Share

3. Kisah yang lama

-

Enam tahun yang lalu.

--

Gadis delapan belas tahun yang menggunakan seragam ungu itu mendecak keras, mengusap wajahnya lalu menghembuskan napas kasar.

Niatnya melampiaskan emosi malah berujung menambah emosi.

Gadis bersurai coklat itu membuka pintu mobil lalu mengambil ponselnya. Dengan cepat, Jasmine mendial nomor Lili- salah satu sahabatnya. Hanya nada sambung yang terdengar, entah ke mana gadis jangkung itu pergi hingga panggilan Jasmine pun tidak dijawabnya.

Jasmine mendial nomor Lili lagi, satu tangannya memegang ponsel dan satunya lagi memperlihatkan jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir masuk, tapi Lili tidak juga menjawab. Jasmine mengedarkan pandangan, jalanan beroperasi lancar tapi tidak ada satupun yang dikenalnya untuk meminta bantuan. Taksi pun tak terlihat di daerah ini. Setelah ketiga kalinya nada dering itu berhenti, Jasmine meletakan ponselnya di saku. Menyerah.

Masa bodoh, akhirnya dia bolos juga.

Gadis itu mengambil tasnya, mencopot kunci, lalu mulai melangkah di bahu jalan. Mengambil arah berlawanan dari arah menuju sekolah.

Jasmine mengambil ponselnya di saku, mengetikan pesan berisi perintah kepada Jay untuk menghubungi orang dan mengambil mobilnya, lalu ponsel itu disetting dalam mode hening. Jasmine terlalu malas untuk berbicara. Tak ingin membuat harinya lebih buruk lagi.

Langkah yang Jasmine ambil belum genap sepuluh namun ia harus menghentikan langkah saat sebuah mobil berhenti disampingnya, Jasmine mengamati mobil itu sejenak, hingga kemudian kaca gelap mobil sedan itu turun Jasmine masih belum tahu siapa pengemudi ini.

Jasmine tidak mengenalnya, maksudnya, cowok berseragam sekolah yang duduk memegang setir itu. Lelaki bertampang acuh dengan rambut hitam legam dan kulitnya berwarna tan.

"Jasmine, mau ke mana kamu?" Pria dikursi penumpang sebelah menundukkan kepala agar dapat terlihat, menampilkan stuktur wajah yang amat dikenal. Jasmine tersenyum sedetik kemudian.

"Saya hendak ke sekolah, sir,” jawab Jasmine pada guru Bahasa inggris di sekolahnya.

Jasmine berbohong? Iya, tidak mungkin juga dia menjawab 'saya mau pulang, sir. Ban mobil meletus' kejujuran semacam itu tidak terlalu diperlukan.

"Kalau begitu kamu salah arah. Sekolah ada di sana," balas Namu seraya menujuk depan. Yah, bahkan anak SD pun tau Jasmine berjalan ke arah yang salah.

"Ban mobil saya meletus. Jadi saya mau mencari taksi di sana," alibi Jasmine.

"Ikut kami saja, di sana juga tidak ada taksi," jawab Namu ramah, guru muda itu juga menampilkan senyum manis lengkap lesung pipi yang ia punya. "Kamu tau kan sekolah tidak toleransi pada murid yang terlambat?"

"Tidak usah, sir. Saya berangkat sendiri saja," tolak Jasmine cepat, bolos adalah satu-satunya agenda hingga sore nanti.

Tapi kemudian, laki-laki berseragam itu berdehem ketara seraya melihat jam di pergelangan tangannya.

"Sebentar lagi bel bunyi, Jasmine, masuklah."

--

Sebagai gadis yang jarang bicara dan juga enggan bersosialisasi. Jasmine mengerti betapa menumpang duduk di kursi mobil milik orang sangat tidak nyaman baginya. Bukan karena Namu yang mengajaknya bicara terus-menerus sedangkan Jasmine merupakan gadis yang irit bicara, namun karena pandangan lelaki yang duduk di kursi supir itu beberapa kali ketahuan curi-curi pandang padanya.

Sejak saat kereta beroda empat ini mulai memasuki gerbang sekolah, Jasmine sudah memegang gagang pintu. Dan saat rem diinjak, saat bahkan sang supir belum mematikan mesin kendaraan Jasmine sudah turun dari sana. Yang dipikirkannya saat ini hanya melepas diri dari kecanggungan.

Belum pernah selama delapan belas tahun hidupnya Jasmine merasa canggung sedemikian parah, Jasmine bahkan hampir tak bisa bicara dan hanya menjawab pertanyaan dengan anggukan atau gelengan saja.

"Terima kasih, sir." Jasmine hendak berlalu membawa dirinya pergi menenangkan diri, tapi instruksi dari pria tinggi yang menggunakan kemerja itu menghentikannya.

"Jasmine, kamu kelas 11-3 kan?"

Jasmine memejam mata sekilas, merutuki diri. Sebelum kemudian berbalik. "Benar, sir." Jasmine mengerjap dua kali lalu tersenyum.

"Bisa tolong bawa dia juga?" pinta Namu. Menunjuk si supir berseragam itu dengan dagunya.

Jasmine mendesah dalam hati, mata gadis itu melirik ke arah laki-laki berambut hitam yang tengah bersandar di bagian depan mobil. Entah kenapa terlihat sangat menyebalkan, maksudnya laki-laki itu. Entahlah, melihat laki-laki itu melipat tangan di dada dengan acuh seperti itu membuat Jasmine sebal.

"Maaf, sir. Tapi saya akan mampir ke tempat lain dan mungkin akan masuk kelas terlambat," tolak Jasmine halus, alasannya kali ini bukan sekedar alibi. Jasmine benar hendak ke ruang tari sebelum mengikuti pelajaran pertama.

Jasmins melihatnya dengan jelas, laki-laki itu berdecih lalu berdiri tegak seraya menyimpan satu tangannya di saku celana.

"Gua bisa sendiri." Suara beratnya untuk pertama kali terdengar. Kaki panjang itu hendak melangkah namun tertahan saat Namu menarik kerah seragamnya dari belakang.

"Jangan macem-macem!"

Namu melepas tangan dari kerah laki-laki itu saat dirasa kalau ia benar-benar berhasil mengusirnya pergi.

"Apanya yang macam-macam? Cuma masuk kelas, kan," decakan dari mulut lelaki berkulit tan itu terdengar keras. "Lagian gue gak bawa mobil, kabur juga gak akan bisa."

"Saya," koreksi Namu. "Jangan gua-gua, nggak sopan!"

"Kamu pikir saya bodoh. Masih ada Jimmy di sini, komplotanmu itu gak bisa dipercaya. Jangan bikin ibu naik darah lagi, Juan! Sekolah yang benar!"

Jasmine hanya berdiri di sana dengan wajah super datar, tidak ingin ikut campur sama sekali.

"Tolong ya, Jasmine. Sebentar saja, pastikan dia benar-benar masuk kelas."

Jasmine yang sejak tadi diam masih diam juga, ia masih ingin menolak, tapi juga khawatir Namu akan menganggapnya buruk kalau ia menolak. Dan tentu saja ia tak ingin itu terjadi.

Tepat sebelum Jasmine membuka mulut ingin menyangkal, bel sekolah berbunyi. Membuat gadis itu menelan kembali kata-katanya. Mau bagaimana lagi.

"Baik, sir." Kalian tau seberapa enggan Jasmine mengucapkannya.

Pria tinggi itu tersenyum manis memperlihatkan pahatan indah dipipi.

"Terima kasih," katanya sebelum menoleh ke samping, menatap laki-laki yang sebelumnya dipanggil Juan itu lagi. "Ikuti Jasmine,"

"Saya bisa membaca dan mengerti tulisan 'kelas 11-3'," gerutu lelaki berkulit tan itu.

Bel masuk berbunyi.

"Tidak dengar bel sudah berbunyi? Sudah sana cepat."

Jasmine sudah berlari jika dari tadi laki-laki berambut hitam itu tidak menyahut. Membuang-buang waktu dan membuatnya hampir mati karna terlalu lama salah tingkah.

Namu menjauh setelah sebelumnya menganggukan kepala pada Jasmine dan mengucapkan sepenggal kalimat terima kasih sekali lagi.

Mengabaikan hati yang sejak lima belas menit yang lalu tak nyaman, Jasmine berbalik sekilas. Lalu tanpa mengatakan apapun gadis itu berjalan tanpa repot-repot menoleh ke belakang.

--

Menjadi pusat perhatian sudah biasa, disorot laser kekaguman setiap langkahnya juga hal biasa.

Yang tidak biasa dari pandangan orang terhadap primadona sekolah mereka adalah suara langkah kaki di belakangnya, yang menjadi hal baru dari opini berpasang-pasang mata yang melihat. Sudah pasti rumor dan gosip akan menyebar luas, jelas saja. Ini kali pertama seorang Jasmine berjalan dengan laki-laki di dekatnya.

"Lo suka ya?" Arjuan mengambil langkah sejajar dengan Jasmine.

Membuat si gadis menjauh sepontan. Dengan enggan menjawab, "apa?"

"Suka sama Abang gue?" tanyanya lagi, saat itu langkah kaki Jasmine berhenti di belokan koridor. Sedikit tidak percaya.

"Abang?" ulangnya tak percaya.

"Orang tadi?" lanjutnya lagi, Namu? Ini adiknya? Kening Jasmine mengerut dalam.

Maksudnya adik kandung? Tapi mereka terlihat sangat berbeda. Fisik dan juga auranya.

Dan apa yang ditanyakan lelaki ini tadi? Jasmine suka pada Namu?

"Gak," jawab Jasmine singkat, gadis cantik itu kemudian mengambil langkah lebih cepat dari sebelumnya. Dan tentu tidak akan sulit bagi kaki panjang laki-laki berambut hitam itu menyusul.

"Bohong malah jadi makin ketara," celetuk Arjuan dengan satu senyum jahil.

Jasmine memejamkan matanya sejenak. Dasar sok tahu!

"Gue nggak bohong," sahut Jasmine, menambah lagi satu tingkat kecepatan langkahnya.

"So, kenapa gugup?" Dan seperti sebelumnya, Arjuan menyamai langkah kecil gadis itu yang nyatanya merupakan hal mudah. Sekarang Jasmine berhenti. Lagi.

Jasmine menoleh, menaikan satu alis, wajahnya datar sekali.

"Bukan urusan lo," tandas Jasmine. Yang mana diartikan sebagai pengakuan oleh Arjuan.

Kelas sudah terlihat, hanya tinggal melewati tiga ruangan dan mereka akan sampai. Tapi Jasmine sudah enggan, lupakan apa yang diamanatkan Namu kepadanya, bahwa ia harus memastikan laki-laki ini masuk kedalam kelas.

"Itu kelasnya." Jasmine menunjuk pintu kelasnya, lalu beralih menoleh ke arah Juan. "Liat, kan?"

Setelah Arjuan mengangguk, Jasmine berbalik arah hendak menuju ruang tari, tetapi tarikan dari tali ranselnya membuat langkah Jasmine tertahan.

"Itu juga kelas Lo, kan? Kenapa nggak masuk?"

Jasmine menebas tangan Arjuan dari tali tasnya. "Stop tanya-tanya karena kita aja nggak kenal!"

Dan nyatanya semua cuma basa basi semata. Arjuan hanya mengangkat bahu acuh, "Oh jadi lo mau mengingkari perintah guru tersayang?" Laki-laki itu kembali memasukan tangannya ke saku celana.

Jasmine malas berdebat, mood yang hancur sejak pagi tadi dibuat lebur oleh laki-laki ini. Gadis itu hanya melengos dan kembali berjalan kearah tujuan.

"Gua Arjuan by the way, dan gue udah tau nama Lo. Just Mine!"

——

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status