunya dikunci dari luar, seorang perawat yang berjaga di depannya tergeletak jatuh di bawah bangku. Salah seorang petugas dan dokter jaga memeriksanya, terkejut begitu mengetahui perawat itu ternyata sudah meninggal dunia.“Innalillah!” Seorang perawat perempuan tak kuasa berteriak histeris melihat kematian tiba-tiba rekan sejawatnya.“Cepat! Buka pintunya!” Karmila berseru.Sementara itu dari balik pintu bangsal, jeritan terus membahana. Jerit ketakutan yang tak putus-putus.Dengan tangan gemetar, salah seorang perawat membuka kunci pintu bangsal. Saat pintu terbuka, pemandangan yang ada di dalamnya seketika membuatnya lupa bernapas. “Astaga! Ini bencana!”Karmila refleks maju