Hari ini, persiapan untuk acara peluncuran proyek ini. Dua hari lagi acara berlangsung. Alasan inilah yang mempercepat aku pergi dari hadapan Alysia, dan menyembunyikan noda sisa semalam.Pekerjaan kami sudah tidak sesibuk sebelumnya. Aku dan Mas Sakti sudah menyerahkan semuanya kepada team pemasaran. Siang ini, aku ingin mengejutkan Pak Mahendra. Biasanya dia yang menghampiriku, memberikan kejutan-kejutan manis walau sekedar rayuan. Itu cukup membuatku tersanjung dan berharga untuknya.Sekarang giliranku, akan kutunjukkan bahwa akupun mempunyai perasaan yang sama. Berduaan di kantor, tidak akan membuat kami terjerumus, kan?Ruang depan kosong, biasanya sekretaris siap siaga di sana. Hanya tulisan ISTIRAHAT terpampang di atas mejanya.Sip, berarti Pak Mahendra sendiri dan bersiap untuk makan siang. Aku ingin mendahuluinya mengajak makan berdua. Dengan hati berbunga kulangkahkan kaki, dengan jantung mulai berdebar cepat membuka pintu dengan pelan."Aku mencintaimu. Dari dulu, sekara
Aku tertidur dalam rasa kesal. Mataku masih bengkak dan kepalaku terasa berat, namun perutku ini memaksaku keluar dari selimut. Aku lihat ponselku di atas nakas. Sengaja aku matikan, berusaha sembunyi dari siapapun. Di luar sudah sepi. Pasti Alysia sudah tidur. Aku turun menuju dapur di lantai bawah. Tidak ada makanan di lemari pendingin. Hanya bahan makanan saja. Perutku menuntut lebih, namun malasku tak tertahan. Pilihanku berakhir dengan susu murni dingin dan sereal coklat. Tidak seenak nasi gudeng yang berlimpah lauk, tapi bagaimana lagi, hanya ini yang ada. Seperti kisah cintaku sekarang. Menyedihkan dan memalukan. Aku seperti diangkat tinggi-tinggi dengan ungkapan cinta dan rencana manis. Kemudian dihempaskan sampai luluh lantak. Aku mengunyah sereal coklat bersamaan dengan air mata yang menetes lagi. Tertipu karena bodoh. Itu yang membuat menyesal. Kenapa semudah ini aku mempercayai mimpi dan anganku tidak pasti ada? Itu hanya kesempurnaan di cerita dongeng. Pangera
Sepanjang jalan, aku menatap jendela. Seandainya dia bersikap nekat, apakah aku bisa melanjutkan hidup? Dia begitu karena sikapku. Cap sebagai pembunuh membayangi semakin lekat. Genggaman tangan ini mengerat mencari kekuatan untuk menerima apa yang terjadi. Aku ingat. Disaat ketidak mampuanku, sering tangan ini di dalam genggamnya. Hangatnya masih terasa, menegakkan dan meringankan langkahku. Namun, kini seperti menggapai ruang kosong. Apakah dia masih ada di dunia ini? Kak Mahe, jangan tinggalkan aku."Sudah sesuai alamat yang dishare Mas Sakti. Benar ini rumahnya?" tanya Alysia melambatkan mobil."Yang di sebelah itu," ucapku sambil menunjuk ke depan.Aku memekik dan menutup mulut ini saat melihat apa yang ada di depanku. Air mata luruh kembali dan kaki ini seakan hilang tenaga untuk melangkah.Sebuah mobil ambulan parkir di pinggir jalan, dengan cahaya lampu berputar-putar. Beberapa orang berseragam putih kelihatan sibuk. Pintu gerbang pun terbuka lebar. Ada beberapa mobil di sa
Sesaat aku membeku.Dan, tersadar aku benar-benar tertipu."Kak Mahe ...!"Aku mendengus kesal melihat mereka. Apalagi Alysia yang dengan sengaja menunjukkan botol kecil berlambangkan tetes mata. Mas Sakti juga, wajah sedihnya hilang sudah, berganti dengan senyum jahil seperti biasanya.Ternyata mereka bersengkongkol.Orang-orang berbaju putih yang sedari tadi juga sudah tidak ada, entah pergi kemana. Keadaan di ruang ini sepi, hanya ada kami berempat saja.Mataku mendelik ke arah mereka. Bukannya gentar, mereka malah tersenyum kemenangan. "Alysia, kenapa kamu ikutan rencana mereka!" Aku bersungut-sungut menatapnya. "Kalau tidak begini, mana mau kamu mendengarkan kami? Ayo, Sakti. Kita keluar, biarkan mereka menyelesaikan sendiri!" ucap Alysia mengajak Mas Sakti. Mereka meninggalkan kami berdua dengan tertawa dan berbincang entah apa. Ruangan menjadi sepi. Hanya ada aku dan Si Vampir yangsudah memporak-porandakan hatiku. Aku malas melihatnya, kesalku lebih menguasaiku dari pada pe
Sinar matahari masuk di sela-sela tirai. Menyilaukan mata dan memaksaku membuka mata. Tadi malam, kami meringkuk berdua di sofa dalam kamar. Melepas lelah dan kantuk yang tak terelakkan. Namun sekarang, aku sendiri dengan selimut tebal yang berbau aromanya."Litu! Kamu sudah bangun?" ucapnya lirih sambil berjalan berjingkat. "Ayo ikut aku. Jangan berisik, ya."Masih menahan kantuk, aku mengikutinya berjalan pelan tak bersuara. Dibukanya pintu dengan perlahan. "Lihat, itu," tunjuknya ke sofa depan televisi.Aku terkejut apa yang aku lihat. Kecurigaanku selama ini terbukti, dan jawabnnya ada di depan kami sekarang. Mereka di sofa bersama. Mas Sakti tidur dengan posisi bersandar di sofa. Kepala Alysia tidur di pangkuannya. Bahkan tangan mereka saling menggenggam, menandakan seberapa dekat hubungan mereka. "Benar kan, ucapanku."Kami tersenyum memandang mereka. Akhirnya semua terungkap. Alysia, tunggu sebentar lagi, ada interogasi.Dengan keadaan lelah jiwa raga, kami ke kantor. Tunt
Berlahan, kusambut uluran tangannya. Seketika hati ini menghangat seiring dengan eratnya genggaman ini. Sambil menghembuskan napas panjang, kusejajari langkahnya.Pak Mahendra melangkah tegak dengan kepala sedikit mendongak seperti biasanya. Wajahnya pun kembali dingin tak terlihat ramah. Semua yang kami temui mengangguk hormat, dan dari sudut mata ini terlihat raut wajah yang menunjukkan penasaran. Pandangan mereka ke arah tangan kami yang bergandengan sedari keluar dari mobil. Bahkan terdengar bisik-bisik, walaupun tidak jelas itu apa.Aku mengikutinya dengan menunduk dan sesekali menyapa rekan yang aku kenal. Mereka pun menyambutku dengan raut wajah berkerut."Beneran kan, Kak. Semua menatap kita," keluhku saat di dalam lift khusus direksi. Seperti terbebas dari belenggu, aku menghela napas dan menghirup udara dalam-dalam."Mulai sekarang, kamu harus terbiasa dilihat banyak orang, dibicarakan segala apa yang kamu lakukan. Itulah konsekuensinya, saat kita di posisi atas," ucapnya m
Asyik!Programku bisa aku lanjutkan."Aku sayang dengan Alysia. Dia banyak membantuku, dengan ini saja aku bisa membalas budi. Dengan memastikan dia bersama laki-laki yang tepat dan berkualitas," ucapku dengan menghela napas. "Untunglah, kalian tidak ada hubungan spesial," gumanku lirih.“Kenapa kamu pilih Tiok?”“Ya-iya, lah, Dari laki-laki yang aku temui, dia orang yang paling masuk kriteria. Ganteng, pinter, penyayang, dan setia. Menurut Mas Sakti, Mas Tiok itu cocok kan sama Alysia? Bantu comblangin, ya?” tanyaku sambil mencuri pandang ekspresinya.Tiba-tiba Mas Sakti menghentikan mobilnya. Dia menatapku lama, seakan menyelidik kebenaran yang aku katakan. "Maksudmu apa? Ingin menjodohkan Alysia dengan orang lain?" Aku menatapnya balik, pura-pura tidak mengerti apa yang dimaksud. Beruntung dulu pernah aktif di teater, aktingku menyakinkan, kan?"Kenapa? Sebentar lagi aku menikah, wajar kan, menginginkan Alysia segera mengikutiku? Dia butuh teman.""Tapi ...?""Tapi apa, Mas. Ken
Setiba di pelataran gedung, kami sudah disambut beberapa rekan kerja. Ada Pak Tomi dan tim pemasaran. Kami langsung ke dalam gedung melihat persiapannya. Pak Tomi menjelaskan secara detail bahwa konsep yang diusung sama dengan rancangan hunian.Pak Tomi, tidak seperti teman yang lain, dia mempunyai pembawaan yang santun dan tenang. Kelihatan sekali dia itu bekerja penuh perhitungan dan pintar. Pantas saja, dia usia sekarang sudah diposisi manager. Aku suka kerjasama dengan dia.Awal masuk, atmosfer sudah berbeda. Tumbuhan rimbun disana-sini. Peletakan kursi undangan pun disetting berlevel. Sama seperti hunian kami yang disesuaikan keadaan tanah yang berbukit. Berbeda namun dinamis. "Bagus sekali lay-outnya?" teriakku terkesima. Apalagi, lampu sorot dibeberapa titik menimbulkan kesan tak biasa. "Luar biasa kerja Pak Tomi!" Mas Sakti menepuk pundaknya sambil melihat sekeliling dengan raut wajah puas."Saya hanya menterjemahkan rancangan Bu Litu. Pesan Pak Mahendra, tamu datang langsu