Share

DG (Delia Ganda)

Deg.

Ternyata ingatannya sangat tepat. Aku hanya bisa meringgis, menunjukkan gigi-gigiku yang tidak terlalu putih dengan senyum terpaksa. 

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja. Saat itu, saya yang berjalan terburu-buru, sembari menunduk mencari ponsel di dalam tas, tidak melihat bapak," tuturku dengan penuh sopan. 

"Saat itu juga, saya ingin menegurmu, berjalan itu pakai mata!" balasnya dengan sedikit penekanan. 

"Berjalan itu pakai kaki, Pak. Kalau mata itu berfungsi untuk melihat," timpalku, dengan sedikit sewot. 

Dia yang sedang menikmati cappuccino hangatnya, tiba-tiba saja tersedak, setelah mendengar kalimatku. Mungkin, dia tidak menyangka, aku berani menimpali ucapannya. 

Dia pun menatapku dengan tidak percaya. Huh ... Aku sudah sangat sopan meminta maaf, tapi dia malah merespon seperti itu. Lagi pula, dia juga menabrakku, dan dia ingat itu. Meski dia juga yang menolongku, agar tidak terjatuh. 

"Iya, kamu benar, mata untuk melihat. Tapi kamu tidak menggunakan mata kamu," ujarnya santai. 

Apa, yang benar saja? Berani sekali dia bicara seperti itu. Bukan hanya aku yang membutuhkan pekerjaan ini, tapi dia juga membutuhkanku untuk bekerja dengannya. Kita sama-sama membutuhkan, seharusnya dia bisa bicara lebih baik. Namun, apa ini? Huh ... untung saja dia orang tua, aku harus sabar. 

"Saya menggunakan mata saya, Pak. Saat itu, saya menggunakan untuk mencari ponsel di dalam tas. Jadi, saya tidak melihat bapak. Tidak mungkin 'kan, saya menggunakan mata saya untuk melihat dua arah atau dua fokus sekaligus?" ucapku dengan tenang, aku tidak akan puas, jika bukan dia mengakhiri perdebatan kecil ini. 

Dia terdiam, mungkin dia berpikir, kalimat apa lagi yang akan dikeluarkannya. Setelah beberapa detik, dia tertawa kecil dan berkata, "Oke-oke, kamu menang."

Aku pun langsung menjawab. "Menang? Kita sedang berlomba, Pak? Kalau saya penenangnya, hadiah apa yang saya dapatkan?" tanyaku. 

Entah mengapa, aku masih ingin terus menimpalinya. 

"Hadiah apa? Bagaimana jika tidur satu malam dengan saya?" jawabnya dengan kerlingan mata yang 'menakutkan' untukku. 

"Bapak jangan kurang ajar!" ujarku dengan sedikit marah. 

"Saya hanya menawarkan, kenapa kamu marah?" tanyanya santai, yang membuat mataku membulat. 

"Bapak pikir saya perempuan seperti itu? Saya memang orang tak punya, tapi sebagai orang yang memilik harta lebih, seharusnya bapak bisa menghargai orang kecil seperti saya," ujarku berapi-api. 

Untung saja, tidak banyak pengunjung di cafe ini, dan tempat duduk kami yang berada di sudut ruang, membuat kami jauh dari perhatian.

Aku jadi berpikir, pria dewasa di depanku ini sepertinya bukan orang baik. Aku takut dia akan melecehkanku nanti. Iya, sepertinya aku harus membatalkan niatku untuk bekerja dengannya. 

Saat aku ingin membuka suara untuk mengutarakan niatku, dia berkata, "Maaf, maafkan saya. Saya hanya mencoba bercanda denganmu."

Apa? Apa tidak salah? Pria dewasa dan sudah mempunyai satu putra, bercanda seperti itu denganku? 

"Maaf, Pak, tapi sepertinya, saya membatalkan niat saya untuk bekerja dengan bapak!" ujarku dengan sedikit tegas. Hilang sudah, cara bicaraku yang lembut dan penuh rasa sungkan tadi.

"Kamu kenapa? Tadi saya hanya bercanda. Seharusnya, kamu tidak perlu terbawa perasaan. Kamu terus menimpali ucapan saya,  jadi saya beri kamu satu kalimat pelajaran 'bagaimana jika tidur satu malam dengan saya' agar kamu berhenti melanjutkan perdebatan kecil kita. Tolong, jangan ambil hati ucapan saya, atau berpikir yang tidak-tidak!" jelasnya sembari menghela napas di akhir kalimat, kemudian melanjutkan. "Lagi pula, saya tidak tergoda sedikit pun denganmu. Maaf, tapi kamu buka kriteria saya sama sekali".

Deg ... kurang ajar sekali dia. Setelah mengerjaiku dengan kalimatnya, meminta maaf dengan penjelasan yang begitu detail, kemudian menghinaku dan kembali lagi meminta maaf. Wah, benar-benar tidak punya hati!

Namun, pada bagian mana dia menghinaku? Dia berkata benar. Kenapa aku merasa terhina? Dia hanya mengatakan yang dirasanya, aku memang tidak menarik dan bukan kriterianya sama sekali. Kalaupun dia tidak mempunyai istri, dia bisa mendapat wanita yang diinginkannya. 

Kami terdiam beberapa saat, dengan isi pikiran kami masing-masing. Sampai suaranya terdengar. 

"Sekali lagi, Delia, saya minta maaf. Mungkin bicara saya keterlaluan dan terkesan tidak sopan pada pertemuan kedua kita ini. Tapi saya sama sekali tidak bermaksud begitu," ujarnya yang sedikit berhasil menenangkanku. 

"Saya juga minta maaf, Pak. Mungkin saya yang terlalu terbawa perasaan. Bapak benar, tidak mungkin orang seperti bapak, tergoda dengan orang seperti saya, hehe," balasku dengan senyum terpaksa di akhir kalimat. 

Meski sebenarnya ada rasa sakit di hatiku 'apa aku sama sekali tidak menarik? apa aku ini terlalu jelek?' tapi, ya sudahlah. 

Ganda POV

Mendengarnya meminta maaf dan mengatakan; orang sepertiku tidak mungkin tertarik dengannya, membuat hatiku 'sedikit' iba. Apa ucapanku padanya tadi keterlaluan? Sebenarnya, jika dilihat-lihat wajah Delia manis, dia memiliki wajah berbentuk 'hati' dengan dagu sedikit runcing, bibirnya yang tipis, dan giginya yang rapi sangat menarik untuk dilihat ketika dia berbicara. Rambutnya yang hitam pekat dan lebat, sedikit ikal pada bagian ujung, membuatnya tampak tidak membosankan ketika dipandang. Apalagi, saat ini rambutnya diikat ke belakang kepala, menampakan leher jenjangnya. Kulitnya memang tidak glowing atau cerah, seperti gadis-gadis kebanyakan di luar sana, tapi hal itu sama sekali tidak mengurangi daya tarik dari seorang Delia. Sayang, tubuhnya memang kurus, tidak sesuai dengan tinggi yang dia memiliki. Mungkin, jika tubuh kurus itu sedikit berisi, Delia akan terlihat lebih menarik. Kecantikan natural gadis Indonesia ada padanya. 

Kami kembali terdiam beberapa saat untuk kali kedua. Ah ...  sepertinya aku harus mencari topik baru atau arah pembicaraan agar rasa tidak enak ini hilang. 

"Delia, apa kamu masih bersedia menjadi baby sitter anak saya?" tanyaku dengan suara yang tegas, tetapi lembut. 

Helaan napas terdengar dari bibir mungilnya, kemudian dia menjawab. "Iya, Pak, saya mau."

Mendengar jawaban dengan suara lemahnya, membuat aku urung, untuk mengutarakan beberapa persyaratan yang sebelumnya sudah aku tentukan. Namun, aku harus tetap mengatakan persyaratan ini, dan nantinya dia juga boleh meminta syarat dariku untuk kenyamanannya bekerja.

"Bagus, kalau kamu mau, saya senang mendengarnya. Tapi Delia, saya punya beberapa syarat sebelum—" Belum selesai aku berbicara dia langsung menyela.

"Syarat apa, Pak?!" tanyanya seperti terkejut, padahal aku belum memberi tahu syarat-syarat itu. 

"Tentunya syarat ini untuk kebaikan anakku. Sebagai seorang ayah, aku ingin yang terbaik untuk anakku, dan kamu juga boleh memberiku syarat untuk kenyamananmu dalam bekerja," jelasku pada Delia

Setelah aku dan Delia sepakat dengan syarat yang saling kami ajukan, aku pun berniat mengantarkannya pulang. 

"Baiklah, Delia, terima kasih. Semoga kamu bisa menjadi pengasuh yang baik untuk anak saya. Sekarang, bagaimana jika saya antar kamu pulang? Besok siang, saya akan jemput kamu untuk ke rumah saya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status