Share

Bab 4#Perencanaan

Bab 4

Rakha terus berusaha menghilangkan bayangan Fasha di benaknya. Apalagi, saat ia melihat dengan jelas wajah Fasha yang bagaikan narkoba, yang membuat setiap orang yang melihatnya akan candu. 

"Woii ... Rakhaa, sadar! Lo kok bisa-bisanya sih mikirin dia, lo aja ngak tau dia siapa," bentaknya pada dirinya yang sembari mengapitkan kepalanya dengan kasar dan sesekali memukul kepalanya.

Saat Rakha sedang frustasi di kamarnya, dari luar terdengar suara seseorang mengucapkan salam  "Assalamualaikum," ucapnya yang terdengar diiringi dengan suara ketukan.

"Waalaikumusallam. Ehh, den Rafha sudah pulang," ucap bibi yang menyambutnya dengan senyuman hangat.

"Rakha udah pulang bii?" tanyanya sembari berjalan masuk dan menbawa sebuah kitab suci Al-Qur'an.

"Udah, den. Den Rakha teh ada di kamarnya."

"Ooo ... yaudah, Bii. Ehh, mama papa katanya lagi sama-sama dinas di luar ya, Bii?"

"Iya, Den. Tadi bibi di telpon tuan sama nyonya, Den."

"Iya, Bi. Tadi mama papa juga telpon aku. Aku ke kamar Rakha dulu ya, Bi," serunya sembari berjalan menuju kamar Rakha yang berada di sisi kanan dari tempat ia berdiri.

"Oo, iya, Den. Mau bibi buatkan minum apa, Den?" tanya bibi menyodorkan tangannya yang sedang memegang kain lap.

"Ooh, ngak usah, Bi. Nanti kalau Rafha mau, Rafha bisa buat sendiri, Bii."

"Ooo, yaudah, Den. Bibi lanjut di belakang dulu ya, Den," ucap bibi dan berangsur berjalan menuju Dapur.

"Iya, Bii," balas Rafha lalu berjalan juga menuju kamar Rakha.

Setelah sampai di depan kamar Rakha. Rafha menempelkan kepalanya ke pintu. Ia mendengar teriakan 'tidak ... tidak' yang terus di ulang-ulang. Rafha yang penasaran dengan apa yang dilakukan Rakha, iapun membuka pintu kamarnya yang kebetulan sekali tidak dikuncinya. Setelah pintu terbuka, Rafha melihat Rakha yang sedang seperti orang gila menjerit-jerit sendiri yang terus menerus mengulangi ayat-ayat yang sama.

"Assalamualaikum. Rakha, kamu kenapa?" tanyanya yang terkejut melihat adiknya lalu berjalan menuju Rakha dan langsung memegang tangan adiknya itu.

"Arrgghhh," desahnya yang semakin menjadi-jadi.

Rafha yang kebingungan dengan tingkah adiknya itu, ia mengira bahwa Rakha sedang kesurupan. Langsung saja, ia membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an kepada Rakha.

"A'udzubillahiminasyaitonirrojim bismillahhirrahmannirahhim. Allahula ilahaillawlah huwal hayyul qoyyum," ucapnya yang mendekapkan tanganya ke kepala Rakha.

Seketika pikiranyapun hilang tentang Fasha. Ia telah kembali sadar, dan mendapati ada Rafha yang sedang membacakan ayat-ayat Al-Qur'an kepadanya. Ia menyadari bahwa dirinya sedang di Ruqyah oleh Rafha. Sontak dia mendorong tangan Rafha lalu berdiri dan mengomel-omel kepada Rafha.

"Ehh, lo ngapain di kamar gue? Ngapain juga lo kayak tadi? Emang gue kesurupan apa?" ucapnya yang dibaluti emosi.

"Tadi kakak liat kamu kayak ngak beres gitu, mangkanya kakak bacain kamu ayat-ayat suci Al-Qur'an. Biar pikiran kamu tenang, Ka." Rafha berkata dengan segala kejujuran dan reaksi yang polos.

"Ihh, apaansih, lo. Lo ngak usah deh kepo sama urusan gue. Lo urusin aja masalah hidup lo. Ngak usah sok peduli deh sama gue. Sana keluar lo!" bentak Rakha yang membangunkan kakanya dari tempat duduknya. Lalu, mendoronya sampai kedepan pintu.

"Rakha ... Rakha, kamu dengerin kakak dulu, kakak cuman ...," ucapanya terpotong karena Rakha menutup pintu lalu menguncinya. 

Rafha dibikin terheran-heran dengan sikap adiknya itu. Bukanya harus marah, justru ia malah tersenyum setelah mendapatkan perilakuan seperti itu dari adiknya.

Setelah mengunci pintu, Rakhapun duduk di sudut ranjangnya. Ia tampak risau setelah menghadapi situasi ini.

"Astagaa ... gue malu bangett. Lagian ngapain tuh orang masuk-masuk dalam kamar gue," protesnya yang sesekali menatap ke arah pintu untuk memastikan tidak ada tanda-tanda kehidupan Rafha.

Waktu demi waktu telah berlalu bagaikan angin. Hembusanya yang tak dapat dirasakan, namun sangat memaknai. Fasha yang mengenakan celana levis dan baju berwarna hitam itu, menuruni anak tangga satu persatu. Langkahnya terhenti di ujung, karena, ia melihat Papa, Mama, dan Rasha sedang menyantap sepotong roti masing-masing. 

Papa yang menyadari kedatangan Fasha, iapun menawarkan Fasha makan bersama. Fasha yang menghargai niat baik Papanya itu, langsung saja ia ikut bergabung dan duduk di sebelah mamanya. Memang menurut Fasha, antara Mama dan Papanya, ia merasakan bahwa Papanyalah yang selalu memperhatikanya. Tetapi, bukan berarti Mamanya tidak sayang terhadap Fasha. Hanya saja didikan mamanya terlalu keras dan sensitif.

Tanpa basa-basi, Fasha mengambil dua helai roti, lalu mengambil selai isi kacang kegemaranya. Dikarenakan letak selai kacang yang tak sampai di jangkau oleh tanganya, mamanyapun berinisiatif untuk mengambilkannya, lalu memberikanya kepada Fasha.

Fasha terpelongo melihat mamanya. Karena mamanya sudah membantunya, ia tetap harus berterimakasih.

"Oo-hh, terimakasih mam-a," ujarnya yang sedikit terbata-bata.

"Iya, sayang. Yaudah, lanjutin makanya," jawab Mamanya, lalu melanjutkan menyantap roti yang berada di atas piring itu.

Papa yang melihat kejadian itu. Ia sedikit senang dengan sikap istrinya yang sudah mulai bisa sabar menghadapi Fasha. 

'Syukurlah, mama pelan-pelan sudah mulai bisa mengontrol emosinya," batin papa, sambil sedikit tersenyum miris.

Setelah selesai makan, Papa membuka pembicaraan dengan menanyakan bagaimana kelanjutan sekolah Rasha dan Fasha.

"Hmm. Anak-anak Papakan baru tamat SMP. Jadi, mau lanjutin kemana nih?" tanya Papa yang mengenggam kedua tanganya untuk menopang dagunya.

"Mama maunya Rasha sama Fasha lanjutin sekolahnya di pesantren Papa aja, Pa," ucap mama yang melipat kedua tanganya di atas meja, lalu melirik ke wajah kedua putrinya itu.

"Oke, Papa setuju.  Lagiankan kita juga bisa sekalian ngurusin pesantren. Udah lama juga kita ngak kesana kan? Pasti anak-anak seneng nih kita datang." Papa yang senang mendengar ulasan Mama, langsung saja meng-iyakan keputusan istrinya itu, lalu melirikan matanya kepada kedua putrinya itu.

"Iya, Pa. Rasha akan mengikuti pilihan Papa sama Mama," ucap Rasha yang membalas senyuman Papa dengan senyuman juga.

"Ok, jadi Rasha dan Fasha bakalan lanjutin sekolah di Pesantren warisan keluarga kita. Lusa kita akan langsung berangkat menuju kampung tempat pesantrennya, ok." Nada Papa yang sangat bersemangat akan hal ini, sampai-sampai ia tak sadar, bahwa Fasha belum memberika ulasan sedikitpun tentang hal ini.

'liat saja itu, kehadiranku saja tidak terhitung oleh mereka. Mereka tidak sedikitpun meminta pendapatku. Mereka anggap aku apa? Boneka pajangan yang bernyawa? Lantas, apa pendapatku tidak dibutuhkan oleh mereka? Ini yang paling tidak kusuka! Hanya aku yang di acuhkan di keluarga ini,' ujar batin Fasha yang serasa ingin meluapkan amarahnya itu.

"Pah ... Mah! Aku ngak setuju sama kalian! Kenapa kalian tidak menanyai pendapatku dulu sebelum memutuskan?" tanya Fasha yang berdiri dari tempat duduknya dan mengeluarkan nada yang sedikit marah.

"Udah, kamu ikut aja apa kata orang tua. Ini keputusan yang telah di sepakati bersama. Jadi, kamu tidak bisa menolaknya atau mengatakan tidak mau." Nada Mama yang sedikit sinis sambil menatap mata anaknya itu.

"Hah? Keputusan bersama? Aku rasa dari tadi Papa, Mama, Sama Rasha doang yang berdiskusi, kalian ngak ada tuh libatin aku," pungkas Fasha yang sedikit kesal mendengar jawaban Mamanya, iapun mengeluarkan nada amarahnya.

"Fasha!" bentak Mamanya yang diikuti dengan berdiri menghadap ke Fasha. 

"Udah, kamu tinggal ikutin apa kata Mama sama Papa. Kita maunya yang terbaik buat kamu sama Rasha, Nak," tegas Mamanya yang lalu mengelus-elus lengan anaknya itu.

"Far, udah, Dek! Kita ikutin aja perkataan Abi sama Umi, Dek. Ini semua juga demi kebaikan kita," ucap Rasha yang ikut membela Uminya.

"Apa? Kebaikan kita? Lo aja kali! Karena pendapat lo, selalu di dengarin Papa sama Mama. Sedangkan gue, apa? Ngak ada yang ngehargai pendapat gue!" tegas Fasha dengan menunjuk dirinya sendiri dengan jarinya. Dan mata yang telah menampung genangan air mata, dan siap untuk di jatuhkan.

"Fasha!" potong Mama sambil menghentakan kedua tanganya di atas meja.

"Udah, cukup semuanya, DIAM!" potong Papa dengan suara yang mengelegarkan seisi rumah. Bibi yang sebelumnya lalu-lalang mengambil piring, kini ia terkejut dan langsung berjalan menuju dapur.

Perdebatanpun semakin sengit setelah Papa mengeluarkan nada keras. Seketika mama yang membentak Fasha, kembali duduk dan diam.

"Fasha! Kalau kamu tidak mau pesantren, lalu, kamu mau sekolah dimana?" tanya Papa dengan wajah yang tampak serius menatap mata Fasha.

"Aku ... a-ku, aku mau lanjutin ke SMA!" tegas Fasha yang menumpukan kedua tanganya di atas meja.

"Mama ngak setuju kalau Fasha lanjutin ke SMA," protes mama yang kembali berdiri dengan tegas.

'Astagfirullah, ya Allah, apa lagi ini? Kenapa selalu ada pertengkaran di tengah keharmonisan keluarga ku,' batin Rasha.

Suasana semakin tegang. Papa terlihat lesu menghadapi kekeras kepalaan istri dan anaknya ini. "Huh ...," ujar Papa yang menghela nafas panjang.

"Mah ... tapi aku ngak mau pesantren! Aku mau punya pendapat sendiri, emang ngak boleh? Apa aku harus selalu dikekang seperti ini?" tegas Fasha dengan suara lantang.

"Oke, gini! Kamu boleh lanjutin ke SMA. Tapi, kamu ngak boleh berhubungan lagi sama anak-anak nakal itu! Papa ngak mau kamu semakin sesat karena mereka," ucap Papa dengan nada yang sudah menurun.

"Kalau Fasha masih nekat lanjutin ke SMA ... Mama ngak mau ngurusin pendaftaran Fasha!" tegas Mama yang semakin kesal lalu pergi meninggalkan perdebatan.

"Mah ... Mama, dengerin dulu," panggil Papa yang mencoba menahan emosi istrinya itu.

Fasha hanya terdiam menyaksikan kemarahan Mamanya itu. Ia kembali duduk dengan tenang. Papa yang binggung harus bagaimana, ia memilih untuk menyusul istrinya. Suasana seketika hening dan mencengkram. Rasha yang sedari tadi diam menyaksikan, kini, iapun membuka suara.

"Fasha, kamu bisa ngak sih, ngak usah berdebat sama umi!" bentak Rasha yang kesal kepada Fasha.

"Lo ngak usah ngomong! Gue ngak butuh suara lo. Lo enak, selalu di perhatiin dan fditanyai  sama mama dan papa. Jadi, lo diam aja!" cetus Fasha lalu juga pergi meninggalkan Rasha sendirian di meja makan. 

"Tapi ...," ucapanya terpotong karena Fasha lebih dulu pergi.

Setelah beberapa menit. Fasha keluar melewati meja makan dengan membawa jaket, tas kecil, dan helm khusus. 

"Fasha! Kamu mau kemana? Fasha," bentak Rasha dari tempat duduknya.

Mereka berdua sedang menyantap makananya dengan lahap. Rakha hanya terdiam dan sesekali melihat ke layar ponselnya. Suasana hening tanpa ada yang membuka pembicaraan.

Rafha yang tak nyaman dengan keadaan ini, iapun memulai pembicaraan dengan sedikit ceramahan.

"Kalau lagi makan, makan dulu! Jangan sambil main handphone, nanti keselek," ucapnya yang berhenti sebentar menyantap makananya.

Rakha tak memberikan respon apapun. Ia tetap saja melanjutkan bermain ponselnya tanpa menghiraukan Rafha. Rakha makan sambil tertawa sedikit. Ntah apa yang ia lihat dan yang ia tertawakan dari ponsel itu. Tak lama kemudian, Rakha pun tersedak. 

"Uhuk ... uhuk," ujarnya lalu mengambil segelas minuman yang ada di sampingnya.

"Mangkanya, kalau dibilangin orang itu dengerin! Jangan anggap angin lewat aja," sindir Rafha yang menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat adiknya yang kelipasingan mencari air.

"Bacot lo! Semuanya gara-gara lo. Lo yang do'ain gue keselek kan," bentaknya yang menatap kesal wajah Rafha.

"Hmm," lirihnya dengan sedikit tawaan kecil.

"Ohh, iya. Lo mau lanjutin kemana? Lo udah ngomong ke papa sama mama?" tanyanya yang berhenti menyantap makanan lalu fokus menatap wajah Rafha.

"Hmm. Rencananya sih lanjutin ke pesantren yang ada di kampung aja!" tuturnya yang telah selesai makan dan membalas tatapan Rakha.

"Idihh, ngapain lo ke kampung? Enakan di kota kali!" ujarnya dengan judes dan menaikan satu alisnya yang membuat keningnya berkerut.

"Sebenarnya sih, enakan di kampung, ya! Suasana yang damai, tentram, adem, asri, dan yang terpenting ngak padat penduduk. Itu yang menjadi pilihan hidup yang sebenarnya," tegasnya sambil tersenyum-senyum memikirkanya.

"Sumpah, Lo ngak asik!" cetus Rakha yang membuang pandanganya ke samping.

"Hmmm," ucapnya yang menggeleng-gelengkan kepala.

"Udah, gue mau keluar sama temen dulu,"   serunya lalu berdiri dan mengambil jaket yang berada di kamarnya.

Setelah beberapa saat, iapun keluar dari kamar dan menuju ke Rafha yang masih berada di meja makan. 

"Ehh, lo tau ngak, gue narok jaket gue dimana?" tanyanya kepada Rafha yang sedang membolak-balikan sebuah buku.

"Di atap. Kemaren di cuci sama bibi. Katanya, bau jaketnya udah ngak enak. Emang kamu ngak pernah cuci jaketnya?" 

Rakha terdiam tanpa menbalas perkataan Rafha. Lalu, berjalan menuju atap melalu tangga.

"Huh,u ganteng-ganteng tapi kok ...," ucapnya yang seketika terhenti dan tak melanjutkan perkataanya.

Sesampainya Rakha di atap. Ia melihat jaketnya yang sedang di jemur. Iapun menghampiri dan meraba-raba apakah jaketnya sudah kering atau belum. Iapun mencium jaketnya apakah masi bau atau tidak.

"Ngak bau kok! Apalagi, saat parfum tuh cewe nempel di jaket gue," gumamnya yang kembali menbayangkan wajah Fasha sambil tersenyum-senyum.

Saat Rakha tersenyum-senyum membayangkan wajah Fasha, bibipun datang dengan membawa sekeranjang pakaian yang mungkin akan di jemurnya. Tetapi, secara tak sengaja, bibi mendengar perkataan Rakha soal ia membahas parfum cewe itu. Bibipun menghampiri Rakha dengan tertawa-tawa.

"Aduh, Den Rakha, kalau jatuh cinta teh, jangan dipendem, ungkapin, nanti diambil orang baru nyesel loh, Den" ujar bibi yang menasehati Rakha sambil tertawa.

"Ihh. Bi ... apa sih, Bii, nguping deh, ngak boLeh tau!" tutur Rakha yang membalikan badan menatap bibinya.

"Itu sih kata orang tua bibi, Den," ucap Bibi lalu berjalan ke penjemuran dan menjemur beberapa helai pakaian.

"Udah deh, Bi. Rakha keluar dulu!" ujar Rakha yang menjangkau tanganya ke jaket lalu berjalan menuju tangga.

"Mau kemana, Den? Mau nemuin dia ya, Den?" sorak Bibi yang tersenyum melihat kepergian Rakha.

Sesampainya dibawah. Rakhapun kembali bertemu dengan Rafha.

"Kok berisik banget di atas? Tadi kamu bicara apa sama bibi?" tanya Rafha kepada Rakha yang berjalan di depanya.

"Arghh, bacot lo! Diam," tegasnya sambil memasang jaket lalu menaiki motornya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status