Malam itu Karmila merasa gelisah. Dia keluar dari kamarnya di lantai dua menuju balkon. Langit malam itu tidak berbintang. Gemuruh guntur dan kilat sesekali bersahutan, tanda hujan akan turun. Namun bagi Karmila, semua itu adalah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.“Ada apa ini? Aku harus cari tahu sekarang. Waktunya mendesak.” Karmila berpikir.Dengan langkah-langkah panjang dan cepat Karmila turun ke lantai bawah. Villa tempat di mana dia tinggal saat itu suram dan sepi. Karmila sama sekali tidak melihat atau mendengar suara siapa pun.“Ibu! Dirga! Ayah!” Karmila berseru memanggil semua anggota keluarganya yang harusnya ada di dalam rumah pada waktu selarut itu. Dia bahkan sangat yakin kalau ayahnya juga ada di sana, meski ibunya bersikeras mengatakan sebaliknya.Tidak ada sahutan dari semuanya. Suaranya menggema kembali di dinding-dinding villa.“Ke mana semua orang?” batin Karmila semakin terusik.Villa yang menjadi rumahnya sejak dia dilahirkan mendadak terasa begitu
Jawaban Andaru membuat Karmila seketika menjadi lemas. Sebenarnya dia sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi. Udara yang dia hirup di sekitarnya membawakan desau ramalan, prasangka, bukan berita baik, pastinya. Namun batinnya seakan-akan tidak mau tahu, tidak mau mendengar berita itu. Karmila menyingkirkan semua pikiran negatif itu jauh-jauh dari dalam benaknya, berusaha untuk pura-pura tidak tahu, tidak percaya.Sebuah kenyataan, kebenaran, tidak pernah ambil pusing apakah keberadaannya diyakini atau tidak. Meski sejuta manusia menyangkalnya, apa yang terjadi, tetaplah terjadi. Sekeras apa pun seseorang berusaha menutupinya atau bahkan lari darinya, kenyataan tetap mengejar, meninggalkan rasa getir.“Jadi saat kita sedang bercakap-cakap begini, di luar sana Dirga dan Ibu memanen nyawa manusia? Membunuhi mereka demi kelangsungan hidupmu, Ayah?” Karmila nyaris tersedak menahan tawa saat mengatakan demikian. Ironi ganjil yang lucu, lelucon! Kelangsungan hidup siapa yang sedang berus
Andaru terkekeh-kekeh. “Kamu sudah memutuskan hal yang benar, putriku, sesuai dengan harapanku.”“Hah? A-apa maksud Ayah?” Karmila cepat-cepat menghapus air mata yang meleleh di pipinya.Andaru mengangkat tangannya yang menggenggam kunci motor milik Dirga. “Pergilah! Aku berharap kamu bisa mencegah mereka.” Setelah bicara begitu Andaru melemparkan kunci motor itu ke arah Karmila.Karmila dengan cepat menangkap kuncinya. Dia masih tidak percaya jika Andaru berpihak pada dirinya. “T-tapi bagaimana dengan Ayah? Apa yang akan terjadi kepada Ayah? Ayah akan menghilang?”“Jangan khawatirkan aku. Aku bisa bertahan jika dibutuhkan. Aku janji, aku tidak akan menghilang begitu saja. Saat-saat terakhirku pastilah ada di dalam pelukanmu. Pergilah! Waktumu tidak banyak. Aku hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Ah, aku percaya kamu akan baik-baik saja. Kamu adalah putriku, putri Kandita dan Andaru, tidak ada yang akan bisa melukaimu dengan mudah.”Karmila mengangguk mantap, terharu oleh d
Karmila mengabaikan keselamatannya sendiri. Dia memacu motornya kencang-kencang menuju rumah sakit jiwa tempat Nurlaila dirawat. Batinnya tidak tenang sampai dia berhasil bertemu Nurlaila dan memastikan keselamatan perempuan paruh baya yang sudah dianggapnya ibu itu. Berbeda dari ibunya sendiri, Kandita, Karmila justru lebih dapat merasakan kehangatan seorang ibu dari Nurlaila, meski perempuan itu setengah tidak waras.Lampu-lampu ibu kota terlihat semakin terang saat Karmila sudah berada di jalan raya, tanda kalau dia sudah semakin dekat dengan tujuan. Dadanya berdegub kencang, itu adalah pertama kalinya dia mengendarai motor sendirian begitu jauhnya dari villa. Dia tidak mempunyai SIM, tidak membawa STNK, setiap kali melihat petugas polisi lalu lintas, Karmila mengingatkan dirinya sendiri untuk memelankan laju motor. Dia sadar tidak punya waktu untuk disia-siakan guna meladeni para penegak hukum.“Semoga Dirga belum melakukan apa-apa!” Karmila berdoa.Setengah jam terasa bagai satu
Bukan hanya Karmila yang mendengar suara lengkingan itu, tetapi beberapa perawat yang ada di sana juga. Tanpa menunggu-nunggu lagi, mereka bergegas ke sumber suara, berduyun-duyun, tergopoh-gopoh, mereka semua datang ke sana.Suara jeritan itu berasal dari bangsal perawatan yang dihuni enam pasien perempuan. Pintunya dikunci dari luar, seorang perawat yang berjaga di depannya tergeletak jatuh di bawah bangku. Salah seorang petugas dan dokter jaga memeriksanya, terkejut begitu mengetahui perawat itu ternyata sudah meninggal dunia.“Innalillah!” Seorang perawat perempuan tak kuasa berteriak histeris melihat kematian tiba-tiba rekan sejawatnya.“Cepat! Buka pintunya!” Karmila berseru.Sementara itu dari balik pintu bangsal, jeritan terus membahana. Jerit ketakutan yang tak putus-putus.Dengan tangan gemetar, salah seorang perawat membuka kunci pintu bangsal. Saat pintu terbuka, pemandangan yang ada di dalamnya seketika membuatnya lupa bernapas. “Astaga! Ini bencana!”Karmila refleks maju
Perawat yang berjalan di sisi Karmila kontan menengok ke arah Karmila. “Apa iya? Pembunuhnya masih di sini? Apa menurut Mbak, pembunuhnya orang luar?” tanyanya dengan wajah pias.Karmila diam sejenak, sambil balik menatap si perawat, menimbang-nimbang, apakah perawat itu akan memercayai kata-katanya. “Ah, kita serahkan saja penyelidikannya kepada polisi,” pungkasnya. Karmila tidak mau ambil risiko yang tidak perlu. Tidak ada gunanya dia koar-koar mengatakan kalau dia tahu siapakah yang paling mungkin menjadi pelakunya dan apa motifnya.Sepanjang perjalanan mereka menuju aula, mata Karmila awas memerhatikan sekeliling, tidak hanya mata fisiknya, tetapi juga mata batinnya. Dia tidak boleh melewatkan sedikit saja pertanda akan keberadaan Dirga.Tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Karmila tidak mencium apalagi melihat adanya kekuatan hitam atau energi kegelapan apa pun di sekitarnya. “Apa mungkin Dirga sudah pergi dari tempat ini?’ tanyanya dalam hati.Tak lama kemudian perawat itu berhe
Ruangan gaduh gelisah tidak sulit ditemukan oleh Karmila. Seperti yang dikatakan perawat itu, ada plang nama besar-besar di atas pintunya. Pintunya sendiri tertutup, tetapi tidak terkunci, Karmila dapat leluasa membukanya.Ruangan itu kosong, tidak ada siapa-siapa. Kening Karmila mengernyit, saat dia masih berada di luar pintunya, dia merasakan ada energi yang tidak biasa mengalir keluar dari dalam ruangan itu. Dan, justru itulah yang membuat Karmila yakin ada sesuatu yang ada di dalam sana, sesuatu yang dicarinya.“Enggak mungkin! Aku masih bisa merasakan energi itu berputar-putar memenuhi ruangan ini. Wujudnya memang enggak ada, tapi apa yang kurasakan ini sungguh bukan khayalanku semata.” Karmila bergumam sambil berjalan perlahan-lahan mengelilingi seisi ruangan itu, meneliti apakah ada sesuatu yang mencurigakan, pergerakan sekecil apa pun.Setelah beberapa menit lamanya dia hanya berputar-putar tanpa menemukan sesuatu, Karmila berhenti tetapi tidak menyerah. Dia mulai berpikir bah
Dirga tidak bisa membantah kata-kata Karmila. Dia tersentak, semua ucapan Karmila menamparnya.“Apa-apaan ini!” gerutu Dirga.Karmila bisa jadi benar. Hidupnya sendiri tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Dia sudah kehilangan keluarga satu-satunya, adik perempuannya tersayang. Sementara perempuan yang dipujanya, Kandita, tidak pernah menganggapnya setara dan memperlakukannya sebagai pelayan. Hanya Karmila seorang yang dia harapkan. Tetapi, setelah Karmila tahu semua kebusukannya, semua kejahatannya, tak sanggup Dirga untuk menatap wajah Karmila.“Belum terlambat, Dirga. Bertobatlah!” desis Karmila.Sosok Dirga yang berupa bayangan semakin lama semakin mengabur. Dirga menggelengkan kepala, berkata dengan penuh kepiluan, “Aku sudah terlalu jauh, Karmila, sudah enggak ada jalan kembali.”“Tunggu! Kalau begitu, Mama Nurlaila, ibunya Bang Hendi, di mana dia? Apa yang kau lakukan kepadanya? Aku enggak akan memaafkanmu kalau kau menyentuh Mama atau Bang Hendi meski sedikit saja.”Dirga terse